Minggu, 01 November 2015

HUKUM WATH’ SYUBHAT


I.              Pendahuluan

Agama Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, yang mana dengan syari’at Islam Allah telah mengatur semua urusan makhlukNya, sekalipun hal tersebut belum terdetik dibenak makhluk tersebut. Allah sudah menjelaskan semua perkara baik yang halal atau haram yang diantara keduanya ada sesuatu yang disebut syubhat, dimana kebanyakan manusia terjerumus ke dalamnya dan mereka tidak tahu apakah itu halal atau haram. Apabila tidak tahu halal dan haram suatu hal, maka akan timbul suatu penyakit yaitu syubhat.  

Diantara kejadian yang mengandung syubhat adalah dalam menjima’ istri atau budak perempuan. Kejadian salah dalam menjima’ istri, kerena suatu hal yang dikira wanita tersebut adalah istrinya, atau budak perempuannya. Kejadian lain seperti seseorang menjima’ budak perempuan milik anaknya, apakah seorang bapak tersebut masih dianggap ikut serta dalam kepemilikan budak tersebut, sehingga boleh berjima’ dengan budak tersebut atau termasuk zina, karena budak itu  mutlak milik anaknya. Dan kejadian lain yang menunjukkan adanya syubhat dalam menjima’seorang wanita.

Dari kejadian tersebut dapat memberi pengaruh besar terutuma bagi janin yang dihasilkan dari peristiwa syubhat. Apakah anak tersebut termasuk anak zina, atau tetap disandarkan kepada orang yang telah menjima’ dengan syubhat tersebut karena atas dasar tidak tahu, sehingga apakah seseorang tersebut dihukumi sama dengan perbuatan lain yang dihapus dosanya apabila dilakukan karena tidak sengaja atau lupa. Dan masalah lain yang mengikuti dari sebuah perbuatan menjima’ wanita yang dilakukan mengandung syubhat.

Maka penulis disini akan membahas sedikit terkait masalah syubhat dalam menjima’ seorang wanita baik yang dikira istrinya, atau budaknya, dan kejadian syubhat lain, berikut hukum terkait seputar jima’ syubhat tersebut.


II.           PEMBAHASAN


A.           Definisi

Wath’ secara bahasa berjalan atau melalui. Sedangkan al wath’u artinya setubuh, yang memiliki arti sama dengan jima’.[1]

Jima’ secara bahasa berasal dari kata jama’a yang artinya mengumpulkan sesuatu yang terpisah sehingga menjadi terkumpul. Sedangkan mujama’ah atau jima’ adalah sebuah kiasan yang digunakan untuk menunjukkan pernikahan.[2] 

Syubhat secara bahasa berasal dari kata yang artinya sesuatu yang menyerupai sesuatu, yaitu menyerupai dalam sifatnya. Sedangkan syubhat artinya samar atau tidak jelas. Suatu perkara yang samar yang hampir serupa. Atau sesuatu yang serupa antara satu dengan yang lainnya.[3]

Syubhat secara istilah adalah segala sesuatu yang belum ada keyakinan halal atau haram didalamnya. Atau sesuatu yang belum diketahui halal dan haram secara hakiki. Atau sesutau yang masih samar apakah telah menjadi ketetapan atau belum.[4]

Malikiyah mengatakan wath’ syubhat adalah syubhat yang terjadi karena tidak sengaja atau bisa juda karena lupa.[5]

Sedangkan Hanabilah mengatakan bahwa wath syubhat adalah wath’ yang terjadi syubhat dalam kepemilikan.[6]

Maka jima’ syubhat yang dimaksud dalam pembahasan pada tulisan ini adalah melakukan aktivitas jima’ atau memasukkan penis kedalam vagina wanita yang sifatnya masih syubhat. Yaitu wanita yang masih samar akan kehalalannya, belum  mengandung  sebuah kejelasan atas halalnya kepemilikan vagina tersebut bagi seseorang yang menjima’nya, bisa karena lupa, atau tidak tahu.

B.     Dasar-Dasar Hukum Syubhat

Sesunguhnya Alloh telah menjelaskan perkara yang halal dan perkara yang haram, akan tetapi diantara kedua perkara tersebut ada perkara yang masih samar, yaitu perkara yang disebut dengan perkara syubhat. Dari An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الْحلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ كَالرَّاعِى يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ

Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat -yang masih samar- yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram. Sebagaimana ada pengembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir menjerumuskannya. Ketahuilah, setiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ini adalah perkara-perkara yang diharamkan-Nya.[7]

عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ الْحَسَنُ بْنُ عَلِي بْنِ أبِي طَالِبٍ سِبْطِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَيْحَانَتِهِ رَضِيَ الله عَنْهُمَا قَالَ : حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ .

Dari Abu Muhammad Al Hasan bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam dan kesayangannya dia berkata : Saya menghafal dari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam (sabdanya): Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu. (Riwayat Turmuzi dan dia berkata: Haditsnya hasan shoheh)[8]


C.           Pembagian Syubhat

Dari hadist diatas menjelaskan bahwasanaya syubhat adalah suatu perkara yang tidak diketahui umumnya manusia, atau hukum yang belum diketahui secara umum. Akan tetapi ulama  dapat mengetahui hukumnya dengan cara nash, qiyas, istishab, atau yang lainnya. Apabila ada keraguan terhadap halal atau haram, dan tidak ada nash atau ijma’ yang menyebutkan, maka mujtahid berijtihad didalamnya dengan menggunakan nash, tetapi lebih baik adalah wara’ dengan menjuhi hal syubhat tersebut.[9]

Dalam pembahasan wath’ syubhat ulama berbeda dalam menggolongkan bentuk syubhat didalamnya. Berikut perincian menurut empat madzhab:

Hanafiyah membagi wath’ syubhat menjadi tiga:

1.        Syubhat Mahal

Syubhat mahal ini sudah menetapkan adanya kehalalan terhadap kepemilikan tempat secara syar’i.[10] Akan tetapi disertai adanya penghalang sehingga menjadi wath syubhat.[11] Diantara contoh syubhat fail adalah menjima’ budak wanita yang memiliki banyak tuan, seorang bapak yang menjima’ budak anaknya kerena berdasar hadits “أنت ومالك لإبيك” menjima’ budak hasil ghanimah yang telah dibebaskan yang berada dirumahnya[12], menjima’ istri yang dalam masa iddah yang ditalak dengan kiasan, menjima’ seseorang yang telah dijual tetapi belum diserahkan dan lain sebagainya.[13]Begitu juga dengan jual beli yang fasid, maka apabila pemilik sebelumnya menjima’nya maka tidak bisa dijatuhkan hukum had karena kepemilikan tidak berpindah secara sah.[14]

2.        Syubhatul Fi’il

Syubhat ini berlaku dalam haknya orang yang merasa ragu-ragu tentang hukum suatu perbuatan, bukan bagi orang yang tidak meragukanya. Syubhat ini disebut juga syubatul isytibah atau syubatul musyabahah. Syubhat ini terjadi dalam hak orang yang meragukan tentang halal atau haramnya suatu perbuatan bagi dirinya, dan tidak ada dalil yang menunjukan halalnya.[15] Contohnya adalah laki-laki yang menyetubuhi istrinya yang sudah ditalak tiga tetapi masih dalam iddah. Dalam kasus ini jelas persetubuhanya dilarang karena hubungan perkawinan mereka telah putus dengan talak tiga. Sedangkan syubhat mahal sudah jelas adanya dalil yang menunjukkan kehalalan akan keadaan yang sebenarnya.[16] Contoh lain syubhat fiil adalah menjima’ orang lain yang diduga adalah istrinya sendiri.


3.        Syubhat Akad

Syubhat akad adalah syubhat yang didalamnya sudah didahului dengan adanya akad walaupun belum sah secara hakiki. Seperti seseorang yang menikahi wanita yang haram dinikahi dan menjima’nya,[17] seseorang yang yang menjima’ istrinya dengan pernikahan tanpa adanya saksi, mengumpulkan dua saudara, dan lain sebagainya.[18]

Dalam Malikiyah tidak ada pembagin wath syubhat, mereka menyebutkan adanya wath’ syubhat karena tidak adanya kesengajaan, atau bisa juga karena lupa. Seperti seorang yang telah mentalak bain istrinya kemudian menjimanya karena lupa, atau melakukan suatu akad yang menurut ulama halal tapi ternyata ada yang mengharamkan.[19]

Ulama Syafi’iyah membagi wath syubhat menjadi empat:

1.        Syubhat Fa’il yaitu menjima’ orang lain yang dikira istrinya karena lupa atau suatu hal lain, maka seorang tersebut dikategorikan sebagai orang yang lupa, maka tidak termasuk mukallaf.

2.        Syubhat Milk seperti menjima’ budak dengan tuan lebih dari satu.

3.        Syubhat Thariq yaitu syubhat yang dilakukan karena bentuk ijtihad yang berbeda, seperti sebagian ulama’ membolehkan nikah tanpa wali, dan ulama lain melarangnya.

4.        Syubhat Mahal, Syafi’iyah dan Hanafiyah sama dalam syubhat mahal.[20]


Hanabilah tidak memberi pembagian dalam wath’ syubhat, hanya menyebutkan wath’ syubhat adalah syubhat dalam kepemilikan.     Seperti menjima’ orang lain yang dikira istrinya, atau menjima’ istrinya dalam masa iddah talak bain, atau menjima’ budak yang memiliki banyak tuan.[21]

D.           Hukum Jima’ Syubhat

Allah telah menetapkan hukuman had bagi seseorang yang sudah jelas melakukan zina, baik seseorang yang masih gadis maupun yang telah menikah, karena itu termasuk salah satu dosa besar. Sedangkan untuk masalah jima’ yang masih syubhat hukuman had belum bisa ditegakkan, karena had hanya bisa berdiri dengan sebuah kejelasan. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam sebuah hadits mauquf yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud

ادرؤوا الحدود بالشبهات

“Tinggalkanlah had apabila masih ada syubhat”

Dari hadits diatas dijelaskan bahwasannya dengan adanya syubhat hukuman had itu tidak bisa ditegakkan.[22] Maka syubhat adalah perkara yang urgen dalam masalah menegakkan hukum had. Dari adanya syubhat diatas maka ulama berselisih dalam menentukan hukum had, karena ada sebagian bentuk syubhat yang tidak bisa menghalangi tegaknya hukum had. Maka ulama’ berhati-hati dalam menegakkan hukum had.

Semua syubhat mahal adalah jima’ yang diharamkan menurut Ulama’ Syafi’iyah dan disepakati ulama’ Hanafiyah.[23] Dan menurut ulama’ Hanafiyah tidak bisa dijatuhkan hukum had, menjima’ istri yang dalam masa iddah yang ditalak dengan kiasan baik seseorang yang menjima’ tersebut mengetahui haramnya menjima’ dalam keadaan seperti itu atau tidak.[24] Begitu juga seseorang yang menjima’ setelah menikahi dua orang saudara, atau menikahi seseorang yang masih dalam masa iddah dari laki-laki lain, maka Abu Hanifah dan Tsauri tidak menetapkan adanya hukuman had baginya walaupun seseorang tersebut sebenarnya mengetahui keharamannya, akan tetapi tetap mendapat ta’zir. Dengan alasan terjadinya jima’ yang syubhat dikarenakan adanya gambaran sesuatu yang memperbolehkan adanaya akad nikah.[25]  

Syubhat fi’il atau syubhat isytibah seperti menjima’ orang lain yang dikira istrinya, maka syubhat ini tidak dikenai hukum had, kecuali kalau secara jelas seseorang tersebut telah mengetahui keharamannya maka tetap pelaku mendapat hukum had.[26] Syubhat fi’il ini tidak disifati dengan halal atau haram, karena adanya ketidak tahuan didalamnya, sehingga juga tidak mengandung unsur dosa didalmnya.[27]

Semua jima’ syubhat yang dilakukan atas dasar nikah fasid tetapi mereka mengira sudah halal hubungan antara keduanya, seperti menikah tanpa wali atau menikah tanpa ada saksi, maka ijma’ tidak menetapkan hukuman had bagi mereka, dan juga tidak termasuk perbuatan zina.[28]

Hukum syubhat thariq tidak disifati halal atau haramnya jima’ didalamnya, akan tetapi hukumnya mengikuti ulama’ yang diambil pendapatnya. Apabila seseorang mengambil pendapat ulama’ yang mensohihkan akadnya, maka pernikahannya sah, dan jima’nya menjadi halal, sedangkan apabila mengikuti pendapat ulama’ yang mengharamkan maka hukum pernikahannya menjadi nikah fasid, dan jima’nya menjadi haram.[29] Ulama Hanafiyah memasukkan hukum syubhat thariq pada syubhat hukmiyah yaitu tidak bisa ditetapkan adanya had, karena masih adanya kemungkinan terjadinya akad nikah yang benar.[30]

Syubhat akad yang menjadi pembagian syubhat menurut ulama’ Hanafiyah yaitu syubhat pada akad sebuah pernikahan. Seperti akad yang tidak sah karena tidak adanya saksi, maka jima’ syubhat pada hal ini tidak menyebabakan adanya hukuman had.[31]Dan hukumnya kembali pada akad itu sendiri, apabila akad yang dilakukan tidak sah maka hukum menjima’nya adalah haram.

Sementara itu jumhur ulama’ dari Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, dan dua rekan Imam Abu Hanifah yaitu Muhammad Al-Hasan dan Abu Yusuf mengatakan, hukuman had wajib dijatuhkan dalam semua jima’ yang bentuk keharamannya bersifat selamanya, seperti ibu. Sebab pernikahan semacam itu batal berdasarkan ijma’. Sedangkan unsur syubhat tidak dianggap dan tidak diperhitungkan, sebab itu termasuk syubhat yang rusak atau tidak diakui. Akan tetapi syubhat pada keharaman yang sifatnya sementara tidak mengharuskan adanya hukuman had. Akan tetapi ulama’ Malikiyah membatasi hukum had hanya pada orang yang jelas mengetahui keharamnya, sedangkan apabila pelakunya tidak mengetahui maka tidak wajib adanya had.[32]

Pendapat diatas adalah penjelasan mengenai wath’ syubhat yang dilakukan setelah adanya pernikahan. Karena syubhat yang terjadi setelah adanya pernikahan dengan adanya keharaman yang sufatnya selamanya maka syubhat tersebut tidak menghalangi adanya hukum had, seperti persangkaan bolehnya menikahi saudara sesusu, maka tetap harus dikenai hukum had, kecuali jika seseorang tersebut tidak mengetahui bahwasannya istri tersebut adalah saudara sesusu. Sedangkan syubhat yang terjadi pada orang yang boleh berjima’ atau  dinikahi, atau yang sifat keharamannya sementara, seperti syubhat pada nikah fasid, maka tidak bisa dijatuhi hukum had karena masih adanya kemungkinan adanya nikah yang shohih. Berbeda hukumnya dengan jima’ yang dilakukan bukan didahului pernikahan seperti jima’nya seseorang dengan orang lain yang dikira adalah istrinya, maka seseorang tersebut tidak bisa dikenai hukum had.

Sedangkan semua akad nikah baik nikah yang shahih atau fasid wajib adanya mahar mitsli, begitu juga jima’ yang mengandung syubhat juga wajib adanya mahar mitsli, dan tidak ada perselisihan didalamnya. Termasuk seseorang yang dipaksa untuk berzina maka wajib adanya mahar.[33] Dan semua jumhur ulama’ mewajibkan adanya mahar mitsli pada jima’ yang mengandung syubhat.[34] Maka hukum had gugur bagi mereka.

E.            Masa Iddah Jima’ Syubhat

Imam Zainuddin Al-Malibari dalam kitabnya, Fathul Mu`in memberikan definisi iddah menurut syarah sebagai berikut ”Jangka waktu dimana seorang perempuan menahan diri (menunggu) agar dapat diketahui rahimnya itu bebas dari hamil atau karena sebagai bentuk sebuah peribadahan”.[35]Maka tujuan adanya masa iddah adalh untuk membersihkan rahim agar tidak terjadi percampuran nasab ketika wanita tersebut hamil.

Semua jima’ syubhat yang dilakukan maka wajib adanya masa iddah seperti iddah talak.[36]Begitu juga dengan nikah fasid, wajib adanya masa iddah, seperti menikah yang kelima atau menikahi wanita dalam masa iddah suami lain.[37] Sebagai bentuk kehati hatian didalamnya. Karena watha syubhat dihukumkan seperti watha dalam nikah yang sah dari segi keturunan. maka begitu pula hukumnya dengan watha syubhat.[38]

Hasan dan An Nakha’i mengatakan: Masa iddah jima’ syubhat seperti masa jima’ wanita yang ditalak, karena memiliki tujuan yang sama yaitu sebagai pembersihan rahim, dan tidak tercampurnya sperma yang bisa mempengaruhi nasab.[39]

Maka selama masa `iddah, si wanita tidak boleh melakukan jimak dengan suaminya yang sah, sebagaimana dalam nikah yang sah seorang wanita yang sedang menjalankan masa `iddah tidak boleh menikah dengan lelaki lain sampai dengan masa `iddahnya selesai. Tentang berapa lama masa iddah yang harus dijalani oleh seorang wanita yang melakukan watha syubhat, hal tersebut sesuai pada status si wanita tersebut dengan mengikuti hukum-hukum yang telah dikemukakan sebelumnya. Contoh, apabila wanita tersebut dalam keadaan hamil, maka iddahnya sampai dengan melahirkan, begitu juga apabila dia seorang sahaya, maka iddahnya yang dia jalani adalah iddah seorang sahaya (amah).


F.            Nasab Anak Hasil Jima’ Syubhat

Hubungan atau jima syubhat yang sampai pada melahirkan seorang anak dari seseorang yang telah menjima’nya secara syubhat seperti menima’ seorang perempuan yang dikira istrinya maka nasab anaknya tetap pada orang yang menjima’nya.[40] Maka hukum anak syubhat berbeda dengan anak yang dihasilkan karena zina, maka nasab anak tersebut kepada ibunya.

Mawardi didalam kitabnya Al-Hawa Al-Kabir mengatakan bahwasanya anak syubhat nasabnya tetap pada orang yang menjima’nya, begitu juga warisan, dan menjadi haram dinikahi, yang hukumnya berbeda dengan anak hasil zina.[41]

Nasab bagi seseorang yang menjima’ syubhat seseorang yang telah menikah, maka nasab anak apabila dia melahirkan adalah dilihat dari waktu seorang tersebut melahirkan. Apabila anak yang dilahirkan berjarak enam bulan atau lebih dari masa sesorang tersebut melakukan jima’ syubhat maka nasab anak tersebut kepada yang telah menjima’ syubhat tersebut. Tetapi apabila anak tersebut lahir sebelum waktu enam bulan, maka nasab anak tersebut tetap kepada suaminya.[42] Dan tetap setelah melewati masa iddah. Kecuali apabila ketika dijima’ wanita tersebut telah hamil, maka anak yang dihasilkan bukan dari jima’syubhat.

Begitu juga anak yang dihasilkan dari pernikahan yang fasid, maka nasab anak tersebut tetap kepada seorang yang telah menjima’ tersebut, karena anak yang dihasilkan bukan anak zina yang mengharuskan hukum had bagi pelakunya.[43]


Maka hukum nasab bagi anak yang dilahirkan baik hasil dari pernikahan shahih atau fasid nasab anak tersebut tetap kepada seorang yang telah menjima’nya atau bapaknya. Karena penetapan nasab anak hasil pernikahan shahih atau fasid sama.[44]


III.        Penutup

Kesimpulan

Sebuah hubungan yang dilakukan karena ada sebuah unsur syubhat, seperti seseorang yang menjiwa’ wanita lain yang dikira istrinya, atau menjima’ wanita yang telah menjadi istrinya karena sebuah pernikahan yang fasid, maka tidak termasuk zina. Semua syubhat yang dilakukan tidak dapat menyebabkan hukuman had, karena had tidak bisa ditegakkan apabila masih ada syubhat. Walaupun ada dari beberapa syubhat tersebut menyebabkan hubungan ta’zir. Kecuali apabila syubhat karena sebuah pernikahan fasid yang dilakukan seseorang terhadap wanita yang haram dinikahi maka seorang tersebut masih tetap dijatuhi hukuman had, karena menikahi wanita yang haram dinikahi tidak bisa dijdikan sebagai alasan syubhat, kecuali apabila memang seorang tersebut adalah wanita yang haram dinikahi.

Begitu juga seorang wanita yang dijima’ secara syubhat wajib menjalani masa iddah seperti iddah thalak, sebagai bentuk kehati-hatian terhadap keturunan yang dihasilkan dari rahim wanita. Begitu juga wanita yang telah menikah, sebagai bentuk kehati-hatian dari tercampurnya nasab anak yang telah dilahirkan.

Sedangkan nasab anak yang dihasilkan dari jima’ syubhat atau pernikahan fasid tetap kepada bapaknya, atau seorang yang telah menjima’nya. Karena baik nikah shahih atau fasid nasab anak tetap kepada seorang yang menjima’ bukan kepada ibunya, karena anak syubhat hukumnya berbeda dengan anak zina. 

 

Referensi

Abi Bakar,  ‘Ala’uddin bin Mas’ud Al Hanafi, Bada’i’us Shanai’ Fi Tartiibis Syara’i’ (Libanon: Daarul Kutubil Ilmiyah, juz 7, cet 2, tt 1986)


Abidin, Ibnu, Al Hasyiyah Ibnu Abidin, jilid 3 (ttp.: t.p., t.t.)


Amin, Muhammad bin Umar, Radd Al Mukhtar, juz 2 (ttp.: t.p., t.t.)


Dimyati, Ad Bakri bin Muhammad,  Hasyiyah I’anatut Thalibin, juz:3, cet 1 (Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah,  2009)


Hanafi, Al  Abdullah bin Mahmud bin Maudud,  Al Ihtiyar Lita’liilil Mukhtar, juz 4 (Daarul Fikri Al Arabi)


Jazari, Al Abdurrahman, Al Fiqh Ala Madzhabil ‘Arba’ah, juz 4  (Daarut Taqwa, 2003)


Kementrian Agama Kuwait, Al Mausu’ah Al Fiqhiyah  Al Kuwaitiyah, juz  25, cet 1 (Kuwait: Daarus Sahofwah, 1992)

Mandhur, Ibnu, Lisanul arab (Kairo: Daarul Ma’arif)


Mawardi, Al Abi Hasan Ali bin Muhammad bin Habib, Al hawi Al Kabir, juz 9, cet 1 (Libanon: Daarul Kutubil Ilmiyah, 1994)


Munawwir,  AW, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984)


Nawawi, An, Syarhul ‘Arba’in An Nawawi, cet 1 (Kairo: Daarul Mustaqbal, 2001)


Nawawi, An, Shohih Muslim Bisyarh An Nawawi, jilid 6, cet 4 (Kairo: Daarul Hadits, 2001)


Nawawi, An, Majmu’ Syarhul Muhadzab, juz 19 (Jeddah: Maktabatul Irsyad)


Qudamah, Ibnu, Al Mughni, jilid 5, cet 1 (Libanon: Daarul Kutubil Ilmiyah, 2008)


Qudamah, Ibnu,  Al Mughni, jilid 9, cet 1 (Riyadh: Daarul ‘Alamil Kutub, 1986)


Tirmidzi, At, Sunan Tirmidzi, juz 3 (Libanon: Daarul Fikr, 2009)

Zainuddin, Ahmd bin Abdul Aziz, Fathul Mu’in, cet 1 (Libanon: Daar Ibnu Hazm, 2004)

Zuhaili, Wahbah, Al wajiz Fil Fiqhil Islami, juz 2  (Damaskus: Daarul Fikr, 2006)


Zuhaili, Wahbah, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, terj Abdul Hayyie dkk, jilid 4, cet 1 (Jakarta: Gema Insani, 2011)


Zuhaili, Wahbah, Al Fiqihu Islami Waadillatuhu, jilid 9,cet 1 (Damaskus: Daarul Fikr, 1997)



[1] Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia, AW Munawwir (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984), hlm. 1566

[2] Lisanul arab, Ibnu Mandhur (Kairo: Daarul Ma’arif), hlm: 681

[3] Ibid, hlm. 2190

[4] Al Mausu’ah Al Fiqhiyah  Al Kuwaitiyah, Kementrian Agama Kuwait, juz  25, cet 1 (Kuwait: Daarus Sahofwah, ,1992),  hlm. 338

[5] Al Fiqh Ala Madzhabil ‘Arba’ah, Abdurrahman Al Jazari, jilid 3, (Daarut Taqwa ,2003), hlm. 98

[6] Ibid.

[7] HR. Bukhari: 2051 dan Muslim no: 1599, Syarhul ‘Arba’in An Nawawi, An Nawawi, cet 1 (Kairo: Daarul Mustaqbal, 2001), hlm. 104

[8] HR. Tirmidzi: 2518.

[9] Shohih Muslim Bisyarh An Nawawi, Imam Nawawi, jilid 6, cet 4 (Kairo: Daarul Hadits, 2001), hlm. 32-33

[10]Al Mausu’ah Al Fiqhiyah  Al Kuwaitiyah, Kementrian Agama Kuwait, juz  25, cet 1(Kuwait: Daarus Sahofwah, 1992),  hlm. 340

[11] Al Fiqh Ala Madzhabil ‘Arba’ah, Abdurrahman Al Jazari, jilid 3 (Daarut Taqwa, 2003), hlm. 97

[12]Hasyiyah Ibnu Abidin, Ibnu Abidin( jilid 3), hlm: 151

[13]Al Ihtiyar Lita’liilil Mukhtar, Abdullah bin Mahmud bin Maudud Al Hanafi, juz 4 (Daarul Fikri Al Arabi) hlm. 90

[14] Al Fiqh Ala Madzhabil ‘Arba’ah, Abdurrahman Al Jazari, jilid 3 (Daarut Taqwa, 2003), hlm. 97


[15]Hasyiyah Ibnu Abidin, Ibnu Abidin, jilid 3 (ttp.: t.p., t.t.),  hlm. 152, Al Mausu’ah Al Fiqhiyah  Al Kuwaitiyah, Kementrian Agama Kuwait, juz  25, cet 1 (Kuwait: Daarus Sahofwah, 1992),  hlm. 340

[16]Al Mausu’ah Al Fiqhiyah  Al Kuwaitiyah, Kementrian Agama Kuwait, juz  25, cet 1 (Kuwait: Daarus Sahofwah, tt 1992),  hlm. 340

[17] Ibid.

[18] Al Ihtiyar Lita’liilil Mukhtar, Abdullah bin Mahmud bin Maudud Al Hanafi, juz 4 (Daarul Fikri Al Arabi) hlm. 90

[19] Al Fiqh Ala Madzhabil ‘Arba’ah, Abdurrahman Al Jazari, jilid 3 (Daarut Taqwa, 2003), hlm. 98

[20] Ibid.

[21] Al Fiqh Ala Madzhabil ‘Arba’ah, Abdurrahman Al Jazari, jilid 3 (Daarut Taqwa, 2003), hlm. 98

[22] Al wajiz Fil Fiqhil Islami, Wahbah Az Zuhaili, juz 2 (Damaskus: Daarul Fikr, 2006), hlm. 368

[23] Al Mausu’ah Al Fiqhiyah  Al Kuwaitiyah, Kementrian Agama Kuwait, juz  25, cet 1 (Kuwait: Daarus Sahofwah, 1992),  hlm. 340

[24] Al Ihtiyar Lita’liilil Mukhtar, Abdullah bin Mahmud bin Maudud Al Hanafi, juz 4 (Daarul Fikri Al Arabi) hlm. 90

[25] Terjemah Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Wahbah Az Zuhaili, jilid 4, cet 1 (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 308

[26] Ibid, hlm. 309

[27] Al Mausu’ah Al Fiqhiyah  Al Kuwaitiyah, Kementrian Agama Kuwait, juz  25, cet 1 (Kuwait: Daarus Sahofwah, 1992),  hlm. 341

[28] Bada’i’us Shanai’ Fi Tartiibis Syara’i’, ‘Ala’uddin Abi Bakar bin Mas’ud Al Hanafi, juz 7, cet 2 (Libanon: Daarul Kutubil Ilmiyah, 1986), hlm. 36

[29] Al Mausu’ah Al Fiqhiyah  Al Kuwaitiyah, Kementrian Agama Kuwait, juz  25, cet 1 (Kuwait: Daarus Sahofwah, 1992),  hlm. 341

[30] Ibid.

[31] Hasyiyah Ibnu Abidin, Ibnu Abidin, jilid 3, (ttp.: t.p., t.t.), hlm. 154

[32] Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Wahbah Az Zuhaili , terj Abdul Hayyie dkk, jilid 7, cet 1 (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 308

[33] Al Fiqihu Islami Waadillatuhu, Wahbah Zuhaili, jilid 9,cet 1 (Damaskus: Daarul Fikr, 1997), hlm. 6784

[34] Al Fiqh Ala Madzhabil ‘Arba’ah, Abdurrahman Al Jazari, jilid 3 (Daarut Taqwa, 2003), hlm. 97

[35] Fathul Mu’in, Ahmd Zainuddin bin Abdul Aziz, cet 1 (Libanon: Daar Ibnu Hazm, 2004), hlm. 523

[36] Radd Al Mukhtar, Muhammad Amin bin Umar,  juz 2, (ttp.: t.p., t.t.),  hlm. 222

[37] Al Fiqihu Islami Waadillatuhu, Wahbah Zuhaili, jilid 9,cet 1 (Damaskus: Daarul Fikr, 1997), hlm. 7170

[38] Majmu’ Syarhul Muhadzab, An Nawawi, juz 19 (Jeddah: Maktabatul Irsyad), hlm. 432

[39] Ibid, hlm. 432

[40] Al Mughni, Ibnu Qudamah, jilid 9, cet 1 (Riyadh: Daarul ‘Alamil Kutub, 1986), hlm. 528

[41] Al hawi Al Kabir, Abi Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al Mawardi, juz 9, cet 1 (Libanon: Daarul Kutubil Ilmiyah, tt 1994), hlm. 219

[42] Al Fiqihu Islami Waadillatuhu, Wahbah Zuhaili, jilid 9,cet 1 (Damaskus: Daarul Fikr, 1997), hlm.7264

[43] Ibid.

[44] Ibid, hlm. 7265