Sabtu, 23 April 2016

APAKAH KITA MENGAMALKAN PENDAPAT ARJAH ATAU SATU MADZHAB TERTENTU?





Syikh Shaleh Al-Fauzan ketika ditanya mengenai pertanyaan tersebut beliau menjelaskan bahwasannya seorang yang sudah mampu untuk berijtihad secara mutlak seorang tersebut sudah tidak diperbolehkan untuk bertaqlid. Sedangkan bermadzhab dengan salah satu madzhab dari empat mdzhab yang sudah ma’ruf dikalangan kaum muslimin maka itu diperbolehkan, begitu juga menasabkan diri terhadap terhadap sebuah madzhab tertentu, seperti: Fulan Al-Hanafi, Fulan Al-Maliki, ataupun contoh dari ulama seperti Ibnu Taymiyah Al-Hanbali, Ibnul Qayyim Al-Hanbali dan nasab itu masih terus dipakai. Maka hal itu tidak dilarang. Dan berkonsisten terhadap satu madzhab juga tidak dilarang, akan tetapi dengan syarat tidak bertaqlid dengan madzhab tersebut dari semua sisi, baik benar maupun salah. Hanya diperbolehkan mengambil apa-apa yang benar dari madzhab tersebut. Jika seorang telah mengetahui apabila sebuah pendapat pada madzhab tersebut salah maka dilarang untuk dimalkan. Dan jika ada pendapat yang lebih rajih, seorang tersebut harus mengamalkan pendapat yang lebih rajih, walaupun pendapat itu berasal dari madzhab lain. Karena pada hakikatnya sebuah amalan itu hanya mengikuti rasulullah, bukan mengikuti perkataan seseorang. Maka hendaklah kita mengambil pendapat dari sebuah madzhab yang tidak menyelisi perkataan atau perbuatan rasulullah. Jika sebuah pendapat menyelisihi perkataan atau perbuatan rasulullah maka hendaknya kita meninggalkan perkataan tersebut, dan kita kembali kepada sunnah.
Maka hendaknya mengambil perkataan yang rajih, yaitu perkataan yang tidak menyelisihi rasulullah, baik itu dari pendapat madzhab yang diikuti mupun dari madzhab lain. Maka apabila sesorang yang mengambil semua perkataa dari seorang imam, baik yang benar maupun yang salah maka hal itu termasuk taqlid buta. Jika seorang mewajibkan untuk mengikuti sebuah pendapat dari seseorang selain rasulullah, maka ia termasuk murtad. Sebagaimana perkataan Ibnu Taimiyah: Barang siapa yang mengatakan “Seseorang itu wajib bertaqlid terhadap sesorang selain rasulullah maka hendaklah ia bertaubat. Maka apabila tidak bertaubat hendaklah ia dibunuh” Karena tidak ada seorangpun yang perkataanya boleh diikuti selain rasulullah. Apapun selain rasululllah, seperti imam atau mujtahid hendaknya kita mengambil pendapat mereka yang memang sesuai dengan sunnah. Dan jika seorang mujtahid salah dalam berijtihad maka kita haram mengambil pendapatnya.
Sebagaimana perkataan para Imam itu sendiri:
Imam Abu Hanifah berkata :
اُتــْرُكُوْا قَوْلــِى لِقَوْلِ اللهِ وَ رَسُوْلــِهِ وَ الصَّحَابَةِ.
Tinggalkanlah perkataan (pendapatku) yang berlawanan dengan firman Allah dan Sabda Rasul-Nya dan perkataan shahabat.
لاَ يَحِلُّ ِلاَحَدٍ اَنْ يَقُوْلَ بِقَوْلـــِنَا حَتَّى يَعْلَمَ مِنْ اَيــْنَ قُلْنَاهُ.
Tidak halal bagi seseorang yang berkata dengan perkataan kami hingga mengetahui dari mana kami mengatakannya.
حَرَامٌ عَلَى مَنْ لَمْ يَعْرِفْ دَلِـيـْلِى اَنْ يُفْتِيَ كَلاَمِى.
Haram atas orang yang belum mengetahui dalil (alasan) fatwaku untuk berfatwa dengan perkataanku.

Imam Malik berkata :
اِنَّمَا اَنــَا بَشَرٌ اُخْطِئُ وَ اُصِيْبُ فَانْظُرُوْا فِى رَأْيِى فَكُـلُّ مَا وَافَقَ اْلكِتَابَ وَ السُّنَّةَ فَخُذُوْهُ وَ كُـلُّ مَا لَمْ يُوَافِقِ اْلكِتَابَ وَ السُّنَّةَ فَاتْرُكُوْهُ.
Aku ini hanya seorang manusia yang boleh jadi salah, dan boleh jadi betul. Oleh karena itu, perhatikanlah pendapatku. Tiap-tiap yang cocok dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul, ambillah dia dan tiap-tiap yang tidak cocok dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul, maka tinggalkanlah.
كُلُّ اَحَدٍ يُؤْخَذُ مِنْ كَلاَمِهِ وَيـُرَدُّ عَلَـيْهِ اِلاَّ صَاحِبَ هذَا اْلقَبْرِ. وَ يُشِيْرُ اِلَى الرَّوْضَةِ الشَّرِيْفَةِ. وَ فِى رِوَايَةٍ: كُلُّ كَلاَمٍ مِنْهُ مَقْبُوْلٌ وَ مَرْدُوْدٌ اِلاَّ كَلاَمَ صَاحِبِ هذَا اْلقَبْرِ.
Setiap orang boleh diambil perkataannya dan boleh pula ditolak, kecuali perkataan penghuni qubur ini (beliau sambil menunjuk kearah makam yang mulia (makam Nabi SAW). Dan dalam riwayat lain : "Semua perkataan orang itu boleh diterima dan boleh ditolak, kecuali perkataan penghuni qubur ini".

Imam Syafi'i berkata :
لاَ قَوْلَ ِلاَحَدٍ مَعَ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ ص.
Tidak boleh diterima perkataan seseorang jika berlawanan dengan sunnah Rasulullah SAW.
اِذَا صَحَّ اْلحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِى.
Apabila telah shah satu hadits, maka itulah madzhabku.
اِذَا صَحَّ خَبَرٌ يُخَالِفُ مَذْهَبِى فَاتَّبِعُوْهُ وَاعْلَمُوْا اَنــَّهُ مَذْهَبِى.
Apabila sah khabar dari Nabi SAW yang menyalahi madzhabku, maka ikutlah khabar itu, dan ketahuilah bahwa itulah madzhabku.
كُـلُّ مَسْأَلــَةٍ تَكَــلَّمْتُ فِيْهَا صَحَّ اْلخَبَرُ فِيْهَا عَنِ النَّبِيِّ ص عِنْدَ اَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا قُـلْتُ، فَاَنــَا رَاجِعٌ عَنْهَا فِى حَيَاتِى وَ بَعْدَ مَمَاتِى.
Tiap-tiap masalah yang pernah saya bicarakan, kemudian ada hadits yang riwayatnya sah dari Rasulullah SAW dalam masalah itu di sisi ahli hadits dan menyalahi fatwaku, maka aku ruju' (tarik kembali) dari fatwaku itu diwaktu aku masih hidup maupun sesudah mati.

Imam Ahmad bin Hanbal berkata :
لاَ تُـقَـلِّدْنِى وَ لاَ مَالِكًا وَ لاَ الشَّافِعِيَّ وَ لاَ اْلاَوْزَاعِيَّ وَ لاَ الثَّوْرِيَّ وَ خُذْ مِنْ حَيْثُ اَخَذُوْا.
Jangan engkau bertaqlid kepadaku, jangan kepada Malik, jangan kepada Syafi'i dan jangan kepada Al-Auza'i dan jangan kepada Ats-Tsauri, tetapi ambillah (agamamu) dari tempat mereka mengambilnya (yaitu Al-Qur'an dan Hadits).
مِنْ قِلَّةِ فِقْهِ الرَّجُلِ اَنْ يُـقَـلِّـدَ دِيْـنَهُ الرِّجَالَ.
Diantara tanda sedikitnya pengertian seseorang itu ialah bertaqlid kepada orang lain tentang urusan agama.



Kamis, 21 April 2016

HIKMAH MAKAN SECUKUPNYA





بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
“Cukuplah bagi anak keturunan Adam agar makan sekadar untuk menegakkan tulang sulbinya (tulang punggung). Melainkan jika ia tidak dapat mengerak, maka isilah 1/3 untuk makanannya, 1/3 untuk minumannya, dan 1/3 untuk nafasnya.” (HR. Tirmidzi 1381, Ibnu Majah 3349)
Diantara macam-macam penyakit salah satunya adalah bersifat material, yang muncul kerena materi yang berlebihan di dalam badan. Sehingga mengganggu kerja pencernakan yang bersifat alami. Karena makanan masuk kedalam tubuh sebelum pencernakan awal selesai. Jika seseorang terbiasa dengan hal ini, maka akan menimbulkan berbagai macam penyakit. Maka anjuran makan dari rasulullah sesuai dengan kebutuhan, tidak berlebihan dan juga kurang. Karena makanan yang bisa bermanfaat untuk badan bukan karena makanan yang banyak, tapi yang cukup sesuai kebutuhan, dan itu lebih memberi manfaat. Tingkatan makanan itu ada tiga macam, menurut kebutuhan, cukup, dan berlebihan. Maka rasulullah mengabarkan bahwa baginya cukup beberapa suap saja bisa menegakkan tulang punggungnya, agar kekuatannya tidak turun. Maka makanan akan mengisi sepertiga bagian perutnya, membiarkan sepertiga yang lain untuk air, dan sepertiga lainnya untuk nafas. Karena di dalam badan manusia itu ada unsur tanah, unsur udara, dan unsur air. Maka rasulullah membaginya untuk makanan, mainuman, dan nafas. Jika makanan terlalu banyak, bagian untuk air menjadi berkurang, begitu juga bagian untuk nafas. Penyebab lain juga dapat merusakkan hati, menjadikan seseorang malas melakukan ketaatan, dan akan mengikuti syahwat yang disebabkan karena kenyangnya perut. Maka semua makanan yang masuk bisa menyebabkan bahaya bagi hati dan juga tubuh. Hal ini apabila dilakukan secara terus menerus, tapi apabila jarang dilakukan maka tidak mengapa. Wallahu ‘alam bish shawab...
Zaadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, Al-Imam Al-Muhadits Al-Mufassir Al-Faqih Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Abi Bakar Az-Zar’i Ad-Dimasyqi (Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah), juz 4, cet 3, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1998 M), hal. 16

Minggu, 10 April 2016

SEPUTAR IJTIHAD


A.    PENDAHULUAN
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik ciptaan, sebagaimana dalam firman-Nya “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya  yang artinya bahwa apa-apa yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya itu merupakan sebuah pemberian yang sangat baik. Maka dengan menambah kesempurnaan-Nya Allah juga ciptakan berbagai macam bentuk dan juga kemampuan. Sehingga manusia memiliki cara yang berbeda dalam melalukan sesuatu berdasarkan kemampuan masing-masing.
Begitu juga perbedaan manusia berdampak pada masalah pemahaman nash yang telah Allah turunkan sendiri, ataupun melalui utusan-Nya. Sehingga dalam menerapkan ataupun meresap sebuah nashpun juga memberikan hasil yang berbeda. Seperti dikalangan ulama ataupun mujtahid yang memiliki kemampuan dalam memahami sebuah nash, berbeda dengan seseorang yang belum memiliki kemampuan memahami nash, mereka memerlukan orang lain dalam memahami nash.
Begitu juga dalam memahami sebuah permasalahan atau yang tidak secara jelas tertera dalam al-Qur’an, seorang yang belum memiliki kemampuan dalam hal tersebut mengalami kesulitan. Maka dalam risalah ini penulis memaparkan seputar mujtahid atau orang yang mampu berijtihad, dan keterangan seputar ijtihad.
B.     PEMBAHASAN
i.           Definisi Ijtihad
Ijtihad secara bahasa bersal dari kata jahada-jahdan yang artinya berusaha dengan sungguh-sungguh dan jerih payah.[1] Sebagaimana juga Allah menyebutkan kata jahada dalam al-Qur’an yang berarti bersusah payah وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ “Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan sumpah sungguh-sungguh.”[2]
Sedangkan secara istilah para ulama berbeda penjelasan ketika memberikan pengertian tentang ijtihad. Imam Ghazali memberi pengerian ijtihad merupakan lafazh yang sudah menjadi urf atau kebiasaan dikalangan ulama yang artinya seorang mujtahid mencurahkan kemampuannya dalam menentukan sebuah hukum-hukum syar’i sesuai dengan kemampuan ilmu. Sedangkan secara sempurna ijtihad merupakan uapaya mencurahkan sesuatu, dengan diiringi perasaan lemah dan kurangnya ilmu pada dirinya.[3] Dan Ibnu Qudamah, Al-Bazdawi, Al-Kamil bin Al-Hamaam bersepakat dengan pengertian tersebut.[4]
Sedangkan Abu Ishaq As-Syirazi memberi pengerian ijtihad dalam urf ulama merupakan mencurahkan kemampuan dalam menentukan sebuah hukum syar’i.[5]
Dikatakan juga dalam kitabnya Imam Syaukani ijtihad adalah mencurahkan segenap usaha untuk mendapatkan sebuah hukum terhadap sebuah perbuatan dengan cara menyimpulkan.[6]
Maka dari beberapa pendapat ulama diatas dapat diambil kesimpulan bahwasannya ijtihad merupakan usaha yang dicurahkan seorang mujtahid untuk menentukan sebuah hukum syar’i.
ii.         Dasar Hukum
Seorang yang telah mampu untuk berijtihad, diperbolehkan berijtihad sebagaimana dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”[7]
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”[8]
Begitu juga masalah ijtihad diterangkan dalam hadits rasulullah dari Amru bin Ash:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ
“Apabila seorang hakim menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan benar, baginya dua pahala. Dan apabila ia menghukumi satu perkara, lalu berijtihad dan keliru, baginya satu pahala”[9]
iii.       Perkembangan Ijtihad
Pada masa rasulullah sumber hukum syari’at hanya dari al-Qur’an dan hadist-hadist dari rasulullah yang merupakan wahyu dari Allah. Apabila para sahabat menemukan sesuatu yang belum mereka fahami, maka mereka langsung menanyakan kepada rasulullah. Maka sudah tidak diragukan bahwasannya rasulullah telah diizinkan untuk berijtihad. Begitu juga rasulullah mengizinkan para sahabat untuk berijtihad, walaupun ijtihad para sahabat terkadang juga mengandung kesalahan.[10]
Contoh ijtihad para sahabat saat rasulullah meminta pendapat kepada mereka tentang tawanan perang Badar. Dan rasulullah lebih memilih pendapat Abu Bakar untuk mengambil bayaran dari setiap tawanan, dari pada pendapat Umar untuk membunuh tawanan. Lalu turunlah wahyu dari Allah yang berbunyi:
مَا كَانَ لِنَبِيٍّ أَن يَكُونَ لَهُ أَسْرَى حَتَّى يُثْخِنَ فِي الأَرْضِ
“Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi.”[11]
Setelah turun ayat tersebut kemudian rasulullah bersabda “Kalaulah kita ditimpa sebuah bencana tidak ada yang selamat kecuali Umar.” Dari peristiwa diatas menunjukkan ijtihadnya rasulullah berikut para sahabat, walaupun dalam ijtihad bisa jadi salah atau benar.[12]
Akan tetapi setelah sempurnanya al-Qur’an dan terputusnya wahyu dengan meninggalnya rasulullah, kepemimpinan umat dipegang oleh khulafa’ur rasyidin. Para sahabat yang diberi amanah untuk menjadi pemimpin para sahabat sepeninggal rasulullah.
Ketika kepemimpinan umat Islam berada ditangan khulafa’ur rasyidin islam mengalami banyak perkembangan. Islam mulai tersebar dipelosok Jazirah Arab, Mesir, Syam, Persi, Irak, sehinggan menjadikan orang berbondong-bondong masuk Islam. Maka daerah kekuasaan Islam semakin luas. Disamping orang muslim menjadi semakin banyak, permasalahan juga mulai banyak bermunculan. Dan beberapa masalah yang mereka jumpai belum pernah terjadi saat rasulullah masih hidup. Masalah lain timbul juga kerana perbedan kebiasaan sesuai daerah masing-masing. Sehingga Islam menjadi beraneka ragam.
Akan tetapi khulafa’ur rasyidin tetap berusaha meluruskan syari’at sesuai dengan al-Qura’an dan hadits. Dan untuk sebuah permasalahan yang baru, dan belum dijumpai ketika rasulullah masih hidup mereka berusaha untuk berijtihad dengan merealisasikan kaidah-kaidah umum yang bersumber dari al-Qura’an dan hadits. Karena sebelum meninggal, rasulullah sendiri telah mengajakan berijtihad, baik itu benar atau salah dan rasulullah yang akan meluruskan. Dan hal itu menunjukkan keridhaan rasulullah akan sebuah ijtihad. Maka para sahabat berusaha berijtihad dengan bersandar al-Quran dan hadits rasulullah, apabila mereka tidak menemukannya dalam al-Qur’an ataupun sunnah, maka mereka memusyawarahkan atas sebuah perkara tersebut, dengan saling berijtihad di dalamnya. Maka terjadinya sebuah perbedaan pendapat merupakan hal yang biasa.
Seperti perbedaan pendapat dalam masalah warisan. Bahwasannya kakek bisa menjadi hajib bagi saudara si mayit sama seperti keberadaan ayah si mayit. Abu Bakar berpendapat demikian karena kakek juga dinamakan ayah sebagaimana dalam ayat:
 وَاتَّبَعْتُ مِلَّةَ آبَآئِـي إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ
            Dan aku pengikut agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya'qub”.[13] Sedangkan Umar berbeda pendapat dengan mengatakan bahwasannya kakek tidak bisa memahjubkan, karena penamaan ayah pada kakek dalam ayat diatas hanya sebuah majaz. Dan banyak masalah lain yang diantara para sahabat sendiri berbeda pendapat.
Maka metode ijtihad masih terus berlanjut sampai periode selanjutnya yaitu masa pemerintahan Umawiyah. Semakin meluasnya Islam semakin banyak juga permasalahan baru yang terus muncul. Dan perbedaan umat juga masih terus terjadi. Dan dari perbedaan ini menjadikan umat terpecah-pecah. Sehingga mulai bermunculan kelompok yang berawal dari perbedaan ini dintaranya Syi’ah dan Khawarij. Sehingga perbedaan yang awalnya hanya perbedaan pendapat ringan menjadikan perpecahan umat yang menyebabkan timbulnya ta’asub.
Dan metode ini masih terus berlanjut hingga masa ulama madzhab. Yang mana Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hambal juga memakai metode ini dalam menanggapi sebuah masalah yang tidak tertera jelas dalam al-Qur’an dan hadits, ataupun yang belum dijelaskan para sahabat. Walaupun dalam berijtihad sendiri mereka memiliki metode yang berbeda.
Maka dari sebuah pekerjaan yang mulia ini semua permasalahan umat telah dibahas oleh para ulama. Sehingga para ulama muta’akhirin banyak membuat karya dari hasil ijtihad para ulama tersebut. Ataupun memperbarui dan meringkas ijtihad mereka untuk memudahkan umat untuk memahami sebuah masalah yang mereka hadapi. Karena hampir semua masalah telah dibahas dan dijelaskan ulama.[14]
iv.       Mahal Ijtihad
Para ushulin telah menentukan kaidah untuk berijtihad لامساغ للاجتهاد في مورد النصTidak ada ruang untuk berijtihad selama ada nash” yaitu nash yang qath’i. Hal ini menunjukkan bahwasannya semua perkara yang telah ada dlilnya secara qath’i maka tidak boleh diijtihadkan. Seperti mengucapakan dua kalimat syahadat, wajibnya salat lima waktu, puasa, zakat, haji, haramnya zina, mencuri, minim khamr, membunuh yang semuanya telah ditentukan hukumannya secara jelas. Contoh lain seperti ukuran dalam mengeluarkan zakat, kafarat bagi orang yang membunuh, baik yang membunuh dengan senagaja maupun tidak sengaja. Maka semua hukum yang berkaitan dengan hal tersebut telah ditetapkan dengan dalil yang jelas dan tidak ada penafsiran lain. Begitu juga telah dijelaskan rasulullah dalam hadits-hadistnya, maka sudah tidak diperbolehkan untuk melakukan ijtihad pada perkara tersebut.[15]
Adapun untuk permasalahan yang sudah ada dalilnya, namun dengan menggunakan dalil yang dzonni, atau permasalahan yang memang belum ada nashnya maka diperbolehkan adanya ijtihad.[16]
Apabila nash tersebut dzonniy stubut maka diperbolehkan ijtihad di dalamnya. Di dalamnya menbahas hal yang berhubungan dengan sanad, bagaimnana sampainya kepada kita, keadilan rawi, sehingga menjadikan perbedaan pendapat mengenai penggunaan dalil tersebut. Sehingga ada sebagian mujtahid yang mengambil dalil tersebut, dan ada juga yang meninggalkan karena ditakutnya adanya kesalahan dalam menggunakan dalil.[17]
Sebagaimana untuk dalil yang dzanni dalalah juga diperbolehkan berijtihad. Di dalamnya membahas hal yang berhubungan dengan lafazh nash tersebut. Yang bisa difahami dengan qawaid lughawi apakah lafazh tersebut dimaknai dengan lafazh shorihnya atau isyarat dari lafadz tersebut. Atau lafazh yang mengandung makna umum atau khusus, dan pembahasan lain yang berhubungan dengan lafazh nash tersebut.[18]
Adapun untuk sebuah perkara yang tidak ada nash ataupun permasalahan yang belum menjadi ijma ulama maka juga boleh menjadi ijtihad dengan menggunakan adilah aqliyah seperti dengan qiyas, istihsan, maslahah mursalah, urf, istishab, atau yang lainnya. Maka mahal ijtihad pada sebuah perkara yang tidak ada dalil shorihnya, ataupun masalah yang menggunakan dalil tidak qath’i.[19]
v.         Ketentuan Seorang Mujhahid
Dalam sebuah permasalahan yang di mana seorang mujtahid boleh berijtihad di dalamnya, seorang mujtahid harus memiliki keahlian dalam berijtihad. Artinya tidak semua orang memiliki kemampuan untuk berijtihad. Syarat umum seorang mujtahid adalah Islam, berakal, dan baligh.[20] Kemudian Imam Az-Zarkasyi menyebutkan ketentuan bagi seorang mujtahid adalah:
1.      Menguasai nash baik dari al-Qur’an maupun hadits
Apabila seorang mujtahid hanya menguasai salah satu diantara keduanya maka seseorang belum boleh berijtihad. Akan tetapi syarat menguasai al-Qur’an tidak semua ayat yang ada di dalamnya, melainkan ayat-ayat yang di dalamnya mengandung hukum-hukum.
Imam Ghazali dan Ibnul ‘Arabi menyebutkan bahwasannya ayat yang mengandung hukum-hukum kurang lebih lima ratus ayat. Begitu juga disebutkan Mawardi, dan yang lainnya.
Al-Ustadz Abu Mansur mengatakan “Disyaratkan bagi seorang mujtahid mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan syari’at, akan tetapi tidak termasuk di dalamnya tentang qisa[21]s dan maw’idz[22].
Sebagian besar ahlul ilmi mensyaratkan juga seorang mujtahid harus hafal semua isi al-Qur’an, karena dengan hafalan sebagai penguat makna yang dikandungnya. Akan tetapi sebagian ulama lain tidak mewajibkan seperti ayat tentang permisalan ataupun tentang celaan. Begitu juga pendapat Abu Ishaq, Ar-Rofi’i dan yang lainnya yang tidak mensyaratkan hafal seluruh al-Qur’an.


2.      Menguasai hadist yang berkaitan dengan hukum
Al-Mawardi mengatakan hadist tersebut kurang lebih sekitar lima ratus hadits. Sedangkan menurut Ibnul ‘Arabi hasits tersebut kurang lebih tiga ribu hadits.
Dan Ahmad mengatakan lebih banyak sebagaimana perkataan Abu Ali Adz-Dzorori saat aku bertanya “Berapa banyak seseorang mengatahui hadits yang cukup untuk berfatwa? Apakah cukup seratus ribu?” Tidak. Aku bertanya lagi “Empat ratus ribu?” Tidak. “Lima ratus ribu?” Dia berkata “Semoga.” Dalam riwayat lain disebutkan “Tiga ratus ribu?” dia menjawab “Semoga”. Akan tetapi maksud dari hadits di atas menunjukkan bahwa sangat banyak atsar dari sahabat dan tabi’in terhadap sebuah matan hadits.
3.      Ijma
Seorang mujtahid hendaknya mengetahui ijma’, sehingga seorang mujtahid tidak menyelisihi ijma’ apabila berijtihad. Walaupun tidak wajib menghafal semua ijma’, akan tetapi hendaknya menguasai setiap masalah dimana seorang mujtahid berijtihad, sehingga tidak menyelisihi ijma’.
Begitu juga seorang mujtahid harus mengetahui ikhtilaf. Sebagaimana dikatakan Imam Syafi’i di dalam Ar-Risalah. Sehingga seorang mujtahid tidak mengatakan sebuah pendapat yang keluar dari ijma.
4.      Qiyas
Seorang mujtahid harus menguasai qiyas, berikut syarat dan rukunnya. Karena dari illah seorang mujtahid berijtihad, dan mengeluarkan pendapat. Dan dari illah juga fiqih menjadi bercabang. Maka barang siapa yang tidak mengetahui illah sebuah masalah, seorang tidak akan mempu mengeluarkan istimbat hukum.
5.      Mengetahui cara meneliti
Maka tidak diragukan lagi bahwasannya seorang mujtahid harus bersandar dengan dalil yang benar, berikut juga mengetahui kakikat yang terkandung di dalam dalil yang harus direalisasikan.
6.      Menguasai lisan Arab dan juga pokok pembicaaraan
Seorang mujtahid harus mengusai ilmu bahasa Arab, baik dari segi bahasa, nahwu, maupun tashrifnya. Mengetahui pembicaraan dan kebiasaan mereka dalam menggunakan bahasa Arab. Sehingga seorang mujtahid bisa membedakan antara lafazh shorih atau dzohir, mujmal atau mubayyinah, ‘amm atau khas, haqiqah atau majaz.
Ustadz Abu Ishak mengatakan seorang mujtahid cukup menguasai bahasa yang paling sering dipakai, dan tidak disyaratkan menguasai semuanya. Seperti nahwu, sehingga seorang mujtahid dapat membedakan lafazh yang dzohir, seperti fa’il atau maf’ul. Mengetahui jar, rafa’, dan yang berhubungan seperti masalah athaf, khitab, kinayah, washl, dan fashl. Tidak harus menguasai semua ilmu bahasa arab secara merinci.
7.      Mengetahui nasikh dan mansukh
Seorang mujtahid harus menguasai nasikh dan mansukh sebuah dalil. Begitu juga menguasai masalah ‘amm khas, mufassar mujmal, mubayyin, muqayyad dan mutlaq. Apabila belum menguasai maka belum boleh berijtihad.
8.      Mengetaui kuat atau lemahnya sebuah riwayat
Dengan mengetahui kuat atau lemahnya sebuah riwayat seorang mujtahid bisa membedakan antara dalil yang shahih dengan fasid, maqbul dengan mardud.
Abu Ishak dan Al-Ghazali mengatakan hendaknya mengatakan dari perkataan ulama ahlul hadits, seperti imam Ahmad, Bukhari, Muslim, Daruqutni, Abu Daud, karena mereka menguasai dalam masalah tersebut. Maka diperbolehkan mengambil perkataan mereka.
Imam Ghazali berkata ilmu yang berkaitan dengan hal ini bisa membenarkan seseorang dalam berijtihad. Karena ilmu utama yang harus dikuasai seorang mujtahid adalah tiga, yaitu ilmu hadits, ilmu bahasa, dan ilmu ushul fiqih.
Maka seorang mujtahid harus menguasai syarat diatas. Adapun seorang mujtahid yang khusus, yang hanya ditanya mengenai sebuh permasalahan maka seorang mujtahid tersebut harus menguasai masalah yang hendak diijtihadkan. Seperti dalam ilmu hisab, ataupun ilmu faraidh.[23]
vi.       Hikmah Ijtihad
Hikmah dari rasulullah berijtihad, dan rasulullah juga mengizinkan para sahabat untuk berijtihad sedangkan syari’at Islam telah selesai. Diantaranya adalah secara umum manusia berbeda-beda ras dan juga karakter. Sangat beragam kebiasaan maupun adat mereka. Berbagai kejadian baru terus terjadi tanpa batas. Dan seseorang yang ditimpa dengan kejadian tersebut belum tentu sama keadaan dengan masa lalu. Sedangkan kaidah dan juga nash menjelaskan syari’at secara umum, dan belum ada penjelasan yang terperinci. Maka dari situlah rasulullah mengajarkan bagaimana cara mengistimbat sebuah hukum dari dalil-dalil yang umum tersebut.
Selain untuk menghasilkan sebuah hukum, dengan berijtihad juga menjadikan seseorag untuk lebih menguatkan cara berfikir. Maka sebagaimana firman Allah Ta’ala:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَاناً لِّكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
Dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri[24]
Maka makna tibyaanan tersebut bukan mencakup semua permasalahan yang terjadi, melainkan nash tersebut menunjukkan bahwasannya maksud dari ayat tersebut adalah al-Qur’an merupakan bentuk umum yang belum terperinci pada sebuah hal tertentu. Melainkan hanya kaidah umum yang darinya bisa diperinci pada setiap masalah keseharian.
Seperti perintah yang terkandung dalam al-Qur’an untuk berlaku adil, melakukan musyawarah, menghilangkan madzarat, melindungi hak sesama, menunaikan amanah kepada yang berhak menerima, menanyakan sesuatu yang belum diketahui kepada orang yang lebih berilmu, dan lain sebagainya. Hal tersebut merupakan kaidah umum yang bisa direalisasikan tidak dalam masalah tertentu.
Maka karena itulah rasulullah mengajarkan para sahabat untuk berijtihad. Sehingga sebuah hukum bisa direalisasikan pada setiap umat, karena dengan begitu lebih memudahkan untuk mengamalkan sebuah hukum tersebut. Akan tetapi bukan berarti pada masa rasulullah menjadikan ijtihad sebuah sumber hukum selain al-Qur’an dan hadits, melainkan apa-apa yang telah ditetapkan dari ijtihad tidak lepas dari kesimpulan yang ada dalam al-Qur;an dan hadits.[25]
C.    PENUTUP
Kesimpulan
Istihad merupakan salah satu sumber hukum yang dipakai sejak zaman rasulullulah hingga sekarang. Maka diperbolehkan bagi seorang mujtahid yang mampu untuk berijtihad. Karena tidak semua orang mampu berijtihad, karena ada syarat tertentu yang harus dipenuhi sehingga seseorang boleh berijtihad. Begitu juga ijtihad hanya diperbilehkan pada sebuah masalah yang sifatnya ijtihadiyah, ataupun permasalahan yang belum ada nash atau dalil yang jelas baik dalam al-Qur’an, sunnah, ataupun Qiyas. Karena dengan adanya ijtihad sebuah permasalahan menjadi tidak sempit, sehingga memudahkan seorang mukallaf melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuan. Wallahu a’lam bish shawab...



Referensi
Al-Qur’an Al-Karim
Bukhari,Al-, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Al-Jami’ As-Shohih, juz 4, cet 1, (Kairo: Maktabah Salafiyah, 1400 H)
Ghazali,Al-, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Al-Mustasfa, juz 4, (Madinah: Al-Jami’ah Al-Islamiyah Kuliyyah As-Syari’ah)
Munawwir, AW, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984 M)
Muslim, Abu Al-Husain, Shohih Muslim, (Riyadh: Baitul Afkar, 1998 M)
Saayis,As-, Muhammad Ali, Nasy’ah Al-Fiqh Al-Ijtihad wa Athwaruhu, (Majmu’ Al-Buhuts Al-Islamiyah Kitab-9)
Syaukani,As-, Muhammad bin Ali, Irsyadul Fuhur,  juz 2, cet 1, (Riyadh: Daar Al-Fadhilah, 2000 M)
Umary,Al-, Syarif, Al-Ijtihad fil Islam, cet 3, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah 1985 M)
Zarkasyi, Az-, Bahrul Muhit fi Ushul Fiqh, juz 6, cet 2, (Ghardiqah: Daarus Shafwah, 1992 M)
Zuhaili,Az-,  Wahbah, Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh, cet 1, (Damaskus: Darul Fikr, 1999 M)


[1] AW Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1984 M), hlm. 217
[2] QS. An-Nuur: 53
[3] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Al-Mustasfa, juz 4, (Madinah: Al-Jami’ah Al-Islamiyah Kuliyyah As-Syari’ah), hal. 4
[4] Syarif Al-Umary, Al-Ijtihad fil Islam, cet 3, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah 1985 M),hal. 21
[5] Ibid, hal. 22
[6] Muhammad bin Ali As-Syaukani, Irsyadul Fuhur,  juz 2, cet 1, (Riyadh: Daar Al-Fadhilah, 2000 M), hal.1025
[7] QS. An-Nisa’: 59
[8] QS. Asy-Syura: 38
[9]  HR. Bukhari: 7352 dan Muslim:1716. Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Al-Jami’ As-Shohih, juz 4, cet 1, (Kairo: Maktabah Salafiyah, 1400 H), hal. 372, dan Abu Al-Husain Muslim, Shohih Muslim, (Riyadh: Baitul Afkar, 1998 M), hal. 713
[10] Muhammad Ali As-Saayis, Nasy’ah Al-Fiqh Al-Ijtihad wa Athwaruhu, (Majmu’ Al-Buhuts Al-Islamiyah Kitab-9), hal. 14
[11] QS. Al-Anfal: 67
[12] Muhammad Ali As-Saayis, Nasy’ah Al-Fiqh Al-Ijtihad wa Athwaruhu, (Majmu’ Al-Buhuts Al-Islamiyah Kitab-9), hal. 14
[13] QS.  Yusuf: 38
[14] Muhammad Ali As-Saayis, Nasy’ah Al-Fiqh Al-Ijtihad wa Athwaruhu, (Majmu’ Al-Buhuts Al-Islamiyah Kitab-9), hal. 36-107
[15] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wajiz Fi Ushul Fiqh, cet 1, (Damaskus: Darul Fikr, 1999 M), hal. 232
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Wajiz FI Ushul Fiqh, cet 1, (Damaskus: Darul Fikr, 1999 M), hal. 232
[19] Ibid.
[20] Syarif Al-Umary, Al-Ijtihad fil Islam, cet 3, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah 1985 M),hal. 60
[21] Ayat-ayat yang mengandung cerita.
[22] Ayat-ayat yang mengandung nasehat.
[23] Az-Zarkasyi, Bahrul Muhit fi Ushul Fiqh, juz 6, cet 2, (Ghardiqah: Daarus Shafwah, 1992 M), hal. 199-206
[24] QS. An-Nahl: 89
[25] Muhammad Ali As-Saayis, Nasy’ah Al-Fiqh Al-Ijtihad wa Athwaruhu, (Majmu’ Al-Buhuts Al-Islamiyah Kitab-9), hal.  24-26