Pada
masa Rasulullah semua permasalahan yang muncul tuntas ditangan beliau, semua
permasalahan baru yang muncul dan tidak tercantum didalam Al-Qur’an para
sahabat langsung bertanya kepada Rasulullah, dan beliau langsung menjawab. Maka
begitulah seharusnya mukallaf beramal, harus sesuai dengan apa yang telah Alloh
dan rasulNya sebutkan.
Namun
ada juga seseorang yang beramal hanya dengan bertaqlid kepada orang lain karena
alasan yang memang belum mampu mencari tentang dalil terhadap sebuah masalah,
karena sedikitnya wawasan tentang agama atau karena tidak adanya sarana untuk
mengetahui dalil yang benar, padahal sebagian ulama’ tidak memperbolehkan
taqlid. Sehingga sebagian orang juga menyalahkan orang yang bertaqlid, walaupun
sebaian ulama’ juga ada yang membolehkan untuk bertaqlid. Akan tetapi taqlid
memang diperbolehkan jika memang tidak keluar dari apa yang telah
disyari’atkan.
Mengenai makna taqlid para ulama memberi pengertian yang berbeda.
Syaikh Abu Hamid menagatakan taqlid adalah menerima sebuah perkataan tanpa
disertai dalil yang mendukung atas perkataan tersebut. Menurut Dr. Wahbah Zuhaili dalam bukunya Ushul fiqhil islami
taqlid adalah mengambil sebuah perkataan orang lain, tanpa mengetahui dalilnya,
maksudnya seperti mengikuti orang lain lain dalam perbuatan ataupun perkataan.
Seperti dalam masalah mengusap hanya sebagian kepala (ketika wudhu) yaitu
mengikuti Syafi’i, ataupun meninggalkan membaca al-fatihah bagi makmum sholat
karena mengambil perkataan Abi Hanifah, dan lainnya.
Sedangkan menurut fuqaha taqlid adalah menerima sebuah perkataan
tanpa disertai dalil, dan yang dimaksud taqlid disini bukan terhadap perkataan
dari rasulullah ataupun ijma’, karena perkataan rasululah serta ijma’ itu
sendiri merupakan dalil.
Namun Para ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum bertaqlid, ada
sebagian ulama’ yang mencela taqlid, seperti Ibnu Hazm, Ibnul Qayyim,
Al-Muzaniy, dan ulama lain. Tetapi sebagian ulama’ membolehkan taqlid kepada rasulullah,
ulama’ atau mujtahid dengan menggunakan dalil:
فَاسْأَلُواْ
أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (Qs. An Nahl:43)
Sedangkan
dalil dari sunnah:
فعليكم بسنتي
وسنة الخلفاء الراشدين المهدين عضوا عليها بالنواجذ
Karena itu berpegang teguhlah kepada
sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang lurus (mendapat petunjuk) dan
gigitlah dengan gigi geraham kalian.
Sedangkan ulama yang membolehkan bertaqlid mengatakan bahwa semua
umat pada masa sahabat dan tabi’in mengikuti hukum syar’i sesuai dengan yang
telah difatwakan para fuqaha’, dan para ulama mereka lebih dahulu menjawab
tentang sebuah permasalahan dan tidak ada yang mengingkarinya, sehingga mereka
sepakat untuk mengikuti ulama mereka.
Namun dari beberapa ulama yang melarang bertaqlid mengatakan tidak
semua taqlid sesuai dengan yang telah disyari’atkan, diantaranya taqlid yang
mengandung penentangan terhadap apa-apa yang telah dituntunkan oleh Alloh,
ataupun memalingkan dari perintah Alloh, seperti taqlid kepada nenek moyang,
atau kepada pemerintah. Maka taqlid in merupakan taqlid yang tercela, karena Alloh sendiri
telah melarang hal ini dalam Al-Qur’an:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْاْ إِلَى مَا أَنزَلَ اللّهُ وَإِلَى
الرَّسُولِ قَالُواْ حَسْبُنَا مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ
آبَاؤُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ
Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang
diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah
untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". Dan
apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang
mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk ?.(QS. Al-Maidah: 104)
Maka dari taqlid diatas ada sebagan ulama’ tidak membolehkan
taqlid, bahkan ada yang mencelanya, karena aplikasi taqlid yang salah.
Taqlid yang disyari’atkan
Pada dasarnya taqlid dan ijtihad itu sama, yaitu tidak dibutuhkan,
karena semua permasalahan sudah terdapat dalam nash, baik Al-Qur’an ataupun
As-sunnah, kecuali memang dzarurat atau ada udzur, karena jauhnya zaman dengan
masa turunnya nash, dan semakin berkembangnya zaman sehingga semakin banyak
masalah baru yang tidak tercantum dalam nash.Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwasanya Alloh telah
mencela taqlid, tapi maksud taqlid tersebut adalah taqlid terhadap nenek moyang
atau taqlid kepada orang yang sama-sama tidak mengetahui sebuah dalil, dan
jumhur ulama juga telah bersepakat mencela taqlid tersebut.
Alloh juga telah memerintahkan hambaNya nntuk bertanya kepada orang
yang lebih ahli apabila seseorang tidak mengetahui terhadap sesuatu. Maka
apabila taqlid dengan tujuan untuk mengikuti apa yang telah diperintahkan Alloh
dengan bertaqlid kepada orang yang ‘alim maka diperbolehkan, dan tidak berdosa.Tetapi apabila dengan bertaqlid yang menjadikan seseorang menjadi
berpaling terhadap apa yang telah diperintahkan oleh Alloh maka taqlidnya
menjadi batal. Karena Alloh memerintahkan seorang hamba untuk mengikuti
syari’at yang telah dirunkan sesuai dengan dalil-dalil yang telah ada.
Dan seseorang boleh mengikuti perkataan orang lain sebagai dalil
dan jika dalil yang dipakai memang benar dan bisa diterima maka tidak perlu
dalil yang lain, namun bila seseorang yang mengikuti orang lain tanpa
mengetahui dalil, dan ternyata perbuatan yang mengikuti orang lain tersebut
benar, atau sesuai syari’at maka ini dinamakan taqlid majazi.
Arrouyani dalam Bahrul Muhith menyebutkan bahwasannya taqlid
diperbolehkan terdahadap empat hal:
1.
Terhadap
rasulullah, yang sudah jelas behwa mengambil perkataannya merupakan taqlid, dan
inilah yang dibenarkan, karena hal ini sudah merupakan dalil yang dibenarkan.
2.
Taqlid
terhadap apa yang dikabarkan rasulullah.
3.
Ulama
yang telah bersepakat terhadap sebuah hukum, maka bertaqlid kepada mereka
merupakan wajib.
4.
Taqlid
terhadap para sahabat.
Taqlid yang memang disyari’atkan adalah taqlid terhadap rasulullah.
Karena bertaqid kepada selain rasulullah bisa jadi salah dan tetapi bisa juga
benar, karena yang ma’shum hanya rasulullah, maka bertaqlid kepada rasulullah
sudah tentu benar. Seperti yang dikatakan Imam Syafi’i: Tidaklah seseoang itu
bertaqlid kecuali hanya kepada rasulullah, kerena itulah taqlid yang telah
ditetapkan.
Adbul Haq Ad-Dahlawi dalam kitab Syarh shirathal mutaqim
mengatakan: Sesungguhnya imam yang diikuti hanyalah imam yang benar yaitu
rasulullah, sedangkan mengikuti selain beliau adalah tidak masuk akal, karena
hal ini juga sebagailmana yang dilakukan oleh para salafush shaleh. Semoga kita tidak termasuk golongan orang yang salah dalam
bertaqlid. Wallahu a’lam bish shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar