Selasa, 10 Mei 2016

Tafsir QS. An-Nisa’: 5-6





وَلاَ تُؤْتُواْ السُّفَهَاء أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللّهُ لَكُمْ قِيَاماً وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُواْ لَهُمْ قَوْلاً مَّعْرُوفاً وَابْتَلُواْ الْيَتَامَى حَتَّىَ إِذَا بَلَغُواْ النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُواْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلاَ تَأْكُلُوهَا إِسْرَافاً وَبِدَاراً أَن يَكْبَرُواْ وَمَن كَانَ غَنِيّاً فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَن كَانَ فَقِيراً فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُواْ عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللّهِ حَسِيباً
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).” 
السُّفَهَاء bodoh yaitu orang yang menghambur-hamburkan dalam penggunaan harta, mengeluarkan harta tidak sesuai tempatnya, dan belum mampu mengalokasilan hartanya. Maka mukhatab pada ayat tersebut adalah seorang wali, karena seorang walilah yang bertanggungjawab atas seorang tersebut.
Maka dari penjelasan diatas, seorang yang bodoh hendaknya ditahan dari berinterkasi, sedangkan seorang yang ditahan dari berinteraksi bisa karena anak kecil, gila, atau bisa juga karena seorang yang buruk dalam bermuamalah, karena kurang dalam masalah akal maupun agama. Ada juga yang menambahkan seorang muflis juga ditahan, yaitu orang yang sudah terlilit hutang, dan susah untuk membayar hutang tersebut.
Maka Ibnu Abbas mengatakan وَلاَ تُؤْتُواْ السُّفَهَاء أَمْوَالَكُمُ anak-anak dan seorang wanita. Sebagaimana juga yang dingkapkan Ibnu Mas’ud dan yang lainnya. Sedangkan Said bin Jubair mengatakan bahwa mereka adalah anak-anak yatim.
Mujhid, Qatadah dan Ikrimah mengatakan mereka adalah para permpuan. Karena sebagaimana sabda rasulullah إن النساء سفهاء إلا التى أطاعت قيمها
Maka pada ayat الَّتِي جَعَلَ اللّهُ لَكُمْ قِيَاماً وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُواْ لَهُمْ قَوْلاً مَّعْرُوفاً Ibnu Abbas menjelaskan bahwasaanya maksud ayat tersebuta adalah seorang wali yang berada dibawahnya seorang istri dan juga anak-anak maka hendaknya dia memelihara apa yang mereka punya, dan menjaganya. Dan memberinya nafkah berupa pakaian, kebutuhan, dan rizki mereka karena Allah telah menganugerahkan kepadamu semua kebutuhan hidupmu.
Sedangkan pada ayat selanjutnya وَابْتَلُواْ الْيَتَامَى حَتَّىَ إِذَا بَلَغُواْ النِّكَاحَ perintah untuk menguji anak yatim tersebut, apakah dia telah sanggup memegang hartanya sendiri atau belum. Di dalam ayat ini disebut ujian itu sebelum menikah, karena setelah dia menikah berarti dia telah berdiri sendiri, mengatur isteri dan rumah tangganya.
فَإِنْ آنَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُواْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ “Jika kamu tilik pada mereka telah ada kecerdikan, serahkanlah harta mereka kepada mereka.” Artinya lepaslah kamu dari tanggung jawab, sebab harta itu memegang harta mereka sendiri.
Dengan ayat ini jelaslah bahwa menjadi perintah dari Allah terhadap wali untuk menyerahkan harta tersebut seluruhnya, karena dia telah pandai atau telah sanggup mengatur sendiri hartanya. Di dalam hal ini tidak bergantung pada umur, tetapi bergantung kepada kecerdikan atau kedewasaan pikiran. Karena ada juga anak usianya belum dewasa, tetapi dia lebih cerdik. Dan ada pula usianya telah agak lanjut, tetapi belum mampu. Maka apabila isyarat kemampuan atau kepandaian telah tampak, dan wali masih menahan harta tersebut, dan mau menyerahkannya, berdosalah dia di sisi Allah.
Maka apabila telah datang waktunya dia berhak menerima hartanya kembali, dan didapatinya hartanya telah hilang secara tidak patut maka wali tersebut termasuklah ke dalam golongan orang yang menyalakan api dalam perutnya.
وَمَن كَانَ غَنِيّاً فَلْيَسْتَعْفِفْ Barangsiapa yang kaya hendaklah dia menahan diri.” Ayat tersebut merupakan sebagai pendorong bagi oarng yang mampu untuk menahan diri mereka dari harta anak yatim. Tanpa menggunakan sedikitpun harta anak yatim itu untuk kepentingannya sendiri, tetapi dipelihara sebagaimana patutnya. Sebab dia sendiripun orang yang mampu, maka bertambah besar dan mulialah wali tersebut dalam pandangan anak yatim itu setelah dia dewasa kelak. Dan merasalah anak itu dia berhutang budi.
وَمَن كَانَ فَقِيراً فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ “Dan barang siapa yang fakir, bolehlah makan secara patut.” Apabila walinya seorang yang miskin, dengan tiba-tiba memikul beban mengasuh dan memegang amanah anak yatim yang mempunyai harta dia wajib memegang amanat tersebut. Dan diperbolehkan menggunakan harta anak yatim tersebut dengan baik, karena kalau dia tidak boleh menggunakan dengan baik, tentu wali tersebut sangat terbebani.
Maka adalam  masalah ini ulama berbeda dalam perpendapat. Ulama tafsir berpendapat, bahwa wali yang memakan harta anak yatim karena kemiskinan itu adalah seperti berhutang, dengan niat akan membayarnya kembali. Yang berpendapat seperti ini antaranya adalah Umar bin Khattab dan Ibnu Abbas.
Ibnu Jarir juga mengungkapkan dasar pendapat Ibnu Abbas demikian: “Kalau si pengasuh itu kaya, tidaklah halal dia memakan harta anak yatim. Tetapi kalau si pengasuh itu orang miskin, bolehlah dia menggunakan harta itu dengan niat apabila dia telah mampu akan dibayarnya. Itulah yang disebut di dalam ayat memakan dengan patut.”
Ditambah lagi oleh Said bin Jubair (murid Ibnu Abbas): “Kalau si pengawas itu telah dekat akan mati, hendaklah dia minta ridha kepada pengawasnya yang menggantikannya.”
Menurut as-Sya'bi: “Arti memakan dengan sepatutnya, ialah bahwa dia tidak boleh memakan harta anak yatim kalau tidak terpaksa benar, (mudhthar) sebagaimana dihalalkan makan bangkai bagi orang yang tidak memdapat makan lagi.”
Dibicarakan juga oleh ahli tafsir beberapa kadarnya dibolehkan memakan dengan ma'ruf itu. Satu riwayat dari Ibnu Abbas menjelaskan, yaitu mengambil makanan itu sekedar di ujung jarinya saja. As-Suddi mengatakan sekedar ujung jari juga. Jangan berlebih dan jangan mengambil pakaian. Menurut Ikrimah: “Artinya, ialah bahwa tangan engkau bersama masuk piring dengan tangan mereka, dan jangan mengambil pakaian (sandang). Penafsiran lain berkata, ambillah sekedar menghilangkan lapar dan sekedar penutup aurat.” Yang lain menyatakan pendapat pula, boleh mengambil makan hasil harta anak yatim itu sekedarnya, sebagaimana  air susu binatang ternak, bulunya, hasil buah dan hasil tanaman di sawah, semuanya sekedar perlu pula.
Menurut fatwa Imam 'Atha: “Makan bersama-sama mereka satu hidangan, sekedar hikmat dan pekerjaannya, jangan lebih!”
Dan ulama fiqh bersepakat, bahwa harta anak yatim tetap harta anak yatim. Walinya sekedar pengawas dan tidak boleh menguasai sebagai hartanya sendiri. Tetapi dia boleh meminjam harta itu kalau sangat mendesak, dan boleh juga memperhitungkan sebagai upah atau gaji, yang diperhitungkan baik-baik. Maka timbul kesimpulan, bahwa memakan dengan sepatutnya (ma'ruf) itu, ialah boleh meminjam akan dibayar, boleh menerima upah menurut patut, dan sekali-kali tidak boleh memakan harta itu dengan tidak hendak menggantinya, atau seperti harta kepunyaan orang gila atau orang bodoh.
فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُواْ عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللّهِ حَسِيباً Maka ketika menyerahkan hartanya kepada mereka hendaklah ada seorang saksi. Hal ini merupakan perintah Allah langsung terhadap para wali, agar tidak terjadi kerusuhan dan kedustaan dalam penyerahan harta tersebut. Dan cukuplah Allah sebagai saksi bagi para wali saat penyerahan harta tersebut, apakah wali tersebut menyerahkan semua harta anak yatim, atau telah terkurang. Wallahu ‘alam.
Referensi:        Tafsir Ibnu Katsir juz 3 hal 350-359
                        Tafsir Bahrul Muhith juz 3 hal 177
                        Al-Kasyaf juz 2 hal 20


Tidak ada komentar: