A.
PENDAHULUAN
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menciptakan manusia dengan
sebaik-baik ciptaan, sebagaimana dalam firman-Nya “Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” yang artinya bahwa apa-apa yang telah Allah
berikan kepada hamba-Nya itu merupakan sebuah pemberian yang sangat baik. Maka
dengan menambah kesempurnaan-Nya Allah juga ciptakan berbagai macam bentuk dan
juga kemampuan. Sehingga manusia memiliki cara yang berbeda dalam melalukan
sesuatu berdasarkan kemampuan masing-masing.
Begitu juga perbedaan manusia berdampak pada masalah pemahaman nash
yang telah Allah turunkan sendiri, ataupun melalui utusan-Nya. Sehingga dalam
menerapkan ataupun meresap sebuah nashpun juga memberikan hasil yang berbeda.
Seperti dikalangan ulama ataupun mujtahid yang memiliki kemampuan dalam
memahami sebuah nash, berbeda dengan seseorang yang belum memiliki kemampuan
memahami nash, mereka memerlukan orang lain dalam memahami nash.
Begitu juga dalam memahami sebuah permasalahan atau yang tidak
secara jelas tertera dalam al-Qur’an, seorang yang belum memiliki kemampuan
dalam hal tersebut mengalami kesulitan. Maka dalam risalah ini penulis
memaparkan seputar mujtahid atau orang yang mampu berijtihad, dan keterangan
seputar ijtihad.
B.
PEMBAHASAN
i.
Definisi Ijtihad
Ijtihad secara bahasa bersal dari kata jahada-jahdan yang
artinya berusaha dengan sungguh-sungguh dan jerih payah.
Sebagaimana juga Allah menyebutkan kata jahada dalam al-Qur’an yang
berarti bersusah payah وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ “Dan mereka bersumpah dengan nama Allah
dengan sumpah sungguh-sungguh.”
Sedangkan secara istilah para ulama berbeda
penjelasan ketika memberikan pengertian tentang ijtihad. Imam Ghazali memberi pengerian
ijtihad merupakan lafazh yang sudah menjadi urf atau kebiasaan
dikalangan ulama yang artinya seorang mujtahid mencurahkan kemampuannya dalam
menentukan sebuah hukum-hukum syar’i sesuai dengan kemampuan ilmu. Sedangkan
secara sempurna ijtihad merupakan uapaya mencurahkan sesuatu, dengan diiringi
perasaan lemah dan kurangnya ilmu pada dirinya.
Dan Ibnu Qudamah, Al-Bazdawi, Al-Kamil bin Al-Hamaam bersepakat dengan
pengertian tersebut.
Sedangkan Abu Ishaq As-Syirazi memberi
pengerian ijtihad dalam urf ulama merupakan mencurahkan kemampuan dalam
menentukan sebuah hukum syar’i.
Dikatakan juga dalam kitabnya Imam Syaukani
ijtihad adalah mencurahkan segenap usaha untuk mendapatkan sebuah hukum
terhadap sebuah perbuatan dengan cara menyimpulkan.
Maka dari beberapa pendapat ulama diatas
dapat diambil kesimpulan bahwasannya ijtihad merupakan usaha yang dicurahkan
seorang mujtahid untuk menentukan sebuah hukum syar’i.
ii.
Dasar Hukum
Seorang
yang telah mampu untuk berijtihad, diperbolehkan berijtihad sebagaimana dalam
firman-Nya:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ
ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
وَالَّذِينَ
اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya
dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah
antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan
kepada mereka.”
Begitu
juga masalah ijtihad diterangkan dalam hadits rasulullah dari Amru bin Ash:
إِذَا
حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ
فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ
“Apabila seorang hakim menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan
benar, baginya dua pahala. Dan apabila ia menghukumi satu perkara, lalu
berijtihad dan keliru, baginya satu pahala”
iii.
Perkembangan Ijtihad
Pada
masa rasulullah sumber hukum syari’at hanya dari al-Qur’an dan hadist-hadist
dari rasulullah yang merupakan wahyu dari Allah. Apabila para sahabat menemukan
sesuatu yang belum mereka fahami, maka mereka langsung menanyakan kepada
rasulullah. Maka sudah tidak diragukan bahwasannya rasulullah telah diizinkan
untuk berijtihad. Begitu juga rasulullah mengizinkan para sahabat untuk
berijtihad, walaupun ijtihad para sahabat terkadang juga mengandung kesalahan.
Contoh
ijtihad para sahabat saat rasulullah meminta pendapat kepada mereka tentang
tawanan perang Badar. Dan rasulullah lebih memilih pendapat Abu Bakar untuk
mengambil bayaran dari setiap tawanan, dari pada pendapat Umar untuk membunuh
tawanan. Lalu turunlah wahyu dari Allah yang berbunyi:
مَا
كَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الأَرْضِ
“Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat
melumpuhkan musuhnya di muka bumi.”
Setelah turun ayat tersebut kemudian rasulullah bersabda “Kalaulah
kita ditimpa sebuah bencana tidak ada yang selamat kecuali Umar.” Dari
peristiwa diatas menunjukkan ijtihadnya rasulullah berikut para sahabat,
walaupun dalam ijtihad bisa jadi salah atau benar.
Akan
tetapi setelah sempurnanya al-Qur’an dan terputusnya wahyu dengan meninggalnya
rasulullah, kepemimpinan umat dipegang oleh khulafa’ur rasyidin. Para
sahabat yang diberi amanah untuk menjadi pemimpin para sahabat sepeninggal
rasulullah.
Ketika
kepemimpinan umat Islam berada ditangan khulafa’ur rasyidin islam
mengalami banyak perkembangan. Islam mulai tersebar dipelosok Jazirah Arab,
Mesir, Syam, Persi, Irak, sehinggan menjadikan orang berbondong-bondong masuk
Islam. Maka daerah kekuasaan Islam semakin luas. Disamping orang muslim menjadi
semakin banyak, permasalahan juga mulai banyak bermunculan. Dan beberapa
masalah yang mereka jumpai belum pernah terjadi saat rasulullah masih hidup.
Masalah lain timbul juga kerana perbedan kebiasaan sesuai daerah masing-masing.
Sehingga Islam menjadi beraneka ragam.
Akan
tetapi khulafa’ur rasyidin tetap berusaha meluruskan syari’at sesuai
dengan al-Qura’an dan hadits. Dan untuk sebuah permasalahan yang baru, dan
belum dijumpai ketika rasulullah masih hidup mereka berusaha untuk berijtihad
dengan merealisasikan kaidah-kaidah umum yang bersumber dari al-Qura’an dan
hadits. Karena sebelum meninggal, rasulullah sendiri telah mengajakan
berijtihad, baik itu benar atau salah dan rasulullah yang akan meluruskan. Dan
hal itu menunjukkan keridhaan rasulullah akan sebuah ijtihad. Maka para sahabat
berusaha berijtihad dengan bersandar al-Quran dan hadits rasulullah, apabila
mereka tidak menemukannya dalam al-Qur’an ataupun sunnah, maka mereka
memusyawarahkan atas sebuah perkara tersebut, dengan saling berijtihad di dalamnya.
Maka terjadinya sebuah perbedaan pendapat merupakan hal yang biasa.
Seperti perbedaan pendapat dalam masalah warisan. Bahwasannya kakek
bisa menjadi hajib bagi saudara si mayit sama seperti keberadaan ayah si
mayit. Abu Bakar berpendapat demikian karena kakek juga dinamakan ayah
sebagaimana dalam ayat:
وَاتَّبَعْتُ مِلَّةَ آبَآئِـي إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ
وَيَعْقُوبَ
“Dan aku pengikut agama
bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya'qub”.
Sedangkan Umar berbeda pendapat dengan mengatakan bahwasannya kakek tidak bisa
memahjubkan, karena penamaan ayah pada kakek dalam ayat diatas hanya
sebuah majaz. Dan banyak masalah lain yang diantara para sahabat sendiri
berbeda pendapat.
Maka metode ijtihad masih terus berlanjut sampai periode
selanjutnya yaitu masa pemerintahan Umawiyah. Semakin meluasnya Islam semakin
banyak juga permasalahan baru yang terus muncul. Dan perbedaan umat juga masih
terus terjadi. Dan dari perbedaan ini menjadikan umat terpecah-pecah. Sehingga
mulai bermunculan kelompok yang berawal dari perbedaan ini dintaranya Syi’ah
dan Khawarij. Sehingga perbedaan yang awalnya hanya perbedaan pendapat ringan
menjadikan perpecahan umat yang menyebabkan timbulnya ta’asub.
Dan metode ini masih terus berlanjut hingga masa ulama madzhab.
Yang mana Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hambal
juga memakai metode ini dalam menanggapi sebuah masalah yang tidak tertera
jelas dalam al-Qur’an dan hadits, ataupun yang belum dijelaskan para sahabat.
Walaupun dalam berijtihad sendiri mereka memiliki metode yang berbeda.
Maka dari sebuah pekerjaan yang mulia ini semua permasalahan umat
telah dibahas oleh para ulama. Sehingga para ulama muta’akhirin banyak
membuat karya dari hasil ijtihad para ulama tersebut. Ataupun memperbarui dan
meringkas ijtihad mereka untuk memudahkan umat untuk memahami sebuah masalah
yang mereka hadapi. Karena hampir semua masalah telah dibahas dan dijelaskan
ulama.
iv.
Mahal Ijtihad
Para
ushulin telah menentukan kaidah untuk berijtihad لامساغ للاجتهاد في مورد النص “Tidak ada ruang untuk berijtihad selama
ada nash” yaitu nash yang qath’i. Hal ini menunjukkan bahwasannya
semua perkara yang telah ada dlilnya secara qath’i maka tidak boleh
diijtihadkan. Seperti mengucapakan dua kalimat syahadat, wajibnya salat lima
waktu, puasa, zakat, haji, haramnya zina, mencuri, minim khamr, membunuh yang
semuanya telah ditentukan hukumannya secara jelas. Contoh lain seperti ukuran
dalam mengeluarkan zakat, kafarat bagi orang yang membunuh, baik yang membunuh
dengan senagaja maupun tidak sengaja. Maka semua hukum yang berkaitan dengan
hal tersebut telah ditetapkan dengan dalil yang jelas dan tidak ada penafsiran
lain. Begitu juga telah dijelaskan rasulullah dalam hadits-hadistnya, maka
sudah tidak diperbolehkan untuk melakukan ijtihad pada perkara tersebut.
Adapun
untuk permasalahan yang sudah ada dalilnya, namun dengan menggunakan dalil yang
dzonni, atau permasalahan yang memang belum ada nashnya maka
diperbolehkan adanya ijtihad.
Apabila
nash tersebut dzonniy stubut maka diperbolehkan ijtihad di dalamnya. Di dalamnya
menbahas hal yang berhubungan dengan sanad, bagaimnana sampainya kepada kita,
keadilan rawi, sehingga menjadikan perbedaan pendapat mengenai penggunaan dalil
tersebut. Sehingga ada sebagian mujtahid yang mengambil dalil tersebut, dan ada
juga yang meninggalkan karena ditakutnya adanya kesalahan dalam menggunakan dalil.
Sebagaimana
untuk dalil yang dzanni dalalah juga diperbolehkan berijtihad. Di
dalamnya membahas hal yang berhubungan dengan lafazh nash tersebut. Yang bisa
difahami dengan qawaid lughawi apakah lafazh tersebut dimaknai dengan
lafazh shorihnya atau isyarat dari lafadz tersebut. Atau lafazh yang
mengandung makna umum atau khusus, dan pembahasan lain yang berhubungan dengan
lafazh nash tersebut.
Adapun
untuk sebuah perkara yang tidak ada nash ataupun permasalahan yang belum
menjadi ijma ulama maka juga boleh menjadi ijtihad dengan menggunakan adilah
aqliyah seperti dengan qiyas, istihsan, maslahah mursalah,
urf, istishab, atau yang lainnya. Maka mahal ijtihad pada sebuah
perkara yang tidak ada dalil shorihnya, ataupun masalah yang menggunakan
dalil tidak qath’i.
v.
Ketentuan Seorang Mujhahid
Dalam
sebuah permasalahan yang di mana seorang mujtahid boleh berijtihad di dalamnya,
seorang mujtahid harus memiliki keahlian dalam berijtihad. Artinya tidak semua
orang memiliki kemampuan untuk berijtihad. Syarat umum seorang mujtahid adalah
Islam, berakal, dan baligh. Kemudian Imam Az-Zarkasyi menyebutkan ketentuan bagi seorang
mujtahid adalah:
1.
Menguasai
nash baik dari al-Qur’an maupun hadits
Apabila
seorang mujtahid hanya menguasai salah satu diantara keduanya maka seseorang
belum boleh berijtihad. Akan tetapi syarat menguasai al-Qur’an tidak semua ayat
yang ada di dalamnya, melainkan ayat-ayat yang di dalamnya mengandung
hukum-hukum.
Imam
Ghazali dan Ibnul ‘Arabi menyebutkan bahwasannya ayat yang mengandung
hukum-hukum kurang lebih lima ratus ayat. Begitu juga disebutkan Mawardi, dan
yang lainnya.
Al-Ustadz
Abu Mansur mengatakan “Disyaratkan bagi seorang mujtahid mengetahui hukum-hukum
yang berkaitan dengan syari’at, akan tetapi tidak termasuk di dalamnya tentang qisas dan maw’idz.
Sebagian
besar ahlul ilmi mensyaratkan juga seorang mujtahid harus hafal semua isi
al-Qur’an, karena dengan hafalan sebagai penguat makna yang dikandungnya. Akan
tetapi sebagian ulama lain tidak mewajibkan seperti ayat tentang permisalan
ataupun tentang celaan. Begitu juga pendapat Abu Ishaq, Ar-Rofi’i dan yang
lainnya yang tidak mensyaratkan hafal seluruh al-Qur’an.
2.
Menguasai
hadist yang berkaitan dengan hukum
Al-Mawardi
mengatakan hadist tersebut kurang lebih sekitar lima ratus hadits. Sedangkan
menurut Ibnul ‘Arabi hasits tersebut kurang lebih tiga ribu hadits.
Dan
Ahmad mengatakan lebih banyak sebagaimana perkataan Abu Ali Adz-Dzorori saat
aku bertanya “Berapa banyak seseorang mengatahui hadits yang cukup untuk
berfatwa? Apakah cukup seratus ribu?” Tidak. Aku bertanya lagi “Empat ratus
ribu?” Tidak. “Lima ratus ribu?” Dia berkata “Semoga.” Dalam riwayat lain
disebutkan “Tiga ratus ribu?” dia menjawab “Semoga”. Akan tetapi maksud dari
hadits di atas menunjukkan bahwa sangat banyak atsar dari sahabat dan tabi’in
terhadap sebuah matan hadits.
3.
Ijma
Seorang
mujtahid hendaknya mengetahui ijma’, sehingga seorang mujtahid tidak
menyelisihi ijma’ apabila berijtihad. Walaupun tidak wajib menghafal semua
ijma’, akan tetapi hendaknya menguasai setiap masalah dimana seorang mujtahid
berijtihad, sehingga tidak menyelisihi ijma’.
Begitu
juga seorang mujtahid harus mengetahui ikhtilaf. Sebagaimana dikatakan Imam
Syafi’i di dalam Ar-Risalah. Sehingga seorang mujtahid tidak mengatakan sebuah
pendapat yang keluar dari ijma.
4.
Qiyas
Seorang
mujtahid harus menguasai qiyas, berikut syarat dan rukunnya. Karena dari illah
seorang mujtahid berijtihad, dan mengeluarkan pendapat. Dan dari illah
juga fiqih menjadi bercabang. Maka barang siapa yang tidak mengetahui illah
sebuah masalah, seorang tidak akan mempu mengeluarkan istimbat hukum.
5.
Mengetahui
cara meneliti
Maka
tidak diragukan lagi bahwasannya seorang mujtahid harus bersandar dengan dalil
yang benar, berikut juga mengetahui kakikat yang terkandung di dalam dalil yang
harus direalisasikan.
6.
Menguasai
lisan Arab dan juga pokok pembicaaraan
Seorang
mujtahid harus mengusai ilmu bahasa Arab, baik dari segi bahasa, nahwu, maupun tashrifnya.
Mengetahui pembicaraan dan kebiasaan mereka dalam menggunakan bahasa Arab.
Sehingga seorang mujtahid bisa membedakan antara lafazh shorih atau dzohir,
mujmal atau mubayyinah, ‘amm atau khas, haqiqah atau
majaz.
Ustadz
Abu Ishak mengatakan seorang mujtahid cukup menguasai bahasa yang paling sering
dipakai, dan tidak disyaratkan menguasai semuanya. Seperti nahwu, sehingga
seorang mujtahid dapat membedakan lafazh yang dzohir, seperti fa’il
atau maf’ul. Mengetahui jar, rafa’, dan yang berhubungan
seperti masalah athaf, khitab, kinayah, washl, dan fashl.
Tidak harus menguasai semua ilmu bahasa arab secara merinci.
7.
Mengetahui
nasikh dan mansukh
Seorang
mujtahid harus menguasai nasikh dan mansukh sebuah dalil. Begitu
juga menguasai masalah ‘amm khas, mufassar mujmal, mubayyin, muqayyad dan
mutlaq. Apabila belum menguasai maka belum boleh berijtihad.
8.
Mengetaui
kuat atau lemahnya sebuah riwayat
Dengan
mengetahui kuat atau lemahnya sebuah riwayat seorang mujtahid bisa membedakan
antara dalil yang shahih dengan fasid, maqbul dengan mardud.
Abu
Ishak dan Al-Ghazali mengatakan hendaknya mengatakan dari perkataan ulama ahlul
hadits, seperti imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Daruqutni, Abu Daud, karena mereka
menguasai dalam masalah tersebut. Maka diperbolehkan mengambil perkataan
mereka.
Imam
Ghazali berkata ilmu yang berkaitan dengan hal ini bisa membenarkan seseorang
dalam berijtihad. Karena ilmu utama yang harus dikuasai seorang mujtahid adalah
tiga, yaitu ilmu hadits, ilmu bahasa, dan ilmu ushul fiqih.
Maka
seorang mujtahid harus menguasai syarat diatas. Adapun seorang mujtahid yang
khusus, yang hanya ditanya mengenai sebuh permasalahan maka seorang mujtahid
tersebut harus menguasai masalah yang hendak diijtihadkan. Seperti dalam ilmu
hisab, ataupun ilmu faraidh.
vi.
Hikmah Ijtihad
Hikmah
dari rasulullah berijtihad, dan rasulullah juga mengizinkan para sahabat untuk
berijtihad sedangkan
syari’at Islam telah selesai. Diantaranya adalah secara umum manusia
berbeda-beda ras dan juga karakter. Sangat beragam kebiasaan maupun adat
mereka. Berbagai kejadian baru terus terjadi tanpa batas. Dan seseorang yang
ditimpa dengan kejadian tersebut belum tentu sama keadaan dengan masa lalu. Sedangkan
kaidah dan juga nash menjelaskan syari’at secara umum, dan belum ada penjelasan
yang terperinci. Maka dari situlah rasulullah mengajarkan bagaimana cara mengistimbat
sebuah hukum dari dalil-dalil yang umum tersebut.
Selain
untuk menghasilkan sebuah hukum, dengan berijtihad juga menjadikan seseorag
untuk lebih menguatkan cara berfikir. Maka sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَنَزَّلْنَا
عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى
لِلْمُسْلِمِينَ
“Dan
Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan
Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu
dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”
Maka
makna tibyaanan tersebut bukan mencakup semua permasalahan yang terjadi,
melainkan nash tersebut menunjukkan bahwasannya maksud dari ayat tersebut
adalah al-Qur’an merupakan bentuk umum yang belum terperinci pada sebuah hal
tertentu. Melainkan hanya kaidah umum yang darinya bisa diperinci pada setiap
masalah keseharian.
Seperti
perintah yang terkandung dalam al-Qur’an untuk berlaku adil, melakukan
musyawarah, menghilangkan madzarat, melindungi hak sesama, menunaikan
amanah kepada yang berhak menerima, menanyakan sesuatu yang belum diketahui
kepada orang yang lebih berilmu, dan lain sebagainya. Hal tersebut merupakan
kaidah umum yang bisa direalisasikan tidak dalam masalah tertentu.
Maka
karena itulah rasulullah mengajarkan para sahabat untuk berijtihad. Sehingga
sebuah hukum bisa direalisasikan pada setiap umat, karena dengan begitu lebih
memudahkan untuk mengamalkan sebuah hukum tersebut. Akan tetapi bukan berarti
pada masa rasulullah menjadikan ijtihad sebuah sumber hukum selain al-Qur’an
dan hadits, melainkan apa-apa yang telah ditetapkan dari ijtihad tidak lepas
dari kesimpulan yang ada dalam al-Qur;an dan hadits.
C.
PENUTUP
Kesimpulan
Istihad
merupakan salah satu sumber hukum yang dipakai sejak zaman rasulullulah hingga
sekarang. Maka diperbolehkan bagi seorang mujtahid yang mampu untuk berijtihad.
Karena tidak semua orang mampu berijtihad, karena ada syarat tertentu yang
harus dipenuhi sehingga seseorang boleh berijtihad. Begitu juga ijtihad hanya
diperbilehkan pada sebuah masalah yang sifatnya ijtihadiyah, ataupun
permasalahan yang belum ada nash atau dalil yang jelas baik dalam al-Qur’an,
sunnah, ataupun Qiyas. Karena dengan adanya ijtihad sebuah permasalahan menjadi
tidak sempit, sehingga memudahkan seorang mukallaf melakukan sesuatu sesuai
dengan kemampuan. Wallahu a’lam bish shawab...
Referensi
Bukhari,Al-,
Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Al-Jami’ As-Shohih, juz 4, cet 1,
(Kairo: Maktabah Salafiyah, 1400 H)
Muslim,
Abu Al-Husain, Shohih Muslim, (Riyadh: Baitul Afkar, 1998 M)
Syaukani,As-,
Muhammad bin Ali, Irsyadul Fuhur,
juz 2, cet 1, (Riyadh: Daar Al-Fadhilah, 2000 M)