BAB I :
PENDAHULAUN
A.
Latar Belakang Masalah
Istishab merupakan
salah satu dalil yang hujjahnya masih diperselisihkan dikalangan ulama ketika tidak ada
dalil (muttafaq).[1] Karena menetapkan hukum menggunakan dalil istishab sama
artinya menetapkan sebuah hukum dengan akal, karena penetapan sebuah hukum
bukan berdasarkan pada asal syari’at, melainkan dari ketetapan akal akan ada
atau tudaknya sebuah hukum, karena hanya dengan disandarkan dengan masa lampau
dan dibangun dengan keyakinan. Artinya ada atau tidaknya hukum karena memang
sudah ma’lum dari masa lampaunya, bukan karena asli adanya syari’at itu
sendiri. [2]
Di kalangan jumhur kecuali
Hanafiyah menggunakan dalil istishab untuk menetapkan sebuah hukum.[3] Penggunakan dalil ini tidak semata-mata menjadi hujjah atas suatu
hukum, melainkan penggunaan dalil ini apabila ada dalil shorih yang
memang menjelaskan akan keberadaan hukum tersebut, atau adanya dalil yang
menunjukkan masih berlakunya ketetapan sebuah hukum tersebut.[4] Dengan kata lain dalil ini masih tetap digunakan oleh ulama untuk
menghukumi sebuah permasalahan atas dasar dalil lain yang mendukung keberadaan
penggunanaan istishab tesebut.
Salah satu permasalahan yang dihukumi oleh ulama dengan dalil istishab
adalah hak ahli waris yang hilang (mafqud). Harta waris merupakan salah
satu unsur yang sangat diperhatikan dalam syari’at Islam. Karena harta
merupakan bagian dari kehidupan, yang mana semua manusia membutuhkan harta.
Sedang kebutuhan akan harta beriringan dengan keberadaan manusia.[5] Dan semua ketentuan mengenai pembagian harta waris telah
dijelaskan dalam Al-Qur’an diantaranya sebagaimana firman Allah:
يُوصِيكُمُ
اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ
نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً
فَلَهَا النِّصْفُ وَلأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا
تَرَكَ إِن كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِن لَّمْ يَكُن لَّهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ
أَبَوَاهُ فَلأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِن كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأُمِّهِ السُّدُسُ
مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَآؤُكُمْ وَأَبناؤُكُمْ لاَ
تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعاً فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ إِنَّ اللّهَ
كَانَ عَلِيما حَكِيماً
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh setengah harta. Dan untuk dua orang ibu dan
bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak, jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu dan bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga,
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang
ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-
anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfa'atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[6]
Berikutnya juga telah dilengkapi penjelasannya dalam hadits yang masyhur,
yang mana para ulama telah mengeluarkan hukum terkait masalah warisan, baik
dengan mengkiaskan dengan peristiwa yang pernah terjadi di masa sahabat, maupun
fuqaha’.[7] Akan tetapi pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat
yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal mati pewarisnya. Karena naluriah
manusia yang menyukai harta benda[8] tidak jarang memotivasi seseorang untuk menghalalkan berbagai cara
untuk mendapatkan harta benda tersebut.
Pada masa jahiliyah pembagian warisan tidak diberikan kepada
seorang wanita, baik anak, istri, maupun ibunya. Adapun pembagian warisan hanya
kepada pihak laki-laki, seperti kakak laki-laki, keponakan, ataupun anaknya
laki-laki yang sudah baligh. Karena kunci pembagian warisan mereka adalah
seorang yang bertanggungjawab menjadi kepala keluarga.[9]
Diantara salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam pewarisan adalah
hidupnya ahli waris setelah kematian seseorang walaupun hanya sebentar.[10] Akan tetapi dengan keadaan ahli waris yang hilang penetapan bagian
warisan belum bisa dibagi secara sempurna, karena adanya ketidak jelasan akan
hidup atau matinya orang yang hilang, sehingga pembagian harta tidak bisa untuk
segera dibagikan. Jika harta dibagikan tanpa menganggap hidup saudara yang
hilang di takutkan mendzalimi hak ahli waris mafqud yang ternyata masih
hidup atau sebaliknya jika ahli waris mafqud yang ditunggu ternyata
telah mati.
Dengan realita saat ini terlampau banyak orang yang pergi ke luar
negri baik untuk belajar, bekerja, ataupun dengan tujuan yang lain. Tentu adanya
kemungkinan akan terjadi hal-hal di luar dugaan, seperti hilangnya komunikasi,
atau tidak ada kabar sama sekali, sehingga keluaga tidak mengetahui keberdaan
seorang tersebut. Terlebih pada kasus penculikan atau penyelundupan orang yang
tiba-biba menghilang tanpa jejak, dan keluarga juga mengalami kesusahan untuk
melacak keberadaan seorang tersebut. Maka statusnya saat itu berubah menjadi mafqud,
yang mana jika keadaan sebenarnya mafqud tersebut masih hidup maka
seorang mafqud tersebut tetap berhak terhadap harta warisan.
Hal di ataslah yang menjadi salah satu pemicu kenapa perasalahan
ini harus diangkat lalu dipaparkan. Dan bagaimana ulama Fikih menggunakan salah
satu istimbat hukum yang mereka gunakan, yaitu istishab dalam
menanggapi persoalan yang demikian, karena penerapan syari’at dalam pembagian
harta warisan tidak bisa direalisasikan kecuali setelah adanya kejelasan
keadaan mafqud. Maka dalam risalah kali ini penulis akan fokus membahas
Aplikasi Dalil Istishab Terhadap Hak Ahli Waris Mafqud Menurut
Perspektif Islam.
B.
Rumusan Masalah
Berangkat dari gambaran umum di atas maka dapat diketengahkan
sejumlah permasalahan yang timbul berkaitan dengan hal tersebut, agar
penelitian ini lebih fokus pada kajiannya, maka dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1.
Bagaimana
hujjiyah dalil istishab?
2.
Bagaimana
aplikasi dalil istishab terhadap hak ahli waris mafqud menurut
perspektif Islam?
C.
Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
Tujuan ditulisnya risalah ini antara lain:
1.
Untuk
mengetahui hujjiyah dalil istishab.
2.
Untuk
mengetahui bagaimana aplikasi dalil istishab terhadap hak ahli waris mafqud
menurut perspektif Islam.
Kegunaan dari penelitian ini antara lain:
1.
Hasil
penelitian ini sedikitnya dapat menambah
kontribusi dalam ilmu pengetahuan khususnya dibidang fikih.
2.
Hasil
penelitian ini merupakan langkah awal dan dapat ditindak lanjuti oleh penulis
berikutnya.
3.
Memberikan
sumbangsih karya ilmiyah yang bermanfaat untuk dipersembahkan kepada para
pembaca pada umumnya dan khususnya bagi penulis sendiri.
D.
Kajian Pustaka
Istishab merupakan
salah satu dalil mukhtalaf yang digunakan untuk menetapkan sebuah hukum
syar’i. Sehingga ada sebagian ulama yang
menetapakan beberapa permasalahan menggunakan dalil istishab tersebut.
Diantaranya adalah masalah hak ahli waris yang mafqud, artinya ahli
waris yang seharusnya berhak menerima harta waris hilang atau tidak diketahui
rimbanya. Sehingga ulama berselisih dalam menetapkan hak mafqud
tersebut, apakah bisa dihukumi menggunakan dalil istishab atau tidak.
Adapun mengenai aplikasi istishab terhadap hak ahli waris mafqud
penulis dapati kajian yang serupa di beberapa penelitian, diantaranya sebagai
berikut:
Skripsi yang berjudul “Orang Hilang (Al-Mafqud) Dalam Ilmu
Waris (Menurut Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah).” Skripsi ini menjelaskan
secara umum ketetuan mafqud dalam ilmu waris menurut Imam Syafi’i dan
Imam Abu Hanifah. Yang mana pembahasan mengenai ilmu waris sangat luas, dan
belum mengeucut pada pembahasan hak ahli waris mafqud.
Jurnal yang berjudul “Penggunaan Istishab Al-Hal Dalam
Menetapkan Hak Status Kewarisan Mafqud Menurut Hanafiyah.” Jurnal yang
menjelaskan aplikasi istishab terhadap hak kewarisan mafqud ini
hampir sejalur dengan apa yang penyusun buat. Perbedaanya jurnal ini
pembahasannya mengurucut hanya pada pendapat ulama Hanafiyah.
Dari beberapa di
atas yang membedakan dengan penelitian ini adalah pendalaman terhadap dalil istishab
yang diaplikasikan pada ahli waris mafqud. Yang mana pembahasan istishab
juga disertai dengan hujjiyah dalil istishab tersebut. Penulis
juga memaparkan ulama-ulama yang mengaplikasikan maupun menolak dalil istishab
pada ahli waris mafqud. Untuk itu selain mengetahui bagaimana ulama
mengaplikasi dalil istishab tersebut pada ahli waris mafqud, juga
akan mengetahui hujjiyah dalil istishab itu sendiri.
E.
Metode Penelitian
Untuk mendukung penelitian pada skripsi yang berjudul “Aplikasi
Dalil Istishab Terhadap Hak Ahli Waris Mafqud Menurut Perspektif
Islam” adalah dengan menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library
research), yang bersifat analisis yang diuraikan dengan metodologi
sebagai berikut:
1.
Jenis
penelitain
Adapun
jenis penelitian ini dilakukan dengan mengadakan penelitian kepustakaan
(library research) dengan mengacu kepada buku-buku, artikel, dan
dokumen-dokumen yang berhubungan dengan aplikasi istishab terhadap hak ahli
waris mafqud.
2.
Sumber
data
Adapun
sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a.
Data
primer
Data
primer adalah literatur-literatur yang membahas secara langsung objek
permasalahan pada penelitian ini, diantaranya yaitu karya Musthafa ‘Asyur yang berjudul Ilmu al-Mirats,
dan karya Prof. Dr. H. Arif Syarifudin yang berjudul Ushul Fikih.
b.
Data
Sekunder
Sumber
data sekunder sebagai data pendukun yaitu berupa data-data tertulis baik berupa
buku maupun sumber lain yang memiliki relevansi dengan masalah yang dibahas.
3.
Analisis
data
Sebelum data
diolah penulis terlebih dahulu memahami secara cermat mengenai kajian yang
dibahas. Setelah data terkumpul kemudian diolah dan dianalisis. metode yang
digunakan yang digunakan untuk menganalisis data-data tersbut adalah metode
analisis. Yaitu dengan menguraikan dan menelaah bagian itu sendiri serta
hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yg tepat sehingga dapat
mengetahui duduk perkaranya.
F.
Sistematika Pembahasan
Secara garis besar penulisan penelitian ini terdiri atas 4 bab,
dimana dalam setiap bab tersebut terdapat sub bab pembahasan. BAB I:
Pendahuluan, bab ini sebagai pengantar dalam melakukan penelitian yang terdiri
atas A. Latar belakang masalah. B. Rumusan masalah. C. Tujuan dan kegunaan
penelitian. D. Kajian pustaka. E. Metode penelitian. F. Sistematika pembahasan.
BAB II: Dalam bab ini membahas landasan teori yang terkait dengan
tema skripsi dengan menjabarkan seputar pengertian, macam, rukun, syarat, serta
kedudukan dalil istishab. Juga menjelaskan seputar pengertian, syarat, dan
penghalang ahli waris, serta pengetian, cara menunggu, dan pewarisan seorang
yang mafqud.
BAB IV: Bab akhir ini memuat kesimpuln dari pembahasan yang penulis
kemukaka, dan dilengkapi dengan saran kepaa pembaca mengeni hasil penelitian.
Kemudian diakhiri dengan penutup.
OUTLINE
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL…………………………………………………………
MOTTO………………………………………………………………………
ABSTRAK…………………………………………………………………...
NOTA PENGESAHAN………………………………………………………
NOTA DINAS PEMBIMBING………………………………………………
PERSEMBAHAN…………………………………………………….............
KATA PENGANTAR………………………………………………………...
DAFTAR ISI…………………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang Masalah
1.2.
Rumusan
Masalah
1.3.
Tujuan
Dan Kegunaan Penelitian
1.4.
Kajian
Pustaka
1.5.
Metode
Penelitian
1.5.1.
Metode
Pengumpulan Data
1.5.2.
Metode
Analisis
1.6.
Sistematika
Pembahasan
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DALIL ISTISHAB,
AHLI WARIS, DAN MAFQUD MENURUT PERSPEKTIF ISLAM
2.1. Tinjauan Umum Tentang Dalil Istishab
2.1.1.
Pengertian
2.1.2.
Macam
2.1.3. Syarat
2.1.4. Rukun
2.2. Tinjauan Umum Tentang Ahli
Waris Menurut Perspektif Islam
2.2.1.
Pengertian
2.2.2.
Syarat
2.2.3. Penghalang
2.3. Tinjauan Umum
Tentang Mafqud Menurut Perspektif Islam
2.3.1 Pengertian
2.3.2. Waktu Menunggu
BAB III APLIKASI
DALIL ISTISHAB TERHADAP HAK AHLI WARIS MAFQUD MENURUT PERSPEKTF ISLAM
3.1. Hujjiyah Dalil Istishab
3.2. Aplikasi
Dalil Istishab Terhadap Hak Ahli Waris Mafqud Menurut Perspektif
Islam
3.2.1. Pendapat Yang Menerima Dalil Istishab
Terhadap Hak Ahli Waris Mafqud
3.2.2. Pendapat
Yang Menolak Dalil Istishab Terhadap Hak Ahli Waris Mafqud
3.3. Cara Pewarisan Ahli Waris Mafqud Menurut
Perspektif Islam
BAB IV : KESIMPULAN DAN PENUTUP
4.1
.
Kesimpulan
4.2
.
Saran
4.3
. Penutup
DAFTAR PUSTAKA
[1]
Irsyadul fuhur 974
[2]
Alibhaj fi syrh minhaj 168
[3]
Istishab wa atsaruhu fi ahlam fiqhiyah 56
[4]
istishab wa hujjiyatuhu wa atsaruhu fi ahkam fiqhiyah
[5]
Warisan dan wasiyat 8
[6]
Qs An-Nisa’ 11
[7]
Ahkam tirkah wa mawaris muhammad abu zahrah 7
[8]
wasiyah wan warisan 8
[9]
Ilmu mirats 11
[10]
al mawaris wa washoya 41