A.
Pendahuluan
Ramadhan merupakan bulan yang selalu dinanti semua umat Islam. Pada
bulan tersebut Allah memberikan kemulian, yang mana kemulian tersebut tidak
terdapat di selain bulan ramadhan, yaitu Allah khususkan sholat pada malam
Ramadan dengan sholat Tarawih.
Mayoritas orang muslim memuliakan bulan tersebut dengan rutin
melaksanakan sholat Tarawih secara berjama’ah di masjid. Tak kalah anak-anak
kecil yang juga ikut melaksanakan solat tarawih.
Akan tetapi mengenai jumlah rakaan sholat Tarawih masih menjadi kontreoversi hangat
yang selalu dibicarakan. Apakah sholat tarawih dilakukan dua puluh rakaat atau
hanya delapan rakaat? Perihal rawan yang bisa menimbulkan perselisihan antar
umat Islam.
Maka pada pada makalah ini penulis memaparkan mengenai jumlah
rakaat tarawih yang susuai dengan nash.
B.
Pembahasan
I.
Definisi
Tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari تَرْوِيْحَةٌ,
yaitu tarwihah linafsi yang artinya istirahat.[1]
Istirahat adalah cara untuk menghingkan kesulitan atau kelelahan. Tarwihah
pada dasarnya merupakan isim yang menunjukkan kegiatan duduk. Maka Tarawih
merupakan duduk setelah melakukan empat rakaat sholat pada malam Ramadhan. Maka
dinamakan dengan sholat Tarawih karena orang-orang memanjangkan berdiri, yang
mana setelah itu mereka duduk setiap empat rakaat.[2]
Sedangkan secara istilah Tarawih artinya sholat yang dilakukan pada
bulan Ramadhan, dan waktunya sebagaimana sholat Witir yang mustahab dilakukan
secara berjamah, dan juga sunnah dilakukan secara berjamaah dirumah.[3]
Al-Hafidz mengatakan bahwasanya sholat berjama’ah yang dilakukan pada
malam bulan Ramadhan adalah Tarawih, karena mereka beristirahat setiap dua kali
salam.[4]
Salah satu ulama Syafi’iyah juga memberi pengertian Tarawih adalah
sholat dua puluh rakaat dengan sepuluh salam setiap rakaatnya, yang dilakukan
setiap malam Ramadhan sebagaimana hadits rasulullah HR. Bukhari nomor 2008, dan
Muslim nomor 759.[5]
Maka Tarawih merupakan sholat malam berjama’ah yang dilakukan pada
bulan Ramadhan, dan untuk jumlah raka’at para ulama berselisih pendapat.
Sebagaimana hadits dari rasulullah:
حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي
عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
خَرَجَ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى رِجَالٌ
بِصَلَاتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ يَتَحَدَّثُونَ بِذَلِكَ فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ
مِنْهُمْ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
اللَّيْلَةِ الثَّانِيَةِ فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ يَذْكُرُونَ
ذَلِكَ فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ فَخَرَجَ
فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ فَلَمَّا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ
الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَطَفِقَ رِجَالٌ مِنْهُمْ يَقُولُونَ الصَّلَاةَ
فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
حَتَّى خَرَجَ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى
النَّاسِ ثُمَّ تَشَهَّدَ فَقَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ
شَأْنُكُمْ اللَّيْلَةَ وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ صَلَاةُ
اللَّيْلِ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا.
Telah
menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya, telah mengkhabarkan kepada kami
‘Abdullaah bin Wahb, telah mengkhabarkan kepadaku Yunus bin Yazid, dari Ibnu
Syihaab, ia berkata, telah mengkhabarkan kepadaku ‘Urwah bin Az-Zubair bahwa
‘Aaisyah mengkhabarkan kepadanya, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi
wasallam pernah keluar di tengah malam (bulan Ramadhan) kemudian beliau shalat
malam di masjid, lalu shalatlah beberapa orang laki-laki mengikuti beliau. Maka
orang-orang saling menceritakan kepada yang lainnya mengenai hal tersebut
sehingga banyak dari mereka yang berkumpul. Pada malam yang kedua, Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wasallam kembali keluar dan shalat bersama mereka dan
orang-orang pun menyebutkan mengenai hal tersebut hingga pada malam yang ketiga
jama’ah masjid semakin bertambah banyak dan Rasulullah keluar dan kembali
shalat bersama mereka. Hingga pada malam keempat, masjid menjadi penuh oleh
jama’ah namun Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak keluar kepada
mereka, seorang lelaki dari jama’ah tersebut berseru, “Shalat!” Akan tetapi
beliau tidak juga keluar hingga beliau keluar untuk shalat Fajr. Ketika beliau
usai shalat Fajr, beliau menemui mereka, kemudian mengucapkan syahadat, beliau
bersabda, “Amma ba’d, sesungguhnya tidak ada kekhawatiran dalam diriku mengenai
kalian semalam, akan tetapi aku mengkhawatirkan hal itu (shalat malam) akan
diwajibkan atas kalian, maka kalian tidak mampu melaksanakannya.”[6]
II.
Dalil Masyru’iyah Sholat Tarawih dan Keterangan Rakaatnya
Selain hadits diatas yang telah disebutkan, hadits lain dari Abu
Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam menganjurkan shalat malam pada bulan Ramadhan tanpa
memberi perintah yang mewajibkan. Lalu beliau bersabda:
مَنْ
قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa shalat malam pada bulan Ramadhan dengan keimanan dan
mengharapkan pahala dari Allah, niscaya diampunilah dosa-dosanya yang telah
lampau.”[7]
Kedua hadits shahih diatas tidak ada yang menjelaskan secara jelas
berapa jumlah rakaat sholat malam yang dilakukan rasulullah ketika bulan Ramadhan.
Akan tetapi satu hadits yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu anhuma,
ia berkata,
مَا كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ
عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan
Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” [8]
Yang mana hadits di atas menyebutkan bahwa sholat malam rasulullah
baik dibulan Ramadhan ataupun di luar bulan Ramadhan tidak lebih dari sebelas
raakaat. Sedangkan dalil yang mengatakan shalat
Tarawih delapan rakaat adalah hadits riwayat Imam Ibnu Hibban
dan Imam Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dalam kitab Shohihnya:
عَنْ جَابِرٍ :"
أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِمْ ثَمَانِ رَكَعَاتٍ
وَالْوِتْرَ ثُمَّ انْتَظَرُوْهُ فِي الْقَابِلَةِ يَخْرُجُ إِلَيْهِمْ"
Dari
Jabir: “Sesungguhnya Rasulullah SAW melakukan Shalat Tarawih bersama para
Sahabat sebanyak delapan raka’at kemudian Shalat Witir, kemudian mereka
menunggu Rasulullah SAW keluar di malam berikutnya”.[9]
Sedangkan
dalil yang digunakan untuk menetapkan sholat Tarawih dua puluh rakaat adalah
yang diriwayatkan oleh Ibnu Syaibah dari Ibnu Abbas mengatakan:
كَانَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ
رَكْعَةً وَالْوِتْرَ.
“Bahwasanya
Rasulullah Saw salat di bulan Ramadlan sebanyak dua puluh rakaat, dan
(ditambah) sholat Witir.”[10]
وعن سيدنا السائب بن يزيد رضي الله عنه قال: "كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمرَ بنِ الخَطَاب رضي
الله عنه فِي شَهُرِ رَمَضَانَ بِعِشرِيْنَ رَكُعَةً وَكَانُوا يَقُومُونَ بِالمِئَتَيْنِ
وكَانُوا يَتَوَكَّؤُونَ عَلَى عَصِيهمْ فِي عَهْدِ عُثْمَانَ مِنْ شِدّةَ القِيِام
“Dari
Sayyidina Saib Bin Yazid r.a. beliau berkata: "Dahulu pada masa Uman Bin
Khattab orang-orang melakukan Qiyamullail pada Bulan Ramadhan dua puluh rakaat
dengan membaca 200 ayat, sedangkan pada masa Utsman mereka bersandar pada
tongkat karena lamanya berdiri”[11]
Dan
masih banyak dalil ataupun perkataan lain yang menerangkan jumlah rakaat Tarawih,
diantaranya 36 rakaat beserta Witir, 39 rakaat beserta Witir dan 46 rakaat
beserta Witir dan yang lainnya. Akan tetapi praktek rakaat tarawih di Indonesia
mayoritas hanya menggunakan dua versi yaitu delapan rakaat beserta witir dan dua
puluh rakaat beserta Witir.
III.
Kronologi Tasyri’ Sholat Tarawih
Sholat Tarawih merupakan salah satu syari’at yang ditetapkan untuk
umat muslim. Dan tidak lagi diragukan bahwasanya tasyri’ itu hanya
terjadi pada masa rasulullah.[12]
Sholat tarawih khusus hanya dilakukan pada bulan Ramadhan. Dan
tarawih merupakan masuk dari keumuman perintah untuk qiyamul lail. Dan
perintah untuk melakukan qiyamul lail terdapat dalam nash, dan Tarawih berarti
masuk dalam perintah di dalamnya.[13]
Berikut firman Allah:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ
بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَاماً مَّحْمُوداً
“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai
suatu ibadah tambahan bagimu mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat
yang terpuji.”[14]
يَا
أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلاً.
“Hai orang yang berselimut (Muhammad),bangunlah (untuk sembahyang)
di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya)”.[15]
Adapun kekhususan waktu perintah qiyamul lail pada bulan
Ramadhan dengan Tarawih tetap masuk pada perintah qiyamul lail, dan
tuntutan syari’atnya tetap sama.[16]
Maka pada dasarnya perintah melaksanakan sholat Tarawih bertahap
atau melalui proses,[17]
antara lain:
1. Menumbuhkan kecintaan secara mutlak, sebagaimana hadits dari Abu
Hurairah,
مَنْ
قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa shalat malam pada bulan Ramadhan dengan keimanan dan
mengharapkan pahala dari Allah, niscaya diampunilah dosa-dosanya yang telah
lampau.”[18]
2. Kemudian datang takhsis bahwa qiyamul lail pada bulan
Ramadhan bersambung dengan syari’at puasa. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan
dari Abdurrahman bin ‘Auf,
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله
عليه وسام:
اِنَّ رَمَضَانَ شَهْرٌ افْتَرَضَ اللهُ عَزَّ
وَجَلَّ صِيَامَهُ وَ اِنّى سَنَنْتُ لِلْمُسْلِمِيْنَ قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ
اِيْمَانًا وَ احْتِسَابًا خَرَجَ مِنَ الذُّنُوْبِ كَيَوْمَ وَلَدَتْهُ اُمُّهُ
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Ramadlan adalah bulan dimana
Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan puasa padanya, dan aku mensunnahkan shalat
malam untuk kaum muslimin, maka barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadlan karena
iman dan mengharap pahala (dari Allah), maka ia keluar dari dosa-dosanya
sebagaimana ketika ibunya melahirkannya”[19]
Maka proses pensyariatan Tarawih berangsur. Dan tahapan pertama
yaitu menimbulkan rasa cinta ketika melakukan mengandung nilai sebuah anjuran
kepada umat muslim untuk segera melakukan baik dengan sendiri maupun berjama’ah.[20]
عَنْ
عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ رَسُولَ اللهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ
فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ
ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ
يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا
أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ
الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ
فِي رَمَضَان
“Dari ‘Aisyah Ummil Mu’minin ra: sesungguhnya Rasulullah SAW pada
suatu malam hari sholat di masjid, lalu banyak orang sholat mengikuti beliau,
beliau sholat dan pengikut bertambah ramai (banyak) pada hari ke-Tiga dan
ke-empat orang-orang banyak berkumpul menunggu beliau Nabi, tetapi Nabi tidak
keluar (tidak datang) ke masjid lagi. Ketika pagi-pagi, Nabi bersabda: “Sesungguhnya
aku lihat apa yang kalian perbuat tadi malam. Tapi aku tidak datang kemasjid
karena aku takut sekali kalau sholat ini diwajibkan pada kalian”. Siti ‘Aisyah
berkata: “Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan”.[21] (HR. Bukhari
dan Muslim).َ
Hadist di atas menerangkan bahwa Nabi Muhammad SAW memang pernah
melaksanakan sholat tarawih, pada malam hari yang ke dua beliau datang lagi
mengerjakan sholat dan pengikutnya tambah banyak. Pada malam yang ketiga dan ke
empat Nabi tidak datang ke masjid, dengan alasan bahwa beliau takut sholat
tarawih itu akan diwajibkan Allah, karena pengikutnya sangat antusias dan
bertambah banyak, sehingga hal ini ada kemungkinan Allah sewaktu-waktu akan
menurunkan wahyu mewajibkan sholat tarawih kepada ummatnya, karena orang-orang
Muslimin sangat suka mengerjakannya. Jika hal ini terjadi tentulah akan menjadi
berat bagi ummatnya.[22]
Dan semenjak kematian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam para sahabat Radhiyallahu ‘anhum terus menjalankan shalat Tarawih
dengan berpencar-pencar dan bermakmum kepada imam yang berbeda-beda.[23] Itu
terjadi di masa kekhalifahan Abu Bakar dan di awal kekahlifahan Umar Radhiyallahu
‘anhuma. Kemudan Umar bin Al-Khattab menyatukan mereka untuk bermakmum
kepada satu imam. Abdurrahman bin Abdul Qariy berkata :“Suatu malam di bulan
Ramadhan, aku keluar bersama Umar bin Al-Khattab menunju masjid. Ternyata kami
dapati manusia berpencar-pencar disana sini. Ada yang shalat sendirian, ada
juga yang shalat mengimami beberapa gelintir orang. Beliau berkomentar : “(Demi
Allah), seandainya aku kumpulkan orang-orang itu untuk shalat bermakmum kepada
satu imam, tentu lebih baik lagi”. Kemudian beliau melaksanakan tekadnya,
beliau mengumpulkan mereka untuk shalat bermakmum kepada Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu
‘anhu. Abdurrahman melanjutkan : “Pada malam yang lain, aku kembali keluar
bersama beliau, ternyata orang-orang sudah sedang shalat bermakmum kepada salah
seorang qari mereka. Beliaupun berkomentar :“Sebaik-baik bid’ah, adalah
seperti ini”. Namun mereka yang tidur dahulu (sebelum shalat) lebih utama dari
mereka yang shalat sekarang”[24]
Maka sholat tarawih lebih utama dilakukan setelah
bangun tidur di akhir malam dari pada dilakukan sebelum tidur. Dan dalam
riwayat ini tidak menunjukkan jumlah rakaat yang dilakukan oleh Ubay bin Ka’ab,
sehingga ulama berselisih jumlah rakaat di dalamnya. Akan tetapi kebanyakan
mengatakan jumlah rakaatnya adalah empat puluh satu sebagaimana yang dilakukan
ahli Madinah.[25]
Perlu diketahui, bahwa dikalangan para ulama
belakangan ini, cukup dikenal penggunaan ucapan Umar diatas, yaitu ucapan beliau
: “Sebaik-baiknya bid’ah …. “ adalah maksud bid’ah secara bahasa bukan dan
bukan istilah.[26]
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah menjelaskan maksud
perkataan Imam Asy Syafi’i mengenai bid’ah hasanah (mahmudah) dan
bid’ah madzmumah, “Yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i rahimahullah
seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwa bid’ah madzmumah (yang
tercela) adalah segala amalan yang tidak ada asalnya dalam syari’at yang
mendukungnya. Inilah bid’ah yang dimutlakkan dalam syari’at. Sedangkan bid’ah
yang terpuji (bid’ah hasanah) adalah bid’ah yang bersesuaian dengan sunnah
(ajaran Rasul), yaitu yang memiliki asal dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
pendukung. Namun yang dimaksudkan dengan bid’ah hasanah di sini adalah bid’ah
secara bahasa dan bukan bid’ah menurut istilah syar’i karena bid’ah kedua ini bersesuaian
dengan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.[27]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menegaskan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sebagaimana sabdanya,
وَكُلُّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ
Asy Syathibi mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai
dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena
itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah hasanah.”Artinya
setiap bid’ah itu tercela, tidak ada yang hasanah.[29]
Dan Al-Hafidz Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya mengatakan bahwa dalil bahwasannya rasulullah melakukan qiyam
Ramadhan itu menunjukkan bahwa Tarawih merupakan sunnah.[30] Berbeda dengan keyakinan Rawafidz yang meyakini bahwasanya qiyam
Ramadhan adalah bid’ah dan bukan sunnah.[31]
IV.
Kajian Dalil Sholat Tarawih Delapan Rakaat
Diantar a hadits
yang digunakan dalil bagi yang berargumen bahwasannya sholat tarawih delapan
rakaat adalah hadits riwayat Imam Ibnu Hibban dan Imam Ibnu Khuzaimah meriwayatkan
dalam kitab Shohihnya:
عَنْ جَابِرٍ :"
أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِمْ ثَمَانِ رَكَعَاتٍ
وَالْوِتْرَ ثُمَّ انْتَظَرُوْهُ فِي الْقَابِلَةِ يَخْرُجُ إِلَيْهِمْ"
Dari
Jabir: “Sesungguhnya Rasulullah SAW melakukan Shalat Taraweh bersama para
Sahabat sebanyak delapan roka’at kemudian Shalat Witir, kemudian mereka
menunggu Rasulullah keluar di malam berikutnya”.[32]
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Ibnu Hibban dan Imam Ibnu Khuzaimah dari Jabir Bin Abdullah adalah lemah
sekali.[33]
Sebab dalam hadits ini ada ‘Isa Bin Jariyah, menurut Ibnu Ma’in Nasa’i dan Abu Daud
ia adalah perowi “Munkar Al-Hadits”, Ibnu Adi berkata bahwasannya hadits-hadits
yang diriwayatkan dari ‘Isa Bin Jariyah tersebut tidak bisa diambil untuk
dijadikan landasan amal. Abu Zar’ah dengan sendirinya mengatakan tidak mengapa
menggunakan riwayatnya, dan Ibnu Hibban juga memasukkannya dalam rawi yang tsiqoh.[34]
Disebutkan
sanad hadits tersebut terdapat Ya’qub Bin Abdullah Al-Qummi, Imam Ad-Daruqutni
berkata : “Ya’qub Bin Abdullah Al-Qummi bukanlah perowi yang kuat hafalannya”.
Begitu juga An-nasa’i. Akan tetapi Ibnu Hibban memasukkan kedalam Tsiqoh begitu
juga thabrani.[35]
Maka
dari itu hadits tersebut sangat tidak bisa dijadikan hujjah, oleh sebab itulah
maka Imam As-Shon’ani menukil dari Imam Az-Zarkasyi dalam Kitab Al-Khadim
beliau mengatakan :
بَلِ
الثَّابِتُ فِي الصَّحِيْحِ الصَّلاَةُ مِنْ غَيْرِ ذِكْرٍ بِالْعَدَدِ
“Adapun
yang Shohih (benar) tentang Shalat Taraweh adalah tidak ada penyebutan
bilangannya (yakni tidak ada batasan roka’atnya)”[36]
Akan
tetapi apabila tarawih delapan rakaat disandarkan kepada hadits shohih yang
diriwayatkan dari Aisyah, sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa Ulama
Ahli Hadits dan Fiqih yang mentahqiq hadis tersebut menyebutkan rasulullah
melakukan sholat baik di bulan Ramadhan maupun diluar bulan ramadhan sebelas
rakaat.[37]
Syaikh
Al-Albani dalam kitabnya bahwa hadits dari Aisyah merupakan pembatas atau tahdid
bahwa sholat tarawih adalah sebelas rakaat.[38]
Sebagaimana asal tasyri’ qiyam Ramadhan yang dicontohkan oleh rasulullah
tidak lebih dari sebelas rakaat. Jika melebihi itu maka sebagaimana sholat Dzuhur
lima rakaat.[39]
Akan
tetapi sebenarnya maksud dari Syaikh Al-Albani adalah bukan pembatasan pada
rakaat Tarawih saja , akan tetapi pembatasan pada semua sholat nafilah.
Karena beliau menggunakan dalil sebagaimana sabda rasulullah,
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
Yang
mana dalil itu berlaku untuk semua sholat baik nafilah maupun fardhiyah.[41]
V.
Kajian Dalil Sholat Tarawih Dua Puluh Rakaat
Sedangkan untuk shalat tarawih dua puluh rakaat, sebagaimana hadits
dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa rasulullah sholat pada bulan ramadhan
adalah hadits yang dhaif jiddan.[42]
Hadis
tersebut diriwayatkan oleh, juga oleh Abd bin Hamid dalam musnadnya No. Hadis
652, disebutkan bahwasannya sanadnya lemah,[43] juga
oleh al-Thabrani[1]
al-Ausath No. Hadis 5440.
Syaikh albani menjelaskan, Al-Haitsami mengatakan bahwa hadits ini
sangat lemah, bahkan lemah sekali
sebagaimana juga yang dikatakan Al hafidz. Ibnu Mu’in mengatakan
haditsnya tidak tsiqoh, begitu juga dikatakan Syaibah. Dan imam Bukhari
mendiamkan hadits itu.[44]
Al-Haitsami dalam Al-Fatawa Al-Kubra hadits ini juga sangat
lemah. Maka Al-Bani mengatakan bahwa dari pendapat para ulama di atas
menunjukkan bahwa hadits tersebut lemah dan tidak bisa diamalkan.[45]
Adapun yang berpendapat dua puluh rakaat menggunakan dalil dari
peristiwa yang dilakukan pada masa Umar bin Khatab dan menganggap ini sebagai
sebaik-baik bid’ah. Maka tarawih adalah mengikuti Umar bin Khatab. Shalat tarawih duapuluh rakaat adalah
termasuk sunnah Khulafaur Rasyidin. Sebagaimana sabda Rasulullah: “Hendaklah
kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin’. Maka mengikuti mereka
merupakan sunnah.”[46]
Ad-Dasuqi rahimahullahu ta’ala berkata:
“Dahulu itulah yang diamalkan oleh para sahabat dan tabiin.[47]
Ibn Abidin rahimahullahu ta’ala berkata:
“Itulah yang diamalkan oleh kebanyakan manusia di Timur dan di Barat.”[48]
Dan semua para keempat madzhab Hanafiyah,[49] Malikiyah,[50]
Syafi’iyah,[51]
dan Hanabilah[52]
menyebutkan sholat tarawih juga dua puluh rakaat.
Dan ijma’ shahabah menyebutkan bahwa dalil yang
disebutkan tidak ada keraguan, adapun yang dilakukan khulafa’ur rasyidin
juga rasulullah perintahkan untuk diikuti, karena mereka adalah sebaik-baik
umat. Adapun perselisihan dalam masalah rakaat tarawih memang masalah yang
mengandung unsur ijtihad. Maka seyogyanya tidak dijadikan sebagai perselisihan
dan menyusahkan umat.[53]
Dan sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa tidak ada hadits yang shorih
menyebutkan berapa jumlah rakaat yang rasulullah lakukan. Adapun anjuran
rasulullah yang datang dari hadis shohih adalah perintah untuk menegakkan qiyam
Ramadhan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata: "Yang paling
baik adalah disesuaikan dengan kondisi kaum muslimin. Kalau mereka mampu
berdiri lama, maka sepuluh rakaat dan tiga rakaat setelahnya sebagaimana Nabi
SAW melakukan shalat untuk dirinya sendiri, baik di bulan Ramadan maupun di
bulan lainnya, itulah yang paling baik. Kalau mereka tak mampu, maka dua puluh
rakaat itulah yang paling baik. Itulah yang diamalkan oleh kebanyakan kaum
muslimin. Jumlah itu merupakan pertengahan antara sepuluh dengan empat puluh.
Kalau dilakukan sebanyak empat puluh atau selainnya juga boleh tanpa ada
larangan. Hal itu telah dinyatakan oleh lebih dari satu imam, di antaranya
adalah Imam Ahmad dan lain-lain. Beliau berkata: Barangsiapa mengira bahwa
shalat tarawih dibatasi jumlah tertentu dari Nabi yang tidak boleh ditambahi
atau dikurangi, maka ia telah keliru.[54]
C. KESIMPULAN
Sholat tarawih merupakan sholat malam yang dilakukan
pada bulan ramadhan. Dan rasulullah tidak pernah melakukan sholat malam baik di
bulan ramadhan maupun di luar bulan ramadhan lebih dari sebelas rakaat. Maka
bagi yang melakukan sholat tarawih delapan rakaat berdalil dengan hadits
tersebut. apabun tarawih muncul kembali dan dilakukan secara berjama’ah pada
zaman Umar, dan ini merupakan sebaik-baik bid’ah. Sehingga orang yang sholat
tarawih delapan rakaat berdalil denganya. Adapun dalil shorih yang menyebutkan
jumlah rakaat sholat tarawih rasulullah tidak ada. Wallahu a’lam bish
shawwab...
Referensi
Al-Qur’an Al-Karim
Abidin,
Ibnu, Radd Al-Mukhtar, juz 1.
Albani,
Al- Muhammad Nashiruddin, Sholat Tarawih.
Albani,
Al- Muhammad Nashiruddin, Sholat Tarawih, cet 2, (Beirut: Maktabah
Al-Islami, 1985 M)
Asqalani,
Al- Ibnu Hajar, Subulus Salam, juz 2, cet 1, (Riyadh: Maktabah
Al-Ma’arif, 2006 M)
Asqalani,
Al- Ahmad bin Ali bin Hajar, Fathul
Bari bi Syarh Shohih Bukhari, juz 4, cet 1, (Riyadh: Amir Shulthan bin
Abdil Aziz As-Su’ud, 2001 M)
Asqalani,
Al- Ibnu Hajar, Tahrir Taqrib At-Tahdzib, juz 3, cet 1, (Beirut:
Muasasah Ar-Risalah, 1997 M)
Asqalani,
Al- Ibnu Hajar, Tahdzib At-Tahdzib, juz 4, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah)
Atsari, Al- Ali bin Abdul Hamid Al-Halbi, Ilmu Ushulul Bida’,
cet 1, ( Riyadh: Daar Ar-Rayyah, 1992M)
Atsari,
Al-Ali bin Abdul Hamid Al-Halbi, Al-Kasyaf As-Sharih ‘an Aghlath As-Shobuni
fi Sholat Tarawih, cet 1, (Jeddah: Maktabah As-Shahabah, 1992 M)
Baar,
Al- Ibnu Abd, Al-Istidzkar, juz 5, cet 1, (Qahirah: Daar Al-Wa’i, 1993
M)
Baihaqi,
Al- Ali, As-Sunan Al-Kubra, juz 2, cet 1, (Hindi: Majlis Dairah
Al-Ma’arif Al-Utsmaniyah, 1346 H)
Baz,
Abdul Aziz bin, Fatawa Sholat Tarawih,
(Jama’ wa Tartib Qism Al-Ilmi)
Bukhari,
Al- Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Al Jami’ As Shohih, juz 1, cet 1,
(Kairo: Al-Mathba’ah As-Salafiyah, 1403 H)
Bukhari,
Al- Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Al Jami’ As Shohih, juz 2, cet 1,
(Kairo: Al-Mathba’ah As-Salafiyah, 1403 H)
Dasuqi,
Ad- Muhammad ‘Urfi, Hasyiyah Ad-Dasuqi ‘ala Syarkh Kabir, juz 1, (Badan
Ihya’ Al-kutub Al-Arabiyah)
Dimasqi,
Ad- An-Nawawi, Rauhdah At-Thalibin,
juz 1, (Beirut: Darul Kutubil Ilmiyah, 2003 M)
Hambali, Al- Ibnu Rajab, Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, juz 2,
cet 2, (Qahirah: Daar As-Salam, 2004 M(
Hambali,
Al- Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Kafi, juz 1, (Hajr, Lithaba’ah Nasyri
Tauzi’ wa I’lan)
Hamid, Abd bin, Al-Muntakhab, juz 1 , cet 2,
(Riyadh: Daar Balnisiyah, 2002 M)
Majah,
Ibnu, Sunan Ibnu Majah, juz 1, (Beirut: Daar Al-Ma’arif)
Naisamburi,
An- Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajaj Al-Qusairi, Shohih Muslim,
(Riyadh: Bait Al-Afkar, 1998 M)
Naisamburi,
An- Ibnu Khuzaimah, Shohih Ibnu Khuzaimah, juz 2, (Beirut: Al-Maktab
Al-Islami, 1980 M)
Qurtubi,
Al- Ahmad bin Rasyid, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtasid, juz 1,
cet 6, (Daar Al-Ma’rifah, 1982 M)
Salami,
‘Atiyah Muhammad, At-Tarawih Aksar Min Alfi ‘Am, (Madinah Munawaroh:
At-Thab’ah Al-Madani, 1971 M)
Subaihi,
As- Ibrahim bin Muhammad, Adadu Sholat Tarawih, cet 1, (Riyadh: Kulliyah
Usulud Din, 1409 H(
Suyuthi,
As- Al-Imam, Al-Mashabih fi Sholat Tarawih, cet 1, (‘Amman: Daar
Al-Qabas, 1986 M)
Taimiyah, Ibnu, Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah, juz 22, (Su’udiyah: Wizaratus Syu’unil Islamiyah,
2004 M)
Thabrani, At- Muhammad, Al-Mu’jam Al-Ausath,
juz 2, (Daar Al-Haramain, 1995 M)
Wizarah
Al-Auqaf wa As-Syu’uni Al-Islamiyah, Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, juz 27, cet 1, (Kuwait: Darus Shofwah, 1992 M)
Zainuddin,
Ahmad, Fathul Muin, cet 1, (Beirut: Daar Ibnu Hazm, 2004 M)
[2] Wizarah
Al-Auqaf wa As-Syu’uni Al-Islamiyah, Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, juz 27, cet 1, (Kuwait: Darus Shofwah, 1992
M), hlm. 135
[3] Muhammad ‘Urfi
Ad-Dasuqi, Hasyiyah Ad-Dasuqi ‘ala Syarkh Kabir, juz 1, (Badan Ihya’
Al-kutub Al-Arabiyah), hal 315
[4]Abi Abdillah
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Al Jami’ As Shohih, juz 2, cet 1,
(Kairo: Al-Mathba’ah As-Salafiyah, 1403 H), hlm. 60
[5] مَنْ
قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ. Ahmad
Zainuddin, Fathul Muin, cet 1, (Beirut: Daar Ibnu Hazm, 2004 M), hal.
169
[6] HR. Muslim:
761. Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajaj Al-Qusairi An-Naisamburi, Shohih
Muslim, (Riyadh: Bait Al-Afkar, 1998 M), hal. 300. HR. Bukhari: 2012. Abi
Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari Al Jami’ As Shohih, , juz 2, cet
1, (Kairo: Al-Mathba’ah As-Salafiyah, 1403 H), hlm. 61.
[7] Muttafaq ‘alaihi,
HR. Muslim: 759. Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajaj Al-Qusairi An-Naisamburi, Shohih
Muslim, (Riyadh: Bait Al-Afkar, 1998 M), hal. 299. HR. Bukhari: 2009. Abi
Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari Al Jami’ As Shohih, , juz 2, cet
1, (Kairo: Al-Mathba’ah As-Salafiyah, 1403 H), hlm. 60.
[8] Muttafaq
‘alaihi, HR. Muslim: 738. Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajaj Al-Qusairi
An-Naisamburi, Shohih Muslim, (Riyadh: Bait Al-Afkar, 1998 M), hal. 291.
HR. Bukhari: 1147. Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari Al Jami’ As
Shohih, , juz 1, cet 1, (Kairo: Al-Mathba’ah As-Salafiyah, 1403 H), hlm. 35
[9] HR. Ibnu
Khuzaimah: 1070. Ibnu Khuzaimah
An-Naisamburi, Shohih Ibnu Khuzaimah, juz 2, (Beirut: Al-Maktab
Al-Islami, 1980 M), hal. 138
[10] HR. Abd bin Hamid: 652. Abd bin Hamid, Al-Muntakhab, juz 1 , cet 2,
(Riyadh: Daar Balnisiyah, 2002 M), hal. 493, dan HR. Al-Thabrani: 5440.
Muhammad At-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Ausath, juz 2, (Daar Al-Haramain, 1995
M), hal. 324
[11] HR.
Al-Baihaqi. Ali Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, juz 2, cet 1, (Hindi:
Majlis Dairah Al-Ma’arif Al-Utsmaniyah, 1346 H), hal. 496
[12] ‘Atiyah
Muhammad Salami, At-Tarawih Aksar Min Alfi ‘Am, (Madinah Munawaroh:
At-Thab’ah Al-Madani, 1971 M), hal. 5
[13] Ibid
[14] QS. Al-Isra’:
79
[15] QS.
Al-Muzammil:1-2
[16] ‘Atiyah
Muhammad Salami, At-Tarawih Aksar Min Alfi ‘Am, (Madinah Munawaroh:
At-Thab’ah Al-Madani, 1971 M), hal. 5
[17] Ibid
[18] Muttafaq
‘alaihi, HR. Muslim: 759. Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajaj Al-Qusairi
An-Naisamburi, Shohih Muslim, (Riyadh: Bait Al-Afkar, 1998 M), hal. 299.
HR. Bukhari: 2009. Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari Al Jami’ As
Shohih, , juz 2, cet 1, (Kairo: Al-Mathba’ah As-Salafiyah, 1403 H), hlm. 60
[19] [HR. Ahmad
dari ‘Abdurrahman juz 1, hal. 195, dla’if karena dalam sanadnya ada An-Nadlr
bin Syaiban]
[20] ‘Atiyah
Muhammad Salami, At-Tarawih Aksar Min Alfi ‘Am, (Madinah Munawaroh:
At-Thab’ah Al-Madani, 1971 M), hal. 5
[21]
HR. Bukhari:
1129. Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari Al Jami’ As Shohih, juz 1, cet 1, (Kairo: Al-Mathba’ah
As-Salafiyah, 1403 H), hlm. 352. HR. Muslim: 761. Abi Al-Husain Muslim bin
Al-Hajaj Al-Qusairi An-Naisamburi, Shohih Muslim, (Riyadh: Bait
Al-Afkar, 1998 M), hal. 300.
[22] Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, Sholat Tarawih, hal 12. Ibnu Hajar Al-Asqalani, Subulus
Salam, juz 2, cet 1, (Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif, 2006 M), hal. 24
[23] Abi Abdillah
Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Al Jami’ As Shohih, juz 2, cet 1,
(Kairo: Al-Mathba’ah As-Salafiyah, 1403 H), hlm. 61
[24]Ahmad bin Ali
bin Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bari
bi Syarh Shohih Bukhari, juz 4, cet 1, (Riyadh: Amir Shulthan bin Abdil
Aziz As-Su’ud, 2001 M), hal. 294
[25] Ibnu Abdil
Baar, Al-Istidzkar, juz 5, cet 1, (Qahirah: Daar Al-Wa’i, 1993 M), hal. 148
[26] Al-Imam
As-Suyuthi, Al-Mashabih fi Sholat Tarawih, cet 1, (‘Amman: Daar
Al-Qabas, 1986 M), hal. 23
[27] Ibnu Rajab Al-Hambali, Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, juz 2,
cet 2, (Qahirah: Daar As-Salam, 2004 M), hal, 325
[28] HR. Muslim:
867. Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajaj Al-Qusairi An-Naisamburi, Shohih
Muslim, (Riyadh: Bait Al-Afkar, 1998 M), hal. 335
[29] Ali bin Abdul
Hamid Al-Halbi Al-Atsari, Ilmu Ushulul Bida’, cet 1, ( Riyadh: Daar
Ar-Rayyah, 1992M), hal. 91
[30] Ibnu Khuzaimah
An-Naisamburi, Shohih Ibnu Khuzaimah, juz 2, (Beirut: Al-Maktab
Al-Islami, 1980 M), hal. 138
[31]Al-Imam
As-Suyuthi, Al-Mashabih fi Sholat Tarawih, cet 1, (‘Amman: Daar
Al-Qabas, 1986 M), hal. 23
[32]HR. Ibnu Khuzaimah:1070. Ibnu Khuzaimah
An-Naisamburi, Shohih Ibnu Khuzaimah, juz 2, (Beirut: Al-Maktab
Al-Islami, 1980 M), hal. 136
[33]Ibnu Hajar
Al-Asqalani, Subulus Salam, juz
2, cet 1, (Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif, 2006 M), hal. 26.
[34] Ibnu Hajar
Al-Asqalani, Tahrir Taqrib At-Tahdzib, juz 3, cet 1, (Beirut: Muasasah
Ar-Risalah, 1997 M), hal. 136
[35] Ibnu Hajar
Al-Asqalani, Tahdzib At-Tahdzib, juz 4, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah),
hal. 444
[36]Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, Sholat Tarawih, hal 41
[37]Ali bin Abdul
Hamid Al-Halbi Al-Atsari , Al-Kasyaf As-Sharih ‘an Aghlath As-Shobuni fi
Sholat Tarawih, cet 1, (Jeddah: Maktabah As-Shahabah, 1992 M), hal. 28
[38] Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, Sholat Tarawih, cet 2, (Beirut: Maktabah
Al-Islami, 1985 M), hal.16
[39] Ibrahim bin
Muhammad As-Subaihi, Adadu Sholat Tarawih, cet 1, (Riyadh: Kulliyah
Usulud Din, 1409 H), hal. 6
[41] Ibrahim bin
Muhammad As-Subaihi, Adadu Sholat Tarawih, cet 1, (Riyadh: Kulliyah
Usulud Din, 1409 H), hal. 6
[42] Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, Sholat Tarawih, cet 2, (Beirut: Maktabah
Al-Islami, 1985 M), hal.19
[44] Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, Sholat Tarawih, cet 2, (Beirut: Maktabah
Al-Islami, 1985 M), hal.20
[45] Muhammad
Nashiruddin Al-Albani, Sholat Tarawih, cet 2, (Beirut: Maktabah
Al-Islami, 1985 M), hal.20
[46] HR. Ibnu
Majah: 42. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, juz 1, (Beirut: Daar Al-Ma’arif), hal
31
[47] Muhammad ‘Urfi
Ad-Dasuqi, Hasyiyah Ad-Dasuqi ‘ala Syarkh Kabir, juz 1, (Badan Ihya’
Al-kutub Al-Arabiyah), hal. 315
[48] Ibnu Abidin, Radd
Al-Mukhtar, juz 1, hal. 474
[49] Ibid.
[50] Ahmad bin
Rasyid Al-Qurtubi, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtasid, juz 1,
cet 6, (Daar Al-Ma’rifah, 1982 M), hal 210. Dikalangan malikiyah juga ada yang
mengatakn jumlah rakaat tarawih adalah 36 rakaat.
[51] An-Nawawi
Ad-Dimasqi, Rauhdah At-Thalibin, juz
1, (Beirut: Darul Kutubil Ilmiyah, 2003 M), hal 437
[52] Ibnu Qudamah
Al-Maqdisi Al-Hambali, Al-Kafi, juz 1, (Hajr, Lithaba’ah Nasyri Tauzi’
wa I’lan), hal 347
[53] Abdul Aziz bin
Baz, Fatawa Sholat Tarawih, (Jama’
wa Tartib Qism Al-Ilmi), hal. 5
[54] Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah, juz 22, (Su’udiyah: Wizaratus Syu’unil Islamiyah,
2004 M), hal. 272