Senin, 31 Agustus 2015

BERTAQLID SESUAI DENAGN SYARI’AT


Pada masa Rasulullah semua permasalahan yang muncul tuntas ditangan beliau, semua permasalahan baru yang muncul dan tidak tercantum didalam Al-Qur’an para sahabat langsung bertanya kepada Rasulullah, dan beliau langsung menjawab. Maka begitulah seharusnya mukallaf beramal, harus sesuai dengan apa yang telah Alloh dan rasulNya sebutkan.

Namun ada juga seseorang yang beramal hanya dengan bertaqlid kepada orang lain karena alasan yang memang belum mampu mencari tentang dalil terhadap sebuah masalah, karena sedikitnya wawasan tentang agama atau karena tidak adanya sarana untuk mengetahui dalil yang benar, padahal sebagian ulama’ tidak memperbolehkan taqlid. Sehingga sebagian orang juga menyalahkan orang yang bertaqlid, walaupun sebaian ulama’ juga ada yang membolehkan untuk bertaqlid. Akan tetapi taqlid memang diperbolehkan jika memang tidak keluar dari apa yang telah disyari’atkan.

Mengenai makna taqlid para ulama memberi pengertian yang berbeda. Syaikh Abu Hamid menagatakan taqlid adalah menerima sebuah perkataan tanpa disertai dalil yang mendukung atas perkataan tersebut.[1] Menurut Dr. Wahbah Zuhaili dalam bukunya Ushul fiqhil islami taqlid adalah mengambil sebuah perkataan orang lain, tanpa mengetahui dalilnya, maksudnya seperti mengikuti orang lain lain dalam perbuatan ataupun perkataan. Seperti dalam masalah mengusap hanya sebagian kepala (ketika wudhu) yaitu mengikuti Syafi’i, ataupun meninggalkan membaca al-fatihah bagi makmum sholat karena mengambil perkataan Abi Hanifah, dan lainnya.[2]

Sedangkan menurut fuqaha taqlid adalah menerima sebuah perkataan tanpa disertai dalil, dan yang dimaksud taqlid disini bukan terhadap perkataan dari rasulullah ataupun ijma’, karena perkataan rasululah serta ijma’ itu sendiri merupakan dalil.[3]

Namun Para ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum bertaqlid, ada sebagian ulama’ yang mencela taqlid, seperti Ibnu Hazm, Ibnul Qayyim, Al-Muzaniy, dan ulama lain.[4] Tetapi sebagian ulama’ membolehkan taqlid kepada rasulullah, ulama’ atau mujtahid dengan menggunakan dalil:


فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ

Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (Qs. An Nahl:43)

Sedangkan dalil dari sunnah:

فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهدين عضوا عليها بالنواجذ

Karena itu berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang lurus (mendapat petunjuk) dan gigitlah dengan gigi geraham kalian.[5]     

Sedangkan ulama yang membolehkan bertaqlid mengatakan bahwa semua umat pada masa sahabat dan tabi’in mengikuti hukum syar’i sesuai dengan yang telah difatwakan para fuqaha’, dan para ulama mereka lebih dahulu menjawab tentang sebuah permasalahan dan tidak ada yang mengingkarinya, sehingga mereka sepakat untuk mengikuti ulama mereka.[6]

Namun dari beberapa ulama yang melarang bertaqlid mengatakan tidak semua taqlid sesuai dengan yang telah disyari’atkan, diantaranya taqlid yang mengandung penentangan terhadap apa-apa yang telah dituntunkan oleh Alloh, ataupun memalingkan dari perintah Alloh, seperti taqlid kepada nenek moyang, atau kepada pemerintah.[7] Maka taqlid in merupakan taqlid yang tercela, karena Alloh sendiri telah melarang hal ini dalam Al-Qur’an:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْاْ إِلَى مَا أَنزَلَ اللّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ قَالُواْ حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ

Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk ?.(QS. Al-Maidah: 104)

Maka dari taqlid diatas ada sebagan ulama’ tidak membolehkan taqlid, bahkan ada yang mencelanya, karena aplikasi taqlid yang salah.

Taqlid yang disyari’atkan

Pada dasarnya taqlid dan ijtihad itu sama, yaitu tidak dibutuhkan, karena semua permasalahan sudah terdapat dalam nash, baik Al-Qur’an ataupun As-sunnah, kecuali memang dzarurat atau ada udzur, karena jauhnya zaman dengan masa turunnya nash, dan semakin berkembangnya zaman sehingga semakin banyak masalah baru yang tidak tercantum dalam nash.[8]Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwasanya Alloh telah mencela taqlid, tapi maksud taqlid tersebut adalah taqlid terhadap nenek moyang atau taqlid kepada orang yang sama-sama tidak mengetahui sebuah dalil, dan jumhur ulama juga telah bersepakat mencela taqlid tersebut.

Alloh juga telah memerintahkan hambaNya nntuk bertanya kepada orang yang lebih ahli apabila seseorang tidak mengetahui terhadap sesuatu. Maka apabila taqlid dengan tujuan untuk mengikuti apa yang telah diperintahkan Alloh dengan bertaqlid kepada orang yang ‘alim maka diperbolehkan, dan tidak berdosa.[9]Tetapi apabila dengan bertaqlid yang menjadikan seseorang menjadi berpaling terhadap apa yang telah diperintahkan oleh Alloh maka taqlidnya menjadi batal. Karena Alloh memerintahkan seorang hamba untuk mengikuti syari’at yang telah dirunkan sesuai dengan dalil-dalil yang telah ada. 

Dan seseorang boleh mengikuti perkataan orang lain sebagai dalil dan jika dalil yang dipakai memang benar dan bisa diterima maka tidak perlu dalil yang lain, namun bila seseorang yang mengikuti orang lain tanpa mengetahui dalil, dan ternyata perbuatan yang mengikuti orang lain tersebut benar, atau sesuai syari’at maka ini dinamakan taqlid majazi.[10]

Arrouyani dalam Bahrul Muhith menyebutkan bahwasannya taqlid diperbolehkan terdahadap empat hal:

1.      Terhadap rasulullah, yang sudah jelas behwa mengambil perkataannya merupakan taqlid, dan inilah yang dibenarkan, karena hal ini sudah merupakan dalil yang dibenarkan.

2.      Taqlid terhadap apa yang dikabarkan rasulullah.

3.      Ulama yang telah bersepakat terhadap sebuah hukum, maka bertaqlid kepada mereka merupakan wajib.

4.      Taqlid terhadap para sahabat.[11]

Taqlid yang memang disyari’atkan adalah taqlid terhadap rasulullah. Karena bertaqid kepada selain rasulullah bisa jadi salah dan tetapi bisa juga benar, karena yang ma’shum hanya rasulullah, maka bertaqlid kepada rasulullah sudah tentu benar. Seperti yang dikatakan Imam Syafi’i: Tidaklah seseoang itu bertaqlid kecuali hanya kepada rasulullah, kerena itulah taqlid yang telah ditetapkan.[12]

Adbul Haq Ad-Dahlawi dalam kitab Syarh shirathal mutaqim mengatakan: Sesungguhnya imam yang diikuti hanyalah imam yang benar yaitu rasulullah, sedangkan mengikuti selain beliau adalah tidak masuk akal, karena hal ini juga sebagailmana yang dilakukan oleh para salafush shaleh.[13] Semoga kita tidak termasuk golongan orang yang salah dalam bertaqlid. Wallahu a’lam bish shawab.


[1] Muhammad bin Ali As Syaukani, Irsyadul fuhur ila tahqiqil haqi min ‘ilmil ushul (Riyadh: Daarul Fadilah, cet-1, 2000), hal: 1082

[2] Wahbah Zuhaili, Ushul fiqihil islami (Damaskus: Darul Fikr, cet-1, juz-1, 1986), hal: 1120

[3] Abdul Aziz bin Abdurrahman As Said, Ibnu qudamah wa atsarahul ushuliyah (Riyadh: Maktabah Arabiayh As Su’udiyah, jilid-2, cet-4, 1987), hal: 382

[4] Wahbah Zuhaili, Ushul fiqihil islami (Damaskus: Darul Fikr, cet-1, juz-1, 1986), hal: 1130.

[5] HR. Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah,Ad-Darimi.

[6] Yahya Muhammad, Al ijtihad wat taqlid wal ittiba’ wan nadzor (Beirut: Al Muassasah Al intisyaril ‘Arabi, cet-1, 2000), hal: 101

[7] Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, I’lamul muwaqi’in ‘an robbil ‘alamin (Riyadh: Daarul Ibnul Jauzi, jilid-3, cet-1, 1423), hal:448

[8] Yahya Muhammad, Al ijtihad wat taqlid wal ittiba’ wan nadzor (Beirut: Al Muassasah Al intisyaril ‘Arabi, cet-1, 2000), hal: 10

[9]Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, I’lamul muwaqi’in ‘an robbil ‘alamin (Riyadh: Daarul Ibnul Jauzi, jilid-3, cet-1, 1423), hal:448

[10] Taqlid yang hanya dikiaskan. Az-Zarkasyi, Bahrul muhith fi ushulil fiqh (Kairo: Daarul Shofwah, juz-6, cet-2, 1992), hal: 274

[11] Az-Zarkasyi, Bahrul muhith fi ushulil fiqh (Kairo: Daarul Shofwah, juz-6, cet-2, 1992), hal: 276

[12] Az-Zarkasyi, Bahrul muhith fi ushulil fiqh (Kairo: Daarul Shofwah, juz-6, cet-2, 1992), hal: 274

[13] Muhammad Shulthan Al-Ma’shumi Al-Khajandi Al-Makiyi, Hal limuslim mulazamun bi ittiba’i madzhab mu’ayyan minal madzhabil ‘arba’ah (Jami’ah ihyaut turatsil islamiy), hal: 16

Tidak ada komentar: