Gerimis mulai turun, dan perjalanan masih cukup jauh. Mantel yang
digunakan abi untuk berlindung dari guyuran air hujan sedikit aku tarik ke belakang
untuk menutupi tas ransel yang sedari tadi aku dekap. Iya, hanya tas ransel
yang terselamatkan, dan tubuhku tetap basah. Tepat hari ini abi menjemputku
pulang, aku harus pulang ke rumah setelah tiga hari aku sakit cacar di pondok, kata
dokter sakitku bisa menular, hingga abi memutuskan aku untuk pulang. Tapi
seingatku ustadz pernah bilang “penyakit itu tidak ada yang menular, karena
Allohlah yang menentukan kita ditimpa penyakit atau tidak, tapi kita harus
tetap berusaha untuk mencegah penyakit itu” kurang lebih beliau menerangkan seperti
itu. Memang terdengar kurang begitu memahamkan, tapi aku bisa mengambil
kesimpulan kalau pada dasarnya sakit itu bukan karena tertular tapi sakit itu memang
ketentuan Alloh, jadi apabila Alloh tidak menentukan seseorang sakit walaupun
dia bersama dengan orang sakit, pasti dia tak akan tertular, kurang lebih
seperti itu. Tapi abi bilang “mencegah itu lebih baik, jadi sebelum temanmu
terkena cacar juga, lebih baik pulang”. Dan sebenarnya hal itu juga menyenagkan,
walaupun aku dalam keadaan sakit, pulang sudah menjadi salah satu obat mujarab,
karena aku bisa kembali menekuni hobbyku berdiam di depan tv.
Oh ya, aku belum kenalkan siapa namaku. Namaku Abdullah Fauzan, tapi orang-orang suka
memanggilku “Uzan....”, aku sekolah disalah satu pesantren di Jawa Timur, sudah
berjalan dua tahun aku belajar di pondok. Tapi jangan salah, aku baru kelas 4
SD, karena aku punya hobby nonton tv, abi memutuskan aku belajar dipondok.
Padahal aku masih bisa menekuni hobbyku waktu liburan.
Tiba-tiba motor abi berhenti, tak sadar bajuku sudah lumayan basah.
Tepat di depan rumah yang bercat putih abi parkir motor. Rumah itu sudah
terlihat tua, mungkin pemiliknya juga sudah tua, pikirku. Dan aku belum pernah
sekalipun berhenti di rumah ini, walaupun beberapa kali aku lewat di depannya.
Tanpa banyak bicara abi turun, dan melepas mantel yang dipakai.
“Ayo, Zan” kata abi tanpa basa-basi, dan tanpa banyak bicara juga aku langsung
berjalan di belakangnya lengkap dengan tas ransel yang masih terselamatkan.
Mungkin abi kesini untuk menunggu reda batinku.
Setelah beberapa kali abi mengetuk pintu keluar seorang bapak yang
mungkin usianya tak jauh beda dengan abi, dan aku ambil kesimpulan bapak itu
adalah teman abi. Kemudian kami dipersilahkan masuk rumah ke dalam sederhana
itu. Terlihat ada dua bocah kecil sedang asyik bermain, yang satu berlarian tak
jelas, dan satu lagi terlihat asyik melukis di atas buku gambar.
Kamipun duduk, aku hanya duduk terdiam, melihat abi dan bapak itu sedang
bercakap. Bingung mau ngomong apa, aku pun juga tidak kenal dengan bapak itu. Selang
beberapa saat kemudian seorang ibu keluar membawa beberapa cangkir teh dan
sepiring gorenagan. “Diminum dek tehnya mumpung masih hangat, sambil menunggu reda,
hujannya masih lumayan deras” sapa ibu itu ramah. “Iya bu” jawabku singkat sambil membalas
senyum manisnya.
Kembali aku terdiam, melihat pemandangan dua bocah kecil yang
sedang asyik bermain. Tiba-tiba datang seorang anak lengkap dengan seragam
merah putihnya, mugkin sekitar usia kelas 2 SD. Sayup-sayup aku dengar percakapan
mereka dengan ibu itu “kakak dari mana jam segini baru pulang?” salah satu
bocah kecil dengan wajah polos langsung menyahut “ummi, tadi kakak lihat tv
lagi ditempat Yoga” lamat-lamat aku mendengar, mungkin nama teman anak
berseragam merah putih itu. Bocah kecil yang masih asyik dengan lukisanya itu melanjutkan
bicara “padahal kemarin abi barusan bilang, kalo tv itu tukang sihir ya mi...
Mungkin kakak lupa mi” terang bocah kecil itu dengan wajah polos.
Deg.... Serasa hatiku ditampar dengan ucapan bocah kecil barusan,
aku sama sekali nggak faham apa maksud bocah itu menganggap tv sebagai tukang
sihir. Apa hubungannya tukang sihir dengan tv, padahal aku hobbiy nonton tv. Pikiranku
mulai melayang pada kejadian beberapa waktu yang lalu.
Mungkin waktu itu aku seumuran dengan dengan anak yang dipanggil
kakak itu, kelas 2 SD. Aku selalu merengek pada ummi “ummi, kapan
beli tv, masak cuma aku yang nggak punya tv, di sekolah aku malu sama
teman-teman mi, aku sendiri yang ngguk punya cerita tv” mungkin hampir setiap
hari aku merengek seperti itu, dan selau ummi menjawab dengan tenang “Uzan
tidak usah lihat tv, tv itu apa to?” dan selalu itu jawaban ibu. Ibu tak pernah
memberi banyak jawaban, dan seiring itupun aku juga tak pernah minta penjelasan
jawaban. Iya, itulah masa dimana aku mulai mengenal tv.
Mungkin aku sudah terpengaruh dengan teman-teman di sekolah yang
setiap hari selalu membawa cerita terbaru powerranger, naruto, eng, dan
seabreng film kartun faforitku. Dan aku malu, karena hanya aku yang nggak punya
cerita. Tanpa berpikir panjang setiap pulang sekolah aku langsung kabur ke
tempat nenek yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah. Mungkin ini
satu-satunya cara agar aku bisa menonton tv, sekaligus bisa ikutan saling tukar
cerita sama teman.
Setiba dari sekolah aku langsung ganti baju, makan, sholat dzuhur cepat-cepat
dan langsung kabur ke tempat nenek. Tanpa izin dari orang tua aku langsung lari
tanpa peduli. Tanpa malu akupun langsung nyalain tv dirumah nenek dan duduk
manis di depan tv. Aku bisa nonton tv sepuasnya, karena aku sudah anggap rumah
nenek serasa rumahku sendiri. Ditambah nenek hanya tinggal sama paman yang
jarang pulang ke rumah. Dan aku merelakan begitu saja waktu tidur siangku, yang
penting aku bisa mendapat cerita baru dari tv.
Hari-hariku berlalu begitu saja dengan kebiasaanku nonton tv yang
berlanjut menjadi hobby. Hingga pada saat aku tidak bisa nonton tv serasa ada
yang kurang. Seiring seringnya aku menonton tv, sesering pula ummi selalu
menegur. Tapi serasa teguran itu tak pernah memberi pengaruh. Karena kedatangan
ku ke rumah nenek juga berganti menjadi kebiasaan, hingga jika suatu saat aku
tak berkunjung sehari, pasti nenek menanyakan aku. Semakin ada alasan aku untuk
sering berkunjung ketempat nenek, bila ummi melarang aku selalu menjawab “aku
disuruh ketempat nenek lho mi, nanti kalo aku nggak kesana aku dicari nenek”,
dan seperti biasa ummi merelakan aku kembali menikmati tv.
Hingga suatu saat ummi mungkin putus asa menegur aku yang tak ada
perubahan sama sekali, ummi pun mengatakan “yaudahlah, nanti kalo Uzan udah
gede, Uzan akan faham”. Aku tak begitu menghiraukan perkataan ummi, karena
kebiasaaku yang terlanjur menjadi hobby menjadikan aku tak rela bila harus
meninggalkan begitu saja.
Selama setahun aku tak ada perubahan, hobbyku nonton tv tak kunjung
sembuh. Akhirnya orang tua memutuskan aku untuk melanjutkan sekolah di pondok. Tepat
aku kelas 3 DS aku harus lanjutkan sekolahku di pondok, dan aku tidak bisa
mengelak, karena keputusan abi sudah bulat. Masa-masa menjelang keberangkatanku
kepondok kadar nonton tv ku semakin meningkat, karena aku tahu di pondok tidak
ada tv. Ummi dan abi pun tak bosan-bosannya memberiku wawasan seputar pondok,
dan menyuruhku untuk mempersiapkan semuanya.
Tiba-tiba lamunanku buyar oleh suara abi “Zan gorengannya dimakan
lho”, “iya bi” dengan malas aku mengambil gorengan. Kembai pikiranku melayang,
awal tiba di pondok aku tidak heran karena abi sudah pernah menceritakan
keadaan pondok, salah satunya tidak ada acara nonton tv. Tapi masuknya aku
kepondok tidak menghapus hobbyku yang satu itu, toh pasti setiap liburan aku
masih bisa nonton tv. Kembali otakku berputar, apa maksud bocah kecil tadi. Apa
hubungannya tv sama tukang sihir, jelas-jelas tv bukan manusia.
“Ayo Zan, udah terang... tehnya
dihabisin dulu” lamanunanku terbuyar. Lalu aku melihat jam yang menunjukkan
pikul 10.30 WIB, tak terasa hampir satu setengah jam abi berbincang dengan
temannya, dan selama itu pula aku melamun. “Salim dulu sama temen abi Zan”
suara abi kembali mengagetkan aku, “iya bi” jawabku singkat. Cuaca udah
membaik, saatnya aku kembali melanjutkan perjalanan, semoga bisa sholat dzuhur di
rumah.
Aku masih terdiam, ucapan bocah kecil tadi benar-benar membuatku
bungkam. Apa maksudnya tukang sihir, sedangkan aku punya hobby nonton tv. Aku
juga tak menjumpai bocah kecil tadi saat pemitan. “Abi, aku mau tanya...”
ucapku lirih. “Apa? Abi nggak denger...” balas abiku dengan suara keras. “Nanti
aja bi dirumah aku mau tanya”.
Tepat pukul 11.00 WIB aku sudah sampai rumah, alhamdulullah lebih
cepat dari perkiraan. Aku segera duduk disamping abi yang sedang melepas lelah
“Abi aku mau tanya...”. “Iya, mau tanya apa?”, jawab abi antusias. “Aku tadi
dengar bocah kecil yang di rumah teman abi tadi bilang kalo tv itu tukang
sihir, hmmm.... aku nggak paham bi?”, jelasku. Abi membalas pertanyaanku dengan
tersenyum “Beneran tadi Uzan denger begitu” tanya abi meyakinkan. “Iya bi”.
Sembari memperbaiki posisi duduknya abi mulai menjelaskan “Begini Uzan, dari
dulu abi selalu larang Uzan nonton tv ya itu, karena tv tukang sihir...” aku
belum bisa menagkap penjelasan abi, abipun melanjutkan “Uzan pasti tidak pernah
sadar, tv sudah menyihir Uzan. Bayangkan aja, setiap hari Uzan rela habiskan
waktu berjam-jam didepan tv, dan sama sekali Uzan tidak mendapat menfaat dari
yang Uzan lihat, bahkan kalo Uzan lagi nonton tv suara adzanpun tak dihiraukan.
Iya kan?” tanya abi, aku tersentak dengan pertanyaan abi, “Iya bi...”. “Berarti,
sekarang Uzan udah faham kenapa abi selalu larang Uzan nonton tv? waktu Uzan
terbuang sia-sia dan Uzan tak mendapat apa-apa, kan lebih baik buat baca buku,
silaturahmi, atau bantu-bantu ummi juga bisa. Begitu cara kerja sihir, orang
yang sudah terkena sihir, dia tidak akan sadar. Lagian nggak hanya dukun saja
yang bisa bermain sihir, tv pun juga bisa. Tuh buktinya Uzan tersihir...”
terang abi sambil melirik kearah ku. Dengan malu akupun menjawab “Iya, bi
hehe...”. “Berarti Uzan sama bocah kecil yang tadi lebih pintar bocah tadi dong?”
“Yee, nggak juga bi”jawabku tak terima.
Allahu akbar... Allahu akbar... “Udah adzan Zan, ayo
persiapan ke masjid. Habis dzuhur jangan lanjut nonton tv ya...”goda abi sambil
meninggalkan aku diruang tamu.
Terbesit juga rasa kecewa, kenapa saat itu aku tak pernah
menghiraukan perkataan ummi, kenapa aku lebih memilih tukang sihir dari pada mendengarkan
perkataan ummi. Mungkin aku dulu memang terkena sihir seperti yang dibilang
bocah kecil tadi, aku memang benar-benar tidak menyadari akan hal itu. Andai
aku hiraukan perkataan ummi, pastilah aku tak pernah terkena sihir benda itu.
Sungguh terbesit rasa malu dengan bocah kecil tadi.
Tak terasa linangan air hangat mengalir dipipi, segera aku hapus
linangan air mataku. Maafin Uzan mi, bi, Uzan pernah berteman dengan tukang
sihir, mulai saat ini Uzan putuskan untuk mengakhiri hobby yang selama ini Uzan
tekuni, dan ternyata hobby itu salah.
Didalam hati kecil ini berucap, terima kasih ya Alloh Engkau pertemukan
aku dengan bocah kecil tadi, lewat perantara dia Engkau tegur hamba yang telah
tersihir tv. Mungkin supaya liburku kali ini tidak habis buat nonton tv.“Uzan...
udah iqamah, cepetan ke masjid....!. Tamat.