HUKUM MENTALAK ISTRI KETIKA HAID
I.
PENDHULUAN
Salah satu syari’at yang Allah perintahkan bagi hamba-Nya adalah
menikah. Dimana dari menikah ini banyak
hikmah yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Diantaranya adalah untuk
memperbanyak keturunan, menjaga pandangan, dan melindungi kemaluan hamba
tersebut. Namun apabila dalam sebuah pernikahan tersebut tidak tercapai hikmah
yang telah ditetapkan, syari’at juga mengatur hukum yang berkaitan dengan
memutuskan hubungan pernikahan tersebut, yaitu takak.
Syari’at Islam juga telah mengatur secara terperinci mengenai
masalah seputar talak ini. Baik dari nash maupun dari penjabaran para ulama.
Namun realisasinya tidak sesuai dengan ketentuan yang telah disyari’atkan,
yakni pelaksanaan talak yang tidak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Diantara
talak yang tidak disyari’atkan antara lain talak ketika istri dalam keadaan
haid. Maka apakah talak seperti ini dihukumi seperti talak asalnya, atau tidak.
Maka dalam risalah ini penulis akan membahas hukum seputar talak yang terjadi
ketika istri sedang haid berikut pendapat para ulama mengenai hal ini.
II.
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Talak secara bahasa berasal dari kata thalaqa-thalqan-thalaaqan
yang artinya lepas dari ikatannya, berpisah, dan bercerai.
Sedangkan menurut syar’i talak arinya melepaskan ikatn pernikhan
menggunakan lafaz tertentu yang menunjukkan terjadinya talak.
Dan pengrtian ini sudah umum dikalangan para fuqaha.
B.
Dasar Hukum Talak Ketika Haid
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
"Maka ceraikanlah wanita-wanita itu pada masa iddahnya" (QS. At-Tholaq : 1)
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ
أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلَا
تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ
نَفْسَهُ وَلَا تَتَّخِذُوا آيَاتِ اللَّهِ هُزُوًا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ
عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ
بِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
"Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati
akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah
mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk
memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka[145].
Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap
dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan
ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu
Yaitu Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu
dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah
bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu." (QS. Al-Baqoroh : 231).
أَنَّ
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّهُ طَلَّقَ
امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ فَذَكَرَ عُمَرُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَغَيَّظَ فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ لِيُرَاجِعْهَا ثُمَّ يُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ
تَحِيضَ فَتَطْهُرَ فَإِنْ بَدَا لَهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا فَلْيُطَلِّقْهَا
طَاهِرًا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا فَتِلْكَ الْعِدَّةُ كَمَا أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ
“Dari
Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma bahwasannya ia menceraikan istrinya dalam keadaan
haid. Maka Umar menanyakan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam. Mendengar hal tersebut Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam marah,
kemudian beliau bersabda “Perintahkanlah ia (yakni Ibnu Umar) agar merujuk
istrinya, kemudian ia tahan hingga istrinya suci dari haid. Kemudian (dia tahan
hingga) istrinya haid lagi (datang haid berikutnya) lalu suci. Setelah itu jika
ia mau, ia tahan istrinya (tidak diceraikan) dan jika ia mau, ia ceraikan
sebelum digauli. Itulah ‘iddah yang diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla
untuk menceraikan wanita (bila ingin dicerai, pent.).”(Bukhari 4908, Muslim
1471)
C.
Hukum Mentalak Ketika Haid
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum mentalak istri ketika
haid. Perbedaan pendapat ulama ini dikelompokkan menjadi dua pendapat, yaitu:
1.
Talaknya
tidak sah, seperti pendapat Thawus, Khalas bin Amru, Abdullah bin Umar, Sa’id
bin Musayyab, Ibnu Taimiayah, dan Ibnu Qayyim.
Pendapat ini juga didasarkan pada dalil yang diriwayatkan dari Abu
Zubir:
“Abu az-Zubair ditanya tentang seorang laki-laki yang menceraikan
istrinya dalam masa haid. la menjawab, :Abdu1lah bin ‘Umar ra menceraikan
istrinya dalam masa haid pada zaman Rasulullah saw” Umar ra memberitahukan
kepada Rasulullah saw, “Abdullah bin ‘Umar menceraikan istrinya dalam masa
haid” Nabi saw menjawab, “Hendaklah ia kembali kepada istrinya” la
mengembalikannya kepadaku dan berkata, 'Jika ia telah suci, maka ceraikanlah ia
atau tahanlah” Ibn ‘Umar berkata, Nabi saw membaca ayat, "Hai Nabi, apabila
kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu
mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)" (QS. ath- Thalaq: I).
Yakni, sebelum berakhir masa iddahnya.”
Dalil lain yang digunakan sebagai sandaran adalah perkataan Ibnu
Umar و لم يرها شئ “yaitu tidak dianggap”
Kemudian pendapat ini disanggah dengan dua alasan:
a.
Bahwasannya
hadits yang dipakai merupakan hadits munkar sebagaimana yang telah dikritik
Imam Ahmad, karena riwayat dari Abu Zubir menyelisihi semua hufaz. Sebagaimana
perkataan Abu Daun “Hadits-hadits dari Abu Zubair semua menyelisihi”.
b.
Sedangkan
maksud dari dalil yang kedua و لم يرها شئ , haram merujuk kembali, yang artinya suami telah mentalak isrtinya
sebanyak dua kali, sehingga terjadi talak bain, dan jika ingin merujuk maka dengan
akad baru. Dan bisa juga diartikan bahwasannya maksud dalil tersebut adalah
talak yang tidak sesuai dengan syari’at.
Dan bukan membatalkan talak.
Kemudian Ibnu Qayyim menjelaskan perintah rasulullah
pada hadits diatas untuk merujuk kembali mengandung dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama talak Ibnu Umar terhadap istrinya adalah talak yang ketiga,
sehingga maksud merujuk adalah untuk mengulangi pernikahan. Dan kemungkinan
kedua rujuk maksudnya adalah kembali pada keadaan sedia kala, yaitu tidak
terjadi talak.
2.
Talak
tetap sah, sperti pendapat jumhur ulama baik salaf maupun khalaf, diantaranaya
Nafi’, Salim dan Ubaidillah (anak Abdullah bin Umar), Yunus bin Jabir, Anas bin Sirin, Az-Zuhri,
Qatadah, Syu’bah, Muhammad bin Sirin, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad, dan
yang lainnya.
Berdasarkan hadits dari Ibnu Umar:
أَنَّ
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّهُ طَلَّقَ
امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ فَذَكَرَ عُمَرُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَغَيَّظَ فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ لِيُرَاجِعْهَا ثُمَّ يُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ
تَحِيضَ فَتَطْهُرَ فَإِنْ بَدَا لَهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا فَلْيُطَلِّقْهَا
طَاهِرًا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا فَتِلْكَ الْعِدَّةُ كَمَا أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ
“Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma bahwasannya
ia menceraikan istrinya dalam keadaan haid. Maka Umar menanyakan hal tersebut
kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Mendengar hal tersebut Nabi
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam marah, kemudian beliau bersabda “Perintahkanlah
ia (yakni Ibnu Umar) agar merujuk istrinya, kemudian ia tahan hingga istrinya
suci dari haid. Kemudian (dia tahan hingga) istrinya haid lagi (datang haid
berikutnya) lalu suci. Setelah itu jika ia mau, ia tahan istrinya (tidak
diceraikan) dan jika ia mau, ia ceraikan sebelum digauli. Itulah ‘iddah yang
diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk menceraikan wanita (bila ingin
dicerai, pent.).”(Bukhari 4908, Muslim 1471)
Dalil lain yang menjadi sandaran:
كَمَا أَمَرَ اللَّهُ وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ
طَلَّقَهَا تَطْلِيقَةً وَاحِدَةً فَحُسِبَتْ مِنْ طَلَاقِهَا
“Sebagaimana perintah Allah kepada Ibnu Umar ketika
dia mentalak istrinay sekali maka talaknya tetap dihitung”. (HR. Muslim:
2683)
Dari perbedaan pendapat ulama diatas Syaikh
Al-Bani merajihkan pendapat yang kedua karena dalil yang diguanakan sesuai
dengan dalil aqli, sedangkan pada pendapat yang pertama masih diragukan
kemarfu’annya dan juga masih menggunakan pendapat yang mengandung takwil.
D.
Konsekwensi Mentalak Ketika Haid
Jumhur Ulama berpendapat talak yang terjadi ketika seorang istri
dalam keadaan haid masih tetap jatuh. Akan tetapi suami harus langsung merujuk
istri saat itu. Karena talak yang dilakukan tidak sesuai dengan syari’at.
Sedangkan larangan talak ketika haid ini salah satunya menyebabkan masa iddah
seorang istri menjadi semakin panjang. Karena masa haid dimana seorang ditalak
belum dihitung sebagai masa iddah. Sehingga harus menunggu masahaid yang akan.
III.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pemaparan
diatas dapat diambil kesimpulan bahwasaanya talak ketik istri dalam keadaan
haid masih tetap terjadi, walaupun talaknya tidak sesuai dengan syari’at
menurut kesepakatan jumhur ulama. Wallahu a’lam bish shawab...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar