Sukses, satu kata yang tak asing terdengar ditelinga kita. Mulai
dari anak TK hingga lansia tak ada yang belum pernah mengucapkan ataupun
mendengar satu kata ini. Hampir semua orang tua tak pernah luput dari
menyertakan satu kata tersebut dalam setiap lantuan doa mereka. Seakan semua orang
tak akan pernah mengenal bosan mengucapkan kata “sukses.” Hingga semua orang
berharap akan pertemuan dengan satu kata tersebut, termasuk aku, orang yang
mendamba untuk bertemu dengan satu kata itu.
Namun hinngga detik ini aku belum mampu mengambil kesimpulan yang sebenarnya
mengenai makna sukses itu sendiri. Yang aku tahu sukses jatuh pada satu orang,
yaitu pada seorang yang mampu menggiring umat manusia dari gelapnya masa
jahiliyah menuju masa penuh berkah. Hingga semua orang selalu menyebut namanya,
dan mengharap pertemuan dengannya. Beliaulah utusan terakhir yang Allah
kirimkan pada umat manusia Muhammad bin Abdullah. Namanya murni tanpa gelar
Doktor, Profesor, Insinyur atau seabreg gelar yang diburu manusia. Namun tak
dapat dipungkiri, semua orang akan mengatakan Muhammad adalah orang yang
sukses.
Tapi aku juga berfikir, bahwa gelar sukses tidak hanya jatuh pada
satu orang. Toh, tidak mungkin hingga saat ini manusia masih mewariskan satu
kosa kata tersebut kecuali ada realisasi
dari kata tersebut dari masa ke masa walaupun tetap kesuksesan yang sempurna
hanya mampu diraih oleh manusia mulia yang bernama Muhammad. Tak dapat
dipungkiri juga seorang seperti Imam
Syafi’i yang dengan kecerdasannya mampu membuka wawasan baru dalam masalah
fiqih, lalu disusul muridnya Imam Ahmad bin Hambal yang mampu mempertahankan
kemurnian al-Qur’an dari fitnah yang dilontarkan orang Mu’tazilah, kemudian
Muhammad Al-Fatih yang mampu menakhlukkan Konstantinopel yang sepertinya
terlihat mustahil, mereka juga sangat pantas menjadi golongan manusia yang
sukses. Lalu sampailah era globalisasi yang mana gelar sukses semakin sulit
diraih oleh umat manusia. Atau mungkin kualitas sukses itu sendiri yang semakin
surut. Kesuksesan yang diraih serasa mustahil mencapai sebagaimana yang telah
dicapai orang-orang yang terdahulu.
Lalu kembali aku melihat pada diriku, siapa aku? aku seorang wanita,
serasa hanya mimpi namaku mampu menggoncangkan dunia. Tapi aku itu tak salah,
karena mimpi bisa menjadi awal kesuksesan itu sendiri. Aku yang lahir di era
globalisasi ini tentu akan mengalami perbedaan dalam mencapai gelar sukses itu
sendiri. Minimal aku akan berusaha mendapat gelar sukses dari orang
disekelilingku.
Kalau kata orang tua “Belajar yang sungguh-sungguh nak, biar jadi
anak yang sukes.” Kesimpulan sederhara yang dapat aku ambil dari ucapan
tersebut bahwa sukses adalah sebuah keberhasilan seseorang dengan keadaan hidup
yang sangat memadai karena mempunyai kemampuan dalam menguasai satu objek
tertentu dari hasil belajar. Sehingga dengannya semua kebutuhan tercukupi.
Tapi orang tua mengatakan hal tersebut saat aku masih mengenakan
seragam merah putih, dan mengalungkan bolol air minum dileher. Selalu aku cium
tangan orang tua sebelum ku ayuhkan kaki ke sekolah, dan selalu kalimat itu
yang mampir di telinga. Dan itu masa lalu, ternyata aku menempuh alur yang
berbeda. Aku berada ditengah-tengah lingkungan yang agamis, dan jauh dari orang
tua. Atau lebih tepatnya disebut dengan “pesantren.” Sehingga perspektif dari
gelar sukses sendiri juga mengalami perubahan.
Kalau kata ustdaz “Jadilah seorang wanita yang sukses, mampu
berdakwah dan menyampaikan semua ilmu yang telah dipelajari selama dipondok.
Agar orang lain yang belum faham bisa mendapat manfaat dari ilmu yang telah
kita pelajari.” Kesimpulan sederhana yang dapat aku ambil dari kalimat tersebut
bahwasannya wanita yang sukses adalah yang mampu berdakwah dan mampu
menyampaikan ilmu yang telah dipelajai selama di pesantern. Padahal kata dakwah
identik dengan sebuah aktifitas yang mengharuskan pelakunya berinterkasi dengan
banyak orang dan juga banyak tempat. Karena tidak semua orang diberi kesempatan
mencicip bangku pesantren berikut ilmu yang mengiringinya. Dengan kata lain
gambaran diatas mencerminkan seorang wanita sholihah, karena tujuan ustadaz
mendidik tidak lain hanya ingin menjadikan para santrinya menjadi seorang yang
sholeh atau sholihah.
Tapi ustadz lain juga berkata “Wanita yang sukses adalah seorang
wanita yang mampu menjaga dirinya dan harta suaminya dirumah, mampu mendidik
anak dengan baik, sehingga esok dapat mencetak segerasi pejuang yang terbina.”
Terdapat perbedaan yang sangat kontras dari ungkapan sebelumnya. Kesimpulan
sederhananya adalah santri yang dibimbing dipesantern kelak menjadi sholihah
dengan kemampuannya dalam mendidik anak dirumah. Dengan kata lain seorang
wanita sholihah lebih dominan untuk berada dirumah, dan tidak banyak
menghabiskan waktu untuk berinterkasi diluar rumah.
Sedangkan dengan fersi yang berbeda seorang ustadzah lain
mengatakan “Seorang wanita yang sukses adalah seorang wanita yang menjaga
sholatnya lima waktu, berpuasa ketika ramadhan, menjaga kemaluan, dan taat
kepada suami, sebagaimana hadits rasulullah. Karena dengan begitu seorang istri
bisa masuk surga dari pintu mana saja yang dia kehendaki.” Kesimpulan yang juga
berbeda dengan sebelumnnya. Sekilas ungkapan terakhir seperti ungkpan yang
paling dekat dengan gelar sukses. Karena kita sebagai seorang muslim yang
berkeyakinan bahwasannya kesuksesan yang paling utama adalah menjadi golongan
orang yang diberi izin oleh Allah untuk memasuki rumah-Nya. Tapi berhubung aku
belum menjadi seorang istri hal ini belum bisa terealisasikan. Tapi secara
nalar dapat dijangkau, kalau sesorang yang mendapat balasan istimewa tentu yang
dibebankan bukan hanya pekerjaan yang biasa, pasti pekerjaan yang juga luar
biasa.
Kembali aku meneliti gelar sukses ini. Aku ingin menjadi golongan
orang yang berjumpa dengan sukses tersebut, tapi dari pengerian mana yang harus
aku realisasikan. Apakah ustadz satu, dua, atau ustadzah?. Dan untuk ungkapan
orang tua tentulah tak bisa aku terima, karena gelar sukses hanya akan tertera
sementara. Padahal gelar sukses yang diharapkan oleh setiap orang muslim adalah
gelar sukses yang sifatnya permanen. Dan tidak akan terputus walau dengan
kematian.
Haruskah aku mengkomperasikan ketiga ungkapan diatas. Atau
mengabaikan ungkapan tersebut, lalu aku akan mengambil salah satu contoh dari
Muhammad bin Abdullah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, atau Muhammad
Al-Fatih? Tapi aku bukan mereka. Mana mungkin aku akan meniru semua perilaku
mereka dan aku akan mendapatkan gelar yang sama? tidak mungkin.
Setelah sejenak aku berfikir. Gelar sukses bukan pada setiap orang
mampu mengenyam bangku pendidikan paling lama, karena Muhammad bin Abdullah
tidak pernah mengenyam bangku sekolah, selain pada saat itu belum ada sekolah
beliau juga tidak belajar kepada seorang guru. Gelar sukses bukan pula pada setiap
orang yang mampu berdakwah, dan menyeru umat manusia kembali pada jalan yang
lurus, karena Imam Ahmad bin Hambal mendapat gelar sukses karena telah berusaha
melindungi al-Qur’an dari fitnah orang Mu’tazilah dan bukan karena berdakwah.
Kesimpulan ringan yang dapat aku petik adalah, gelar sukses tidak
hanya terbatas pada orang yang namanya mampu menggoncngkan dunia. Akan tetapi
orang yang berhak mendapat gelar sukses adalah semua orang yang berusaha
melakukan dengan kemampuannya pada suatu hal untuk menimbulkan manfaat baik
untuk dirinya maupun orang lain. Karena kembali kita melihat gelar sukses yang
diraih oleh Muhammad bin Abdullah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, dan
Muhammad Al-Fatih dengan sebab kesuksesan yang berbeda. Maka jangan hanya
melihat pengertian sukses dari satu arah, karena bisa menjadikan kita berfikir
sempit dan kaku. Masih ingatkan pepatah arab yang mengatakan “khairun naasi
anfa’uhum linnaas.” Tidak pernah ada batasan dari sebuah kesuksekan itu
sendiri. Maka jangan sampai kita membatasi pencapaian sukses itu sendiri.
Ingat, semua orang memiliki kemampuan, tapi kemampuan itu sendiri mempunyai
ragam. Maka jadilah orang yang sukses sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Dan ingat, semua kesuksesan yang diraih tidaklah lepas dari koridor syari’at
Islam, kerena kita adalah muslim yang mempunyai aturan, dan tak ada yang kita
harap kecuali hanya Ridho Allah dan Surga-Nya.JJJ
Mahira, 10 May 2016.