Selasa, 23 Februari 2016

Awas...! Setan tak pernah lengah...

 
عن ابن عمر رضي الله عنه قال خطبنا عمر بخطبة النبي صلى الله عليه و سلم لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ أِلا كانَ ثَالِثُهَا الشَيْطَان ( رواه الترميذي)
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu bahwasannya Umar pernah berkhutbah dengan khutbah Nabi shalallahu’alaihi wa sallam “...janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali  setan menjadi orang ketiga....”(HR. Tirmidzi 2165)
Dalam skenario kehidupan Alloh Ta’ala telah menjadikan setan bersanding dengan manusia. Dimana manusia berpijak, setan selalu mengiringi. Dan satu hal penting yang harus selalu kita ingat, bahwasanya setan tak akan pernah merasa puas dengan kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia. Setan selalu berusaha keras menggiring manusia untuk mencicipi sebuah kemaksiatan, setelah mereka mencicipi, setan mengajak untuk menikmati, dan setan tetap berusaha menggiring lagi menuju kemaksiatan selanjutnya. Begitu seterusnya cara setan menggelincirkan manusia, hingga seten merasa bangga dengan semakin bertambahnya teman bermukim kelak di neraka.
Setan tak pernah pandang bulu dalam menggoda manusia. Begitu juga godaan setan terhadap dua orang lawan jenis yang berada dalam satu tempat, atau biasa disebut dengan khalwat. Tidak hanya dua orang yang sedang berkasih, bahkan setan juga menghasut dua orang yang tak saling kenal agar terjerumus dalam kemaksiatan. Dan berkumpulnya dua orang tersebut menyebabkan rawan terjadinya sebuah kemaksiatan. Karena selain bisikan setan, syahwat manusiawi pasti juga ikut bergejolak. Maka sangatlah mudah setan untuk menggelincirkan manusia pada perbuatan zina.
Al-Munawir berkata, “Setan menjadi orang ketiga diantara keduanya dengan membisikkan kepada mereka untuk melakukan kemaksiatan, dan menjadikan syahwat mereka berdua bergejolak. Menghilangkan rasa malu, dan sungkan dari keduanya menghiasi kemaksiatan hingga tampak indah dihadapan mereka berdua, sampai akhirnya setanpun menyatukan mereka berdua dalam kenistaan yaitu zina, atau menjatuhkan mereka kepada perkara-perkara yang lebih ringan dari zina, yaitu perkara-perkara pembukaan dari zina yang hampir menjatuhkan mereka kepada perzinaan.”
Dari penggalan hadits diatas dapat diambil kesimpulan bahwasanya hasutan setan sangatlah dahsyat. Maka kita sebagai seorang muslimah harus pandai dalam menjaga diri serta kehormatan. Semoga Alloh menjadikan kita termasuk wanita sholehah yang senantiasa diberi kemampuan untuk selalu menjaga iffah kita. Wallahu’alam bish shawab...
Faidhul Qodir 3/78
Jami’us Shahih Sunan Tirmidzi 4/465

Kamis, 18 Februari 2016

HUKUM SEORANG MUSLIM MENGUNJUNGI GEREJA DAN SALAT DI DALAMNYA

1. PENDAHULUAN 
Agama Islam adalah agama yang universal. Yangmana Allah telah mengaturnya dengan syari’at dari semua sisi kehidupan secara lengkap dan sempurna. Bahkan hal kecil yang belum terdetik di pikiran seorang hamba, Allah juga telah mengatur. Tidak ada sedikitpun ruang untuk sebuah kritikan, karena secara sempurna Allah telah mengatur semuanya sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaan dengan sangat tepat. Begitu juga aturan Allah terhadap seorang muslim, mulai dari ibadah, muamalah, akhlak, dan semua aspek kehidupan. Salah satu aturan Allah terhadap seorang muslim yakni menjalankan ibadah di tempat yang telah disyari’atkan, yaitu masjid ataupun tempat suci yang lain. Sebagaimana Allah telah menjadikan bumi sebagai tempat yang suci untuk beribadah. Namun apakah boleh seorang muslim mengunjungi atau salat di dalam gereja ataupun tempat ibdah seorang non muslim. Apakah tempat tersebut boleh dikunjungi, sedang tempat tersebut jelas tempat orang kafir. Dan bagaimna jika seorang muslim salat di dalamnya, apakah tempat tersebut tetapi dihukumi suci sebagaiman tempat lain yang suci untuk beribadah. Maka dalam risalah ini penulis membahas tentang hukum seputar mengunjungi gereja, atau tempat ibadah non muslim lain, dan salat di dalamnya. 

II. PEMBAHASAN 
A. Definisi 
Gereja adalah rumah atau gedung tempat berdoa dan melakukan upacara bagi agama Kristen. Di dalamnya terdapat badan organisasi umat Kristen yang sama kepercayaan, ajaran, dan tata ibadahnya, yaitu Katolik, Protestan, dan lainnya. Salat adalah rukun Islam kedua,berupa ibadah kepada Allah. Wajib dilakukan oleh setiap muslim mukalaf dengan syarat, rukun, dan bacaan tertentu. Dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam dan berdoa kepada Alloh. Sedangkan dalam istilah arab salat berasal dari kata صلى-يصلى yang artinya berdoa. Sedangkan salat secara istilah adalah sebagaimana perkataan jumhur bahwasannya salat adalah perkataan dan perbutan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, disertai dengan niat dan dilaksanakan sesuai dengan syarat tertentu. 

B. Dasar Hukum Mengunjungi Gereja dan Salat di Dalamnya
 وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُم بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيراً وَلَيَنصُرَنَّ اللَّهُ مَن يَنصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
 “Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al-Hajj: 40)
 قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
 “Katakanlah: Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”(QS. Al-Kafirun: 1-6) 
 Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda dari Abu Sa’id Al-Khudriy :
 الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ
 “Bumi ini semuanya merupakan masjid (tempat sujud untuk shalat) kecuali kuburan dan WC”. Diriwayatkan dari Abdur Razak dari Ibnu Abbas bahwasannya beliau membenci salat didalam gereja apabila didalamnya terdapat patung. 

C. Hukum Mengunjungi Gereja 
Gereja atau tempat ibadah lain milik orang kafir bukanlah rumah Alloh. Karena rumah Alloh hanyalah masjid. Maka gereja atau yang lainnya merupakan rumah yang digunakan untuk kafir dari agama Alloh. Walaupun terkadang nama Allah juga disebut didalamnya. Maka rumah dikiyaskan kepada pemiliknya, jika pemilik rumh tersebut merupakan orang kafir maka rumah atau bangunan itu jug merupakan bangunan kafir. 
Mengenai masalah seorang muslim yang masuk ke dalam gereja atau tempat ibadah orang kafir ulama berbeda pendapat. Dari ulama Malikiyah dan Hanabilah diperbolehkan seorang muslim memasuki tempat beribadahan orang kafir. Seperti sepasang suami istri yang berbeda agama, jika suaminya seorang muslim maka diperbolehkan memasuki tempat peribadahan isrtnya, tapi istrinya dilarang memasuki tempat peribadahan suaminya. 
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah makruh seorang muslim masuk gereja ataupun tempat ibadah orang kafir lain. Karena itu merupakan tempatnya setan, sehingga seorang muslim tidak mempunyai hak untuk masuk kedalamnya. Dan sebagian dari Ulama Syafiiyah melarang seorang muslim memasuki gereja atau tempat ibadah orang kafir lain, kecuali dengan izin dari mereka. Sedangkan maksud izin dari pendapat diatas ulama Syafiiyah dan Hanabilah menjelaskan sebagaimana seorang suami yang melarang istinya yang kafir masuk kedalam gereja. 
Dan Syafiiyah menambahkan bahwasannya apabila suaminya yang kafir malarang seorang isrti masuk masjid, maka seorang kafir juga dilarang mendatangi gereja. Sedangkan Malikiyah berpendapat bahwasannya seorang muslim tidak berhal memberi izin kepada orang kafir ketika memasuki tempat ibadah mereka, karena itu hak mereka. Dalil yang digunakan sebagai landasan haramnya mengunjungi tenpat ibadah orang kafir adalah: 
لاَتَقُمْ فِيهِ أَبَدًا لَّمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَن تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَن يَتَطَهَّرُوا وَاللهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِين “Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya.” (QS. At Taubah: 108) 
Sedangkan pendapat yang paling shohih adalah pendapat yang ma’tsur dari Umar bin Khatab bahwasannya apabila sholat didalam gereja atau tempat ibadah orang kafir selama tidak ada gambar atau patung atau gambar. Karena malaikat tidak memasuki rumah yang didalamnya terdapat gambar atau patung. Begitu juga menyuruh Umar bin Khatab untuk menghilangkan patung dan gambar yang ada di ka’bah, karena rasulullah tidak memasuki ka’bah yang didalamnya terdapat patung atau gambar. Dari dalil diatas dapat dimabil kesimpulan bahwasannya apabila sholat didalam gereja atau tempai ibadah orang kafir diperbolehkan selama tidak ada patung atau gambar, maka apabila hahnya memasuki diperbolehkan. 
Dalil lain yang menunjukkan diperbolehkannya memasuki gereja atau tempat ibadah orang kafir diantaranya Abu Musa Al-Asy’ari ketika di Damaskus sholat disebuah gereja yang bernama Yuhana. Perjanjian antara Umar ra dengan orang-orang Nasrani yang terkenal dengan Piagam Al-Umariyah, di antara isinya adalah
, "وأنْ لَا نَمنَعُ كَنَائِسَنَا أَن ينزلَها أَحَدٌ مِنَ المسْلِمِيْنَ فِي لَيْلٍ ولَا نَهَارٍ وأَنْ نُوَسّعَ أَبْوَابَهَا للمَارّةِ وابْنِ السَبِيْلِ وأَنْ نُنزِلَ مَنْ مَرّ بِنَا مِنَ المُسْلِمِيْنَ ثَلَاثَةَ أَيّامٍ وَنُطْعَمُهُم" 
“Bahwa gereja kami tidak kami larang untuk disinggahi oleh salah satu dari orang Muslim baik pada waktu malam maupun siang. Pintu gereja kami terbuka lebar bagi pejalan kaki, perantau dan kami ajak bertamu bagi pejalan Muslim yang melewati kami dan kami memberinya makan tiga malam,” 
Ummahatul Mukminin juga pernah mengunjungi gereja di Habasyah. Sebagian istri Rasulullah saw menyebutkan bahwa gereja yang mereka lihat di Habasyah bernama gereja Mariyah. Ummu Salamah dan Ummu Habibah, keduanya mengunjungi bumi Habasyah. Dan keduanya memuji kecantikan bangunannya dan arsitek patung yang ada di dalamnya. Maka Rasulullah pun mengangkat kepalanya dan bersabda, “Mereka, jika orang saleh di antara mereka meninggal, maka mereka membangun masjid (tempat ibadah) di atas kuburannya, kemudian mereka melukisnya (patung) dengan lukisan tersebut, merekalah seburuk-buruk makhluk di hadapan Allah” Dari Umar ra dari Abdul Razaq melalui Aslam budak Umar ra yang berbunyi, “Saat Umar tiba di Sham, salah seorang pembesar Nasrani (Kristen) menyiapkan makanan dan mengundang Umar, lalu Umar berkata, 'Sesungguhnya kami tidak memasuki gereja kalian dengan patung yang ada di dalamnya. 
 Fatwa Lajnah Daimah menambahkan syarat dalam memasuki gereja atau tempat ibadah yang lain, diantaranya: 
1. Tidak boleh masuk gereja dengan tujuan merendah atau mengnggap remeh. 
2. Bila masuknya karena ada tujuan dakwah kepada islam atau menyebarkannya denagn tanpa mengikuti mereka dalam beribadah. 
3. Tidak takut atau kawatir akan terkena pengaruh dengan keyakinan mereka dan juga tidak mengikuti mereka. 

D. Hukum Salat di Dalam Gereja 
Dari pandapat ulama tentang mengunjungi gereja atau tempat ibadah orang kafir maka dapat diketahui diantara ulama yang membolehkan sholat juga didalmnya. Karena secara bersamaan ulama yang melarang masuk kedalam gereja atau tempat ibadah orang kafir maka secara otomatis dilarang sholat didalamnya. Sedangkan ulama yang membolehkan memasuki gereja atau tempat ibadah orang kafir memberi perincian sebagai berikut. Ulama Hanabilah membolehkan salat didalam gereja atau yang lainnya dan tidak makruh sama sekali. Akan tetapi Imam Ahmad sendiri memakruhkan apabila terdapat patung atau gambar didalamnya. Dari ulama Hanafiyah membolehkan salat didalam gereja atau yang lainnya selama menunaikannya tidak dengan jama’ah. Dan dikatakan juga Abu Hanifah pada masanya membolehkan salat didalam gereja atau yang lainnya, karena pada waktu mayoritas penduduknya adalah ahlu dzimmah dari golongan orang Yahudi. Bukan sebagan penghinaan bagi kaum muslimin, melainkan sebagai bentuk keringan terhadap orang muslim. Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Syaibah bahwasannya Bakar berkata, telah ditulis surat kepada Umar bin Khatab yang isinya tidak ditemukan tempat yang lebih bersih dan lebih layak (untuk menunaikan salat)kecuali hanya gereja . Maka Umar membalas percikkan dengan air daun bidara, kemudian sholatlah didalamnya. Sedangkan pendapat yang shahih sebagaimana pendapat mengunjungi gereja atau yang lainnya yang ma’tsur dari Umar bin Khatab bahwasannya apabila sholat didalam gereja atau tempat ibadah orang kafir selama tidak ada gambar atau patung atau gambar. Karean malaikat tidak memasuki rumah yang didalamnya terdapat gambar atau patung. Begitu juga menyuruh Umar bin Khatab untuk menghilangkan patung dan gambar yang ada di ka’bah, karena rasulullah tidak memasuki ka’bah yang didalamnya terdapat patung atau gambar. Dan banyak dri hadits lain yang menyebutkan bolehnya sholat di gereja atau yang lainnya selama tidak ada patung atau gambar. 

E. Keadaan yang Dilarang Seorang Muslim Memasuki Gereja 
Dari dalil yang menunjukkaan bolehnya masuk atau salat didalam gereja bukan berarti seorang muslim dengan leluasa dan tanpa batas memasuki tempat tersebut. Melainkan ada beberapa keadaan yang melarang seorang muslim mengunjungi temapt tersebut. Diantaranya adalah mengunjungi saat mereka melakukan ibadah. Dalil yang menunjukkan tentang murka Allah turun pada saat peribadatan mereka dan di tempat ibadat mereka. Umar radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Hati-hatilah kalian dari bahasa orang kafir dan janganlah kalian masuk bersama orang muyrik pada saat peribadatan mereka di gereja mereka, karena pada saat itu dan di tempat itulah murka Allah sedang turun.” Dan juga dilarang memasuki gereja atau yang lainnya bila didalamnya terdapat patung, gambar, atau sesuatu lain yang menunjukkan kesyirikan. Sebagaimana pendapat yang ma’tsur dari Umar bin Khatab bahwasannya rasulullah tidak memasuki ka’bah sampai Umar menghilangkan semua patung yang ada di ka’bah. 

 III. PENUTUP 
Kesimpulan 
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwsannya boleh memasuki gereja atau lainnya apabila didalamnya tidak terdapat patung. Begitu juga salat didalamnya diperbolehkan selama tidak ada patung. Dan Lajnah Daimah menambahkan ketentuan bagi seorang muslim yang mengunjungi gereja, agar tidak menimbulkan madzarat

Referensi 
Al-Qur’an Al-Karim Abidin, 
Ibnu, Radd Al- Mukhtar ‘ala Ad-Dur Al-Mukhtar, juz 5 
Azdi, Al-, Abi Daud Sulaiman bin As-Syi’ats As-Sajistani, Sunan Abi Daud, juz 4, cet 1, (Beirut: Daar Ibnu Hazm, 1997 M) 
Baihaqi, Al-, Abi Bakar Ahmad bin Husain bin Ali bin, As-Sunan Al-Kubro, juz 9, cet 3, (Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2003 M) 
Buhuti, Al-, Manshur bin Yunus bin Ibdris, Kasyaf Al-Qana’ ‘an Matni Al-Iqna’, juz 1, cet 1, (Beirut: Alam Al-Kutub, 1997 M) 
Bukhari, Al-, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Al-Jami’ As-Shahih, juz 1, cet 1, (Qahirah: Al-Maktabah As-Salafiyah, 1400 H) 
Bukhari, Al-, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Al-Jami’ As-Shahih, juz 4, cet 1, (Qahirah: Al-Maktabah As-Salafiyah, 1400 H) 
Hanafi, Al-, Abi Bakar bin Mas’ud Al-Kasani, Bada’i As-Shana’i, juz 4, cet 2, (Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1986 M) 
Hanbal, Ahmad bin, Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal, juz 18, cet 1, (Beirut: Muasasah Risalah, 1995 M) 
Harani, Al-, Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyyah, Majmu Al-Fatawa, jilid 12, (Maktabah Taufiqiyah), hal. 100 
Kufi, Al-, Abi Bakar Abdillah bin Muhammad bin Abi Syaibah Al-‘Absi, Al-Mushanif li Ibni Abi Syiabah, juz 3, cet 1, (Beirut: Daar Qurtubah, 2006 M) 
Munawwir, AW, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984 M) 
Qulyubi, Al-, Syuhabuddin Ahmad bin Ahmad bin Salamah dan Syihabuddin Ahmad Al-Barlisi Al-Mulaqob bi Umarah, Hasyiyataani Al-Qulyubi wa Umiroh, juz 4, cet 3, (Mesir: Syarikah Maktabah wa Mathba’ah Mushthafa Al-Bani Al-Mahali wa Aulad, 1956 M) 
Shan’ani, As-, Abu Bakar Abdir Razaq bin Hammam, Al-Mushanif, juz 1, (Mansyurat Al-Majlis Al-Alami) 
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi 3, Departemen Pendidikan Nasional, (Jakarta: Balai Pustaka) 
Wizarah Al-Auqaf wa As-Syu’uni Al-Islamiyah, Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, juz 27, cet 1, (Kuwait: Darus Shofwah, 1992 M) 
Wizarah Al-Auqaf wa As-Syu’uni Al-Islamiyah, Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, juz 38, cet 1, (Kuwait: Darus Shofwah, 1992 M) 
Fatwa Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiyah wa Al-Ifta’, juz 2

Senin, 01 Februari 2016

PENGARUH SHIGHOH TA’LIQ DALAM PERKAWINAN

I.                   PENDAHULUAN

Perkawinan merupakan salah satu ibadah yang telah Allah Ta’ala anjurkan bagi hamba-Nya. Dari perkawinan inilah Allah jadikan hubungan antara dua insan yang sebelumnya orang lain menjadi sebuah keluarga. Dimana dari keluarga tersebut mengumpulkan antara dua insan untuk  saling bersandar dan berkasih sayang. Namuna adanya syari’at perkawinan ini tidak hanya menjadi ladang berkasih sayang atau saling bersandar antara keduanya, melainkan banyak tujuan mulia dibalik itu semua. Diantaranya adalah menjaga keturunan, menjaga kehormatan, menjaga pergaulan, menjaga pandangan, dan masih banyak tujuan lain. Dari banyaknya tujuan mulia tersebut menjadikan semakin sempurna syari’at Islam dengan adanya anjuran perkawinan ini.

Perkawinan ibarat sebuah bangunan. Dimana kokoh tidaknya sebuah bangunan ditentukan oleh pondasi yang membangun. Sama halnya dengan sebuah pernikahan juga membutuhkan sebuah pondasi yang kuat, dimana dengan pondasi tersebut menjadikan keluarga akan terbina dengan sejahtera. Maka unsur yang membangun pondasi dalam keluarga harus sangat diperhtikan. Mulai dari saling memahami dan memenuhi antara hak dan kewajiban. Keseimbangan pemahaman dan pemenuhan antara hak dan kewajiban inilah yang menjadi unsur penting dalam menguatkan podasi keluarga.

Syari’at Islam hanya menginginkan sebuah keluarga yang kokoh, sehingga bisa mewujudkan tujuan mulia yang telah dimaksudkan dalam syari’at. Dimana keluarga tersebut bisa berjalan langgeng dengan adanya saling kerjasama dalam membangunnya. Akan tetapi dalam menguatkan pondasi dalam sebuah keluarga bukanlah hal yang mudah, karena tidak sedikit terjadi keretakan dalam keluagra itu sendiri. Sehingga syari’at juga dilengkapi dengan adanya talak, dimana talak ini sebagai media bagi sebuah keluagra yang ingin mengakhirinya. Talak disebabkan kerang kuatnya pondasi yang membangun sebuah keluarga. Sehingga tidak tercapainya tujuan dari disyari’atkannya sebuah perkawinan.

Maka sangat dibutuhkan upaya untuk menguatkan sebuh perkawinan tersebut. Salah satu caranya adalah diadakan sebuah perjanjian atau yang biasa disebut dengan sihgah ta’liq dalam sebuah perkawinan, dengan tujuan menjaga kelanggengan keluarga seperti keingingn syari’at. Seperti kebiasaan di Indonesia yang mengucapkan sighoh ta’liq setelah mengucapkan akad dalam perkawinan. Karena dengan adanya sighah ta’lik menjadikan saling menjaganya hak dan kewajiban antara keduanya, teruatama bagi seorang istri yang biasa menjadi objek yang terzalimi.

Maka perlukah mengucapkan sighah ta’lik dengan tujuan untuk melindungi seorang istri dalam perkawinan. Dan sudah barang tentu pengucapan sighah ta’lik berhubungan erat dengan percerian. Karena secara tidak langsung pelanggaran terhadap sighah ta’liq yang telah diucapkan akan mengakibatkan jatuhnya talak. Maka dalam tulisan ini penulis membahas seputar sighah ta’lik yang diucapkan dalam perkawinan dengan tujuan melanggengkan sebuah perkawinan.

II.                PEMBAHASAN

A.    Definisi

Sighoh secara etimologi merupakan bentuk masdar dari kata صوغ  صَاغَ- يَصُوغُ- yang artinya membuat, menciptakan, atau menjadikan.[1]

Sedangkan secara terminologi ulama tidak memberikan pengertian secara menyeluruh tentang pengertian sighah, apakah mencakup semua akad dalam muamalah, ibadah atau yang lainnya. Akan tetapi ulama mengambil pengertian sighah dari sisi bahasa dan pengertian yang diungkapkan dari sebagian ulama bahwasannya sighoh adalah lafaz atau ungkapan yang akan diungkapkan oleh seorang mutakalim sesuai dengan maksudnya.[2]

Ibnu Qayyim berkata “Sesungguhnya Allah telah menciptakan lafaz bagi hamba-Nya untuk saling mengerti dan sebagai bukti apa yang terjadi dalam hati mereka. Apabila salah satu dari mereka menginginkan sesuatu dari orang lain, maka mereka saling memberi tahu dengan lafaz apa yang ada di hati mereka. Dan penetapan maksud, keinginan, dan hukum, dari lafaz yang telah diucapkan. Serta hukum belum bisa ditetapkan apabila perbuatan hanya terjadi di dalam hati, tanpa adanya bukti dari lafaz yang diungkapkan atau perbuatan yang dilakukan.”[3]

Ta’liq secara etimologi merupakan bentuk masdar dari kata عَلّقَ- يُعَلّقُ yang artinya menggantungkan[4] yaitu menggantungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain.

Sedangkan secara terminologi mengikat atau menggantungkan terjadinya sesuatu dengan adanya sesuatu yang lain. Disebut juga majas dari sumpah, kerana mengandung sebuah persyaratan, atau sebab akibat sehingga menyeruapi sumpah.[5]

Maka dapat diketahui bahwasannya sighoh ta’liq adalah lafaz atau ungkapan yang diucapkan oleh seorang mutakalim untuk mengikat sebuah perawinan dengan sesuatu yang lain. Sama halnya di Inonesia, sighoh ta’liq diucapkan oleh suami setelah akad nikah atas persetujuan dari kedua belah pihak. Seperti yang telah tertera dalam UUD RI nomor 1 tahun 1974 pasal 29 yang telah mengatur tentang perjanjian dalam perkawinan dengan tujuan untuk melindungi langgenganya pernikahan, dan terpenuhinya hak dan kewajiban antara keduanya.

B.     Dasar Hukum Ta’liq Nikah

Sebagaimana firman Alloh Ta’ala:

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزاً أَوْ إِعْرَاضاً فَلاَ جُنَاْحَ عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحاً وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الأَنفُسُ الشُّحَّ وَإِن تُحْسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيراً

Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.  (QS. An-nisa: 128)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji yang mengikat” (QS. Al-Ma’dah: 1)

Hadits rasulullah yang diriwayatkan oleh Aisyah:

مَن  اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِى كِتَابِ اللهِ , فَهَوَ بَاطِلٌ وإنْ كَانَ مِائَةَ شَرطٍ

“Barang siapa yang memberi syarat sedang syatar tersebut tidak sesuai dengan kitab Allah maka batal persyaratan tersebut, walaupun serataus syarat.”[6]

C.    Pembagian Ta’liq

Sebelum menuju pembagian ta’liq terlebih dahulu penulis menjelaskan tentang pembagian dalam pengucapan talak itu sendiri. Pengucapan talak dibagi menjadi dua:

1.      Munjazah, yaitu ucapan talak yang diucapkan tanpa disandarkan dengan sebuah syarat. Seperti ngkapan “kamu saya talak” maka ucapan talak semacam ini langsung berlaku pada saat itu juga.

2.      Mu’allaqoh, yaitu ucapan talak yang digantungkan dengan adanya syarat, seperti ucapan suami “jika kamu pergi ketampat ini maka kamu saya talak” maka terjadinya talak apabila seorang istri telah pergi ketempat tersebut.[7]

Kemudian Sayyid Sabiq dalam kitabnya Al Fiqh As Sunnah menjelaskan bahwa ulama membagi ta’liq nikah menurut kejadiaanya dibagi menjadi dua:

1.                       Ta’liq Qasmi

Menurut syari’at qasam atau yamin adalah adalah ungkapan dari sebuah janji dari orang yang bersumpah untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu.[8]

Maka ta’liq yang dimaksudkan adalah seperti janji, yang diucapkan untuk pengajaran atau menakuti seorang istri. Juga mengndung pengertian anjuran melakukan dan meninggalkan suatu perbuatan, atau sebagai penguat. Contoh ta’liq qasmi adalah perkataan “Jika kamu keluar rumah maka kamu tertalak”, maksud dari ucapan suami adalah melarang seorang istri untuk keluar dari rumah.[9]

2.      Ta’liq Syarti[10]

Ta’liq syarti adalah ta’liq yang dimaksudkan untuk sengaja menjatuhkan talak bila telah terpenuhi syarat tertentu. Seperti perkataan suami terhadap istrinya “Apabila kamu membebaskan aku dari kekurangan maharmu, maka kamu tertalak.”[11] Maka ta’liq syarti adalah perkara yang  belum ada, tetapi mungkin terjadi di kemudian hari. Dan selama ta’liq talak tidak terpenuhi maka talak tidak bisa jatuh kecuali apabila ada perkara lain.

D.    Hukum Meyertakan Ta’liq Talak dalam Perkawinan

Ta’liq talak merupakan salah satu upaya untuk menjaga keutuhan hak dan kewajiban dalam keluarga. Akan tetapi ulama berbeda perincian mengenai ta’liq talak dalam sebuah perkawinan itu sendiri. Karena tidak ada baik dari Al-Qur’an atau hadis yang menjelaskan tentang ta’liq talak itu sendiri, sedangkan pembahsan ta’liq sangat luas. Dalam permasalahan ini pendapat ulama terbagi menjadi tiga:

Pendapat pertama menurut jumhur dan empat madzhab  diperbolehkan mengucapkan ta’liq baik ta’liq qasmi atau syarti. Baik hanya sebagai peringatan, pembelajaran, atau anjuran, talak tetap jatuh.[12] Maka Sayid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah menyebutkan syarat sahnya ta’liq ada tiga:

1.      Perkaranya belum ada. Tetapi mungkin terjadi kemudian jika perkaranya telah telah diucapkan, seperti perkataan “Jika terbit matahari maka kamu saya talak”. Dan jika saat suami mengatakan talak itu matahari sudah terbit, maka termasuk talak munjizah. Maka talak terjadi saat itu juga, walaupun ucapan itu termasuk ta’liq.

2.      Hendaknya ketika jatuhnya akad talak seorang istri masih dalam pemeliharaan suami.

Ulama telah bersepkat terjadinya talak apabila telah terjadinya perkawinan atau seorang istri telah berada dalam penjagaan seorang suami atau ketika masih dalam masa talak raj’i.  Bukan terjadi pada wanita ajnabiyah.[13] Maka sebelum jatuhnya talak suami istri tersebut masih boleh melakukan hubungan.

3.      Hendaknya ketika jatuhnya sesuatu yang dita’liq, istri dalam masa pemeliharaan suami.[14]

Dalil yang digunkan untuk menguatkan pendapat mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Al-Jazm bertanya kepada Ibnu Umar tentang seorang laki-laki yang mentalak bain istrinya apabila keluar rumah, maka Ibnu Umar menjawab “Apabila istri tersebut keluar maka jatuh talak, tapi apabila istri tidak keluar maka tidak terjadi sesuatu.” Hadits inilah yang menjadi dalil terjadinya talak karena adanya ta’lik.[15]

Dalil lain sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Hurairah. bahwasannya rasulullah bersabda:

ثَلَاثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالرَّجْعَةُ

“Tiga perkara yang diucakan serius menjadi serius, dan apabila diucapkan dengan bercanda juga tetap dianggap serius adalah ucapan nikah (akad), talak, dan ruju’”[16]

Maka ketiga ucapan diatas tetap dihukumi, walaupun itu hanya diucapkan dengan senda gurau atau karena memang sengaja bersumpah.

Pendapat kedua menurut Ibnu Hazm dan Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam kitabnya Nidham At Talak f Al Islam mengatkan bahwa ta’liq talak tidak sah dalam sebuah perkawinan.[17]

Ibnu Hazm dalam kitabnya Al Muhalla mengatakan bahwasannya “Talak yang terjadi karena sumpah tidak sah. Karena talak tidak terjadi kecuali seperti yang telah ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an. Bahwasannya talak hanya terjadi bila seseorang memang berkeinginan untuk mentalak istri, maka selain alasan diatas maka hukum talaknya batal, karena telah menyelisihi ketentuan Alloh.[18]

Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam kitabnya Nidham At Talak fi Al Islam mengatkan bahwasannya “Talak yang digantungkan maka tidak sah, dan tidak jatuh talaknya. Karena talaknya tidak termasuk talak yang tidak diizinkan. Dan seorang laki-laki tidak mempunyai hak untuk mentalak kecuali karena telah diizinkan Allah. Dan talak yang digantungkan pada waktu yang akan datang maka lafaznya menjadi batil, karena lafaz dalam kalimat terjadi pada saat itu juga (saat lafaz itu diucapkan). Dan pastilah sesorang tidak dapat mengetahui apa yang terjadi pada masa yang akan datang.[19]

Pendapat diatas dilemahkan karena menyelisihi jumhur ulama, salaf dan khalaf.[20]

Kemudian pendapat ketiga, yaitu pendapat yang merinci dari pendapat sabelumnya. Pendapat yang dipilih Ibnu Abbas. Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim menjelaskan “Sesungguhnya talak yang terjadi karena adanya ta’lik yang mengandung unsur sumpah tidak sah. Dan wajib membayar kafarat apabila melanggar dari sumpahnya. Dan kafaratnya adalah memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakian, apabila tidak mendapati puasa tiga hari. Akan tetapi talak tetap jatuh apabila bentuk ta’liqnya berupa syarat.[21]

Dalil yang digunakan pada pendapat ketiga yaitu talak syarti tetap sah, tapi talak qasmi tidak sah adalah apabila seorang bersumpah untuk mentalak tapi seseorang tersebut tidak ada niat untuk menjatuhkan talak. Hanya berniat untuk menganjurkan sesuatu, melarang atau yang lainnya, maka talak bisa jatuh, sebagaimana sabda rasulullah:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan setiap manusia itu tergantung pada niatnya”[22]

Dalil lain yang menguatkan pendapat ketiga adalah ta’liq talak dengan tujuan sebuah larangan, perintah, anjuran, atau yang lain dinamakan janji baik secara bahasa maupun menurut kesepakatan fuqaha[23]. Maka secra umum ta’liq qasmi dihukumi seperti janji pada sebuah kesepakatan atau akad. Sebagaimana sabda rasulullah:

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَمِينُكَ عَلَى مَا يُصَدِّقُكَ بِهِ صَاحِبُكَ

“Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sumpahmu haruslah apa yang dibenarkan oleh temanmu."[24]

Sebagaimana yang telah dijelaskan juga oleh Syaikh Islam Ibnu Taimiyah beserta muridnya Ibnul Qoyyim, secara umum ta’liq qasmi termasuk pada janji, sebagaimana firman Alloh:

قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ وَاللَّهُ مَوْلَاكُمْ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ

Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Tahrim: 2)

لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَـكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (QS. Al-Maidah: 89).

Maka apabila suami melanggar janji, wajib baginya membayar kafarat.[25] Dan masih banyak dalil yang digunakan ulama untuk menguatkan pendapat mereka.

Dari ketiga pendapat diatas jumhur ulama merajihkan pendapat yang ketiga. Dengan menggunakan penguat dari atsar dari Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya yang lafaznya diambil dari Nafi’ dan dari astar yang lain bahwasannya seorang suami yang berniat mentalak istri apabila syarat itu terjadi, dan bukan karena melanggar janji.[26]

Dalil lain yang digunakan jumhur adalah dari ijma yang telah disebutkan As-Subki rahimahullah bahwasannya talak bisa terjadi apabila terpenuhinya syarat tersebut, bukan yang lain.[27]Sebagaimana yang telah difatwakan juga oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Abdur Razaq ‘Afifi, Syaikh Abdullah Hiyath, Syaikh Abdullah bin Hamid dan Syaikh Shaleh bin Al-Haydan rahimahumullah.[28]

E.     Urgensi Mengucapkan Sighoh Ta’liq dalam Perkawinan di Indonesia

Diantara tujuan diadakan sighoh ta’lik adalah untuk menjaga kelanggengan keluarga itu sendiri, dan juga sebagai bentuk perlindungan terhadap hak dan kewajiban dari kedua belah pihak. Begitu juga sama halnya di Indonesia, dalam UUD RI nomor 1 tahun 1974 pasal 29 yang telah mengatur tentang perjanjian dalam perkawinan. Pengucapan perjanjian atau ta’liq sebagai suatu janji secara tertulis yang ditandatangani dan dibacakan oleh suami setelah selesai prosesi akad nikah. Dibacakan di depan penghulu, isteri, orang tua atau wali, saksi-saksi dan para hadirin yang menghadiri akad perkawinan tersebut.

Sedangkan sighah taklik menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) berbunyi “ Ta’liq talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang.

Adapun diantara bunyi sighah talik talak tersebut sebagai berikut :

Sesudah akad nikah, saya (nama mempelai pria) bin (nama ayah mempelai pria) saya berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli istri saya bernama (nama mempelai wanita) binti (nama ayah mempelai wanita) dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut syariat agama Islam.
Selanjutnya saya membaca sighat ta’lik atas isteri saya itu sebagai berikut:
Sewaktu-waktu saya
:

1.                  Meninggalkan istri saya tersebut dua tahun berturut-turut.
2.
         Atau saya tiada memberikan nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya.
3.
         Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya itu.
4.
         Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya itu enam bulan lamanya,

kemudian istri saya tidak ridho dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan tersebut, dan istri saya itu membayar uang sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadl (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada pengadilan tersebut tadi kuasakan untuk menerima uang iwadl (pengganti) itu dan kemudian menyerahkan kepada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Cq. Direktorat Urusan Agama Islam untuk keperluan Ibadah Sosial.

(nama kota), (tanggal)
Suami,

(tandatangan)
(
nama jelas mempelai pria)[29]

Setelah proses akad pernikahan biasanya mempelai wanita ditanya apakah menginginkan mempelai laki-laki mengucapkan taklik atau tidak, demikian halnya dengan mempelai laki-laki. Umunya keduanya setuju agar taklik dibacakan dari mempelai laki-laki di hadapan istri sebagaimana bunyi tersebut diatas dalam shigah ta’liq. Mengenai ta’lik yang dibacakan termasuk ta’lik qasmi, karena ta’liq tersebut mengandung unsur perjanjian, dan bukan syarat sebagaimana pendapat yang dirajihkan menurut jumhur.

Ta’liq yang telah menjadi kebiasaan diatas tidak serta merta menyebabkan talak apabila ada perjanjian yang dilanggar. Karena dalam perjanjian tersebut disertkan kalimat “kemudian tidak ridho”, maka mereka masih berhak melanjutkan pernikahan selama istri ridho dengan perlakuan suami. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwasannya jumhur tidak menetapkan jatuhnya talak dengan adanya ta’liq qasmi, karena tidak adanya niat suami untuk mencerai istri.

Sighah ta’liq dirumuskan sedemikian rupa untuk melindungi istri dari sikap kesewenang-wenangan suami, jika istri tidak rela atas perlakuan suami maka istri dapat mengajukan gugatan perceraian berdasarkan terwujudnya syarat ta’liq talak yang disebutkan dalam sighah ta’liq.

Bentuk anjuran dari Departemen Agama menjadikan kebiasaan membaca ta’lik dalam perkawinan, padahal sebenarnya tidak ada keharusan didalamnya. Sebagaimana dalam dalam KHI pasal 46 nomor 3. Bagi seorang suami yang tidak ingin mengucapkan karena dianggap tidak perlu hendaknya tidak usah menucapkan. Karena ketentuan talak pada dasarnya kembali pada keputusan suami itu sendiri.

III.             PENUTUP

Kesimpulan

Dari penjelsan diatas, dapat diambil kesimpulan behwasannya anjuran Departemen Agama untuk mengucapkan ta’lik sudah menjadi adat sehingga dianggap sebuah kewajiban. Padahal tidak ada kewajiban bagi suami mengucapkan sighah ta’liq talak, karena pada dasarnya jatuhnya talak tetap menjadi wewenang suami.

Ta’liq talak yang diucapkan hanyalah sebagai janji sebagai upaya perlindungan terhadap kedua belah pihak. Dan jumhur ulama merajihkan ta’liq yang berupa perjanjian atau ta’liq qasmi, dengan tujuan tertentu, maka tidak menyebabkan jatuhnya talak. Tetapi apabila ada pelanggran dari perjanjian tersebut wajib membayar kafarat yang telah ditetapkan. Wallahu a’lam bish shawab.   

Referensi

Al-Qur’anul Karim

Azdi, Al-, Abi Daud Sulaiman bin Al-Asy’ats As-Sajistani, Sunnan Abi Daud, jilid 2, cet 1, (Beirut: Daar Ibnu Hazm, 1997 M)

Bukhari, Al-, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Al-Jami’ As-Shohih jilid 2, cet 1, (Kairo: Al-Mathba’ah As-Salafiyah, 1403 H)

Hazm, Abi Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin, Al Muhalla, jilid 10, cet 1, (Damaskus: Idarah Lithaba’ah Al-Munirah, 1352 H)

Kompilasi Hukum Islam

Munawwir, AW, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984 M)

Naisamburi, An-, Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajaj Al-Qusairi, Shohih Muslim, (Riyadh: Bait Al-Afkar, 1998 M)

Nawawi, An-, Imam Abi Zakariya Yahya bin Syarif, Roudhoh At Thalibin, jilid 6, (Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2003 M)

                                                                                           

Qurtubi, Al-, Abi Al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayah Al Mujtahid wa Nihayah Al Muqtasid, jilid 2, cet 6, (Beirut: Daar Al-Ma’arif, 1982 M)

Sabiq, As-Sayyid, Fiqih As Sunnah, jilid 2, cet 1, (Kairo: Daar Al-Fath, 2000 M)

Salim, Al-, Thariq bin Anwar, Al Wadih fi Ahkam At Talak, (Iskandariyah: Daar Al-Iman, 2004 M)

Syakir, Ahmad Muhammad, Nidzam At Talak fi Al Islam, cet 2, (Kairo: Maktabah As-Sunnah, 1998 M)

UUD RI nomor 1 tahun 1974

Wizarah Al-Auqaf wa As-Syu’uni Al-Islamiyah, Al Mausu’ah Al Fiqhiyah  Al Kuwaitiyah, juz  12, cet 1, (Kuwait: Darus Shofwah, 1992 M)

Wizarah Al-Auqaf wa As-Syu’uni Al-Islamiyah, Al Mausu’ah Al Fiqhiyah  Al Kuwaitiyah, juz  28, cet 1, (Kuwait: Darus Shofwah, 1992 M)


[1] AW Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984 M), hlm. 803

[2] Wizarah Al-Auqaf wa As-Syu’uni Al-Islamiyah, Al Mausu’ah Al Fiqhiyah  Al Kuwaitiyah, juz  28, cet 1, (Kuwait: Darus Shofwah, 1992 M),  hlm. 152

[3] Ibid. Hlm. 152-153

[4] AW Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984 M), hlm. 946

[5] Wizarah Al-Auqaf wa As-Syu’uni Al-Islamiyah, Al Mausu’ah Al Fiqhiyah  Al Kuwaitiyah, juz  12, cet 1, (Kuwait: Darus Shofwah, 1992 M),  hlm. 298

[6] HR. Bukhari: 2735. , Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Al Jami’ As Shohih, jilid 2, cet 1, (Kairo: Al-Mathba’ah As-Salafiyah, 1403 H), hlm. 285

[7] As-Sayyid Sabiq, Fiqih As Sunnah, jilid 2, cet 1, (Kairo: Daar Al-Fath, 2000 M), hal. 168

[8] Al Mausu’ah Al Fiqhiyah  Al Kuwaitiyah, Wizarah Al-Auqaf wa As-Syu’uni Al-Islamiyah, juz  12, cet 1, (Kuwait: Darus Shofwah, 1992 M),  hlm. 300

[9]  As-Sayyid Sabiq, Fiqih As Sunnah, jilid 2, cet 1, (Kairo: Daar Al-Fath, 2000 M), hal. 168. Thariq bin Anwar Al Salim, Al Wadih fi Ahkam At Talak, (Iskandariyah: Daar Al-Iman, 2004 M), hal. 36

[10] As-Sayyid Sabiq, Fiqih As Sunnah, jilid 2, cet 1, (Kairo: Daar Al-Fath, 2000 M), hal. 168

[11] Ibid.

[12] Imam Abi Zakariya Yahya bin Syarif An-Nawawi, Roudhoh At Thalibin, jilid 6, (Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 2003 M), hal. 105. Thariq bin Anwar Al Salim, Al Wadih fi Ahkam At Talak, (Iskandariyah: Daar Al-Iman, 2004 M), hal. 38

[13] Wanita asing (bukan istrinya). Abi Al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd Al-Qurtubi, Bidayah Al Mujtahid wa Nihayah Al Muqtasid, jilid 2, cet 6, (Beirut: Daar Al-Ma’arif, 1982 M), hal. 84

[14] As-Sayyid Sabiq, Fiqih As Sunnah, jilid 2, cet 1, (Kairo: Daar Al-Fath, 2000 M), hal. 168. Thariq bin Anwar Al Salim, Al Wadih fi Ahkam At Talak, (Iskandariyah: Daar Al-Iman, 2004 M), hal. 36

[15] Thariq bin Anwar Al Salim, Al Wadih fi Ahkam At Talak, (Iskandariyah: Daar Al-Iman, 2004 M), hal. 40

[16] HR. Abu Daud: 2194. Abi Daud Sulaiman bin Al-Asy’ats As-SajistanI Al-Azdi, Sunnan Abi Daud, jilid 2, cet 1, (Beirut: Daar Ibnu Hazm, 1997 M), hal. 447

[17] As-Sayyid Sabiq, Fiqih As Sunnah, jilid 2, cet 1, (Kairo: Daar Al-Fath, 2000 M), hal. 169, Thariq bin Anwar Al Salim, Al Wadih fi Ahkam At Talak, (Iskandariyah: Daar Al-Iman, 2004 M), hal. 38

[18] Abi Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin Hazm, Al Muhalla, jilid 10, cet 1, (Damaskus: Idarah Lithaba’ah Al-Munirah, 1352 H), hal. 213

[19] Ahmad Muhammad Syakir, Nidzam At Talak fi Al Islam, cet 2, (Kairo: Maktabah As-Sunnah, 1998 M), hal. 77

[20] Thariq bin Anwar Al Salim, Al Wadih fi Ahkam At Talak, (Iskandariyah: Daar Al-Iman, 2004 M), hal. 41

[21] Ibid, hal. 39

[22] HR. Bukhari: 6689. Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari Al Jami’ As Shohih, , jilid 4, cet 1, (Kairo: Al-Mathba’ah As-Salafiyah, 1403 H), hlm. 227. Thariq bin Anwar Al Salim, Al Wadih fi Ahkam At Talak, (Iskandariyah: Daar Al-Iman, 2004 M), hal. 42

[23] Ulama ahli fikih.

[24] HR. Muslim: 1653. Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajaj Al-Qusairi An-Naisamburi, Shohih Muslim, (Riyadh: Bait Al-Afkar, 1998 M), hal. 679

[25] Thariq bin Anwar Al Salim, Al Wadih fi Ahkam At Talak, (Iskandariyah: Daar Al-Iman, 2004 M), hal. 42

[26] Ibid. 43

[27] Ibid.

[28] Ibid. hal 44. Hai’ah Kibar Ulama Mamlakah ‘Arabiyah As-Su’udiyah.