Rabu, 23 Desember 2015

BAGAI KARANG DI TEPI LAUT



Begitulah kiranya gambaran wanita yang satu ini. Ketegaran, ketabahan, ketaatan serta tak mengenal putus asanya,tidak salah jikalau diibaratkankarang di tepi laut, yang tak goyah walaupun dihempaskan oleh ombak yang mengamuk.Beliau adalah Hajar, istri dari Nabi Ibrahim ‘Alaihi salam. Beliau merupakan putri dari bangsa Qibti (bangsawan mesir), yang merupakan mantan budak dari Sarah, istri pertama Nabi Ibrahim.
Dikarenakan Sarah belum memiliki anak, maka Sarah memberikan Hajar kepada Nabi Ibrahim ‘Alaihi salam untuk dijadikan istri. Dari pernikahan keduanya lahirlah seorang anak yang juga menjadi seorang nabi, yaitu Nabi Ismail ‘Alaihi salam. Ketika Nabi Ibrahim ‘Alaihi salam dalam perasaan bahagia bersama Ismail kecil, Allah Ta’ala menurukan perintah agar Nabi Ibrahim ‘Alaihi salam membawa Hajar dan Ismail kecil ke sebuah padang tandus yang sekarang dikenal dengan kota Mekkah.
Wahai saudari seiman...
Apa yang ada dalam benak kalian tentang perasaan Nabi Ibrahim ‘Alaihi salam ketika mendapatkan perintah itu??? Sungguh tak dapat digambarkan perasaan beliau kala itu, ketika harus meninggalkan anak dan istrinya sendirian di padang tandus yang tak bertuan. Namun, semua itu harus beliau lakukan demi ketaatannya kepada Allah Ta’ala.
Ketika Nabi Ibrahim ‘Alaihi salam hendak meninggalkan Hajar dan Ismail, Hajar mengikutinya dan bertanya barkali-kali, “Wahai Ibrahim hendak kemanakah engkau, apakah kau akan meninggalkan kami di lembah yang tandustak berpenghuni?”. Namun Nabi Ibrahim ‘Alaihi salam hanya diam seribu bahasa. Sampai ketika Hajar bertanya, “Apakah ini perintah Allah Ta’ala”, Nabi Ibrahim ‘Alaihi salam menjawab, “ya...”. Seketika itu Hajar berhenti mengikuti Nabi Ibrahim ‘Alaihi salam.
Di sinilah ketabahanan dan kesabaran Hajar diuji dengan ujian yang sangat berat. Ketika perbekalan habis dan Ismail menangis karena kehausan yang sangat, beliau lari dari bukit Safa ke bukit Marwa untuk mencari bantuan. Namun tak membuahkan hasil sedikitpun, dan pada putaranketujuh beliau kembali kepada Ismail. Betapa terkejutnya beliau ketika mendapati air berada di dekat kaki Ismail, dengan segera beliau berkata, “Zam-zam, zam-zam (kumpullah, kumpullah)” dan membuat kolam untuk menampungnya.
Dengan limpahan karunia Allah Ta’ala berupa air kepadanya, banyak manusia yang singgah dan memanfaatkan air tersebut sampai sekarang. Dan peristiwa larinya Hajar dari bukit Safa ke bukit Marwa Allahabadikan menjadi satu rukun dari rukun-rukun haji dan umrah, yaitu sa’i. Semoga Allah Ta’ala merahmati ibunda Hajar yang telah mempersembahkaan sejarah emas untuk dijadikan keteladanan bagi umat setelahnya.     


WAKTU BUKAN SANG PENENTU



وَقَالُوْا مَا هِيَ إِلاَّ حَيَاتُنَا الدُّنْياَ نَمُوْتُ وَ نَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلاَّ الدَّهْرُ ومَا لَهُمْ بِذلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلاَّ يَظُنُّوْن

“Dan mereka berkata, “kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” Tetapi mereka tidak mempunyai ilmu tentang itu, mereka hanyalah menduga-duga saja.” (QS.Al-Jatsiyah: 24)

Pada edisi kali ini kami akan mengulas ayat di atas yang berkenaan dengan waktu, sebagai bahan renungan kita bersama. Allah Ta’ala telah menjelaskan bahwasannya orang musyrikin Arab mengingkari adanya hari kebangkitan setelah datangnya kematian. Begitu juga yang diyakini orang atheis, bahwasanya tidak ada kehidupan kecuali hanya kehidupan di dunia saja. Mereka dihidupkan dan dimatikan hanya untuk menikmati dunia saja, dan waktulah yang akan membinasakan mereka, sehingga tidak ada kehidupan selanjutnya. Tidak ada perhitungan amal, dan tidak ada juga balasan amal, semua yang telah dikerjakan manusia akan terhapus begitu saja dengan waktu tersebut, karena menurut mereka orang yang telah mati tidak akan hidup kembali, karena itu mustahil. Mereka itulah orang-orang yang bodoh, orang yang tidak mampu memahami makna dari kehidupan yang sebenarnya.

Kata Ad-dahru diambil dari kata da-ha-ra yang pada mulanya berarti memaksa atau mengalahkan. Waktu disebut ad-dahr karena waktu akan menerjang segala seauatu tanpa pandang bulu. Bila waktu tersebut telah datang, maka tidak ada yang mampu merubah karena semua itu merupakan ketetapan Allah Ta’ala. Kaum ad-Dahriyah adalah kaum yang tidak mempercayai bahwa Allahlah sebagai pengatur semua kejadian, akan tetapi mereka menyandarkan semua kejadian kepada waktu, yang pada dasarnya waktu tersebut adalah ciptaan Allah Ta’ala.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Sallam bersabda: “Allah Ta’ala berfirman: “Manusia telah menyakitiKu dengan mengatakan “wahai waktu yang sial”. Maka janganlah salah seorang diantara kalian mengatakanwaktu yang sialkarena Akulah pencipta dan pengatur waktu. Aku mengganti malam menjadi siang, dan jika Aku menghendakinya niscaya Aku genggam keduanya.” (HR. Muslim)

Dahulu orang-orang Arab pada masa jahiliyah apabila dipitimpa paceklik atau malapetaka, mereka selalu mengatakan “Celakalah hari ini”. Mereka menyandarkan kejadian tersebut kepada waktu dan mencaci-makinya. Padahal, secara tidak langsung mereka telah mencaci Allah Ta’ala,  karena Allahlah yang telah menciptakan waktu tersebut secara hakiki. Oleh sebab itu, Nabi Sallallahu ‘Alaihi wasallam melarang mencaci maki waktu.

Ukhti fillah.... sesungguhnya Allah Ta’ala menciptakan jin dan manusia melainkan  hanya untuk beribadah kepada Allah dan kepada-Nyalah kelak kita juga akan kembali. Sesungguhnya kehidupan kita tidaklah hanya di dunia saja, melainkan akan ada kehidupan selanjutnya kelak di akhirat. Allah akan membangkitkan kembali semua makhluk-Nya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah mereka lakukan di dunia. Bukanlah waktu yang menentukan dan membinasakan keadaan, melainkan Allah semata. Karena tidak lain waktu tersebut juga merupakan ciptaan Allah Ta’ala.

Namun, saat orang musyrikin mengatakan bahwasannya tidak ada yang dapat membinasakan kecuali datangnya waktu, tidak lain karena mereka orang yang tidak memahami hakekat kehidupan. Merekalah orang-orang yang telah mencela Allah. Padahal mereka tidak memiliki mengetahui ilmu mengenai masa tersebut.

Allah Ta’ala menyayangkan sikap kaum musyrikin yang tidak didasarkan pada pengetahuan yang benar. Allah menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang hal yang menyangkut waktu itu. Pendapat mereka itu hanyalah didasarkan pada sangkaan dan dugaan saja.

Ukhti fillah... ketahuilah! Bahwa Allah Ta’ala adalah Rabb semesta alam, Allah Ta’ala yang menciptakan, menghidupkan, dan mematikan. Allah Ta’ala  yang mengatur segala urusan para hamba-Nya, mengatur rizki seorang hamba, begitu juga Allah Ta’ala telah menciptakan masa. Jika Allah Ta’ala menghendaki, maka tidak sulit bagi-Nya hanya seperti sekedar membalikkan tangan dengan mengatakan “kun fayakun” maka semua yang Allah Ta’ala inginkan terjadi maka akan terjadi.

Ukhti fillah.... janganlah kita berangan-angan bahwa kehidupan hanya di dunia saja, namun kita harus mengingat bahwa kita pun hidup di akhirat juga setelah adanya kematian. Waktu itu bisa datang kapan saja dan dimana saja, dan kita tidak akan tahu kapankah waktu itu datang, jika Allah Ta’ala menghendaki waktu itu tiba, tidak ada satupun yang dapat merubahnya. Dan bukan waktu yang menentukan keadaan kita. Maka sungguh celakalah orang yang mencela waktu. Semoga Allah tidak menjadikan kita termasuk golongan orang yang mencela waktu. Wallahu A’lam bish Showab.

Referensi:

Tafsir Thobari, ibnu Jarir At-Thobari, 9/7381

Tafsir Qur’an Al-‘Adzim, Ibnu Katsir, 7/ 206

Al-Qur’an dan Tafsirnya Kemenrtian Agama, 9/227