Jumat, 20 Mei 2016

BALADA KATA “SUKSES”



Sukses, satu kata yang tak asing terdengar ditelinga kita. Mulai dari anak TK hingga lansia tak ada yang belum pernah mengucapkan ataupun mendengar satu kata ini. Hampir semua orang tua tak pernah luput dari menyertakan satu kata tersebut dalam setiap lantuan doa mereka. Seakan semua orang tak akan pernah mengenal bosan mengucapkan kata “sukses.” Hingga semua orang berharap akan pertemuan dengan satu kata tersebut, termasuk aku, orang yang mendamba untuk bertemu dengan satu kata itu.
Namun hinngga detik ini aku belum mampu mengambil kesimpulan yang sebenarnya mengenai makna sukses itu sendiri. Yang aku tahu sukses jatuh pada satu orang, yaitu pada seorang yang mampu menggiring umat manusia dari gelapnya masa jahiliyah menuju masa penuh berkah. Hingga semua orang selalu menyebut namanya, dan mengharap pertemuan dengannya. Beliaulah utusan terakhir yang Allah kirimkan pada umat manusia Muhammad bin Abdullah. Namanya murni tanpa gelar Doktor, Profesor, Insinyur atau seabreg gelar yang diburu manusia. Namun tak dapat dipungkiri, semua orang akan mengatakan Muhammad adalah orang yang sukses.
Tapi aku juga berfikir, bahwa gelar sukses tidak hanya jatuh pada satu orang. Toh, tidak mungkin hingga saat ini manusia masih mewariskan satu kosa kata tersebut kecuali ada  realisasi dari kata tersebut dari masa ke masa walaupun tetap kesuksesan yang sempurna hanya mampu diraih oleh manusia mulia yang bernama Muhammad. Tak dapat dipungkiri juga seorang seperti  Imam Syafi’i yang dengan kecerdasannya mampu membuka wawasan baru dalam masalah fiqih, lalu disusul muridnya Imam Ahmad bin Hambal yang mampu mempertahankan kemurnian al-Qur’an dari fitnah yang dilontarkan orang Mu’tazilah, kemudian Muhammad Al-Fatih yang mampu menakhlukkan Konstantinopel yang sepertinya terlihat mustahil, mereka juga sangat pantas menjadi golongan manusia yang sukses. Lalu sampailah era globalisasi yang mana gelar sukses semakin sulit diraih oleh umat manusia. Atau mungkin kualitas sukses itu sendiri yang semakin surut. Kesuksesan yang diraih serasa mustahil mencapai sebagaimana yang telah dicapai orang-orang yang terdahulu.
Lalu kembali aku melihat pada diriku, siapa aku? aku seorang wanita, serasa hanya mimpi namaku mampu menggoncangkan dunia. Tapi aku itu tak salah, karena mimpi bisa menjadi awal kesuksesan itu sendiri. Aku yang lahir di era globalisasi ini tentu akan mengalami perbedaan dalam mencapai gelar sukses itu sendiri. Minimal aku akan berusaha mendapat gelar sukses dari orang disekelilingku.
Kalau kata orang tua “Belajar yang sungguh-sungguh nak, biar jadi anak yang sukes.” Kesimpulan sederhara yang dapat aku ambil dari ucapan tersebut bahwa sukses adalah sebuah keberhasilan seseorang dengan keadaan hidup yang sangat memadai karena mempunyai kemampuan dalam menguasai satu objek tertentu dari hasil belajar. Sehingga dengannya semua kebutuhan tercukupi.
Tapi orang tua mengatakan hal tersebut saat aku masih mengenakan seragam merah putih, dan mengalungkan bolol air minum dileher. Selalu aku cium tangan orang tua sebelum ku ayuhkan kaki ke sekolah, dan selalu kalimat itu yang mampir di telinga. Dan itu masa lalu, ternyata aku menempuh alur yang berbeda. Aku berada ditengah-tengah lingkungan yang agamis, dan jauh dari orang tua. Atau lebih tepatnya disebut dengan “pesantren.” Sehingga perspektif dari gelar sukses sendiri juga mengalami perubahan. 
Kalau kata ustdaz “Jadilah seorang wanita yang sukses, mampu berdakwah dan menyampaikan semua ilmu yang telah dipelajari selama dipondok. Agar orang lain yang belum faham bisa mendapat manfaat dari ilmu yang telah kita pelajari.” Kesimpulan sederhana yang dapat aku ambil dari kalimat tersebut bahwasannya wanita yang sukses adalah yang mampu berdakwah dan mampu menyampaikan ilmu yang telah dipelajai selama di pesantern. Padahal kata dakwah identik dengan sebuah aktifitas yang mengharuskan pelakunya berinterkasi dengan banyak orang dan juga banyak tempat. Karena tidak semua orang diberi kesempatan mencicip bangku pesantren berikut ilmu yang mengiringinya. Dengan kata lain gambaran diatas mencerminkan seorang wanita sholihah, karena tujuan ustadaz mendidik tidak lain hanya ingin menjadikan para santrinya menjadi seorang yang sholeh atau sholihah.
Tapi ustadz lain juga berkata “Wanita yang sukses adalah seorang wanita yang mampu menjaga dirinya dan harta suaminya dirumah, mampu mendidik anak dengan baik, sehingga esok dapat mencetak segerasi pejuang yang terbina.” Terdapat perbedaan yang sangat kontras dari ungkapan sebelumnya. Kesimpulan sederhananya adalah santri yang dibimbing dipesantern kelak menjadi sholihah dengan kemampuannya dalam mendidik anak dirumah. Dengan kata lain seorang wanita sholihah lebih dominan untuk berada dirumah, dan tidak banyak menghabiskan waktu untuk berinterkasi diluar rumah.
Sedangkan dengan fersi yang berbeda seorang ustadzah lain mengatakan “Seorang wanita yang sukses adalah seorang wanita yang menjaga sholatnya lima waktu, berpuasa ketika ramadhan, menjaga kemaluan, dan taat kepada suami, sebagaimana hadits rasulullah. Karena dengan begitu seorang istri bisa masuk surga dari pintu mana saja yang dia kehendaki.” Kesimpulan yang juga berbeda dengan sebelumnnya. Sekilas ungkapan terakhir seperti ungkpan yang paling dekat dengan gelar sukses. Karena kita sebagai seorang muslim yang berkeyakinan bahwasannya kesuksesan yang paling utama adalah menjadi golongan orang yang diberi izin oleh Allah untuk memasuki rumah-Nya. Tapi berhubung aku belum menjadi seorang istri hal ini belum bisa terealisasikan. Tapi secara nalar dapat dijangkau, kalau sesorang yang mendapat balasan istimewa tentu yang dibebankan bukan hanya pekerjaan yang biasa, pasti pekerjaan yang juga luar biasa.
Kembali aku meneliti gelar sukses ini. Aku ingin menjadi golongan orang yang berjumpa dengan sukses tersebut, tapi dari pengerian mana yang harus aku realisasikan. Apakah ustadz satu, dua, atau ustadzah?. Dan untuk ungkapan orang tua tentulah tak bisa aku terima, karena gelar sukses hanya akan tertera sementara. Padahal gelar sukses yang diharapkan oleh setiap orang muslim adalah gelar sukses yang sifatnya permanen. Dan tidak akan terputus walau dengan kematian.
Haruskah aku mengkomperasikan ketiga ungkapan diatas. Atau mengabaikan ungkapan tersebut, lalu aku akan mengambil salah satu contoh dari Muhammad bin Abdullah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, atau Muhammad Al-Fatih? Tapi aku bukan mereka. Mana mungkin aku akan meniru semua perilaku mereka dan aku akan mendapatkan gelar yang sama? tidak mungkin.
Setelah sejenak aku berfikir. Gelar sukses bukan pada setiap orang mampu mengenyam bangku pendidikan paling lama, karena Muhammad bin Abdullah tidak pernah mengenyam bangku sekolah, selain pada saat itu belum ada sekolah beliau juga tidak belajar kepada seorang guru. Gelar sukses bukan pula pada setiap orang yang mampu berdakwah, dan menyeru umat manusia kembali pada jalan yang lurus, karena Imam Ahmad bin Hambal mendapat gelar sukses karena telah berusaha melindungi al-Qur’an dari fitnah orang Mu’tazilah dan bukan karena berdakwah.
Kesimpulan ringan yang dapat aku petik adalah, gelar sukses tidak hanya terbatas pada orang yang namanya mampu menggoncngkan dunia. Akan tetapi orang yang berhak mendapat gelar sukses adalah semua orang yang berusaha melakukan dengan kemampuannya pada suatu hal untuk menimbulkan manfaat baik untuk dirinya maupun orang lain. Karena kembali kita melihat gelar sukses yang diraih oleh Muhammad bin Abdullah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, dan Muhammad Al-Fatih dengan sebab kesuksesan yang berbeda. Maka jangan hanya melihat pengertian sukses dari satu arah, karena bisa menjadikan kita berfikir sempit dan kaku. Masih ingatkan pepatah arab yang mengatakan “khairun naasi anfa’uhum linnaas.” Tidak pernah ada batasan dari sebuah kesuksekan itu sendiri. Maka jangan sampai kita membatasi pencapaian sukses itu sendiri. Ingat, semua orang memiliki kemampuan, tapi kemampuan itu sendiri mempunyai ragam. Maka jadilah orang yang sukses sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dan ingat, semua kesuksesan yang diraih tidaklah lepas dari koridor syari’at Islam, kerena kita adalah muslim yang mempunyai aturan, dan tak ada yang kita harap kecuali hanya Ridho Allah dan Surga-Nya.JJJ  
Mahira, 10 May 2016.

Info pendaftran Mahasantri baru tahun akademik 2016-2017 Ma'had 'Aly Hidayaturrahman






Ma’had Al-Aly Lidirasah Al-Islamiyah
HIDAYATURRAHMAN
PILANG, MASARAN, SRAGEN, JAWA TENGAH
            Sudah menjadi kebutuhan kaum muslimin hari ini, lahirnya sosok seorang da’iyah muslimah yang mampu menjelaskan dienul islam secara utuh kepada masyarakat luas, terutama kepada kaum wanitanya. Serta mampu membimbing mereka secara baik dan benar, sehingga mereka siap mengambil perannya dalam Iqomatuddien. Di sisi lain, banyak tersebarnya unit pendidikan mu’allimat yang masih membutuhkan banyak SDM pendidik muslimah/ustadzah yang memiliki keterampilan dalam mengajar dan ahli dalam bidangnya.
            Adalah Ma’had ‘Aly putri Hidayaturrahman Liddirasat Al-Islamiyah sejak tahun ajaran 1432-1433 H/2011-2012 M telah membuka program study tunggalnya yaitu fiqih dan ushul fiqih dengan masa study 6 semester. Program study ini dibuka untuk umum bagi seluruh muslimah yang telah menyelesaikan studynya ditingkat SLTA/Mua’llimat/sederajat, serta mampu menguasai bahasa arab dengan baik dan benar.
            Perkuliahan di Ma’had ‘Aly Putri Hidayaturrahman telah didukung oleh tenaga pengajar dan dosen lulusan dari beberapa universitas Indonesia dan luar negri yang berpengalaman di bidangnya, diantaranya; Master ISID Gontor, Master Universitas Muhamadiyyah Surakarta (UMS) S3 UIN Yogyakarta, S3 Universitas  Ibnu Kholdun Bogor, LIPIA Jakarta, Jami’atul Iman Yaman, Ma’had ‘Aly An-Nuur, dan perguruan tinggi lainnya.
            Tujuan MA Hidayaturrahman
            Tujuan didirikannya Ma’had ‘Aly Putri Hidayaturrahaman adalah untuk menghasilkan output yang memiliki kompetensi dalam bidang fiqih dan Hukum Islam di samping penguasaan secara umum terhadap Ilmu Islam yang lain, hafalan qur’an minimal 6 juz, serta kecakapan berbahasa arab, yang dengan itu semua ia mempunyai kapasitas sebagai seorang pengajar di sekolah maupun di pesantren, juru dakwah dan konsultan hukum Islam.wallahua’lam
            Syarat Pendaftaran
1.      Lulus Kulliyatul Mua’allimat (KMA) atau sederajat.
2.      Mampu membaca Al-Qur’an dengan baik
3.      Hafal Al-Qur’an minimal 3 (tiga) juz.
4.      Status belum menikah.
5.      Siap tidak menikah selama dalam pendidikan[1]
6.      Siap diasramakan.
7.      Siap mematuhi semua peraturan yang ada.
8.      Menyerahkan kelengkapan administrasi pendaftaran:
a.       Copy ijazah terakhir
b.      Pas foto 3x4 sebanyak 5 (lima) lembar.
c.       Uang pendaftaran Rp. 150.000,-
d.      Surat pernyataan ijin dari orang tua/wali.
e.       Menyerahkan surat rekomendasi dari tokoh masyarakat/lembaga.
9.      Lulus tes seleksi.
Seleksi Penerimaan
o   WAKTU PENDAFTARAN
Gelombang I   : 1-15 April 2016
Gelombang II  : 1-15 Mei 2016
o   MATERI TEST
-test tulis         : Bahasa Arab, Dasar-dasar Aqidah, Dasar-dasar Fiqih dan Ushul fiqih.
-test lisan        : Baca Al-Qur’an, Hifdzul Qur’an (3 juz), dan pshycotest
o   PENGUMUMAN HASIL TEST    : tanggal 10 juni 2016
o   DAFTAR ULANG   : bagi calon mahasiswi yang dinyatakan lulus test, diwajibkan daftar ulang pada tanggal 22 juli 2016
o   ORIENTASI : tanggal 24-25 juli 2016
o   KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR     : tanggal 26 juli 2016
Tempat Pendaftaran
1.      Kampus MA Hidayaturrahman, Pilang, Masaran, Sragen.
Telp. 081 804 576 854/085 700 073 655
2.      Contact Person:
$    Ustadz Tengku Azhar, Lc.              (081 804 576 854/085 290 074 679)
$    Ustadz Fajrun Mustaqim, Lc.          (081 226 009 254/085 642 245 051)
$    Ustadz Sumarno, S.Pdi.                  (081 548 750 345)
$    Ustadzah Hijri Nur Fauziyah, S.Pdi.(085 640 657 120)


[1]  Kesiapan hal ini ditandai dengan perjanjian hitam di atas putih

IstiQomah Elhaura: info pendaftran Mahasantri baru tahun akademik 201...

IstiQomah Elhaura: info pendaftran Mahasantri baru tahun akademik 201...: Ma’had Al-Aly Lidirasah Al-Islamiyah HIDAYATURRAHMAN PILANG, MASARAN, SRAGEN, JAWA TENGAH             Sudah menjadi kebu...

Selasa, 10 Mei 2016

Tafsir QS. An-Nisa’: 5-6





وَلاَ تُؤْتُواْ السُّفَهَاء أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللّهُ لَكُمْ قِيَاماً وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُواْ لَهُمْ قَوْلاً مَّعْرُوفاً وَابْتَلُواْ الْيَتَامَى حَتَّىَ إِذَا بَلَغُواْ النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُواْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلاَ تَأْكُلُوهَا إِسْرَافاً وَبِدَاراً أَن يَكْبَرُواْ وَمَن كَانَ غَنِيّاً فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَن كَانَ فَقِيراً فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُواْ عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللّهِ حَسِيباً
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).” 
السُّفَهَاء bodoh yaitu orang yang menghambur-hamburkan dalam penggunaan harta, mengeluarkan harta tidak sesuai tempatnya, dan belum mampu mengalokasilan hartanya. Maka mukhatab pada ayat tersebut adalah seorang wali, karena seorang walilah yang bertanggungjawab atas seorang tersebut.
Maka dari penjelasan diatas, seorang yang bodoh hendaknya ditahan dari berinterkasi, sedangkan seorang yang ditahan dari berinteraksi bisa karena anak kecil, gila, atau bisa juga karena seorang yang buruk dalam bermuamalah, karena kurang dalam masalah akal maupun agama. Ada juga yang menambahkan seorang muflis juga ditahan, yaitu orang yang sudah terlilit hutang, dan susah untuk membayar hutang tersebut.
Maka Ibnu Abbas mengatakan وَلاَ تُؤْتُواْ السُّفَهَاء أَمْوَالَكُمُ anak-anak dan seorang wanita. Sebagaimana juga yang dingkapkan Ibnu Mas’ud dan yang lainnya. Sedangkan Said bin Jubair mengatakan bahwa mereka adalah anak-anak yatim.
Mujhid, Qatadah dan Ikrimah mengatakan mereka adalah para permpuan. Karena sebagaimana sabda rasulullah إن النساء سفهاء إلا التى أطاعت قيمها
Maka pada ayat الَّتِي جَعَلَ اللّهُ لَكُمْ قِيَاماً وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُواْ لَهُمْ قَوْلاً مَّعْرُوفاً Ibnu Abbas menjelaskan bahwasaanya maksud ayat tersebuta adalah seorang wali yang berada dibawahnya seorang istri dan juga anak-anak maka hendaknya dia memelihara apa yang mereka punya, dan menjaganya. Dan memberinya nafkah berupa pakaian, kebutuhan, dan rizki mereka karena Allah telah menganugerahkan kepadamu semua kebutuhan hidupmu.
Sedangkan pada ayat selanjutnya وَابْتَلُواْ الْيَتَامَى حَتَّىَ إِذَا بَلَغُواْ النِّكَاحَ perintah untuk menguji anak yatim tersebut, apakah dia telah sanggup memegang hartanya sendiri atau belum. Di dalam ayat ini disebut ujian itu sebelum menikah, karena setelah dia menikah berarti dia telah berdiri sendiri, mengatur isteri dan rumah tangganya.
فَإِنْ آنَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُواْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ “Jika kamu tilik pada mereka telah ada kecerdikan, serahkanlah harta mereka kepada mereka.” Artinya lepaslah kamu dari tanggung jawab, sebab harta itu memegang harta mereka sendiri.
Dengan ayat ini jelaslah bahwa menjadi perintah dari Allah terhadap wali untuk menyerahkan harta tersebut seluruhnya, karena dia telah pandai atau telah sanggup mengatur sendiri hartanya. Di dalam hal ini tidak bergantung pada umur, tetapi bergantung kepada kecerdikan atau kedewasaan pikiran. Karena ada juga anak usianya belum dewasa, tetapi dia lebih cerdik. Dan ada pula usianya telah agak lanjut, tetapi belum mampu. Maka apabila isyarat kemampuan atau kepandaian telah tampak, dan wali masih menahan harta tersebut, dan mau menyerahkannya, berdosalah dia di sisi Allah.
Maka apabila telah datang waktunya dia berhak menerima hartanya kembali, dan didapatinya hartanya telah hilang secara tidak patut maka wali tersebut termasuklah ke dalam golongan orang yang menyalakan api dalam perutnya.
وَمَن كَانَ غَنِيّاً فَلْيَسْتَعْفِفْ Barangsiapa yang kaya hendaklah dia menahan diri.” Ayat tersebut merupakan sebagai pendorong bagi oarng yang mampu untuk menahan diri mereka dari harta anak yatim. Tanpa menggunakan sedikitpun harta anak yatim itu untuk kepentingannya sendiri, tetapi dipelihara sebagaimana patutnya. Sebab dia sendiripun orang yang mampu, maka bertambah besar dan mulialah wali tersebut dalam pandangan anak yatim itu setelah dia dewasa kelak. Dan merasalah anak itu dia berhutang budi.
وَمَن كَانَ فَقِيراً فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ “Dan barang siapa yang fakir, bolehlah makan secara patut.” Apabila walinya seorang yang miskin, dengan tiba-tiba memikul beban mengasuh dan memegang amanah anak yatim yang mempunyai harta dia wajib memegang amanat tersebut. Dan diperbolehkan menggunakan harta anak yatim tersebut dengan baik, karena kalau dia tidak boleh menggunakan dengan baik, tentu wali tersebut sangat terbebani.
Maka adalam  masalah ini ulama berbeda dalam perpendapat. Ulama tafsir berpendapat, bahwa wali yang memakan harta anak yatim karena kemiskinan itu adalah seperti berhutang, dengan niat akan membayarnya kembali. Yang berpendapat seperti ini antaranya adalah Umar bin Khattab dan Ibnu Abbas.
Ibnu Jarir juga mengungkapkan dasar pendapat Ibnu Abbas demikian: “Kalau si pengasuh itu kaya, tidaklah halal dia memakan harta anak yatim. Tetapi kalau si pengasuh itu orang miskin, bolehlah dia menggunakan harta itu dengan niat apabila dia telah mampu akan dibayarnya. Itulah yang disebut di dalam ayat memakan dengan patut.”
Ditambah lagi oleh Said bin Jubair (murid Ibnu Abbas): “Kalau si pengawas itu telah dekat akan mati, hendaklah dia minta ridha kepada pengawasnya yang menggantikannya.”
Menurut as-Sya'bi: “Arti memakan dengan sepatutnya, ialah bahwa dia tidak boleh memakan harta anak yatim kalau tidak terpaksa benar, (mudhthar) sebagaimana dihalalkan makan bangkai bagi orang yang tidak memdapat makan lagi.”
Dibicarakan juga oleh ahli tafsir beberapa kadarnya dibolehkan memakan dengan ma'ruf itu. Satu riwayat dari Ibnu Abbas menjelaskan, yaitu mengambil makanan itu sekedar di ujung jarinya saja. As-Suddi mengatakan sekedar ujung jari juga. Jangan berlebih dan jangan mengambil pakaian. Menurut Ikrimah: “Artinya, ialah bahwa tangan engkau bersama masuk piring dengan tangan mereka, dan jangan mengambil pakaian (sandang). Penafsiran lain berkata, ambillah sekedar menghilangkan lapar dan sekedar penutup aurat.” Yang lain menyatakan pendapat pula, boleh mengambil makan hasil harta anak yatim itu sekedarnya, sebagaimana  air susu binatang ternak, bulunya, hasil buah dan hasil tanaman di sawah, semuanya sekedar perlu pula.
Menurut fatwa Imam 'Atha: “Makan bersama-sama mereka satu hidangan, sekedar hikmat dan pekerjaannya, jangan lebih!”
Dan ulama fiqh bersepakat, bahwa harta anak yatim tetap harta anak yatim. Walinya sekedar pengawas dan tidak boleh menguasai sebagai hartanya sendiri. Tetapi dia boleh meminjam harta itu kalau sangat mendesak, dan boleh juga memperhitungkan sebagai upah atau gaji, yang diperhitungkan baik-baik. Maka timbul kesimpulan, bahwa memakan dengan sepatutnya (ma'ruf) itu, ialah boleh meminjam akan dibayar, boleh menerima upah menurut patut, dan sekali-kali tidak boleh memakan harta itu dengan tidak hendak menggantinya, atau seperti harta kepunyaan orang gila atau orang bodoh.
فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُواْ عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللّهِ حَسِيباً Maka ketika menyerahkan hartanya kepada mereka hendaklah ada seorang saksi. Hal ini merupakan perintah Allah langsung terhadap para wali, agar tidak terjadi kerusuhan dan kedustaan dalam penyerahan harta tersebut. Dan cukuplah Allah sebagai saksi bagi para wali saat penyerahan harta tersebut, apakah wali tersebut menyerahkan semua harta anak yatim, atau telah terkurang. Wallahu ‘alam.
Referensi:        Tafsir Ibnu Katsir juz 3 hal 350-359
                        Tafsir Bahrul Muhith juz 3 hal 177
                        Al-Kasyaf juz 2 hal 20