Sabtu, 12 Maret 2016

AKU TERKENA SIHIR




Gerimis mulai turun, dan perjalanan masih cukup jauh. Mantel yang digunakan abi untuk berlindung dari guyuran air hujan sedikit aku tarik ke belakang untuk menutupi tas ransel yang sedari tadi aku dekap. Iya, hanya tas ransel yang terselamatkan, dan tubuhku tetap basah. Tepat hari ini abi menjemputku pulang, aku harus pulang ke rumah setelah tiga hari aku sakit cacar di pondok, kata dokter sakitku bisa menular, hingga abi memutuskan aku untuk pulang. Tapi seingatku ustadz pernah bilang “penyakit itu tidak ada yang menular, karena Allohlah yang menentukan kita ditimpa penyakit atau tidak, tapi kita harus tetap berusaha untuk mencegah penyakit itu” kurang lebih beliau menerangkan seperti itu. Memang terdengar kurang begitu memahamkan, tapi aku bisa mengambil kesimpulan kalau pada dasarnya sakit itu bukan karena tertular tapi sakit itu memang ketentuan Alloh, jadi apabila Alloh tidak menentukan seseorang sakit walaupun dia bersama dengan orang sakit, pasti dia tak akan tertular, kurang lebih seperti itu. Tapi abi bilang “mencegah itu lebih baik, jadi sebelum temanmu terkena cacar juga, lebih baik pulang”. Dan sebenarnya hal itu juga menyenagkan, walaupun aku dalam keadaan sakit, pulang sudah menjadi salah satu obat mujarab, karena aku bisa kembali menekuni hobbyku berdiam di depan tv.
Oh ya, aku belum kenalkan siapa namaku. Namaku  Abdullah Fauzan, tapi orang-orang suka memanggilku “Uzan....”, aku sekolah disalah satu pesantren di Jawa Timur, sudah berjalan dua tahun aku belajar di pondok. Tapi jangan salah, aku baru kelas 4 SD, karena aku punya hobby nonton tv, abi memutuskan aku belajar dipondok. Padahal aku masih bisa menekuni hobbyku waktu liburan.
Tiba-tiba motor abi berhenti, tak sadar bajuku sudah lumayan basah. Tepat di depan rumah yang bercat putih abi parkir motor. Rumah itu sudah terlihat tua, mungkin pemiliknya juga sudah tua, pikirku. Dan aku belum pernah sekalipun berhenti di rumah ini, walaupun beberapa kali aku lewat di depannya.
Tanpa banyak bicara abi turun, dan melepas mantel yang dipakai. “Ayo, Zan” kata abi tanpa basa-basi, dan tanpa banyak bicara juga aku langsung berjalan di belakangnya lengkap dengan tas ransel yang masih terselamatkan. Mungkin abi kesini untuk menunggu reda batinku.
Setelah beberapa kali abi mengetuk pintu keluar seorang bapak yang mungkin usianya tak jauh beda dengan abi, dan aku ambil kesimpulan bapak itu adalah teman abi. Kemudian kami dipersilahkan masuk rumah ke dalam sederhana itu. Terlihat ada dua bocah kecil sedang asyik bermain, yang satu berlarian tak jelas, dan satu lagi terlihat asyik melukis di atas buku gambar.
Kamipun duduk, aku hanya duduk terdiam, melihat abi dan bapak itu sedang bercakap. Bingung mau ngomong apa, aku pun juga tidak kenal dengan bapak itu. Selang beberapa saat kemudian seorang ibu keluar membawa beberapa cangkir teh dan sepiring gorenagan. “Diminum dek tehnya mumpung masih hangat, sambil menunggu reda, hujannya masih lumayan deras” sapa ibu itu ramah.  “Iya bu” jawabku singkat sambil membalas senyum manisnya.
Kembali aku terdiam, melihat pemandangan dua bocah kecil yang sedang asyik bermain. Tiba-tiba datang seorang anak lengkap dengan seragam merah putihnya, mugkin sekitar usia kelas 2 SD. Sayup-sayup aku dengar percakapan mereka dengan ibu itu “kakak dari mana jam segini baru pulang?” salah satu bocah kecil dengan wajah polos langsung menyahut “ummi, tadi kakak lihat tv lagi ditempat Yoga” lamat-lamat aku mendengar, mungkin nama teman anak berseragam merah putih itu. Bocah kecil yang masih asyik dengan lukisanya itu melanjutkan bicara “padahal kemarin abi barusan bilang, kalo tv itu tukang sihir ya mi... Mungkin kakak lupa mi” terang bocah kecil itu dengan wajah polos.
Deg.... Serasa hatiku ditampar dengan ucapan bocah kecil barusan, aku sama sekali nggak faham apa maksud bocah itu menganggap tv sebagai tukang sihir. Apa hubungannya tukang sihir dengan tv, padahal aku hobbiy nonton tv. Pikiranku mulai melayang pada kejadian beberapa waktu yang lalu.
Mungkin waktu itu aku seumuran dengan dengan anak yang dipanggil kakak itu, kelas  2 SD.  Aku selalu merengek pada ummi “ummi, kapan beli tv, masak cuma aku yang nggak punya tv, di sekolah aku malu sama teman-teman mi, aku sendiri yang ngguk punya cerita tv” mungkin hampir setiap hari aku merengek seperti itu, dan selau ummi menjawab dengan tenang “Uzan tidak usah lihat tv, tv itu apa to?” dan selalu itu jawaban ibu. Ibu tak pernah memberi banyak jawaban, dan seiring itupun aku juga tak pernah minta penjelasan jawaban. Iya, itulah masa dimana aku mulai mengenal tv.
Mungkin aku sudah terpengaruh dengan teman-teman di sekolah yang setiap hari selalu membawa cerita terbaru powerranger, naruto, eng, dan seabreng film kartun faforitku. Dan aku malu, karena hanya aku yang nggak punya cerita. Tanpa berpikir panjang setiap pulang sekolah aku langsung kabur ke tempat nenek yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah. Mungkin ini satu-satunya cara agar aku bisa menonton tv, sekaligus bisa ikutan saling tukar cerita sama teman.
Setiba dari sekolah aku langsung ganti baju, makan, sholat dzuhur cepat-cepat dan langsung kabur ke tempat nenek. Tanpa izin dari orang tua aku langsung lari tanpa peduli. Tanpa malu akupun langsung nyalain tv dirumah nenek dan duduk manis di depan tv. Aku bisa nonton tv sepuasnya, karena aku sudah anggap rumah nenek serasa rumahku sendiri. Ditambah nenek hanya tinggal sama paman yang jarang pulang ke rumah. Dan aku merelakan begitu saja waktu tidur siangku, yang penting aku bisa mendapat cerita baru dari tv.
Hari-hariku berlalu begitu saja dengan kebiasaanku nonton tv yang berlanjut menjadi hobby. Hingga pada saat aku tidak bisa nonton tv serasa ada yang kurang. Seiring seringnya aku menonton tv, sesering pula ummi selalu menegur. Tapi serasa teguran itu tak pernah memberi pengaruh. Karena kedatangan ku ke rumah nenek juga berganti menjadi kebiasaan, hingga jika suatu saat aku tak berkunjung sehari, pasti nenek menanyakan aku. Semakin ada alasan aku untuk sering berkunjung ketempat nenek, bila ummi melarang aku selalu menjawab “aku disuruh ketempat nenek lho mi, nanti kalo aku nggak kesana aku dicari nenek”, dan seperti biasa ummi merelakan aku kembali menikmati tv.
Hingga suatu saat ummi mungkin putus asa menegur aku yang tak ada perubahan sama sekali, ummi pun mengatakan “yaudahlah, nanti kalo Uzan udah gede, Uzan akan faham”. Aku tak begitu menghiraukan perkataan ummi, karena kebiasaaku yang terlanjur menjadi hobby menjadikan aku tak rela bila harus meninggalkan begitu saja.
Selama setahun aku tak ada perubahan, hobbyku nonton tv tak kunjung sembuh. Akhirnya orang tua memutuskan aku untuk melanjutkan sekolah di pondok. Tepat aku kelas 3 DS aku harus lanjutkan sekolahku di pondok, dan aku tidak bisa mengelak, karena keputusan abi sudah bulat. Masa-masa menjelang keberangkatanku kepondok kadar nonton tv ku semakin meningkat, karena aku tahu di pondok tidak ada tv. Ummi dan abi pun tak bosan-bosannya memberiku wawasan seputar pondok, dan menyuruhku untuk mempersiapkan semuanya.
Tiba-tiba lamunanku buyar oleh suara abi “Zan gorengannya dimakan lho”, “iya bi” dengan malas aku mengambil gorengan. Kembai pikiranku melayang, awal tiba di pondok aku tidak heran karena abi sudah pernah menceritakan keadaan pondok, salah satunya tidak ada acara nonton tv. Tapi masuknya aku kepondok tidak menghapus hobbyku yang satu itu, toh pasti setiap liburan aku masih bisa nonton tv. Kembali otakku berputar, apa maksud bocah kecil tadi. Apa hubungannya tv sama tukang sihir, jelas-jelas tv bukan manusia.
 “Ayo Zan, udah terang... tehnya dihabisin dulu” lamanunanku terbuyar. Lalu aku melihat jam yang menunjukkan pikul 10.30 WIB, tak terasa hampir satu setengah jam abi berbincang dengan temannya, dan selama itu pula aku melamun. “Salim dulu sama temen abi Zan” suara abi kembali mengagetkan aku, “iya bi” jawabku singkat. Cuaca udah membaik, saatnya aku kembali melanjutkan perjalanan, semoga bisa sholat dzuhur di rumah.
Aku masih terdiam, ucapan bocah kecil tadi benar-benar membuatku bungkam. Apa maksudnya tukang sihir, sedangkan aku punya hobby nonton tv. Aku juga tak menjumpai bocah kecil tadi saat pemitan. “Abi, aku mau tanya...” ucapku lirih. “Apa? Abi nggak denger...” balas abiku dengan suara keras. “Nanti aja bi dirumah aku mau tanya”.
Tepat pukul 11.00 WIB aku sudah sampai rumah, alhamdulullah lebih cepat dari perkiraan. Aku segera duduk disamping abi yang sedang melepas lelah “Abi aku mau tanya...”. “Iya, mau tanya apa?”, jawab abi antusias. “Aku tadi dengar bocah kecil yang di rumah teman abi tadi bilang kalo tv itu tukang sihir, hmmm.... aku nggak paham bi?”, jelasku. Abi membalas pertanyaanku dengan tersenyum “Beneran tadi Uzan denger begitu” tanya abi meyakinkan. “Iya bi”. Sembari memperbaiki posisi duduknya abi mulai menjelaskan “Begini Uzan, dari dulu abi selalu larang Uzan nonton tv ya itu, karena tv tukang sihir...” aku belum bisa menagkap penjelasan abi, abipun melanjutkan “Uzan pasti tidak pernah sadar, tv sudah menyihir Uzan. Bayangkan aja, setiap hari Uzan rela habiskan waktu berjam-jam didepan tv, dan sama sekali Uzan tidak mendapat menfaat dari yang Uzan lihat, bahkan kalo Uzan lagi nonton tv suara adzanpun tak dihiraukan. Iya kan?” tanya abi, aku tersentak dengan pertanyaan abi, “Iya bi...”. “Berarti, sekarang Uzan udah faham kenapa abi selalu larang Uzan nonton tv? waktu Uzan terbuang sia-sia dan Uzan tak mendapat apa-apa, kan lebih baik buat baca buku, silaturahmi, atau bantu-bantu ummi juga bisa. Begitu cara kerja sihir, orang yang sudah terkena sihir, dia tidak akan sadar. Lagian nggak hanya dukun saja yang bisa bermain sihir, tv pun juga bisa. Tuh buktinya Uzan tersihir...” terang abi sambil melirik kearah ku. Dengan malu akupun menjawab “Iya, bi hehe...”. “Berarti Uzan sama bocah kecil yang tadi lebih pintar bocah tadi dong?” “Yee, nggak juga bi”jawabku tak terima.
Allahu akbar... Allahu akbar... “Udah adzan Zan, ayo persiapan ke masjid. Habis dzuhur jangan lanjut nonton tv ya...”goda abi sambil meninggalkan aku diruang tamu.
Terbesit juga rasa kecewa, kenapa saat itu aku tak pernah menghiraukan perkataan ummi, kenapa aku lebih memilih tukang sihir dari pada mendengarkan perkataan ummi. Mungkin aku dulu memang terkena sihir seperti yang dibilang bocah kecil tadi, aku memang benar-benar tidak menyadari akan hal itu. Andai aku hiraukan perkataan ummi, pastilah aku tak pernah terkena sihir benda itu. Sungguh terbesit rasa malu dengan bocah kecil tadi.
Tak terasa linangan air hangat mengalir dipipi, segera aku hapus linangan air mataku. Maafin Uzan mi, bi, Uzan pernah berteman dengan tukang sihir, mulai saat ini Uzan putuskan untuk mengakhiri hobby yang selama ini Uzan tekuni, dan ternyata hobby itu salah.
Didalam hati kecil ini berucap, terima kasih ya Alloh Engkau pertemukan aku dengan bocah kecil tadi, lewat perantara dia Engkau tegur hamba yang telah tersihir tv. Mungkin supaya liburku kali ini tidak habis buat nonton tv.“Uzan... udah iqamah, cepetan ke masjid....!. Tamat.

SAHABATKU PAHLAWANKU



Teman, perkenalkan namaku Aldi, aku anak pertama dari dua bersaudara, tapi bulan depan aku akan punya dua orang adik, begitu kata abi. Adikku bernama Fuad, dia masih kecil, baru masuk tk tahun ini. Aku juga punya seorang tetangga sekaligus sahabat, Zaki namanya. Sejak tk sampai sekarang kelas 3, kita tak hanya satu sekolah tapi juga satu kelas. Setiap berangkat dan pulang sekolah kita selalu bersama. Dari situlah aku berani berangkat sendiri tanpa diantar abi lagi.
Aku dan Zaki punya hobby yang sama, yaitu sepak bola. Setiap hari libur kita bermain bersama dilapangan. Kalau sudah bermain sepak bola bersama Zaki serasa tak ingin berhenti. Apalagi ditambah anak-anak desa sebelah yang juga ikut bermain bersama kami, serasa tak mau berakhir. Sampai pernah suatu saat abi menjemput aku di lapangan karena sampai lupa waktu.
Seperti biasa, setelah semua beres aku bergegas menghampiri Zaki. “Ummi, Aldi mau berangkat sekolah dulu” sambil aku cium tangan manis ummi. “Iya, disekolah jangan nakal ya...” nasehat ummi yang tak pernah ganti, selalu nasehat itu yang ummi sampikan. Pasti ummi sangat beharap aku tidak jadi anak nakal disekolah.
Aku mulai mengayunkan kakiku menuju rumah Zaki yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumahku. Dan seperti biasa Zaki sudah standbay diteras rumahnya yang tidak terlalu lebar itu. “Ayo zaki kita berangkat” ajakku seperti biasa.
Ini adalah hari Sabtu, hari yang selalu kami tunggu karena ada jadwal olahraga, karena kami bisa bermain sepak bola disekolah. Tiba disekolah kami langsung menuju gudang dan mengambil salah satu bola faforit kami. “Ayo Zaki kita main, ayo teman-teman kita bermain sepak bola” teriaku di depan kelas dengan suara lantang. Beberapa teman yang memiliki hobby sama berdatangan “Ayo Di, kali ini siapa yang akan cetak goal paling banyak!” tantang salah satu dari mereka. “Ayo, siapa takut..!” jawabku dengan optimis. Oh ya, tapi bukan berarti kita tidak akur, tapi justu dengan sepak bola kita semakin akrab dengan teman-teman yang punya hobby sama, padahal kelas kita saling berjauhan. Itulah salah satu hal yang aku sukai dari olahraga sepak bola, selain menyehatkan tapi juga memperbanyak teman. Tepat di tengah lapangan, aku, Zaki, dan teman-teman yang lain langsung bermain sepak bola. Kami saling menggiring bola ke gawang lawan. Bergantian kami menendang, dan mengoper bola dari satu anak ke yang lain.
Prit... Prit... Tiba-tiba suara peluit mengagetkan kami, pasti suara peluit pak Budi. Kenalkan, pak Budi adalah guru olahraga kami. Beliau kurus dan tinggi, kerena itulah beliau jago bermain bola. Mungkin karena tubuhnya yang ramping membuat beliau lihai menggiring bola. “Anak-anak... kumpul” teriak pak Budi dari pinggir lapangan. Dengan berat hati kami hentikan permainan, “Yah... padahal waktu serunya permainan” celetuk Hasan salah satu teman sepek bolaku. Memang iya, permainan sedang seru, sudah hampir setengah jam kita bermain belum ada satupun team yang mempu mencetak goal.
            “Anak-anak, cepat kesini” teriak beliau lagi. Mungkin ada satu hal penting yang ingin beliau samapikan. “Begini anak-anak... Berhubung bapak tidak bisa melatih kalian sepak bola secara efektif, bagi kalian yang ingin menekuni sepak bola bisa daftar di sekolah sepak bola yang akan dibuka sekitar dua bulan lagi. Pendaftaran sudah dibuka mulai hari ini, nanti yang ingin mendaftar bisa daftar lewat bapak” jelas pak Budi panjang lebar. “Berarti di sekolah sudah tidak ada olahraga sepak bola lagi pak?” tanya salah seorang dari kami. “Bukan tidak ada, masih tetap ada. Hanya saja, kita hanya berolahraga sekali dalam seminggu, dan itu juga belum tentu efektif. Jadi sekolah ini di buka untuk anak-anak yang memang berminat untuk menekuni olah raga ini” terang pak Budi lagi, terlihat teman yang bertanya tadi mengangguk, sepertinya baru faham. Aku langsung minat dengan penawaran pak Budi, siapa tahu aku bisa jadi pemain sepak bola terkenal.
“Oh ya anak-anak, untuk daftar di sekolah sepak bola ini ada syaratnya, mempunyai sepatu sepak bola yang standart dan membayar uang sebesar seratus ribu untuk biaya sragam dan pendaftarannya” jelas pak Budi lagi. “Aku ikut pak...” sahut temanku yang bernama Iwan. “Aku juga pak” sahut Reno dan Beni bersamaan. Minatku untuk daftar jadi menurun, aku belum punya sepatu olah raga, apa mungkin aku minta dibeliin abi, tapi sebentar lagi ummi melahirkan.
“Aldi gimana?” tanya pak Budi mengagetkanku, mungkin beliau tahu aku sangat hobby dengan olahraga yang satu ini. “Em... nanti dulu pak, daftarnya sampai kapan pak?” tanyaku. “Oh, jangan khawatir, masih ada waktu sekitar satu bulan setengah untuk daftar. Jadi untuk yang belum ada uang masih bisa menabung. Terakhir daftar tanggal 23 November” terang pak Budi. Aku masih binggung, aku ingin sekali ikut, tapi aku belum punya sepatu sepak bola, uang tabunganku juga belum cukup untuk membayar pendaftarannya. Pasti biaya perslinan ummi butuh biaya banyak, pikirku.
“Kenapa diam aja Di? Ayo kita ikutan, nanti kita bisa berangkat bersama” ucap Zaki yang sedari tadi melihatku terdiam. “Yaudah anak-anak, sekarang kalin bubar, dan bersihkan badan persiapan masuk kelas. Bapak masih menunggu siapa yang mau daftar” ucap pak Budi, sambil bersiap meninggalkan kami. Belum sampi aku jawab pertanyaan Zaki, dia sudah berlari persiapan masuk kelas.
Selesai sholat Dzuhur tepat pukul 12.30 WIB aku dan Zaki udah keluar sekolah. Seperti biasa kami mampir ditempat bu Dewi penjual es jus dipinggir jalan. “Gimana Di?” tanya Zaki tiba-tiba mengagetkanku. “Bingung Zak, bulan depan ummi lahiran, pasti butuh biaya banyak” jawabku singkat. “Yaudah kita nabung dulu aja. Aku juga belum punya sepatu sepak bola kok” jawab Zaki sambil menikmati jus jambunya. “Tapi apa cukup zak, kan nggak hanya punya sepatu sepak bola aja, tapi juga harus bayar uang sragam” jelasku. “Iya Di, nanti kurangnya kita minta abi aja” jawab Zaki. “Iya, aku juga ingin Zak, nanti aku coba ngomong sama abi” jawabku sambil menghabiskan jus jambuku yang masih sedikit.
Setiba di rumah aku langsung menuju kamar “minta uang abi nggak ya? jangan-jangan untuk biaya persalinan ummi membutukan biaya banyak” aku masih berusaha memutar otak. Mungkin benar apa yang disarankan Zaki aku harus menabung, tapi aku belum bisa setiap sepulang sekolah untuk tidak mampir di tempat bu Dewi, pasti perutku keroncogan. “Mungkin aku bisa menabung sebagian uang sakuku” pikirkan dengan senyum keputusan.
Mulai aku putuskan sejak saat itu aku hanya membawa setengah dari uang saku yang diberikan abi, dan setengahnya aku tabung untuk daftar sekolah sepak bola. Dan setiap hari aku masih bisa mampir di tempat bu Dewi dengan membeli setengah jus dari harga biasannya. Tapi berbeda denagn Zaki, dia sama sekali sudah tidak membawa uang saku.
“Jus jambu bu yang kecil” ucapku kepada bu Dewi. “Ini dek” sambil menyodorkan jus jambu di dalam plastik yang lebih kecil dari biasannya. “Zaki tidak beli?” tanya bu Dewi, dan Zaki hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Di, boleh bagi esnya sedikit” ucap Zaki lirih, pasti Zaki juga merasakan haus seperti aku. “Kita bagi ya” sahutku. Dan ternyata kejadian itu berlanjut.
Setelah berjalan dua minggu, aku mulai sebal sama Zaki, setiap hari dia hanya minta es dariku, sesekali dia tidak minta tapi aku nggak tega melihat dia kehausan, sedangkan dia menabungkan uang sakunya semua untuk daftar sekolah sepak bola. Pasti uang Zaki lebih banyak, kalau uang Zaki udah terkumpul dan aku belum, pasti hanya Zaki yang ikut sekolah sepak bola. Dan aku tidak.
“Huh, aku sebal sama Zaki” teriakku dikamar. “Aku harus bilang pada Zaki kalau dia haus, dia harus membawa sebagian uang sakunya juga, dan hanya menabungkan setengahnya saja”. Tiba-tiba aku teringat uang tabunganku, barangkali sudah cukup untuk beli sepatu sepak bola. “Alhambulullah, sudah terkumpul 78.000” ucapku sambil tersenyum sendiri. Mungkin abi tahu berapa harga sepatu sepak bola. Bergegas aku mencari abi di ladang, “Abi...” teriaku yang melihat abi yang berada di tengah tanaman cabe. “Kenapa Di?” jawab abi sambil berjalan mendekat. “Abi tahu berapa harga sepatu sepak bola bi?” tanyaku. “Kenapa memang? Aldi mau beli sepatu sepak bola? Memang Aldi punya uang?” tanya abi. “He... punya bi tapi belum banyak” jawabku smabil meringis. “Mungkin sekitar seratus ribu, nanti kalo uang Aldi sudah terkumpul, InsyaAlloh abi belikan”, terang abi. “Benar bi? sebentar lagi seratus ribu kok bi” jawabku sambil tersenyum riang. “Uang Zaki sudah terkumpul berapa ya? pasti sudah lebih banyak, kan Zaki menabung semua uang sakunya”.
Aku semakin jarang bermain dengan Zaki, jarang pulang bersama juga. Aku malas pulang bersama Zaki, pasti dia ikut minum es punyaku. Aku selalu menghindar dan keluar kelas terlebi dulu, dan aku segera lari ke warung bu Dewi, pasti Zaki tidak mampir karena Zaki nggak membawa uang saku.
Kurang tiga hari lagi pendaftaran ditutup, dan uangku yang terkumpul baru 98.000,-, masih kurang banyak, pikirku. Pasti uang Zaki sudah terkumpul, dan tinggal daftar ke pak Budi. Tiba-tiba lamunanku buyar dengan teriakan abi “Zaki....Zaki”. Sambil berlari aku hampiri abi, “Innalillahi, kenapa ummi bi” mataku terbelalak melihat ibu pingsan di dapur. “Cepat pergi kerumah Pak Ahmad, bilang kata abi suruh datang ke rumah membawa mobil”, dengan cepat aku langsung mengyuh sepeda menuju rumah pak Ahmad.
Aku di rumah sendiri sambil menunggu kabar dari abi. Kring... Kring... Suara telpon berbunyi. Pasti dari abi, dan ternayata benar “Iya bi, gimana ummi bi”, “Alhamdulillah ummi dan adiknya sehat, tapi ummi harus sesar, jadi harus menginap beberapa hari di rumah sakit. Nanti malam abi jemput Aldi kita ke rumah sakit” suara abi dari seberang. “Iya bi. Trus sekolah Aldi?” tanyaku. “Abi udah izinkan sama kepala sekolah, besol Aldi tidak sekolah”. “Iya bi” jawabku nurut. “Yaudah, Aldi persiapan ya, assalamu’alaikum” tut...tut... terdengar tanda abi sudah mengakhiri percakapan. Wa’alaikumusslam warahmatullah...
Malam ini aku tidur di rumah sakit ditemani adik baruku yang ternyata laki-laki juga. Tapi malam ini mataku tidak bisa terpejam, aku masih teringat sekolah sepak bola, pendaftaran lusa akan ditutup. Pasti besok Zaki sudah daftar ke Pak Budi, dan kita pasti semakin jarang bermain bersama. Sepertinya aku harus mengurungkan niatku untuk sekolah sepak bola, uang untuk seragam sudah terkumpul seratus ribu, tapi aku belum punya sepatu sepak bola. Waktunya tinggal dua hari, aku tidak mungin punya uang sebanyak itu dalam waktu dua hari, aku juga tidak mau minta uang dari abi, pasti operasi sesar ibu butuh biaya banyak. “Huh, mungkin belum sekarang waktunya aku sekolah sepak bola” pikirku pasrah.
Siang ini aku diantar pulang, karena besok harus sekolah, abi hanya mengizinkan aku satu hari. Dan besok adalah hari terakhir pendaftaran sekolah sepak bola, padahal sampai saat ini aku punya sepatus sepak bola.
“Aldi.....” terdengar suara panggilan dari depan, sepertinya suara Zaki. Segera menyelesaikan sarapanku dan menyahut tas disamping tv. Tidak biasanya Zaki yang menghampiri aku, tapi sudah beberapa hari ini aku tidak menghampirinya.
“Zaki.... kita berangkat sekolah bersama?” tanyaku aneh sambil menutup pintu rumah. “Iya, ayo berangkat Di” ajaknya. Aku masih aneh dibuatnya. “Hari ini jadwal terakhir kita daftar sekolah sepak bola, sampai sekolah kita langsung cari Pak Budi ya” ucapnya dengan wajah berseri. Aku hanya diam, tapi aku menjelaskan pada Zaki kalau aku nggak jadi ikut sekolah sepak bola. “Hm, begini Zak, sepertinya Aku nggak jadi ikut sekolah sepak bola itu, aku belum beli sepatu sepak bola” ucapku sambil menunduk. Terlihat Zaki menurunkan tasnya, dan mengeluarkan sesuatu dari tasnya “Aku udah beli sepatu sepak bola kok” aku tambah terdiam. “Ini buat kamu Di” jawab Zaki sambil menyodorkan bungkusan berwarna hitam. Aku masih terbengong “Maksudnya?” “Alhadulillah uangku cukup untuk beli dua sepatu sepak bola, aku nggak mau hanya aku yang ikut sekolah sepak bola, tapi kamu juga harus ikut Di”. Aku terbelalak dengan ucapan Zaki, serasa aku mimpi, Zaki memberiku sepasang sepatu sepak bola. “Buat aku Zak?” tegasku pada Zaki, “Iya, nanti kita daftar ke Pak Budi” ucpanya sambil tersenyum.
“Trimakasih banyak Zak, aku nggak nyagka kamu beliin buat aku juga” ucapku haru. “Iya Di, sama-sama, maaf ya gara-gara aku menabung semua uangku, aku jadi selalu minta es kamu” ucapnya lirih. Aku tersenyum “Harusnya aku yang minta maaf Zak, aku terlalu buruk sangka sama kamu”. “Yaudah, aku pulang lagi Zak, mau mengambil uang seratu ribu untuk pendaftarannya” tanpa hiraukan Zaki aku langsung lari kembali kerumah.
Mulai saat itu kami masuk sekolah sepak bola bersama. Dan sejak saat itu juga aku berjanji akan selaku berteman dengan Zaki. Aku yang terlalu buruk sangka dengan Zaki, tapi Zaki malah mebalas aku dengan kebaikan. Maafkan aku Zak...

Magetan, 06 Desember 2015
           

HUKUM MENTALAK ISTRI KETIKA HAID


I.                   PENDHULUAN

Salah satu syari’at yang Allah perintahkan bagi hamba-Nya adalah menikah. Dimana dari  menikah ini banyak hikmah yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Diantaranya adalah untuk memperbanyak keturunan, menjaga pandangan, dan melindungi kemaluan hamba tersebut. Namun apabila dalam sebuah pernikahan tersebut tidak tercapai hikmah yang telah ditetapkan, syari’at juga mengatur hukum yang berkaitan dengan memutuskan hubungan pernikahan tersebut, yaitu takak.

Syari’at Islam juga telah mengatur secara terperinci mengenai masalah seputar talak ini. Baik dari nash maupun dari penjabaran para ulama. Namun realisasinya tidak sesuai dengan ketentuan yang telah disyari’atkan, yakni pelaksanaan talak yang tidak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Diantara talak yang tidak disyari’atkan antara lain talak ketika istri dalam keadaan haid. Maka apakah talak seperti ini dihukumi seperti talak asalnya, atau tidak. Maka dalam risalah ini penulis akan membahas hukum seputar talak yang terjadi ketika istri sedang haid berikut pendapat para ulama mengenai hal ini.

II.                PEMBAHASAN

A.    Definisi

Talak secara bahasa berasal dari kata thalaqa-thalqan-thalaaqan yang artinya lepas dari ikatannya, berpisah, dan bercerai.[1]

Sedangkan menurut syar’i talak arinya melepaskan ikatn pernikhan menggunakan lafaz tertentu yang menunjukkan terjadinya talak.[2] Dan pengrtian ini sudah umum dikalangan para fuqaha.[3]

B.     Dasar Hukum Talak Ketika Haid

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ

"Maka ceraikanlah wanita-wanita itu pada masa iddahnya" (QS. At-Tholaq : 1)

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ وَلَا تَتَّخِذُوا آيَاتِ اللَّهِ هُزُوًا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

"Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka[145]. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu." (QS. Al-Baqoroh : 231).

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ فَذَكَرَ عُمَرُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَغَيَّظَ فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ لِيُرَاجِعْهَا ثُمَّ يُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ فَتَطْهُرَ فَإِنْ بَدَا لَهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا فَلْيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا فَتِلْكَ الْعِدَّةُ كَمَا أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ

 Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma bahwasannya ia menceraikan istrinya dalam keadaan haid. Maka Umar menanyakan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Mendengar hal tersebut Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam marah, kemudian beliau bersabda “Perintahkanlah ia (yakni Ibnu Umar) agar merujuk istrinya, kemudian ia tahan hingga istrinya suci dari haid. Kemudian (dia tahan hingga) istrinya haid lagi (datang haid berikutnya) lalu suci. Setelah itu jika ia mau, ia tahan istrinya (tidak diceraikan) dan jika ia mau, ia ceraikan sebelum digauli. Itulah ‘iddah yang diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk menceraikan wanita (bila ingin dicerai, pent.).”(Bukhari 4908, Muslim 1471)

C.    Hukum Mentalak Ketika Haid

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum mentalak istri ketika haid. Perbedaan pendapat ulama ini dikelompokkan menjadi dua pendapat, yaitu:

1.             Talaknya tidak sah, seperti pendapat Thawus, Khalas bin Amru, Abdullah bin Umar, Sa’id bin Musayyab, Ibnu Taimiayah, dan Ibnu Qayyim.[4]

Pendapat ini juga didasarkan pada dalil yang diriwayatkan dari Abu Zubir:

“Abu az-Zubair ditanya tentang seorang laki-laki yang menceraikan istrinya dalam masa haid. la menjawab, :Abdu1lah bin ‘Umar ra menceraikan istrinya dalam masa haid pada zaman Rasulullah saw” Umar ra memberitahukan kepada Rasulullah saw, “Abdullah bin ‘Umar menceraikan istrinya dalam masa haid” Nabi saw menjawab, “Hendaklah ia kembali kepada istrinya” la mengembalikannya kepadaku dan berkata, 'Jika ia telah suci, maka ceraikanlah ia atau tahanlah” Ibn ‘Umar berkata, Nabi saw membaca ayat, "Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)" (QS. ath- Thalaq: I). Yakni, sebelum berakhir masa iddahnya.”[5]

Dalil lain yang digunakan sebagai sandaran adalah perkataan Ibnu Umar و لم يرها شئ  “yaitu tidak dianggap[6]

Kemudian pendapat ini disanggah dengan dua alasan:

a.       Bahwasannya hadits yang dipakai merupakan hadits munkar sebagaimana yang telah dikritik Imam Ahmad, karena riwayat dari Abu Zubir menyelisihi semua hufaz. Sebagaimana perkataan Abu Daun “Hadits-hadits dari Abu Zubair semua menyelisihi”.[7]

b.      Sedangkan maksud dari dalil yang kedua و لم يرها شئ  , haram merujuk kembali, yang artinya suami telah mentalak isrtinya sebanyak dua kali, sehingga terjadi talak bain, dan jika ingin merujuk maka dengan akad baru. Dan bisa juga diartikan bahwasannya maksud dalil tersebut adalah talak yang tidak sesuai dengan syari’at.[8] Dan bukan membatalkan talak.

Kemudian Ibnu Qayyim menjelaskan perintah rasulullah pada hadits diatas untuk merujuk kembali mengandung dua kemungkinan. Kemungkinan pertama talak Ibnu Umar terhadap istrinya adalah talak yang ketiga, sehingga maksud merujuk adalah untuk mengulangi pernikahan. Dan kemungkinan kedua rujuk maksudnya adalah kembali pada keadaan sedia kala, yaitu tidak terjadi talak.[9]

2.             Talak tetap sah, sperti pendapat jumhur ulama baik salaf maupun khalaf, diantaranaya Nafi’, Salim dan Ubaidillah (anak Abdullah bin Umar),  Yunus bin Jabir, Anas bin Sirin, Az-Zuhri, Qatadah, Syu’bah, Muhammad bin Sirin, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad, dan yang lainnya.[10]

Berdasarkan hadits dari Ibnu Umar:

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ فَذَكَرَ عُمَرُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَغَيَّظَ فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ لِيُرَاجِعْهَا ثُمَّ يُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ فَتَطْهُرَ فَإِنْ بَدَا لَهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا فَلْيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا فَتِلْكَ الْعِدَّةُ كَمَا أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ

“Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma bahwasannya ia menceraikan istrinya dalam keadaan haid. Maka Umar menanyakan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Mendengar hal tersebut Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam marah, kemudian beliau bersabda “Perintahkanlah ia (yakni Ibnu Umar) agar merujuk istrinya, kemudian ia tahan hingga istrinya suci dari haid. Kemudian (dia tahan hingga) istrinya haid lagi (datang haid berikutnya) lalu suci. Setelah itu jika ia mau, ia tahan istrinya (tidak diceraikan) dan jika ia mau, ia ceraikan sebelum digauli. Itulah ‘iddah yang diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk menceraikan wanita (bila ingin dicerai, pent.).”(Bukhari 4908, Muslim 1471)

Dalil lain yang menjadi sandaran:

كَمَا أَمَرَ اللَّهُ وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ طَلَّقَهَا تَطْلِيقَةً وَاحِدَةً فَحُسِبَتْ مِنْ طَلَاقِهَا

“Sebagaimana perintah Allah kepada Ibnu Umar ketika dia mentalak istrinay sekali maka talaknya tetap dihitung”. (HR. Muslim: 2683)

Dari perbedaan pendapat ulama diatas Syaikh Al-Bani merajihkan pendapat yang kedua karena dalil yang diguanakan sesuai dengan dalil aqli, sedangkan pada pendapat yang pertama masih diragukan kemarfu’annya dan juga masih menggunakan pendapat yang mengandung takwil.[11]

D.    Konsekwensi Mentalak Ketika Haid

Jumhur Ulama berpendapat talak yang terjadi ketika seorang istri dalam keadaan haid masih tetap jatuh. Akan tetapi suami harus langsung merujuk istri saat itu. Karena talak yang dilakukan tidak sesuai dengan syari’at. Sedangkan larangan talak ketika haid ini salah satunya menyebabkan masa iddah seorang istri menjadi semakin panjang. Karena masa haid dimana seorang ditalak belum dihitung sebagai masa iddah. Sehingga harus menunggu masahaid yang akan.[12]

III.             PENUTUP

Kesimpulan

Dari pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwasaanya talak ketik istri dalam keadaan haid masih tetap terjadi, walaupun talaknya tidak sesuai dengan syari’at menurut kesepakatan jumhur ulama. Wallahu a’lam bish shawab...

 



[1] AW. Al-Munawwir, Kamus Al-Munawir, hal. 861

[2] Imam Nawawi, Raudhatut Thalibin, juz 6, hal. 3

[3] Mausu’ah Kuwaitiyah,  juz 29, hal. 5

[4] Sayyi Sabiq, Fikh sunnah, juz 2, hal 172. Sholih Al-Bassam, Taisirul Alam fi Syarkh Umdatil Ahkam, hal. 854

[5] Abdur Razak 10960, Al-Mushanif,  juz 6, hal. 310

[6] HR. Muslim 1471. Imam Muslim, Shohih Muslim, Baitil Afkar hal. 588

[7] Abu Daud, Sunan Abu Daud, juz 2, hal. 442

[8] Al-Khatabi, Ma’alim sunan, juz 3, hal. 235

[9] Ibnu Qayyim, Zaadul Ma’ad, juz 5, hal. 225

[10] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, juz 2, hal. 172

[11] Syaikh Al-Bani, Arwa’ul Alil fi Takhrij Ahadits Manaris Sabil, juz 7, hal. 133

[12] Sholih Al-Bassam, Taisirul Alam fi Syarkh Umdatil Ahkam, hal. 854