I.
Pendahuluan
Agama Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, yang mana dengan
syari’at Islam Allah telah mengatur semua urusan makhlukNya, sekalipun hal
tersebut belum terdetik dibenak makhluk tersebut. Allah sudah menjelaskan semua
perkara baik yang halal atau haram yang diantara keduanya ada sesuatu yang disebut syubhat,
dimana kebanyakan manusia terjerumus ke dalamnya dan mereka tidak tahu apakah
itu halal atau haram. Apabila tidak tahu halal dan haram suatu hal, maka akan
timbul suatu penyakit yaitu syubhat.
Diantara kejadian yang mengandung syubhat adalah dalam menjima’
istri atau budak perempuan. Kejadian salah dalam menjima’ istri, kerena suatu
hal yang dikira wanita tersebut adalah istrinya, atau budak perempuannya.
Kejadian lain seperti seseorang menjima’ budak perempuan milik anaknya, apakah
seorang bapak tersebut masih dianggap ikut serta dalam kepemilikan budak
tersebut, sehingga boleh berjima’ dengan budak tersebut atau termasuk zina,
karena budak itu mutlak milik anaknya.
Dan kejadian lain yang menunjukkan adanya syubhat dalam menjima’seorang wanita.
Dari kejadian tersebut dapat memberi pengaruh besar terutuma bagi
janin yang dihasilkan dari peristiwa syubhat. Apakah anak tersebut termasuk
anak zina, atau tetap disandarkan kepada orang yang telah menjima’ dengan
syubhat tersebut karena atas dasar tidak tahu, sehingga apakah seseorang
tersebut dihukumi sama dengan perbuatan lain yang dihapus dosanya apabila
dilakukan karena tidak sengaja atau lupa. Dan masalah lain yang mengikuti dari
sebuah perbuatan menjima’ wanita yang dilakukan mengandung syubhat.
Maka penulis disini akan membahas sedikit terkait masalah syubhat
dalam menjima’ seorang wanita baik yang dikira istrinya, atau budaknya, dan kejadian
syubhat lain, berikut hukum terkait seputar jima’ syubhat tersebut.
II.
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Wath’ secara bahasa berjalan
atau melalui. Sedangkan al wath’u artinya setubuh, yang memiliki arti
sama dengan jima’.
Jima’ secara bahasa
berasal dari kata jama’a yang artinya mengumpulkan sesuatu yang terpisah
sehingga menjadi terkumpul. Sedangkan mujama’ah atau jima’ adalah
sebuah kiasan yang digunakan untuk menunjukkan pernikahan.
Syubhat secara bahasa
berasal dari kata yang artinya sesuatu yang menyerupai sesuatu, yaitu
menyerupai dalam sifatnya. Sedangkan syubhat artinya samar atau tidak jelas.
Suatu perkara yang samar yang hampir serupa. Atau sesuatu yang serupa antara
satu dengan yang lainnya.
Syubhat secara istilah
adalah segala sesuatu yang belum ada keyakinan halal atau haram didalamnya.
Atau sesuatu yang belum diketahui halal dan haram secara hakiki. Atau sesutau
yang masih samar apakah telah menjadi ketetapan atau belum.
Malikiyah mengatakan wath’ syubhat adalah syubhat yang terjadi
karena tidak sengaja atau bisa juda karena lupa.
Sedangkan Hanabilah mengatakan bahwa wath syubhat adalah wath’ yang
terjadi syubhat dalam kepemilikan.
Maka jima’ syubhat yang dimaksud dalam pembahasan pada tulisan ini
adalah melakukan aktivitas jima’ atau memasukkan penis kedalam vagina wanita yang
sifatnya masih syubhat. Yaitu wanita yang masih samar akan kehalalannya, belum mengandung
sebuah kejelasan atas halalnya kepemilikan vagina tersebut bagi
seseorang yang menjima’nya, bisa karena lupa, atau tidak tahu.
B.
Dasar-Dasar Hukum Syubhat
Sesunguhnya
Alloh telah menjelaskan perkara yang halal dan perkara yang haram, akan tetapi
diantara kedua perkara tersebut ada perkara yang masih samar, yaitu perkara
yang disebut dengan perkara syubhat. Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu
‘anhuma, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْحلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا
مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى
الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ
وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ
فِيهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ
مَحَارِمُهُ
“Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana
yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat -yang masih
samar- yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang
menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan
kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa
terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada pengembala yang menggembalakan
ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah,
setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah
perkara-perkara yang diharamkan-Nya.”
عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ الْحَسَنُ بْنُ عَلِي بْنِ أبِي
طَالِبٍ سِبْطِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَيْحَانَتِهِ
رَضِيَ الله عَنْهُمَا قَالَ : حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ .
Dari Abu Muhammad Al Hasan bin Ali bin Abi
Thalib, cucu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dan kesayangannya dia
berkata : Saya menghafal dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam
(sabdanya): Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak
meragukanmu. (Riwayat Turmuzi dan dia berkata: Haditsnya hasan shoheh)
C.
Pembagian Syubhat
Dari hadist diatas
menjelaskan bahwasanaya syubhat adalah suatu perkara yang tidak diketahui
umumnya manusia, atau hukum yang belum diketahui secara umum. Akan tetapi ulama dapat mengetahui hukumnya dengan cara nash,
qiyas, istishab, atau yang lainnya. Apabila ada keraguan terhadap
halal atau haram, dan tidak ada nash atau ijma’ yang menyebutkan, maka
mujtahid berijtihad didalamnya dengan menggunakan nash, tetapi lebih baik
adalah wara’ dengan menjuhi hal syubhat tersebut.
Dalam
pembahasan wath’ syubhat ulama berbeda dalam menggolongkan bentuk syubhat
didalamnya. Berikut perincian menurut empat madzhab:
Hanafiyah membagi
wath’ syubhat menjadi tiga:
1.
Syubhat Mahal
Syubhat mahal
ini sudah menetapkan adanya kehalalan terhadap kepemilikan tempat secara syar’i. Akan
tetapi disertai adanya penghalang sehingga menjadi wath syubhat. Diantara
contoh syubhat fail adalah menjima’ budak wanita yang memiliki banyak tuan,
seorang bapak yang menjima’ budak anaknya kerena berdasar hadits “أنت ومالك لإبيك”
menjima’ budak hasil ghanimah yang telah dibebaskan yang berada dirumahnya,
menjima’ istri yang dalam masa iddah yang ditalak dengan kiasan, menjima’
seseorang yang telah dijual tetapi belum diserahkan dan lain sebagainya.Begitu
juga dengan jual beli yang fasid, maka apabila pemilik sebelumnya menjima’nya
maka tidak bisa dijatuhkan hukum had karena kepemilikan tidak berpindah secara
sah.
2.
Syubhatul Fi’il
Syubhat
ini berlaku dalam haknya orang yang merasa ragu-ragu tentang hukum suatu
perbuatan, bukan bagi orang yang tidak meragukanya. Syubhat ini disebut juga syubatul
isytibah atau syubatul musyabahah. Syubhat ini terjadi dalam hak
orang yang meragukan tentang halal atau haramnya suatu perbuatan bagi dirinya,
dan tidak ada dalil yang menunjukan halalnya.
Contohnya adalah laki-laki yang menyetubuhi istrinya yang sudah ditalak tiga
tetapi masih dalam iddah. Dalam kasus ini jelas
persetubuhanya dilarang karena hubungan perkawinan mereka telah putus dengan
talak tiga. Sedangkan syubhat mahal sudah jelas adanya dalil yang menunjukkan
kehalalan akan keadaan yang sebenarnya. Contoh
lain syubhat fiil adalah menjima’ orang lain yang diduga adalah istrinya
sendiri.
3.
Syubhat Akad
Syubhat
akad adalah syubhat yang didalamnya sudah didahului dengan adanya akad walaupun
belum sah secara hakiki. Seperti seseorang yang menikahi wanita yang haram
dinikahi dan menjima’nya,
seseorang yang yang menjima’ istrinya dengan pernikahan tanpa adanya saksi,
mengumpulkan dua saudara, dan lain sebagainya.
Dalam Malikiyah
tidak ada pembagin wath syubhat, mereka menyebutkan adanya wath’ syubhat karena
tidak adanya kesengajaan, atau bisa juga karena lupa. Seperti seorang yang
telah mentalak bain istrinya kemudian menjimanya karena lupa, atau
melakukan suatu akad yang menurut ulama halal tapi ternyata ada yang
mengharamkan.
Ulama
Syafi’iyah membagi wath syubhat menjadi empat:
1.
Syubhat Fa’il yaitu menjima’
orang lain yang dikira istrinya karena lupa atau suatu hal lain, maka seorang
tersebut dikategorikan sebagai orang yang lupa, maka tidak termasuk mukallaf.
2.
Syubhat Milk seperti
menjima’ budak dengan tuan lebih dari satu.
3.
Syubhat Thariq yaitu syubhat
yang dilakukan karena bentuk ijtihad yang berbeda, seperti sebagian ulama’ membolehkan
nikah tanpa wali, dan ulama lain melarangnya.
4.
Syubhat Mahal, Syafi’iyah
dan Hanafiyah sama dalam syubhat mahal.
Hanabilah tidak memberi pembagian dalam wath’ syubhat, hanya
menyebutkan wath’ syubhat adalah syubhat dalam kepemilikan. Seperti menjima’ orang lain yang dikira
istrinya, atau menjima’ istrinya dalam masa iddah talak bain, atau menjima’
budak yang memiliki banyak tuan.
D.
Hukum Jima’ Syubhat
Allah telah menetapkan hukuman had bagi seseorang yang sudah jelas melakukan
zina, baik seseorang yang masih gadis maupun yang telah menikah, karena itu
termasuk salah satu dosa besar. Sedangkan untuk masalah jima’ yang masih
syubhat hukuman had belum bisa ditegakkan, karena had hanya bisa berdiri dengan
sebuah kejelasan. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam sebuah hadits mauquf
yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud
ادرؤوا الحدود بالشبهات
“Tinggalkanlah had apabila masih ada syubhat”
Dari
hadits diatas dijelaskan bahwasannya dengan adanya syubhat hukuman had itu
tidak bisa ditegakkan.
Maka syubhat adalah perkara yang urgen dalam masalah menegakkan hukum had. Dari
adanya syubhat diatas maka ulama berselisih dalam menentukan hukum had, karena
ada sebagian bentuk syubhat yang tidak bisa menghalangi tegaknya hukum had.
Maka ulama’ berhati-hati dalam menegakkan hukum had.
Semua
syubhat mahal adalah jima’ yang diharamkan menurut Ulama’ Syafi’iyah dan
disepakati ulama’ Hanafiyah.
Dan menurut ulama’ Hanafiyah tidak bisa dijatuhkan hukum had, menjima’ istri
yang dalam masa iddah yang ditalak dengan kiasan baik seseorang yang menjima’
tersebut mengetahui haramnya menjima’ dalam keadaan seperti itu atau tidak.
Begitu juga seseorang yang menjima’ setelah menikahi dua orang saudara, atau
menikahi seseorang yang masih dalam masa iddah dari laki-laki lain, maka Abu
Hanifah dan Tsauri tidak menetapkan adanya hukuman had baginya walaupun
seseorang tersebut sebenarnya mengetahui keharamannya, akan tetapi tetap
mendapat ta’zir. Dengan alasan terjadinya jima’ yang syubhat dikarenakan adanya
gambaran sesuatu yang memperbolehkan adanaya akad nikah.
Syubhat
fi’il atau syubhat isytibah seperti menjima’ orang lain yang dikira istrinya,
maka syubhat ini tidak dikenai hukum had, kecuali kalau secara jelas seseorang
tersebut telah mengetahui keharamannya maka tetap pelaku mendapat hukum had. Syubhat
fi’il ini tidak disifati dengan halal atau haram, karena adanya ketidak tahuan
didalamnya, sehingga juga tidak mengandung unsur dosa didalmnya.
Semua
jima’ syubhat yang dilakukan atas dasar nikah fasid tetapi mereka mengira sudah
halal hubungan antara keduanya, seperti menikah tanpa wali atau menikah tanpa
ada saksi, maka ijma’ tidak menetapkan hukuman had bagi mereka, dan juga tidak
termasuk perbuatan zina.
Hukum
syubhat thariq tidak disifati halal atau haramnya jima’ didalamnya, akan tetapi
hukumnya mengikuti ulama’ yang diambil pendapatnya. Apabila seseorang mengambil
pendapat ulama’ yang mensohihkan akadnya, maka pernikahannya sah, dan jima’nya
menjadi halal, sedangkan apabila mengikuti pendapat ulama’ yang mengharamkan
maka hukum pernikahannya menjadi nikah fasid, dan jima’nya menjadi haram. Ulama
Hanafiyah memasukkan hukum syubhat thariq pada syubhat hukmiyah yaitu tidak
bisa ditetapkan adanya had, karena masih adanya kemungkinan terjadinya akad
nikah yang benar.
Syubhat
akad yang menjadi pembagian syubhat menurut ulama’ Hanafiyah yaitu syubhat pada
akad sebuah pernikahan. Seperti akad yang tidak sah karena tidak adanya saksi,
maka jima’ syubhat pada hal ini tidak menyebabakan adanya hukuman had.Dan
hukumnya kembali pada akad itu sendiri, apabila akad yang dilakukan tidak sah
maka hukum menjima’nya adalah haram.
Sementara
itu jumhur ulama’ dari Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, dan dua rekan Imam Abu
Hanifah yaitu Muhammad Al-Hasan dan Abu Yusuf mengatakan, hukuman had wajib
dijatuhkan dalam semua jima’ yang bentuk keharamannya bersifat selamanya,
seperti ibu. Sebab pernikahan semacam itu batal berdasarkan ijma’. Sedangkan
unsur syubhat tidak dianggap dan tidak diperhitungkan, sebab itu termasuk
syubhat yang rusak atau tidak diakui. Akan tetapi syubhat pada keharaman yang
sifatnya sementara tidak mengharuskan adanya hukuman had. Akan tetapi ulama’
Malikiyah membatasi hukum had hanya pada orang yang jelas mengetahui
keharamnya, sedangkan apabila pelakunya tidak mengetahui maka tidak wajib
adanya had.
Pendapat
diatas adalah penjelasan mengenai wath’ syubhat yang dilakukan setelah adanya pernikahan.
Karena syubhat yang terjadi setelah adanya pernikahan dengan adanya keharaman
yang sufatnya selamanya maka syubhat tersebut tidak menghalangi adanya hukum
had, seperti persangkaan bolehnya menikahi saudara sesusu, maka tetap harus
dikenai hukum had, kecuali jika seseorang tersebut tidak mengetahui bahwasannya
istri tersebut adalah saudara sesusu. Sedangkan syubhat yang terjadi pada orang
yang boleh berjima’ atau dinikahi, atau
yang sifat keharamannya sementara, seperti syubhat pada nikah fasid, maka tidak
bisa dijatuhi hukum had karena masih adanya kemungkinan adanya nikah yang
shohih. Berbeda hukumnya dengan jima’ yang dilakukan bukan didahului pernikahan
seperti jima’nya seseorang dengan orang lain yang dikira adalah istrinya, maka
seseorang tersebut tidak bisa dikenai hukum had.
Sedangkan
semua akad nikah baik nikah yang shahih atau fasid wajib adanya mahar mitsli,
begitu juga jima’ yang mengandung syubhat juga wajib adanya mahar mitsli, dan
tidak ada perselisihan didalamnya. Termasuk seseorang yang dipaksa untuk berzina
maka wajib adanya mahar. Dan
semua jumhur ulama’ mewajibkan adanya mahar mitsli pada jima’ yang mengandung
syubhat. Maka hukum had gugur bagi mereka.
E.
Masa Iddah Jima’ Syubhat
Imam
Zainuddin Al-Malibari dalam kitabnya, Fathul Mu`in memberikan definisi
iddah menurut syarah sebagai berikut ”Jangka waktu dimana seorang perempuan
menahan diri (menunggu) agar dapat diketahui rahimnya itu bebas dari hamil atau
karena sebagai bentuk sebuah peribadahan”.Maka
tujuan adanya masa iddah adalh untuk membersihkan rahim agar tidak terjadi
percampuran nasab ketika wanita tersebut hamil.
Semua
jima’ syubhat yang dilakukan maka wajib adanya masa iddah seperti iddah talak.Begitu
juga dengan nikah fasid, wajib adanya masa iddah, seperti menikah yang kelima
atau menikahi wanita dalam masa iddah suami lain.
Sebagai bentuk kehati hatian didalamnya. Karena watha syubhat dihukumkan seperti watha dalam nikah yang sah dari
segi keturunan. maka begitu pula hukumnya dengan watha syubhat.
Hasan dan An Nakha’i mengatakan: Masa iddah jima’ syubhat seperti masa
jima’ wanita yang ditalak, karena memiliki tujuan yang sama yaitu sebagai
pembersihan rahim, dan tidak tercampurnya sperma yang bisa mempengaruhi nasab.
Maka selama masa `iddah, si wanita tidak boleh melakukan jimak dengan
suaminya yang sah, sebagaimana dalam nikah yang sah seorang wanita yang sedang
menjalankan masa `iddah tidak boleh menikah dengan lelaki lain sampai dengan
masa `iddahnya selesai. Tentang berapa lama masa iddah yang harus dijalani oleh
seorang wanita yang melakukan watha syubhat, hal tersebut sesuai pada status si
wanita tersebut dengan mengikuti hukum-hukum yang telah dikemukakan sebelumnya.
Contoh, apabila wanita tersebut dalam keadaan hamil, maka iddahnya sampai dengan
melahirkan, begitu juga apabila dia seorang sahaya, maka iddahnya yang dia
jalani adalah iddah seorang sahaya (amah).
F.
Nasab Anak Hasil Jima’ Syubhat
Hubungan
atau jima syubhat yang sampai pada melahirkan seorang anak dari seseorang yang
telah menjima’nya secara syubhat seperti menima’ seorang perempuan yang dikira
istrinya maka nasab anaknya tetap pada orang yang menjima’nya. Maka hukum anak syubhat berbeda dengan anak yang dihasilkan karena
zina, maka nasab anak tersebut kepada ibunya.
Mawardi
didalam kitabnya Al-Hawa Al-Kabir mengatakan bahwasanya anak syubhat nasabnya
tetap pada orang yang menjima’nya, begitu juga warisan, dan menjadi haram
dinikahi, yang hukumnya berbeda dengan anak hasil zina.
Nasab
bagi seseorang yang menjima’ syubhat seseorang yang telah menikah, maka nasab
anak apabila dia melahirkan adalah dilihat dari waktu seorang tersebut
melahirkan. Apabila anak yang dilahirkan berjarak enam bulan atau lebih dari
masa sesorang tersebut melakukan jima’ syubhat maka nasab anak tersebut kepada
yang telah menjima’ syubhat tersebut. Tetapi apabila anak tersebut lahir
sebelum waktu enam bulan, maka nasab anak tersebut tetap kepada suaminya. Dan tetap setelah melewati masa iddah. Kecuali apabila ketika
dijima’ wanita tersebut telah hamil, maka anak yang dihasilkan bukan dari
jima’syubhat.
Begitu
juga anak yang dihasilkan dari pernikahan yang fasid, maka nasab anak tersebut
tetap kepada seorang yang telah menjima’ tersebut, karena anak yang dihasilkan
bukan anak zina yang mengharuskan hukum had bagi pelakunya.
Maka
hukum nasab bagi anak yang dilahirkan baik hasil dari pernikahan shahih atau
fasid nasab anak tersebut tetap kepada seorang yang telah menjima’nya atau
bapaknya. Karena penetapan nasab anak hasil pernikahan shahih atau fasid sama.
III.
Penutup
Kesimpulan
Sebuah hubungan yang dilakukan karena ada sebuah unsur syubhat,
seperti seseorang yang menjiwa’ wanita lain yang dikira istrinya, atau menjima’
wanita yang telah menjadi istrinya karena sebuah pernikahan yang fasid, maka
tidak termasuk zina. Semua syubhat yang dilakukan tidak dapat menyebabkan
hukuman had, karena had tidak bisa ditegakkan apabila masih ada syubhat.
Walaupun ada dari beberapa syubhat tersebut menyebabkan hubungan ta’zir.
Kecuali apabila syubhat karena sebuah pernikahan fasid yang dilakukan seseorang
terhadap wanita yang haram dinikahi maka seorang tersebut masih tetap dijatuhi
hukuman had, karena menikahi wanita yang haram dinikahi tidak bisa dijdikan
sebagai alasan syubhat, kecuali apabila memang seorang tersebut adalah wanita
yang haram dinikahi.
Begitu juga seorang wanita yang dijima’ secara syubhat wajib
menjalani masa iddah seperti iddah thalak, sebagai bentuk kehati-hatian
terhadap keturunan yang dihasilkan dari rahim wanita. Begitu juga wanita yang
telah menikah, sebagai bentuk kehati-hatian dari tercampurnya nasab anak yang
telah dilahirkan.
Sedangkan nasab anak yang dihasilkan dari jima’ syubhat atau
pernikahan fasid tetap kepada bapaknya, atau seorang yang telah menjima’nya.
Karena baik nikah shahih atau fasid nasab anak tetap kepada seorang yang
menjima’ bukan kepada ibunya, karena anak syubhat hukumnya berbeda dengan anak
zina.
Referensi
Kementrian Agama Kuwait, Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, juz 25, cet 1 (Kuwait: Daarus Sahofwah, 1992)
Tirmidzi,
At, Sunan Tirmidzi, juz 3 (Libanon: Daarul Fikr, 2009)
Zainuddin,
Ahmd bin Abdul Aziz, Fathul Mu’in, cet 1 (Libanon: Daar Ibnu Hazm, 2004)
Zuhaili,
Wahbah, Al Fiqihu Islami Waadillatuhu, jilid 9,cet 1 (Damaskus: Daarul
Fikr, 1997)