Syikh Shaleh Al-Fauzan ketika ditanya mengenai pertanyaan tersebut
beliau menjelaskan bahwasannya seorang yang sudah mampu untuk berijtihad secara
mutlak seorang tersebut sudah tidak diperbolehkan untuk bertaqlid. Sedangkan
bermadzhab dengan salah satu madzhab dari empat mdzhab yang sudah ma’ruf
dikalangan kaum muslimin maka itu diperbolehkan, begitu juga menasabkan diri terhadap
terhadap sebuah madzhab tertentu, seperti: Fulan Al-Hanafi, Fulan Al-Maliki,
ataupun contoh dari ulama seperti Ibnu Taymiyah Al-Hanbali, Ibnul Qayyim
Al-Hanbali dan nasab itu masih terus dipakai. Maka hal itu tidak dilarang. Dan
berkonsisten terhadap satu madzhab juga tidak dilarang, akan tetapi dengan
syarat tidak bertaqlid dengan madzhab tersebut dari semua sisi, baik benar
maupun salah. Hanya diperbolehkan mengambil apa-apa yang benar dari madzhab
tersebut. Jika seorang telah mengetahui apabila sebuah pendapat pada madzhab
tersebut salah maka dilarang untuk dimalkan. Dan jika ada pendapat yang lebih
rajih, seorang tersebut harus mengamalkan pendapat yang lebih rajih, walaupun
pendapat itu berasal dari madzhab lain. Karena pada hakikatnya sebuah amalan
itu hanya mengikuti rasulullah, bukan mengikuti perkataan seseorang. Maka
hendaklah kita mengambil pendapat dari sebuah madzhab yang tidak menyelisi
perkataan atau perbuatan rasulullah. Jika sebuah pendapat menyelisihi perkataan
atau perbuatan rasulullah maka hendaknya kita meninggalkan perkataan tersebut,
dan kita kembali kepada sunnah.
Maka hendaknya mengambil perkataan yang rajih, yaitu perkataan yang
tidak menyelisihi rasulullah, baik itu dari pendapat madzhab yang diikuti mupun
dari madzhab lain. Maka apabila sesorang yang mengambil semua perkataa dari
seorang imam, baik yang benar maupun yang salah maka hal itu termasuk taqlid buta.
Jika seorang mewajibkan untuk mengikuti sebuah pendapat dari seseorang selain
rasulullah, maka ia termasuk murtad. Sebagaimana perkataan Ibnu Taimiyah:
Barang siapa yang mengatakan “Seseorang itu wajib bertaqlid terhadap sesorang
selain rasulullah maka hendaklah ia bertaubat. Maka apabila tidak bertaubat hendaklah
ia dibunuh” Karena tidak ada seorangpun yang perkataanya boleh diikuti selain
rasulullah. Apapun selain rasululllah, seperti imam atau mujtahid hendaknya
kita mengambil pendapat mereka yang memang sesuai dengan sunnah. Dan jika
seorang mujtahid salah dalam berijtihad maka kita haram mengambil pendapatnya.
Sebagaimana perkataan para Imam itu sendiri:
Imam Abu Hanifah berkata :
اُتــْرُكُوْا قَوْلــِى لِقَوْلِ اللهِ وَ رَسُوْلــِهِ
وَ الصَّحَابَةِ.
Tinggalkanlah perkataan (pendapatku) yang
berlawanan dengan firman Allah dan Sabda Rasul-Nya dan perkataan shahabat.
لاَ يَحِلُّ ِلاَحَدٍ اَنْ يَقُوْلَ بِقَوْلـــِنَا
حَتَّى يَعْلَمَ مِنْ اَيــْنَ قُلْنَاهُ.
Tidak halal bagi seseorang yang berkata
dengan perkataan kami hingga mengetahui dari mana kami mengatakannya.
حَرَامٌ عَلَى مَنْ لَمْ يَعْرِفْ دَلِـيـْلِى اَنْ
يُفْتِيَ كَلاَمِى.
Haram atas orang yang belum mengetahui
dalil (alasan) fatwaku untuk berfatwa dengan perkataanku.
Imam Malik berkata :
اِنَّمَا اَنــَا بَشَرٌ اُخْطِئُ وَ اُصِيْبُ
فَانْظُرُوْا فِى رَأْيِى فَكُـلُّ مَا وَافَقَ اْلكِتَابَ وَ السُّنَّةَ
فَخُذُوْهُ وَ كُـلُّ مَا لَمْ يُوَافِقِ اْلكِتَابَ وَ السُّنَّةَ فَاتْرُكُوْهُ.
Aku ini hanya seorang manusia yang boleh
jadi salah, dan boleh jadi betul. Oleh karena itu, perhatikanlah pendapatku.
Tiap-tiap yang cocok dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul, ambillah dia dan
tiap-tiap yang tidak cocok dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul, maka tinggalkanlah.
كُلُّ اَحَدٍ يُؤْخَذُ مِنْ كَلاَمِهِ وَيـُرَدُّ
عَلَـيْهِ اِلاَّ صَاحِبَ هذَا اْلقَبْرِ. وَ يُشِيْرُ اِلَى الرَّوْضَةِ
الشَّرِيْفَةِ. وَ فِى رِوَايَةٍ: كُلُّ كَلاَمٍ مِنْهُ مَقْبُوْلٌ وَ مَرْدُوْدٌ
اِلاَّ كَلاَمَ صَاحِبِ هذَا اْلقَبْرِ.
Setiap orang boleh diambil perkataannya dan
boleh pula ditolak, kecuali perkataan penghuni qubur ini (beliau sambil
menunjuk kearah makam yang mulia (makam Nabi SAW). Dan dalam riwayat lain :
"Semua perkataan orang itu boleh diterima dan boleh ditolak, kecuali
perkataan penghuni qubur ini".
Imam Syafi'i berkata :
لاَ قَوْلَ ِلاَحَدٍ مَعَ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ ص.
Tidak boleh diterima perkataan seseorang
jika berlawanan dengan sunnah Rasulullah SAW.
اِذَا صَحَّ اْلحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْهَبِى.
Apabila telah shah satu hadits, maka itulah
madzhabku.
اِذَا صَحَّ خَبَرٌ يُخَالِفُ مَذْهَبِى فَاتَّبِعُوْهُ
وَاعْلَمُوْا اَنــَّهُ مَذْهَبِى.
Apabila sah khabar dari Nabi SAW yang
menyalahi madzhabku, maka ikutlah khabar itu, dan ketahuilah bahwa itulah madzhabku.
كُـلُّ مَسْأَلــَةٍ تَكَــلَّمْتُ فِيْهَا صَحَّ
اْلخَبَرُ فِيْهَا عَنِ النَّبِيِّ ص عِنْدَ اَهْلِ النَّقْلِ بِخِلاَفِ مَا
قُـلْتُ، فَاَنــَا رَاجِعٌ عَنْهَا فِى حَيَاتِى وَ بَعْدَ مَمَاتِى.
Tiap-tiap masalah yang pernah saya
bicarakan, kemudian ada hadits yang riwayatnya sah dari Rasulullah SAW dalam
masalah itu di sisi ahli hadits dan menyalahi fatwaku, maka aku ruju' (tarik
kembali) dari fatwaku itu diwaktu aku masih hidup maupun sesudah mati.
Imam Ahmad bin Hanbal berkata :
لاَ تُـقَـلِّدْنِى وَ لاَ مَالِكًا وَ لاَ
الشَّافِعِيَّ وَ لاَ اْلاَوْزَاعِيَّ وَ لاَ الثَّوْرِيَّ وَ خُذْ مِنْ حَيْثُ
اَخَذُوْا.
Jangan engkau bertaqlid kepadaku, jangan
kepada Malik, jangan kepada Syafi'i dan jangan kepada Al-Auza'i dan jangan
kepada Ats-Tsauri, tetapi ambillah (agamamu) dari tempat mereka mengambilnya
(yaitu Al-Qur'an dan Hadits).
مِنْ قِلَّةِ فِقْهِ الرَّجُلِ اَنْ يُـقَـلِّـدَ
دِيْـنَهُ الرِّجَالَ.
Diantara tanda sedikitnya pengertian
seseorang itu ialah bertaqlid kepada orang lain tentang urusan agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar