Senin, 31 Agustus 2015

BERTAQLID SESUAI DENAGN SYARI’AT


Pada masa Rasulullah semua permasalahan yang muncul tuntas ditangan beliau, semua permasalahan baru yang muncul dan tidak tercantum didalam Al-Qur’an para sahabat langsung bertanya kepada Rasulullah, dan beliau langsung menjawab. Maka begitulah seharusnya mukallaf beramal, harus sesuai dengan apa yang telah Alloh dan rasulNya sebutkan.

Namun ada juga seseorang yang beramal hanya dengan bertaqlid kepada orang lain karena alasan yang memang belum mampu mencari tentang dalil terhadap sebuah masalah, karena sedikitnya wawasan tentang agama atau karena tidak adanya sarana untuk mengetahui dalil yang benar, padahal sebagian ulama’ tidak memperbolehkan taqlid. Sehingga sebagian orang juga menyalahkan orang yang bertaqlid, walaupun sebaian ulama’ juga ada yang membolehkan untuk bertaqlid. Akan tetapi taqlid memang diperbolehkan jika memang tidak keluar dari apa yang telah disyari’atkan.

Mengenai makna taqlid para ulama memberi pengertian yang berbeda. Syaikh Abu Hamid menagatakan taqlid adalah menerima sebuah perkataan tanpa disertai dalil yang mendukung atas perkataan tersebut.[1] Menurut Dr. Wahbah Zuhaili dalam bukunya Ushul fiqhil islami taqlid adalah mengambil sebuah perkataan orang lain, tanpa mengetahui dalilnya, maksudnya seperti mengikuti orang lain lain dalam perbuatan ataupun perkataan. Seperti dalam masalah mengusap hanya sebagian kepala (ketika wudhu) yaitu mengikuti Syafi’i, ataupun meninggalkan membaca al-fatihah bagi makmum sholat karena mengambil perkataan Abi Hanifah, dan lainnya.[2]

Sedangkan menurut fuqaha taqlid adalah menerima sebuah perkataan tanpa disertai dalil, dan yang dimaksud taqlid disini bukan terhadap perkataan dari rasulullah ataupun ijma’, karena perkataan rasululah serta ijma’ itu sendiri merupakan dalil.[3]

Namun Para ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum bertaqlid, ada sebagian ulama’ yang mencela taqlid, seperti Ibnu Hazm, Ibnul Qayyim, Al-Muzaniy, dan ulama lain.[4] Tetapi sebagian ulama’ membolehkan taqlid kepada rasulullah, ulama’ atau mujtahid dengan menggunakan dalil:


فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (Qs. An Nahl:43)

Sedangkan dalil dari sunnah:

فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهدين عضوا عليها بالنواجذ

Karena itu berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang lurus (mendapat petunjuk) dan gigitlah dengan gigi geraham kalian.[5]     

Sedangkan ulama yang membolehkan bertaqlid mengatakan bahwa semua umat pada masa sahabat dan tabi’in mengikuti hukum syar’i sesuai dengan yang telah difatwakan para fuqaha’, dan para ulama mereka lebih dahulu menjawab tentang sebuah permasalahan dan tidak ada yang mengingkarinya, sehingga mereka sepakat untuk mengikuti ulama mereka.[6]

Namun dari beberapa ulama yang melarang bertaqlid mengatakan tidak semua taqlid sesuai dengan yang telah disyari’atkan, diantaranya taqlid yang mengandung penentangan terhadap apa-apa yang telah dituntunkan oleh Alloh, ataupun memalingkan dari perintah Alloh, seperti taqlid kepada nenek moyang, atau kepada pemerintah.[7] Maka taqlid in merupakan taqlid yang tercela, karena Alloh sendiri telah melarang hal ini dalam Al-Qur’an:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْاْ إِلَى مَا أَنزَلَ اللّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُواْ حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ

Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk ?.(QS. Al-Maidah: 104)

Maka dari taqlid diatas ada sebagan ulama’ tidak membolehkan taqlid, bahkan ada yang mencelanya, karena aplikasi taqlid yang salah.

Taqlid yang disyari’atkan

Pada dasarnya taqlid dan ijtihad itu sama, yaitu tidak dibutuhkan, karena semua permasalahan sudah terdapat dalam nash, baik Al-Qur’an ataupun As-sunnah, kecuali memang dzarurat atau ada udzur, karena jauhnya zaman dengan masa turunnya nash, dan semakin berkembangnya zaman sehingga semakin banyak masalah baru yang tidak tercantum dalam nash.[8]Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwasanya Alloh telah mencela taqlid, tapi maksud taqlid tersebut adalah taqlid terhadap nenek moyang atau taqlid kepada orang yang sama-sama tidak mengetahui sebuah dalil, dan jumhur ulama juga telah bersepakat mencela taqlid tersebut.

Alloh juga telah memerintahkan hambaNya nntuk bertanya kepada orang yang lebih ahli apabila seseorang tidak mengetahui terhadap sesuatu. Maka apabila taqlid dengan tujuan untuk mengikuti apa yang telah diperintahkan Alloh dengan bertaqlid kepada orang yang ‘alim maka diperbolehkan, dan tidak berdosa.[9]Tetapi apabila dengan bertaqlid yang menjadikan seseorang menjadi berpaling terhadap apa yang telah diperintahkan oleh Alloh maka taqlidnya menjadi batal. Karena Alloh memerintahkan seorang hamba untuk mengikuti syari’at yang telah dirunkan sesuai dengan dalil-dalil yang telah ada. 

Dan seseorang boleh mengikuti perkataan orang lain sebagai dalil dan jika dalil yang dipakai memang benar dan bisa diterima maka tidak perlu dalil yang lain, namun bila seseorang yang mengikuti orang lain tanpa mengetahui dalil, dan ternyata perbuatan yang mengikuti orang lain tersebut benar, atau sesuai syari’at maka ini dinamakan taqlid majazi.[10]

Arrouyani dalam Bahrul Muhith menyebutkan bahwasannya taqlid diperbolehkan terdahadap empat hal:

1.      Terhadap rasulullah, yang sudah jelas behwa mengambil perkataannya merupakan taqlid, dan inilah yang dibenarkan, karena hal ini sudah merupakan dalil yang dibenarkan.

2.      Taqlid terhadap apa yang dikabarkan rasulullah.

3.      Ulama yang telah bersepakat terhadap sebuah hukum, maka bertaqlid kepada mereka merupakan wajib.

4.      Taqlid terhadap para sahabat.[11]

Taqlid yang memang disyari’atkan adalah taqlid terhadap rasulullah. Karena bertaqid kepada selain rasulullah bisa jadi salah dan tetapi bisa juga benar, karena yang ma’shum hanya rasulullah, maka bertaqlid kepada rasulullah sudah tentu benar. Seperti yang dikatakan Imam Syafi’i: Tidaklah seseoang itu bertaqlid kecuali hanya kepada rasulullah, kerena itulah taqlid yang telah ditetapkan.[12]

Adbul Haq Ad-Dahlawi dalam kitab Syarh shirathal mutaqim mengatakan: Sesungguhnya imam yang diikuti hanyalah imam yang benar yaitu rasulullah, sedangkan mengikuti selain beliau adalah tidak masuk akal, karena hal ini juga sebagailmana yang dilakukan oleh para salafush shaleh.[13] Semoga kita tidak termasuk golongan orang yang salah dalam bertaqlid. Wallahu a’lam bish shawab.


[1] Muhammad bin Ali As Syaukani, Irsyadul fuhur ila tahqiqil haqi min ‘ilmil ushul (Riyadh: Daarul Fadilah, cet-1, 2000), hal: 1082

[2] Wahbah Zuhaili, Ushul fiqihil islami (Damaskus: Darul Fikr, cet-1, juz-1, 1986), hal: 1120

[3] Abdul Aziz bin Abdurrahman As Said, Ibnu qudamah wa atsarahul ushuliyah (Riyadh: Maktabah Arabiayh As Su’udiyah, jilid-2, cet-4, 1987), hal: 382

[4] Wahbah Zuhaili, Ushul fiqihil islami (Damaskus: Darul Fikr, cet-1, juz-1, 1986), hal: 1130.

[5] HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah,Ad-Darimi.

[6] Yahya Muhammad, Al ijtihad wat taqlid wal ittiba’ wan nadzor (Beirut: Al Muassasah Al intisyaril ‘Arabi, cet-1, 2000), hal: 101

[7] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, I’lamul muwaqi’in ‘an robbil ‘alamin (Riyadh: Daarul Ibnul Jauzi, jilid-3, cet-1, 1423), hal:448

[8] Yahya Muhammad, Al ijtihad wat taqlid wal ittiba’ wan nadzor (Beirut: Al Muassasah Al intisyaril ‘Arabi, cet-1, 2000), hal: 10

[9]Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, I’lamul muwaqi’in ‘an robbil ‘alamin (Riyadh: Daarul Ibnul Jauzi, jilid-3, cet-1, 1423), hal:448

[10] Taqlid yang hanya dikiaskan. Az-Zarkasyi, Bahrul muhith fi ushulil fiqh (Kairo: Daarul Shofwah, juz-6, cet-2, 1992), hal: 274

[11] Az-Zarkasyi, Bahrul muhith fi ushulil fiqh (Kairo: Daarul Shofwah, juz-6, cet-2, 1992), hal: 276

[12] Az-Zarkasyi, Bahrul muhith fi ushulil fiqh (Kairo: Daarul Shofwah, juz-6, cet-2, 1992), hal: 274

[13] Muhammad Shulthan Al-Ma’shumi Al-Khajandi Al-Makiyi, Hal limuslim mulazamun bi ittiba’i madzhab mu’ayyan minal madzhabil ‘arba’ah (Jami’ah ihyaut turatsil islamiy), hal: 16

URGENSI NIAT DALAM SEBUAH AMAL


Setiap mukallaf sudah barang tentu terbebani dengan kewajiban-kewajiban yang telah Alloh atur dengan sedemikian rupa. Selain Alloh memberi pahala disetiap kewajiban yang dilakukan seorang mukallaf, Alloh juga menilai dari apa yang diniatkan seorang mukallaf tersebut. Maka amalan yang dilakukan seorang mukallaf tidak akan terlepas dari sebuah niat, karena niat merupakan pondasi utama yang membangun sebuah amalan tersebut. Karena bisa jadi sebuah amalan wajib tidak mengandung pahala apapun kerena tidak adanya niat yang benar. Jika niat lurus dalam beramal maka akan lurus juga amalan tersebuat dan begitu sebaliknya, bila niatnya buruk amalan akan mengikutinya. Niat adalah sebuah amalan yang dilakukan setiap sebelum melakukan setiap amal perbuatan, baik itu yang berupa ibadah ataupun muamalah. Karena dengan niat itulah sebuah amalan menjadi bernilai, dan berbuah pahala.

Niat secara bahasa berasal dari kata nawa yanwi nawan niyatan, yang artinya maksud atau tujuan terhadap sesuatu. Sedangkan secara istilah niat mengandung dua makna, yaitu secara umum dan khusus. Secara umum niat adalah kecondongan hati untuk melakukan sesuatu yang diinginkan, baik untuk mendatangkan sebuah maslahat atau mencegah madharat. Sedangkan secara khusus niat adalah melakukan sesuatu dengan tujuan melakukan ketaatan dan taqarub kepada Alloh, dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. (Al wajiz fi idzahi qawaidil fiqhil kulliyah, Muhammad Shidqiy 48).

Al Mawardi juga memberikan pengertian bahwa niat adalah keinginan untuk melakukan sesuatu, dan diiringi dengan perbuatan yang dimaksudkan tersebut.(Kitabul qawaid, Taqiyuddin Al Hishni,  1/208).

Ibnu Qayyim menjelaskan niat adalah pokok dan tiangnya suatu perkara, asas dan akar yang membangun sebuah perkara, karena niat adalah ruh, panglima, pengemudi sebuah amalan, dan setiap amalan pasti akan mengikutinya, yang terbangun diatasnya, dan akan benar bila niatnya juga benar, salah jika niatnya salah. Dengan niat juga dapat mendatangkan taufiq, dan tanpanya manusia bisa tersesat, dengannya juga yang membedakan derajat seorang hamba didunia maupun diakhirat. (Qawaid fiqhiyah min a’lamin muwaqi’in, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, hal:220).

Berkenaan dengan pentingnya niat dalam sebuah amalan telah disebutkan dalam hadist rasulullah yang diriwayatkan dari Umar bin Khatab, bahwasanya beliau pernah mendengar rasulullah saw bersabda:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.

 Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.(HR Bukhari no:1)

Dari hadits ini, maka terbangunlah qaidah kubara yang menunjukkan pentingnya niat dalam setiap beramal, yaitu al umuuru bi maqasidiha “setiap perkara yang dilakukan seorang mukallaf itu tergantung dari apa yang diniatkan”. Maka yang dinilai dari sebuah amalan adalah dari niat yang mengiringi amalan tersebut.

Niat tidak hanya disertakan pada amalan yang derupa ibadah, tetapi niat masuk juga pada semua perkara yang mubah, seperti makan, minum, jual beli, dan perkara mubah lainnya. Semua amalan tersebut bisa bernilai ibadah jika disertai dengan niat ibadah, dan menjadi amalan biasa yang tidak mengandung pahala apabila tidak ada niat ibadah yang mengiringinya.

Niat menjadi pembeda setiap amalan

            Niat merupakan pondasi sebuah amalan, maka hasil dari amalan tersebuat akan tergantung dari pondasi yang membangunnya. Begitu juga niat menjadi tolak ukur setiap amalan yang dilakukan seoramg mukallaf. Sebuah amalan mubah menjadi bernilai pahala apabila disertakan niat ibadah didalamnya, sama halnya dengan amalan mubah yang dilakukan tanpa disertai niat ibadah tidak ada nilai lebih kecuali hanya hasil dari amalan tersebut.

Contoh seperti seseorang yang makan dengan disertai niat ibadah maka aktifitas makannya bernilai pahala, selain orang itu mendapatkan rasa kenyang dari apa yang dimakan tersebut. Berbeda halnya dengan seseorang yang makan tanpa disertai niat ibadah, maka tidak ada yang dia dapatkan kecuali hanya rasa kenyang.

Maka dapat diambil kesimpulan bahwa setiap amalan yang sifatnya mubah apabila diniatkan untuk sebuah ibadah, atau taqarub maka amalan itu akan bernilai pahala, seperti makan, tidur, mencari nafkah, begitu juga memberi nafkah batin kepada istri diniatkan untuk menghidupkan sunnah, atau berniat untuk menghasilkan keturunan yang baik, dan amalan mubah lainnya. (Asybah wan nadhair fi qawaid wa furu’ fiqih Syafi’i, Imam Suyuti, 10).

Niat juga sebagai pembeda antara satu ibadah dengan ibadah yang lain, maka hanya niat yang dapat membedakan antara beberapa amal ibadah yang memiliki kesamaan. Seperti seorang yang sedang sholat dua rakaat dimasjid ketika waktu fajar, maka orang lain yang melihat tidak akan tahu sholat apa yang dilakukan seorang mukallaf tersebut, apakah sholat fajr, sholat tahiyatul masjid ataupun sholat subuh. Secara dzohir semua ibadah ini sama, yaitu dua rakaat, maka hanya niat yang bisa membedakan antara satu ibadah dengan lainnya. Dengan begitu Alloh juga memberi pahala yang berbeda dari setiap amalan yang dilakukan seorang mukallaf tersebut.

Ibnul Qayyim mengatakan: niat sangatlah mempengaruhi sah atau tidaknya ibadah, maka niat sangat butuh untuk ditunaikan, karena semua bentuk ibadah terbagun atas niatnya, dan sebuah amalan yang berupa ibadah tidak bernilai kecuali dengan niat dan tujuan. (Qawaid fiqhiyah min i’lamil muwaqi’in, Ibnul Qayyim Al Jauziyah, 225).

Apakah niat harus dilafadzkan?

            Niat merupakan salah satu ibadah yang disyari’atkan, dilakukan sebelum memulai sebuah amalan, baik ibadah ataupun yang lainnya. Ulama Syafi’iyah berpendapat behwasanya melafadzkan niat hukumnya adalah sunnah, karena pada dasarnya niat terletak didalam hati, dan tidak tergantung dengan lisan. Maka fungsi melafadzkan niat disini adalah agar lisan dapat membantu hati dalam menghadirkan niat, menghindari perasaan was-was saat melakukan amalan tersebut.

            Keluar dari permaslahan ini dimana antara niat dan amalan tidak sejalan, seperti seorang suami yang mengatakan suatu kalimat yang menyebabkan seorang istri beranggapan bahwa suminya mentalak dia, padahal tidak ada niat dari seorang suami untuk menalak sang istri. Contoh seorang suami mengatakan kepada istrinya pulanglah kerumah orang tuamu dan seorang istri memahami bahwa suaminya mentalak dia.

Maka Ibnul Qayyim menjelaskan: lafazd yang secara jelas terucap harus diiringi dengan niat yang sejalan, begitu juga lafadz yang diucapkan tidak jelas atau kurang memahamkan maka juga membutuhkan niat. (Qawaid fiqhiyah min i’lamil muwaqi’in, Ibnul Qayyim Al Jauziyah, 229).

Dari sini dapat difahami bahwasanya setiap amalan membutuhkan niat sejalan yang mengiringinya. Apabila sebuah amalan yang dilakukan ataupun diucapkan seorang mukallaf berbeda dengan apa yang diniatkan maka yang diakui tetap apa yang diniatkan. Walaupun terkadang berbedaan antara niat dengan apa yang dilakukan mempengaruhi berbedaan dalam menentukan hukum. Wallahu a’lam bish shawab.




           








Senin, 10 Agustus 2015

SEPUTAR ILMU USHUL TAFSIR





PENDAHULUAN


1.        Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah sumber utama bagi umat islam, namun kemampuan setiap orang berbeda dalam memahami makna Al-Qur’an it sendiri. Ada sebagian orang yang memahami Al-Qur’an sesuai dengan konteks kalimat tersebut, ada pula yang memahami Al-Qur’an dengan memahami dan menyimpulkan ayat dengan nalar mereka sendiri. Dari berbagai perbedaan pemahaman inilah maka Al-Qur’an mendapat terhatian khusus bagi umat islam itu sendiri. Sehingga muncullah ilmu seputar Al-Qur’an salah satunya ilmu tafsir. Ilmu ushul tefsir sangat penting sebagai permulaan dalam memahami Al-Qur’an, karena didalamnya terdapat penjelasan tentang pokok dan landasan sehingga memudahkan untuk memahaminya. Selain itu juga dapat menjadi sandaran dalam memahami tefsirnya.

2.        Definisi Ushul Tafsir

Secara bahasa ushuul memiliki banyak makna, diantaranya ushuul merupakan bentuk jamak dari ahslun yang artinya dasar dari sesuatu, dan darinya terbentu sesuatu yang lain, atau unsurnya, seperti anak terbentuk dari unsur orang tua, ataupun pohon yang memiliki unsur batang.[1]

Sedangkan secara istilah ushul memiliki empat makna, yaitu:

1.      Yang kuat

2.      Sesuatu yang terisi olehnya

3.      Qaidah yang bersambung

4.      Dalil[2]

Sedangkan tafsir secara bahasa memiliki arti menjelaskan dan menerangkan yang diambil dari kata fasara. Dalam lisanul arab dinyatakan kata al-fasr berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan kata at-tafsir menyingkap maksud suatu lafadz yang musykil. Dalam Al-Qur’an dinyatakan وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيراً[3] (tidaklah mereka datang kepadamu sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar)[4].

Sedangkan tafsir secara istilah juga memiliki banak makna, menurut beberapa ulama’ bukan merupakan ilmu yang dibebani terhadap sesorang, karena tafsir tidak memiliki qaidah tertentu seperti yang lain, namun tafsir itu dicukupkan dalam kemampuan penjelasan mengenai kalamullah, ataupun penjelasan ayat, dan memahaminya. Dan menurut ulama’ yang lain tafsir mencakup sebagian masalah, dan juga mencakup qaidah-qaidah umum yang bisa berkembang, maka dibutuhkan dalam ilmu lain dalam tafsir seperti ilmu bahasa yang mencakup Nahwu, Sorof, dan juga ilmu Qira’at[5].

Ada ulama lain berpendapat tafsir adalah ilmu yang mempelajari tentang turunnya ayat, perihalnya, kisah-kisah didalamya, sebab-sebab turunya ayat, penertiban surat yang turun di Makkah ataupun Madinah, muhkam mutasyabih[6], nasikh mansukh[7], khusus umum, mutlaq muqayyad[8], mujmal mufassir[9], halal haram, perintah larangan, janji maupun ancaman dan lain sebagainya yang terkandung dalan sebuah ayat dalam Al-Qur’an[10].

Sedangkan menurut Az-Zarkasy tafsir adalah ilmu untuk memahami katabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, menjelaskan makna-maknanya, serta meneluarkan hukum dan hikmahnya[11].

Maka dapat difahami bahwasanya ushul tafsir merupakan ilmu yang mempelajari pokok, atupun unsur dalam memahani penjelasan dalam Al-Qur’an. Para ulama berselisih pendapat antara perbedaan ushul tafsir dan ulumul qur’an[12],  sebagian mufasir mengatakan adapun ushul tafsir merupakan istilah lain dari ulumul qur’an, jadi sebagian pengamat Al-Qur’an ada yang menggunakan kata ulumul qur’an maupun ushul tafsir, karena pada dasarnya ushul tafsir maupun ulumul qur’an memiliki tujuan yang sama yaitu membahas tentang penjelasan yang terdapat didalam Al-Qur’an[13]. Namun ulama lain berpendapat bahwasanya ushul tafsir dengan ulumul qur’an berbeda karena tafsir merupakan salah satu bagian dari ulumul qur’an, dan ushul tafsir merupakan bagian dari tafsir, maka ushul tafsir lebih khusus dari pada tafsir, dan didalam ushul tafsir sering kali membahas tentang sebuah qaidah yang terdiri dari beberapa contoh diatasnya, dan dengan ushul tafsir seseorang akan dapat lebih mudah dalam memahami tafsir[14]. Maka sebagian mufasir ada yang menyamakan antara ushul tafsir dan ulumul qur’an, dan ada pula yang lebih mengkhususkan.

3.        Tujuan Mempelajari Ushul Fafsir

Adapun tujuan dalam mempelajari ilmu ushul tafsir antara lain:

1.      Agar dapat memahami kalam Alloh  sesuai dengan keterangan yang diambil oleh para sahabat dan para thabi’in tentang pemahaman terhadap Al-Qur’an.

2.      Agar menetahui cara dan gaya yang digunakan oleh para mufasir[15] dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan disertai penjelasan tentang tokoh-tokoh mufasir yang ternama serta kelebihan-kelebihannya.

3.      Agar mengetahui persyaratan-persyaratan dalam menafsirkan Al-Qur’an.

4.      Mengetahui ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan dalam menafsirkan Al-Qur’an.

5.      Dapat mengetahui makna, serta hukumdan hikmah yang terkandung dalam Al-Qur’an.

6.      Dapat mengetahui hakikat Al-Qur’an yang sesunggunya[16].


4.        Manfaat Mempelajari Ushul Fafsir

Manfaat dari mempelajari ushul tafsir adalah untuk memberi kemampuan pada umat untuk mengeluarkan hukum yang ada dalam Al-Qur’an beserta hikmahnya, juga dapat mengetahui tingkatan hujjah maupun dail yang digunakan, serta mengetahui apakah dalil tersebut secara benar dengan penelitian yang cermat.





5.        Bidang Ushul Tafsir

Secara umum Fadh Ar-Rumi menyebutkan bahwa pembahasan ilmu tafsir meliputi kaidah, pokok, syarat, adab, dan metode tafsir, dan Musa’id bin Sulaiman bin Nashir Ath- Thoyari menyebutkan rincian tema-tema ushul tafsir yang menurutnya paling penting dalam bidang ini, antara lain:

1.      Hukum dan pembagian tafsir.

2.      Metode tafsir.

3.      Tafsir bir ra’yi[17] dan tafsir bil ma’tsu[18]r.

4.      Pokok-pokok tentang tafsir.

5.      Cara para orang terdahulu dalam tafsir.

6.      Sebab-sebab perselisihan dalam tafsir.

7.      Macam-macam perselisihan dalam tafsir.

8.      Ijma[19] dan tafsir.

9.      Taujih perkataan para salaf.

10.  Taujih Qira’at.

11.  Gaya bahasa dalam tafsir.

12.  Kuliyah Al-Qur’an.

13.  Qaidah umum dalam tafsir.

14.  Qaidah rajih dalam tafsir.

6.        Keutamaan Ilmu Ushul Tafsir

Sesungguhnya hal yang paling berhak diperhatikan adalah ilmu yang diridhoi Alloh, ilmu yang dapat mengantarkan pemiliknya paa jalan yang benar, dan tanpa kebimbangan didalamnya, yaitu ilmu yang mempelajari tentang Al-Qur’an, kalamullah yang sangat mulia. Setiap pembacanya akan mendapat pahala yang berlipat. Maka tidak dibenarkan apabila menafsirkan sesuai dengan hawa nafsu, ataupun lisan manusia yang tidak bertanggung jawab. Maka dengan kemuliaan Al-Qur’an inilah yang dapat menebar keutamaan kepada siapapun yang bersandar padanya, dan berjuan sesuai dengan tuntunanya. Maka sudah sangat jelas bagi siaapun yang mempelajari ilmu tentang kalamullah, dan mampu berjalan lurus sesuai dengannya dia akan mendapat kemuliaan ilmu, dari yang telah dia pelajari dari kalamullah tersebut.




PEMBAHASAN


1.        Perkembangan Ilmu Ushul Tafsir

Seiring berjalanya waktu ushul tafsir juga semakin berkembang. Ketika pada masa sahabat tidak banyak lafadz musykil yang mereka dapati, karena Al-Qur’an turun dengan bahasa mereka yaitu bahasa arab. Setelah bergantinya periode pada masa thabi’in perkembangan ushul tafsir juga semakin pesat karena banyaknya orang-orang asing yang mulai masuk islam, dan mereka belum menguasai bahasa arab, sehinnga membtuhkan tafsir ayat yang semakin banyak, dan seterusnya  beriringsemakin meluasnya agama islam.

Maka denga adanya perbedaan keadaan dalam memahami usahul tafsir, maka perkembangan tafsir juga berpengaruh, maka perkembanganya akan dibedakan menurut periodenya.

a.       Tafsir pada Masa Rasulullah

Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa asal rasulullah, yaitu bahasa arab. Maka rasulullah pun menjelaskan langsung tentang ayat-ayat yang masih musykil untuk dipahami. Seperti contoh dalam hadits yang diriwayatkan Muslim bin Uqbah bin ‘Amir Al-Juhani berkata: “Saya mendengar rasulullah berkhutbah diatas mimbar membaca firman Alloh: siapkan kekuatan segenap kemampun untuk menghadapi musuhmu, kemudian beliau bersabda: Ketahuilah bahwa kekuatan itu ada pada memanah”[20].

b.      Tafsir pada Masa Sahabat

Sahabat adalah generasi terbaik dan yang diridhoi, yang bertemu langsung dengan rasulullah, dan menyaksikan semua kejadian yang melatarbelakangi turunnya ayat dalam Al-Qur’an. Mereka mempunya pengetahuan yang luas, dan sangat dalam, termasuk dalam penguasaan bahasa.

Pada masa ini penafsiran Al-Qur’an ada tiga macam cara, antara lain:

1.      Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Cara penafsiranya yaitu apabila ada ayat yang masih mujmal, ayat yang masih umum, atau lafadz yang masih umum.

2.      Tafsir Al-Qur’an dengan sunnah rasul. Cara penafsiranya antara lain: menafsirkan lafadz yang umum lalu dikhususkan, makna yang masih umum lalu dijelaskan, dan juga menjelaskan ayat-ayat yang masih musykil namun tidak dijelaskan dalam ayat yang lain, ataupun sebagai penguat ayat.

3.      Tafsir Al-Qur’an dengan kemampuan mereka dalam berijtihad[21]. Maka sahabat yang bisa menafsirkan ayat juga haus memiliki syarat, antara lain:

1.      Menguasai ilmu bahasa arab.

2.      Mengetahui adat orang arab.

3.      Mengetahui kondisi yahudi dan nasrani disekatar arab.

4.      Mampu memahami Al-Qur’an dan mampu bernalar.

5.      Tafsir Al-Qur’an dengan cerita israiliyat[22].

Contoh mufasir pada masa ini adalah Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, dan Abu Musa Al-Asy’ari. Dan yang paling banyak menafsirkan adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Abbas[23].

c.       Tafsir pada Masa Thabi’in

Tabi’in merupakan generasa setelah sahabat. Mereka merupakan murid para sahabat yang bertemu langsung dengan para sahabat nabi, dan mengambil ilmu Al-Qur’an dan assunah dari mereka. Pada masa ini persebaran islam semakin meluas, banyak para ajam[24] yang masuk islam, sedangkan kemampun bahasa mereka masih rendah, maka pada masa ini ayat yang harus ditafsirkan semakin banyak, karena belum menguaai bahasa arab. Metode penafsiran pada masa ini adalah:

1.      Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Sebagaimana metode penafsiran yang dilakukan pada masa sahabat.

2.      Tafsir Al-Qur’an dengan Sunnah. Sebagaiman metode penafsiran yang dilakukan pada masa sahabat.

3.      Tafsir Al-Qur’an dengan perkataan para sahabat. Jika tidak mendapatkan tafsir sebuah ayat dalam ayat lain maupun dalam suunah, maka para thabi’in mengambil perkataan ahabat sebagai penafsiran, seperti Mujahid yang belajar kepada Ibnu Abbas.

4.      Pemahaman dan ijtihad. Jika para thabi’in tidak menemukan tefsirnya dalam Al-Qur’an, sunnah, maupun dalam perkataan para sahabat, maka pata thabi’in yang sudah memenuhi syarai berijtihad dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Diantara mufasir pada masa ini adalah Mujahid, Said bin Zubair, Atho’ bin Abi Ribah, Ikrimah, Zaid bin Aslam, Abul Aliyah, Muhammad bin Kaab, Masruq, Qatadah, Hasan Bashri, Murrah Al-Hamdani, dan Dhohak[25].

d.      Masa Pembukun Tafsir

Denagan munculnya berbagai macam tafsir, maka para mufasir berinisiatif untuk membukukan tafsir, supaya tidak hilang dan juga tercampur denha ilmu yang lain. Ada empat periode dalam pembukuan tafsir:

1.      Periode pertama, mereka mengumpulkan tafsir sebagaimana dalam penyusunan hadits, yang didalamnya terdapat tafsir dari rasulullah, sahabat, dan thabi’in.

2.      Periode kedua, penyusunan tafsir sudah disesuiakan dengan ayat dalam Al-Qur’an. Didalamnya hanya terdapat tafsir bil ma’tsur yang sedikit perhatian terhadap kisah israiliyat, serta penyusunan tafsirnya sudah disandarkan pada orang yang meriwayatkanya.

3.      Periode ketiga, banyak para mufasir yang meringkas sanad dalam periwayatan tafsir, mulai tescampurnya antara periwayatan yang sahih[26] dan dhaif [27]serta mulai munculnua tafsir bir ra’yi.

4.      Periode keempat, pada masa ini mulai munculnya madzhab sehingga sebagian mufasir membukukan tafsir yang sesuai dengan madzhabnya.


2.        Jumlah Ayat yang Ditafsirkan oleh Rasulullah.

Para mufasir berselisih dalam menentukan apakah rasulullah menjelaskan semua ayat dalam Al-Qur’an atau hnya sebagiannya saja. Ada dua pendapat dalam hal ini:

1.      Rasulullah mentafsirkan semua ayat dalam Al-Qur’an. Karena para sahabat tidak akan menambah pelajaran tafsir mereka sebelum rasulullah menjelaskan setiap sepuluh ayat dalam Al-Qur’an kemudian para sahabat mengamalkanya, maka sebagian mufasir berpendapat bahwasanya rasulullah menafsirkan semua ayat dalam Al-Qur’an.

2.      Rasulullah tidak mentafsirkan semua ayat dalam Al-Qur’an, seperti ayat yang sudah tidah perlu untuk dijelaskan lagi, contoh dalam ayat [28]حرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ sudah dapat untuk langsung difahami sehingga rasulllah tidak perlu untu kenjelaskan tafsir ayat tersebut, begitu juga rasulullat tidak menjelaskan ayat yang berhubungan dengan hal ghaib, ataupun masalah kiamat, karena hanya Alloh yang menetahui ilmu tentang hal itu.

Namun pendapat yang paling rajih mengatakan bahwasanya rasulullah tidak menafsirkan semua ayat didalam Al-Qur’an, karena tidak semua rasulullah mengetahui tafsirnya seperti mengenai dzat Alloh, maupun hal ghaib lainnya.


3.        Metode dalam Mentafsirkan Al-Qur’an.

Mentafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an

       Ayat-ayat yang global di satu tempat disajikan secara jelas di bagian yang lain. Misalnya  حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ ditafsirkan dengan ayat أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ الأَنْعَامِ إِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ pada ayat [29]

وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُواْ بِالأَزْلاَمِ[30]

Artinya:Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, terpukul, jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas kecuali yang kalian sempat menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu)yang disembelih untuk berhala, dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah.                                                                                                                                      

Mentafsirkan Al-Qur’an denga assunah.                                                                               

Para sahabat merasa sulit untuk melakukan apa yang dikemukakan dalam ayat di atas. Mereka bertanya: ”Siapakah diantara kami yang tidak berbuat dzalim kepada dirinya sendiri?” Nabi SAW menjawab: ”Maksud dari ayat diatas tidaklah seperti yang kalian duga, apakah kalian tidak ingat (mendengar) apa yang dikatakan oleh seorang hamba yang shalih (Luqman hakim) اِنّ الشِركَ لَظُلمٌ عَظِيمٌ[31] yang dimaksud disini adalah syirik.

Mentafsirkan ayat dengan ijtihad.

Kalau kedua sumber penafsiran di atas disepakati diterima oleh semua sahabat, tidak demikian dengan ijtihad. Para sahabat berselisih akan diterimanya tafsir dengan pedoman ijtihad ini. Sebagian dari mereka hanya berpedoman pada riwayat saja.Akan tetapi, sebagian dari mereka selain menggunakan riwayat, juga menggunakan ijtihad.

KESIMPULAN

Penulis berharap dari sedikit ulasan seputar ushul tafsir pembaca dapat mengambil manfaat serta dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang seputar ilmu tafsir dan ushulnya. Demikian juga semoga tulisan ini bisa bisa bermanfaat untuk diri penulis sendiri, karena tidak lain yang penulis hapar hanyalah Ridho Alloh. Wallahu’alam bisa shawwab

DAFTAR PUSTAKA

1.      Al-Qur’anul Karim.

2.      Adz-Dzahabi, Muhammad Husain Adz-Dzahabi, at tafsir wal mufassirun (Qahirah: Maktabah wahabiyah, juz 1, cetakan ke-1, 2000).


3.      Al-Ak, Syaikh Khalid Abdurrahman, ushul tafsir wa qawaiduhu (Beirut: Daarun nafais, cetakan ke-1, 1986).


4.      Ar-Rozy, Fahrudin Muhammad bin Amru bin Al-Husain, al ma’alim fi ilmi ushul fiqh (Qahira: Muassasatul ihram linnasyri wa tauzi’, 1994).


5.      Ath- Thoyari, Musa’id bin Sulaiman bin Nashir, al muharor fi ulumil qur’an (Ma’had Imam Syatibi, cetakan ke-2, 2008).

6.      Az-Zarkasy, al bahrul muhith fiushul fiqh (Ghardaqh: Daarus sofwah, juz 1, cetakan ke-2, 1992).

7.      Syaikh Ibrahim Haqi, Muhammad Shofa, ulumul qur’an min hilali muqadimatit tafaasir (Beirut: Muassasatur risalah, jilid 1, cetakan pertama, 2004).


[1] Az-zarkasy, al bahrul muhith fiushul fiqh (Ghardaqh: Daarus sofwah, juz 1, cetakan ke-2, 1992) hal:15.

[2] Fahrudin Muhammad bin Amru bin Al-Husain Ar-Rozy, al ma’alim fi ilmi ushul fiqh (Qahira: Muassasatul ihram linnasyri wa tauzi’, 1994), hal:9.

[3] QS. Al-Furqon: 33

[4] Muhammad Husain Adz-Dzahabi, at tafsir wal mufassirun (Qahirah: Maktabah wahabiyah, juz 1, cetakan ke-1, 2000) hal: 12.

[5] Muhammad Husain Adz-Dzahabi, at tafsir wal mufassirun (Qahirah: Maktabah wahabiyah, juz 1, cetakan ke-1, 2000) hal: 12

6 Muhkam: ayat yang sudah jelas berisi tentang hukum. Mutasyabih: ayat yang memilikimakna lain yang serupa.

7Nasikh: ayat yang menghapus hukum pada ayat yang lain. Mansukh: ayat yang sudah terhapus hukumnya dengan ayat yang lain.

8Mutlaq: ayat yang penjelasanya masih umum dan belum terikat. Muqayyad: ayat yang sudah terikat dengan penjelasan secara jelas.

9Mujmal: ayat yang masih sangat umum untuk difahami. Mufassir: ayat yang menjelaskan ayat yang lain.

10Muhammad Husain Adz-Dzahabi, at tafsir wal mufassirun (Qahirah: Maktabah wahabiyah, juz 1, cetakan ke-1, 2000) hal: 13.

11Muhammad Husain Adz-Dzahabi, at tafsir wal mufassirun (Qahirah: Maktabah wahabiyah, juz 1, cetakan ke-1, 2000) hal: 13.

12Ilmu tentang mempelajari Al-Qur’an.










[13] Muhammad Shofa Syaikh Ibrahim Haqi, ulumul qur’an min hilali muqadimatit tafaasir (Beirut: Muassasatur risalah, jilid 1, cetakan pertama, 2004), hal: 53-54.

[14] Musa’id bin Sulaiman bin Nashir Ath- Thoyari, al muharor fi ulumil qur’an (Ma’had Imam Syatibi, cetakan ke-2, 2008), hal:53.

[15] Ahli tafsir

[16] Syaikh Khalid Abdurrahman Al-Ak, ushul tafsir wa qawaiduhu (Beirut: Daarun nafais, cetakan ke-1, 1986), hal:31.

[17] Penafsiran ayat dengan nalar.

[18] Penafsiran ayat dengan ayat, sunnah, ataupun dengan perkataan sahabat

[19] Kesepakatan ulama mufasir terhadap sebuah tafsir.

[20] H.R Abu Dawud, no: 2516

[21] Mengungkapkan pendapat.

[22] Cerita yang terjadi sebelum rasulullah diutus.

[23]Az-zarkasy, al bahrul muhith fiushul fiqh (Ghardaqh: Daarus sofwah, juz 1, cetakan ke-2, 1992) hal:17.

24Non Arab


[25] Az-zarkasy, al bahrul muhith fiushul fiqh (Ghardaqh: Daarus sofwah, juz 1, cetakan ke-2, 1992) hal:19-23.

26 Kuat

27 Lemah.

28 Q.S An-Nisa’:23



[29] Q.S Al-Maidah: 1

[30] Q.S Al-Maidah: 3

[31] Q.S Al-Luqman:13.