Minggu, 18 September 2016

KONTROVERSI JUMLAH RAKAAT SHOLAT TARAWIH



A.    Pendahuluan
Ramadhan merupakan bulan yang selalu dinanti semua umat Islam. Pada bulan tersebut Allah memberikan kemulian, yang mana kemulian tersebut tidak terdapat di selain bulan ramadhan, yaitu Allah khususkan sholat pada malam Ramadan dengan sholat Tarawih.
Mayoritas orang muslim memuliakan bulan tersebut dengan rutin melaksanakan sholat Tarawih secara berjama’ah di masjid. Tak kalah anak-anak kecil yang juga ikut melaksanakan solat tarawih.
Akan tetapi mengenai jumlah rakaan sholat  Tarawih masih menjadi kontreoversi hangat yang selalu dibicarakan. Apakah sholat tarawih dilakukan dua puluh rakaat atau hanya delapan rakaat? Perihal rawan yang bisa menimbulkan perselisihan antar umat Islam.
Maka pada pada makalah ini penulis memaparkan mengenai jumlah rakaat tarawih yang susuai dengan nash.
B.     Pembahasan
I.                   Definisi
Tarawih dalam bahasa Arab adalah bentuk jama’ dari تَرْوِيْحَةٌ, yaitu tarwihah linafsi yang artinya istirahat.[1] Istirahat adalah cara untuk menghingkan kesulitan atau kelelahan. Tarwihah pada dasarnya merupakan isim yang menunjukkan kegiatan duduk. Maka Tarawih merupakan duduk setelah melakukan empat rakaat sholat pada malam Ramadhan. Maka dinamakan dengan sholat Tarawih karena orang-orang memanjangkan berdiri, yang mana setelah itu mereka duduk setiap empat rakaat.[2]
Sedangkan secara istilah Tarawih artinya sholat yang dilakukan pada bulan Ramadhan, dan waktunya sebagaimana sholat Witir yang mustahab dilakukan secara berjamah, dan juga sunnah dilakukan secara berjamaah dirumah.[3]
Al-Hafidz mengatakan bahwasanya sholat berjama’ah yang dilakukan pada malam bulan Ramadhan adalah Tarawih, karena mereka beristirahat setiap dua kali salam.[4]
Salah satu ulama Syafi’iyah juga memberi pengertian Tarawih adalah sholat dua puluh rakaat dengan sepuluh salam setiap rakaatnya, yang dilakukan setiap malam Ramadhan sebagaimana hadits rasulullah HR. Bukhari nomor 2008, dan Muslim nomor 759.[5]
Maka Tarawih merupakan sholat malam berjama’ah yang dilakukan pada bulan Ramadhan, dan untuk jumlah raka’at para ulama berselisih pendapat. Sebagaimana hadits dari rasulullah:
حَدَّثَنِي حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلَاتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ يَتَحَدَّثُونَ بِذَلِكَ فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي اللَّيْلَةِ الثَّانِيَةِ فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ فَأَصْبَحَ النَّاسُ يَذْكُرُونَ ذَلِكَ فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ فَخَرَجَ فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ فَلَمَّا كَانَتْ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَطَفِقَ رِجَالٌ مِنْهُمْ يَقُولُونَ الصَّلَاةَ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى خَرَجَ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ ثُمَّ تَشَهَّدَ فَقَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ شَأْنُكُمْ اللَّيْلَةَ وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ صَلَاةُ اللَّيْلِ فَتَعْجِزُوا عَنْهَا.
Telah menceritakan kepadaku Harmalah bin Yahya, telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullaah bin Wahb, telah mengkhabarkan kepadaku Yunus bin Yazid, dari Ibnu Syihaab, ia berkata, telah mengkhabarkan kepadaku ‘Urwah bin Az-Zubair bahwa ‘Aaisyah mengkhabarkan kepadanya, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah keluar di tengah malam (bulan Ramadhan) kemudian beliau shalat malam di masjid, lalu shalatlah beberapa orang laki-laki mengikuti beliau. Maka orang-orang saling menceritakan kepada yang lainnya mengenai hal tersebut sehingga banyak dari mereka yang berkumpul. Pada malam yang kedua, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam kembali keluar dan shalat bersama mereka dan orang-orang pun menyebutkan mengenai hal tersebut hingga pada malam yang ketiga jama’ah masjid semakin bertambah banyak dan Rasulullah keluar dan kembali shalat bersama mereka. Hingga pada malam keempat, masjid menjadi penuh oleh jama’ah namun Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak keluar kepada mereka, seorang lelaki dari jama’ah tersebut berseru, “Shalat!” Akan tetapi beliau tidak juga keluar hingga beliau keluar untuk shalat Fajr. Ketika beliau usai shalat Fajr, beliau menemui mereka, kemudian mengucapkan syahadat, beliau bersabda, “Amma ba’d, sesungguhnya tidak ada kekhawatiran dalam diriku mengenai kalian semalam, akan tetapi aku mengkhawatirkan hal itu (shalat malam) akan diwajibkan atas kalian, maka kalian tidak mampu melaksanakannya.”[6]
II.                Dalil Masyru’iyah Sholat Tarawih dan Keterangan Rakaatnya
Selain hadits diatas yang telah disebutkan, hadits lain dari Abu Hurairah Radhiyallahuanhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan shalat malam pada bulan Ramadhan tanpa memberi perintah yang mewajibkan. Lalu beliau bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa shalat malam pada bulan Ramadhan dengan keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, niscaya diampunilah dosa-dosanya yang telah lampau.”[7]
Kedua hadits shahih diatas tidak ada yang menjelaskan secara jelas berapa jumlah rakaat sholat malam yang dilakukan rasulullah ketika bulan Ramadhan. Akan tetapi satu hadits yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata,
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَة    
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.[8]
Yang mana hadits di atas menyebutkan bahwa sholat malam rasulullah baik dibulan Ramadhan ataupun di luar bulan Ramadhan tidak lebih dari sebelas raakaat. Sedangkan dalil yang mengatakan shalat Tarawih delapan rakaat adalah hadits riwayat Imam Ibnu Hibban dan Imam Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dalam kitab Shohihnya:
عَنْ جَابِرٍ :" أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِمْ ثَمَانِ رَكَعَاتٍ وَالْوِتْرَ ثُمَّ انْتَظَرُوْهُ فِي الْقَابِلَةِ يَخْرُجُ إِلَيْهِمْ"
            Dari Jabir: “Sesungguhnya Rasulullah SAW melakukan Shalat Tarawih bersama para Sahabat sebanyak delapan raka’at kemudian Shalat Witir, kemudian mereka menunggu Rasulullah SAW keluar di malam berikutnya”.[9]
            Sedangkan dalil yang digunakan untuk menetapkan sholat Tarawih dua puluh rakaat adalah yang diriwayatkan oleh Ibnu Syaibah dari Ibnu Abbas mengatakan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْرَ.
            Bahwasanya Rasulullah Saw salat di bulan Ramadlan sebanyak dua puluh rakaat, dan (ditambah) sholat Witir.”[10]
وعن سيدنا السائب بن يزيد رضي الله عنه قال: "كَانُوا يَقُومُونَ عَلَى عَهْدِ عُمرَ بنِ الخَطَاب رضي الله عنه فِي شَهُرِ رَمَضَانَ بِعِشرِيْنَ رَكُعَةً وَكَانُوا يَقُومُونَ بِالمِئَتَيْنِ وكَانُوا يَتَوَكَّؤُونَ عَلَى عَصِيهمْ فِي عَهْدِ عُثْمَانَ مِنْ شِدّةَ القِيِام
            “Dari Sayyidina Saib Bin Yazid r.a. beliau berkata: "Dahulu pada masa Uman Bin Khattab orang-orang melakukan Qiyamullail pada Bulan Ramadhan dua puluh rakaat dengan membaca 200 ayat, sedangkan pada masa Utsman mereka bersandar pada tongkat karena lamanya berdiri”[11]
Dan masih banyak dalil ataupun perkataan lain yang menerangkan jumlah rakaat Tarawih, diantaranya 36 rakaat beserta Witir, 39 rakaat beserta Witir dan 46 rakaat beserta Witir dan yang lainnya. Akan tetapi praktek rakaat tarawih di Indonesia mayoritas hanya menggunakan dua versi yaitu delapan rakaat beserta witir dan dua puluh rakaat beserta Witir.
III.             Kronologi Tasyri’ Sholat Tarawih
Sholat Tarawih merupakan salah satu syari’at yang ditetapkan untuk umat muslim. Dan tidak lagi diragukan bahwasanya tasyri’ itu hanya terjadi pada masa rasulullah.[12]
Sholat tarawih khusus hanya dilakukan pada bulan Ramadhan. Dan tarawih merupakan masuk dari keumuman perintah untuk qiyamul lail. Dan perintah untuk melakukan qiyamul lail terdapat dalam nash, dan Tarawih berarti masuk dalam perintah di dalamnya.[13] Berikut firman Allah:
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَاماً مَّحْمُوداً       
“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.”[14]
يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلاً.
“Hai orang yang berselimut (Muhammad),bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya)”.[15]
Adapun kekhususan waktu perintah qiyamul lail pada bulan Ramadhan dengan Tarawih tetap masuk pada perintah qiyamul lail, dan tuntutan syari’atnya tetap sama.[16]
Maka pada dasarnya perintah melaksanakan sholat Tarawih bertahap atau melalui proses,[17] antara lain:
1.     Menumbuhkan kecintaan secara mutlak, sebagaimana hadits dari Abu Hurairah,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa shalat malam pada bulan Ramadhan dengan keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, niscaya diampunilah dosa-dosanya yang telah lampau.”[18]
2.     Kemudian datang takhsis bahwa qiyamul lail pada bulan Ramadhan bersambung dengan syari’at puasa. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin ‘Auf,
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسام: اِنَّ رَمَضَانَ شَهْرٌ افْتَرَضَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ صِيَامَهُ وَ اِنّى سَنَنْتُ لِلْمُسْلِمِيْنَ قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ اِيْمَانًا وَ احْتِسَابًا خَرَجَ مِنَ الذُّنُوْبِ كَيَوْمَ وَلَدَتْهُ اُمُّهُ       
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Ramadlan adalah bulan dimana Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan puasa padanya, dan aku mensunnahkan shalat malam untuk kaum muslimin, maka barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadlan karena iman dan mengharap pahala (dari Allah), maka ia keluar dari dosa-dosanya sebagaimana ketika ibunya melahirkannya”[19]
Maka proses pensyariatan Tarawih berangsur. Dan tahapan pertama yaitu menimbulkan rasa cinta ketika melakukan mengandung nilai sebuah anjuran kepada umat muslim untuk segera melakukan baik dengan sendiri maupun berjama’ah.[20]
عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَان
“Dari ‘Aisyah Ummil Mu’minin ra: sesungguhnya Rasulullah SAW pada suatu malam hari sholat di masjid, lalu banyak orang sholat mengikuti beliau, beliau sholat dan pengikut bertambah ramai (banyak) pada hari ke-Tiga dan ke-empat orang-orang banyak berkumpul menunggu beliau Nabi, tetapi Nabi tidak keluar (tidak datang) ke masjid lagi. Ketika pagi-pagi, Nabi bersabda: “Sesungguhnya aku lihat apa yang kalian perbuat tadi malam. Tapi aku tidak datang kemasjid karena aku takut sekali kalau sholat ini diwajibkan pada kalian”. Siti ‘Aisyah berkata: “Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan”.[21] (HR. Bukhari dan Muslim).َ
Hadist di atas menerangkan bahwa Nabi Muhammad SAW memang pernah melaksanakan sholat tarawih, pada malam hari yang ke dua beliau datang lagi mengerjakan sholat dan pengikutnya tambah banyak. Pada malam yang ketiga dan ke empat Nabi tidak datang ke masjid, dengan alasan bahwa beliau takut sholat tarawih itu akan diwajibkan Allah, karena pengikutnya sangat antusias dan bertambah banyak, sehingga hal ini ada kemungkinan Allah sewaktu-waktu akan menurunkan wahyu mewajibkan sholat tarawih kepada ummatnya, karena orang-orang Muslimin sangat suka mengerjakannya. Jika hal ini terjadi tentulah akan menjadi berat bagi ummatnya.[22]
Dan semenjak kematian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam para sahabat Radhiyallahu ‘anhum terus menjalankan shalat Tarawih dengan berpencar-pencar dan bermakmum kepada imam yang berbeda-beda.[23] Itu terjadi di masa kekhalifahan Abu Bakar dan di awal kekahlifahan Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Kemudan Umar bin Al-Khattab menyatukan mereka untuk bermakmum kepada satu imam. Abdurrahman bin Abdul Qariy berkata :“Suatu malam di bulan Ramadhan, aku keluar bersama Umar bin Al-Khattab menunju masjid. Ternyata kami dapati manusia berpencar-pencar disana sini. Ada yang shalat sendirian, ada juga yang shalat mengimami beberapa gelintir orang. Beliau berkomentar : “(Demi Allah), seandainya aku kumpulkan orang-orang itu untuk shalat bermakmum kepada satu imam, tentu lebih baik lagi”. Kemudian beliau melaksanakan tekadnya, beliau mengumpulkan mereka untuk shalat bermakmum kepada Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu ‘anhu. Abdurrahman melanjutkan : “Pada malam yang lain, aku kembali keluar bersama beliau, ternyata orang-orang sudah sedang shalat bermakmum kepada salah seorang qari mereka. Beliaupun berkomentar :“Sebaik-baik bid’ah, adalah seperti ini”. Namun mereka yang tidur dahulu (sebelum shalat) lebih utama dari mereka yang shalat sekarang”[24]
Maka sholat tarawih lebih utama dilakukan setelah bangun tidur di akhir malam dari pada dilakukan sebelum tidur. Dan dalam riwayat ini tidak menunjukkan jumlah rakaat yang dilakukan oleh Ubay bin Ka’ab, sehingga ulama berselisih jumlah rakaat di dalamnya. Akan tetapi kebanyakan mengatakan jumlah rakaatnya adalah empat puluh satu sebagaimana yang dilakukan ahli Madinah.[25]
Perlu diketahui, bahwa dikalangan para ulama belakangan ini, cukup dikenal penggunaan ucapan Umar diatas, yaitu ucapan beliau : “Sebaik-baiknya bid’ah …. “ adalah maksud bid’ah secara bahasa bukan dan bukan istilah.[26]
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah menjelaskan maksud perkataan Imam Asy Syafi’i mengenai bid’ah hasanah (mahmudah) dan bid’ah madzmumah, “Yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i rahimahullah seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya bahwa bid’ah madzmumah (yang tercela) adalah segala amalan yang tidak ada asalnya dalam syari’at yang mendukungnya. Inilah bid’ah yang dimutlakkan dalam syari’at. Sedangkan bid’ah yang terpuji (bid’ah hasanah) adalah bid’ah yang bersesuaian dengan sunnah (ajaran Rasul), yaitu yang memiliki asal dari Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pendukung. Namun yang dimaksudkan dengan bid’ah hasanah di sini adalah bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah menurut istilah syar’i karena bid’ah kedua ini bersesuaian dengan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.[27]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sebagaimana sabdanya,
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
Setiap bid’ah adalah sesat?[28]
 Asy Syathibi mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah hasanah.”Artinya setiap bid’ah itu tercela, tidak ada yang hasanah.[29]
Dan Al-Hafidz Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya mengatakan  bahwa dalil bahwasannya rasulullah melakukan qiyam Ramadhan itu menunjukkan bahwa Tarawih merupakan sunnah.[30] Berbeda dengan keyakinan Rawafidz yang meyakini bahwasanya qiyam Ramadhan adalah bid’ah dan bukan sunnah.[31]
IV.             Kajian Dalil Sholat Tarawih Delapan Rakaat
Diantar            a hadits yang digunakan dalil bagi yang berargumen bahwasannya sholat tarawih delapan rakaat adalah hadits riwayat Imam Ibnu Hibban dan Imam Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dalam kitab Shohihnya:
عَنْ جَابِرٍ :" أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِمْ ثَمَانِ رَكَعَاتٍ وَالْوِتْرَ ثُمَّ انْتَظَرُوْهُ فِي الْقَابِلَةِ يَخْرُجُ إِلَيْهِمْ"
            Dari Jabir: “Sesungguhnya Rasulullah SAW melakukan Shalat Taraweh bersama para Sahabat sebanyak delapan roka’at kemudian Shalat Witir, kemudian mereka menunggu Rasulullah keluar di malam berikutnya”.[32]
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam Ibnu Khuzaimah dari Jabir Bin Abdullah adalah lemah sekali.[33] Sebab dalam hadits ini ada ‘Isa Bin Jariyah, menurut Ibnu Ma’in Nasa’i dan Abu Daud ia adalah perowi “Munkar Al-Hadits”, Ibnu Adi berkata bahwasannya hadits-hadits yang diriwayatkan dari ‘Isa Bin Jariyah tersebut tidak bisa diambil untuk dijadikan landasan amal. Abu Zar’ah dengan sendirinya mengatakan tidak mengapa menggunakan riwayatnya, dan Ibnu Hibban juga memasukkannya dalam rawi yang tsiqoh.[34]
 Disebutkan sanad hadits tersebut terdapat Ya’qub Bin Abdullah Al-Qummi, Imam Ad-Daruqutni berkata : “Ya’qub Bin Abdullah Al-Qummi bukanlah perowi yang kuat hafalannya”. Begitu juga An-nasa’i. Akan tetapi Ibnu Hibban memasukkan kedalam Tsiqoh begitu juga thabrani.[35]
Maka dari itu hadits tersebut sangat tidak bisa dijadikan hujjah, oleh sebab itulah maka Imam As-Shon’ani menukil dari Imam Az-Zarkasyi dalam Kitab Al-Khadim beliau mengatakan :
بَلِ الثَّابِتُ فِي الصَّحِيْحِ الصَّلاَةُ مِنْ غَيْرِ ذِكْرٍ بِالْعَدَدِ
Adapun yang Shohih (benar) tentang Shalat Taraweh adalah tidak ada penyebutan bilangannya (yakni tidak ada batasan roka’atnya)”[36]
Akan tetapi apabila tarawih delapan rakaat disandarkan kepada hadits shohih yang diriwayatkan dari Aisyah, sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa Ulama Ahli Hadits dan Fiqih yang mentahqiq hadis tersebut menyebutkan rasulullah melakukan sholat baik di bulan Ramadhan maupun diluar bulan ramadhan sebelas rakaat.[37]
Syaikh Al-Albani dalam kitabnya bahwa hadits dari Aisyah merupakan pembatas atau tahdid bahwa sholat tarawih adalah sebelas rakaat.[38] Sebagaimana asal tasyri’ qiyam Ramadhan yang dicontohkan oleh rasulullah tidak lebih dari sebelas rakaat. Jika melebihi itu maka sebagaimana sholat Dzuhur lima rakaat.[39]
Akan tetapi sebenarnya maksud dari Syaikh Al-Albani adalah bukan pembatasan pada rakaat Tarawih saja , akan tetapi pembatasan pada semua sholat nafilah. Karena beliau menggunakan dalil sebagaimana sabda rasulullah,
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Sholatlah sebagaimana aku sholat”.[40]
Yang mana dalil itu berlaku untuk semua sholat baik nafilah maupun fardhiyah.[41]
V.                Kajian Dalil Sholat Tarawih Dua Puluh Rakaat
Sedangkan untuk shalat tarawih dua puluh rakaat, sebagaimana hadits dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa rasulullah sholat pada bulan ramadhan adalah hadits yang dhaif jiddan.[42]
Hadis tersebut diriwayatkan oleh, juga oleh Abd bin Hamid dalam musnadnya No. Hadis 652, disebutkan bahwasannya sanadnya lemah,[43] juga oleh al-Thabrani[1] al-Ausath No. Hadis 5440.
Syaikh albani menjelaskan, Al-Haitsami mengatakan bahwa hadits ini sangat lemah, bahkan lemah sekali  sebagaimana juga yang dikatakan Al hafidz. Ibnu Mu’in mengatakan haditsnya tidak tsiqoh, begitu juga dikatakan Syaibah. Dan imam Bukhari mendiamkan hadits itu.[44]
Al-Haitsami dalam Al-Fatawa Al-Kubra hadits ini juga sangat lemah. Maka Al-Bani mengatakan bahwa dari pendapat para ulama di atas menunjukkan bahwa hadits tersebut lemah dan tidak bisa diamalkan.[45]
Adapun yang berpendapat dua puluh rakaat menggunakan dalil dari peristiwa yang dilakukan pada masa Umar bin Khatab dan menganggap ini sebagai sebaik-baik bid’ah. Maka tarawih adalah mengikuti Umar bin Khatab. Shalat tarawih duapuluh rakaat adalah termasuk sunnah Khulafaur Rasyidin. Sebagaimana sabda Rasulullah: “Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin’. Maka mengikuti mereka merupakan sunnah.”[46]
Ad-Dasuqi rahimahullahu ta’ala berkata: “Dahulu itulah yang diamalkan oleh para sahabat dan tabiin.[47]
Ibn Abidin rahimahullahu ta’ala berkata: “Itulah yang diamalkan oleh kebanyakan manusia di Timur dan di Barat.”[48]
Dan semua para keempat madzhab Hanafiyah,[49] Malikiyah,[50] Syafi’iyah,[51] dan Hanabilah[52] menyebutkan sholat tarawih juga dua puluh rakaat.

Dan ijma’ shahabah menyebutkan bahwa dalil yang disebutkan tidak ada keraguan, adapun yang dilakukan khulafa’ur rasyidin juga rasulullah perintahkan untuk diikuti, karena mereka adalah sebaik-baik umat. Adapun perselisihan dalam masalah rakaat tarawih memang masalah yang mengandung unsur ijtihad. Maka seyogyanya tidak dijadikan sebagai perselisihan dan menyusahkan umat.[53] Dan sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa tidak ada hadits yang shorih menyebutkan berapa jumlah rakaat yang rasulullah lakukan. Adapun anjuran rasulullah yang datang dari hadis shohih adalah perintah untuk menegakkan qiyam Ramadhan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata: "Yang paling baik adalah disesuaikan dengan kondisi kaum muslimin. Kalau mereka mampu berdiri lama, maka sepuluh rakaat dan tiga rakaat setelahnya sebagaimana Nabi SAW melakukan shalat untuk dirinya sendiri, baik di bulan Ramadan maupun di bulan lainnya, itulah yang paling baik. Kalau mereka tak mampu, maka dua puluh rakaat itulah yang paling baik. Itulah yang diamalkan oleh kebanyakan kaum muslimin. Jumlah itu merupakan pertengahan antara sepuluh dengan empat puluh. Kalau dilakukan sebanyak empat puluh atau selainnya juga boleh tanpa ada larangan. Hal itu telah dinyatakan oleh lebih dari satu imam, di antaranya adalah Imam Ahmad dan lain-lain. Beliau berkata: Barangsiapa mengira bahwa shalat tarawih dibatasi jumlah tertentu dari Nabi yang tidak boleh ditambahi atau dikurangi, maka ia telah keliru.[54]

C. KESIMPULAN

Sholat tarawih merupakan sholat malam yang dilakukan pada bulan ramadhan. Dan rasulullah tidak pernah melakukan sholat malam baik di bulan ramadhan maupun di luar bulan ramadhan lebih dari sebelas rakaat. Maka bagi yang melakukan sholat tarawih delapan rakaat berdalil dengan hadits tersebut. apabun tarawih muncul kembali dan dilakukan secara berjama’ah pada zaman Umar, dan ini merupakan sebaik-baik bid’ah. Sehingga orang yang sholat tarawih delapan rakaat berdalil denganya. Adapun dalil shorih yang menyebutkan jumlah rakaat sholat tarawih rasulullah tidak ada. Wallahu a’lam bish shawwab...









Referensi
Al-Qur’an Al-Karim
Abidin, Ibnu, Radd Al-Mukhtar, juz 1.

Albani, Al- Muhammad Nashiruddin, Sholat Tarawih.

Albani, Al- Muhammad Nashiruddin, Sholat Tarawih, cet 2, (Beirut: Maktabah Al-Islami, 1985 M)

Asqalani, Al- Ibnu Hajar, Subulus Salam, juz 2, cet 1, (Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif, 2006 M)

Asqalani, Al- Ahmad bin Ali bin Hajar,  Fathul Bari bi Syarh Shohih Bukhari, juz 4, cet 1, (Riyadh: Amir Shulthan bin Abdil Aziz As-Su’ud, 2001 M)

Asqalani, Al- Ibnu Hajar, Tahrir Taqrib At-Tahdzib, juz 3, cet 1, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1997 M)

Asqalani, Al- Ibnu Hajar, Tahdzib At-Tahdzib, juz 4, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah)

Atsari, Al- Ali bin Abdul Hamid Al-Halbi, Ilmu Ushulul Bida’, cet 1, ( Riyadh: Daar Ar-Rayyah, 1992M)
Atsari, Al-Ali bin Abdul Hamid Al-Halbi, Al-Kasyaf As-Sharih ‘an Aghlath As-Shobuni fi Sholat Tarawih, cet 1, (Jeddah: Maktabah As-Shahabah, 1992 M)

Baar, Al- Ibnu Abd, Al-Istidzkar, juz 5, cet 1, (Qahirah: Daar Al-Wa’i, 1993 M)

Baihaqi, Al- Ali, As-Sunan Al-Kubra, juz 2, cet 1, (Hindi: Majlis Dairah Al-Ma’arif Al-Utsmaniyah, 1346 H)

Baz, Abdul Aziz bin, Fatawa Sholat Tarawih,  (Jama’ wa Tartib Qism Al-Ilmi)

Bukhari, Al- Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Al Jami’ As Shohih, juz 1, cet 1, (Kairo: Al-Mathba’ah As-Salafiyah, 1403 H)

Bukhari, Al- Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Al Jami’ As Shohih, juz 2, cet 1, (Kairo: Al-Mathba’ah As-Salafiyah, 1403 H)

Dasuqi, Ad- Muhammad ‘Urfi, Hasyiyah Ad-Dasuqi ‘ala Syarkh Kabir, juz 1, (Badan Ihya’ Al-kutub Al-Arabiyah)

Dimasqi, Ad- An-Nawawi, Rauhdah At-Thalibin,  juz 1, (Beirut: Darul Kutubil Ilmiyah, 2003 M)

Hambali, Al- Ibnu Rajab, Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, juz 2, cet 2, (Qahirah: Daar As-Salam, 2004 M(
Hambali, Al- Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Al-Kafi, juz 1, (Hajr, Lithaba’ah Nasyri Tauzi’ wa I’lan)

Hamid, Abd bin, Al-Muntakhab, juz 1 , cet 2, (Riyadh: Daar Balnisiyah, 2002 M)

Majah, Ibnu, Sunan Ibnu Majah, juz 1, (Beirut: Daar Al-Ma’arif)

Naisamburi, An- Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajaj Al-Qusairi, Shohih Muslim, (Riyadh: Bait Al-Afkar, 1998 M)

Naisamburi, An- Ibnu Khuzaimah, Shohih Ibnu Khuzaimah, juz 2, (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, 1980 M)

Qurtubi, Al- Ahmad bin Rasyid, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtasid, juz 1, cet 6, (Daar Al-Ma’rifah, 1982 M)

Salami, ‘Atiyah Muhammad, At-Tarawih Aksar Min Alfi ‘Am, (Madinah Munawaroh: At-Thab’ah Al-Madani, 1971 M)

Subaihi, As- Ibrahim bin Muhammad, Adadu Sholat Tarawih, cet 1, (Riyadh: Kulliyah Usulud Din, 1409 H(

Suyuthi, As- Al-Imam, Al-Mashabih fi Sholat Tarawih, cet 1, (‘Amman: Daar Al-Qabas, 1986 M)

Taimiyah, Ibnu, Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah, juz 22, (Su’udiyah: Wizaratus Syu’unil Islamiyah, 2004 M)
Thabrani, At- Muhammad, Al-Mu’jam Al-Ausath, juz 2, (Daar Al-Haramain, 1995 M)

Wizarah Al-Auqaf wa As-Syu’uni Al-Islamiyah, Al Mausu’ah Al Fiqhiyah  Al Kuwaitiyah, juz  27, cet 1, (Kuwait: Darus Shofwah, 1992 M)

Zainuddin, Ahmad, Fathul Muin, cet 1, (Beirut: Daar Ibnu Hazm, 2004 M)







[1]
[2] Wizarah Al-Auqaf wa As-Syu’uni Al-Islamiyah, Al Mausu’ah Al Fiqhiyah  Al Kuwaitiyah, juz  27, cet 1, (Kuwait: Darus Shofwah, 1992 M),  hlm. 135
[3] Muhammad ‘Urfi Ad-Dasuqi, Hasyiyah Ad-Dasuqi ‘ala Syarkh Kabir, juz 1, (Badan Ihya’ Al-kutub Al-Arabiyah),  hal 315
[4]Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Al Jami’ As Shohih, juz 2, cet 1, (Kairo: Al-Mathba’ah As-Salafiyah, 1403 H), hlm. 60
[5] مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. Ahmad Zainuddin, Fathul Muin, cet 1, (Beirut: Daar Ibnu Hazm, 2004 M), hal. 169
[6] HR. Muslim: 761. Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajaj Al-Qusairi An-Naisamburi, Shohih Muslim, (Riyadh: Bait Al-Afkar, 1998 M), hal. 300. HR. Bukhari: 2012. Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari Al Jami’ As Shohih, , juz 2, cet 1, (Kairo: Al-Mathba’ah As-Salafiyah, 1403 H), hlm. 61.
[7] Muttafaq ‘alaihi, HR. Muslim: 759. Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajaj Al-Qusairi An-Naisamburi, Shohih Muslim, (Riyadh: Bait Al-Afkar, 1998 M), hal. 299. HR. Bukhari: 2009. Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari Al Jami’ As Shohih, , juz 2, cet 1, (Kairo: Al-Mathba’ah As-Salafiyah, 1403 H), hlm. 60.
[8] Muttafaq ‘alaihi, HR. Muslim: 738. Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajaj Al-Qusairi An-Naisamburi, Shohih Muslim, (Riyadh: Bait Al-Afkar, 1998 M), hal. 291. HR. Bukhari: 1147. Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari Al Jami’ As Shohih, , juz 1, cet 1, (Kairo: Al-Mathba’ah As-Salafiyah, 1403 H), hlm. 35
[9] HR. Ibnu Khuzaimah: 1070.  Ibnu Khuzaimah An-Naisamburi, Shohih Ibnu Khuzaimah, juz 2, (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, 1980 M), hal. 138
[10] HR. Abd bin Hamid: 652. Abd bin Hamid, Al-Muntakhab, juz 1 , cet 2, (Riyadh: Daar Balnisiyah, 2002 M), hal. 493, dan HR. Al-Thabrani: 5440. Muhammad At-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Ausath, juz 2, (Daar Al-Haramain, 1995 M), hal. 324
[11] HR. Al-Baihaqi. Ali Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, juz 2, cet 1, (Hindi: Majlis Dairah Al-Ma’arif Al-Utsmaniyah, 1346 H), hal. 496
[12] ‘Atiyah Muhammad Salami, At-Tarawih Aksar Min Alfi ‘Am, (Madinah Munawaroh: At-Thab’ah Al-Madani, 1971 M), hal. 5
[13] Ibid
[14] QS. Al-Isra’: 79
[15] QS. Al-Muzammil:1-2
[16] ‘Atiyah Muhammad Salami, At-Tarawih Aksar Min Alfi ‘Am, (Madinah Munawaroh: At-Thab’ah Al-Madani, 1971 M), hal. 5
[17] Ibid
[18] Muttafaq ‘alaihi, HR. Muslim: 759. Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajaj Al-Qusairi An-Naisamburi, Shohih Muslim, (Riyadh: Bait Al-Afkar, 1998 M), hal. 299. HR. Bukhari: 2009. Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari Al Jami’ As Shohih, , juz 2, cet 1, (Kairo: Al-Mathba’ah As-Salafiyah, 1403 H), hlm. 60
[19] [HR. Ahmad dari ‘Abdurrahman juz 1, hal. 195, dla’if karena dalam sanadnya ada An-Nadlr bin Syaiban]
[20] ‘Atiyah Muhammad Salami, At-Tarawih Aksar Min Alfi ‘Am, (Madinah Munawaroh: At-Thab’ah Al-Madani, 1971 M), hal. 5
[21] HR. Bukhari: 1129. Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari Al Jami’ As Shohih,  juz 1, cet 1, (Kairo: Al-Mathba’ah As-Salafiyah, 1403 H), hlm. 352. HR. Muslim: 761. Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajaj Al-Qusairi An-Naisamburi, Shohih Muslim, (Riyadh: Bait Al-Afkar, 1998 M), hal. 300.
[22] Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Sholat Tarawih, hal 12. Ibnu Hajar Al-Asqalani, Subulus Salam, juz 2, cet 1, (Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif, 2006 M), hal. 24
[23] Abi Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Al Jami’ As Shohih, juz 2, cet 1, (Kairo: Al-Mathba’ah As-Salafiyah, 1403 H), hlm. 61
[24]Ahmad bin Ali bin Hajar Al-‘Asqalani,  Fathul Bari bi Syarh Shohih Bukhari, juz 4, cet 1, (Riyadh: Amir Shulthan bin Abdil Aziz As-Su’ud, 2001 M), hal. 294
[25] Ibnu Abdil Baar, Al-Istidzkar, juz 5, cet 1, (Qahirah: Daar Al-Wa’i, 1993 M),  hal. 148
[26] Al-Imam As-Suyuthi, Al-Mashabih fi Sholat Tarawih, cet 1, (‘Amman: Daar Al-Qabas, 1986 M), hal. 23
[27] Ibnu Rajab Al-Hambali, Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, juz 2, cet 2, (Qahirah: Daar As-Salam, 2004 M), hal, 325
[28] HR. Muslim: 867. Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hajaj Al-Qusairi An-Naisamburi, Shohih Muslim, (Riyadh: Bait Al-Afkar, 1998 M), hal. 335
[29] Ali bin Abdul Hamid Al-Halbi Al-Atsari, Ilmu Ushulul Bida’, cet 1, ( Riyadh: Daar Ar-Rayyah, 1992M), hal. 91
[30] Ibnu Khuzaimah An-Naisamburi, Shohih Ibnu Khuzaimah, juz 2, (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, 1980 M), hal. 138
[31]Al-Imam As-Suyuthi, Al-Mashabih fi Sholat Tarawih, cet 1, (‘Amman: Daar Al-Qabas, 1986 M), hal. 23
[32]HR. Ibnu Khuzaimah:1070. Ibnu Khuzaimah An-Naisamburi, Shohih Ibnu Khuzaimah, juz 2, (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, 1980 M), hal. 136
[33]Ibnu Hajar Al-Asqalani,  Subulus Salam, juz 2, cet 1, (Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif, 2006 M), hal. 26.
[34] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Tahrir Taqrib At-Tahdzib, juz 3, cet 1, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah, 1997 M), hal. 136
[35] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Tahdzib At-Tahdzib, juz 4, (Beirut: Muasasah Ar-Risalah), hal. 444
[36]Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Sholat Tarawih, hal 41
[37]Ali bin Abdul Hamid Al-Halbi Al-Atsari , Al-Kasyaf As-Sharih ‘an Aghlath As-Shobuni fi Sholat Tarawih, cet 1, (Jeddah: Maktabah As-Shahabah, 1992 M), hal. 28
[38] Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Sholat Tarawih, cet 2, (Beirut: Maktabah Al-Islami, 1985 M), hal.16
[39] Ibrahim bin Muhammad As-Subaihi, Adadu Sholat Tarawih, cet 1, (Riyadh: Kulliyah Usulud Din, 1409 H), hal. 6
[41] Ibrahim bin Muhammad As-Subaihi, Adadu Sholat Tarawih, cet 1, (Riyadh: Kulliyah Usulud Din, 1409 H), hal. 6
[42] Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Sholat Tarawih, cet 2, (Beirut: Maktabah Al-Islami, 1985 M), hal.19
[43] Abd bin Hamid, Al-Muntakhab, juz 1, cet 2, (Riyadh: Daar Balnisiyah, 2002 M), hal. 492
[44] Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Sholat Tarawih, cet 2, (Beirut: Maktabah Al-Islami, 1985 M), hal.20
[45] Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Sholat Tarawih, cet 2, (Beirut: Maktabah Al-Islami, 1985 M), hal.20
[46] HR. Ibnu Majah: 42. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, juz 1, (Beirut: Daar Al-Ma’arif), hal 31
[47] Muhammad ‘Urfi Ad-Dasuqi, Hasyiyah Ad-Dasuqi ‘ala Syarkh Kabir, juz 1, (Badan Ihya’ Al-kutub Al-Arabiyah),  hal. 315
[48] Ibnu Abidin, Radd Al-Mukhtar, juz 1, hal. 474
[49] Ibid.
[50] Ahmad bin Rasyid Al-Qurtubi, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtasid, juz 1, cet 6, (Daar Al-Ma’rifah, 1982 M), hal 210. Dikalangan malikiyah juga ada yang mengatakn jumlah rakaat tarawih adalah 36 rakaat.
[51] An-Nawawi Ad-Dimasqi, Rauhdah At-Thalibin,  juz 1, (Beirut: Darul Kutubil Ilmiyah, 2003 M), hal 437
[52] Ibnu Qudamah Al-Maqdisi Al-Hambali, Al-Kafi, juz 1, (Hajr, Lithaba’ah Nasyri Tauzi’ wa I’lan), hal 347
[53] Abdul Aziz bin Baz, Fatawa Sholat Tarawih,  (Jama’ wa Tartib Qism Al-Ilmi), hal. 5
[54] Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah, juz 22, (Su’udiyah: Wizaratus Syu’unil Islamiyah, 2004 M), hal. 272