Sabtu, 12 Maret 2016

HUKUM MENTALAK ISTRI KETIKA HAID


I.                   PENDHULUAN

Salah satu syari’at yang Allah perintahkan bagi hamba-Nya adalah menikah. Dimana dari  menikah ini banyak hikmah yang Allah berikan kepada hamba-Nya. Diantaranya adalah untuk memperbanyak keturunan, menjaga pandangan, dan melindungi kemaluan hamba tersebut. Namun apabila dalam sebuah pernikahan tersebut tidak tercapai hikmah yang telah ditetapkan, syari’at juga mengatur hukum yang berkaitan dengan memutuskan hubungan pernikahan tersebut, yaitu takak.

Syari’at Islam juga telah mengatur secara terperinci mengenai masalah seputar talak ini. Baik dari nash maupun dari penjabaran para ulama. Namun realisasinya tidak sesuai dengan ketentuan yang telah disyari’atkan, yakni pelaksanaan talak yang tidak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Diantara talak yang tidak disyari’atkan antara lain talak ketika istri dalam keadaan haid. Maka apakah talak seperti ini dihukumi seperti talak asalnya, atau tidak. Maka dalam risalah ini penulis akan membahas hukum seputar talak yang terjadi ketika istri sedang haid berikut pendapat para ulama mengenai hal ini.

II.                PEMBAHASAN

A.    Definisi

Talak secara bahasa berasal dari kata thalaqa-thalqan-thalaaqan yang artinya lepas dari ikatannya, berpisah, dan bercerai.[1]

Sedangkan menurut syar’i talak arinya melepaskan ikatn pernikhan menggunakan lafaz tertentu yang menunjukkan terjadinya talak.[2] Dan pengrtian ini sudah umum dikalangan para fuqaha.[3]

B.     Dasar Hukum Talak Ketika Haid

Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ

"Maka ceraikanlah wanita-wanita itu pada masa iddahnya" (QS. At-Tholaq : 1)

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ وَلَا تَتَّخِذُوا آيَاتِ اللَّهِ هُزُوًا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

"Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka[145]. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu." (QS. Al-Baqoroh : 231).

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ فَذَكَرَ عُمَرُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَغَيَّظَ فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ لِيُرَاجِعْهَا ثُمَّ يُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ فَتَطْهُرَ فَإِنْ بَدَا لَهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا فَلْيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا فَتِلْكَ الْعِدَّةُ كَمَا أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ

 Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma bahwasannya ia menceraikan istrinya dalam keadaan haid. Maka Umar menanyakan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Mendengar hal tersebut Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam marah, kemudian beliau bersabda “Perintahkanlah ia (yakni Ibnu Umar) agar merujuk istrinya, kemudian ia tahan hingga istrinya suci dari haid. Kemudian (dia tahan hingga) istrinya haid lagi (datang haid berikutnya) lalu suci. Setelah itu jika ia mau, ia tahan istrinya (tidak diceraikan) dan jika ia mau, ia ceraikan sebelum digauli. Itulah ‘iddah yang diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk menceraikan wanita (bila ingin dicerai, pent.).”(Bukhari 4908, Muslim 1471)

C.    Hukum Mentalak Ketika Haid

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum mentalak istri ketika haid. Perbedaan pendapat ulama ini dikelompokkan menjadi dua pendapat, yaitu:

1.             Talaknya tidak sah, seperti pendapat Thawus, Khalas bin Amru, Abdullah bin Umar, Sa’id bin Musayyab, Ibnu Taimiayah, dan Ibnu Qayyim.[4]

Pendapat ini juga didasarkan pada dalil yang diriwayatkan dari Abu Zubir:

“Abu az-Zubair ditanya tentang seorang laki-laki yang menceraikan istrinya dalam masa haid. la menjawab, :Abdu1lah bin ‘Umar ra menceraikan istrinya dalam masa haid pada zaman Rasulullah saw” Umar ra memberitahukan kepada Rasulullah saw, “Abdullah bin ‘Umar menceraikan istrinya dalam masa haid” Nabi saw menjawab, “Hendaklah ia kembali kepada istrinya” la mengembalikannya kepadaku dan berkata, 'Jika ia telah suci, maka ceraikanlah ia atau tahanlah” Ibn ‘Umar berkata, Nabi saw membaca ayat, "Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)" (QS. ath- Thalaq: I). Yakni, sebelum berakhir masa iddahnya.”[5]

Dalil lain yang digunakan sebagai sandaran adalah perkataan Ibnu Umar و لم يرها شئ  “yaitu tidak dianggap[6]

Kemudian pendapat ini disanggah dengan dua alasan:

a.       Bahwasannya hadits yang dipakai merupakan hadits munkar sebagaimana yang telah dikritik Imam Ahmad, karena riwayat dari Abu Zubir menyelisihi semua hufaz. Sebagaimana perkataan Abu Daun “Hadits-hadits dari Abu Zubair semua menyelisihi”.[7]

b.      Sedangkan maksud dari dalil yang kedua و لم يرها شئ  , haram merujuk kembali, yang artinya suami telah mentalak isrtinya sebanyak dua kali, sehingga terjadi talak bain, dan jika ingin merujuk maka dengan akad baru. Dan bisa juga diartikan bahwasannya maksud dalil tersebut adalah talak yang tidak sesuai dengan syari’at.[8] Dan bukan membatalkan talak.

Kemudian Ibnu Qayyim menjelaskan perintah rasulullah pada hadits diatas untuk merujuk kembali mengandung dua kemungkinan. Kemungkinan pertama talak Ibnu Umar terhadap istrinya adalah talak yang ketiga, sehingga maksud merujuk adalah untuk mengulangi pernikahan. Dan kemungkinan kedua rujuk maksudnya adalah kembali pada keadaan sedia kala, yaitu tidak terjadi talak.[9]

2.             Talak tetap sah, sperti pendapat jumhur ulama baik salaf maupun khalaf, diantaranaya Nafi’, Salim dan Ubaidillah (anak Abdullah bin Umar),  Yunus bin Jabir, Anas bin Sirin, Az-Zuhri, Qatadah, Syu’bah, Muhammad bin Sirin, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad, dan yang lainnya.[10]

Berdasarkan hadits dari Ibnu Umar:

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ فَذَكَرَ عُمَرُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَغَيَّظَ فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ لِيُرَاجِعْهَا ثُمَّ يُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ فَتَطْهُرَ فَإِنْ بَدَا لَهُ أَنْ يُطَلِّقَهَا فَلْيُطَلِّقْهَا طَاهِرًا قَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَا فَتِلْكَ الْعِدَّةُ كَمَا أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ

“Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma bahwasannya ia menceraikan istrinya dalam keadaan haid. Maka Umar menanyakan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam. Mendengar hal tersebut Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam marah, kemudian beliau bersabda “Perintahkanlah ia (yakni Ibnu Umar) agar merujuk istrinya, kemudian ia tahan hingga istrinya suci dari haid. Kemudian (dia tahan hingga) istrinya haid lagi (datang haid berikutnya) lalu suci. Setelah itu jika ia mau, ia tahan istrinya (tidak diceraikan) dan jika ia mau, ia ceraikan sebelum digauli. Itulah ‘iddah yang diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk menceraikan wanita (bila ingin dicerai, pent.).”(Bukhari 4908, Muslim 1471)

Dalil lain yang menjadi sandaran:

كَمَا أَمَرَ اللَّهُ وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ طَلَّقَهَا تَطْلِيقَةً وَاحِدَةً فَحُسِبَتْ مِنْ طَلَاقِهَا

“Sebagaimana perintah Allah kepada Ibnu Umar ketika dia mentalak istrinay sekali maka talaknya tetap dihitung”. (HR. Muslim: 2683)

Dari perbedaan pendapat ulama diatas Syaikh Al-Bani merajihkan pendapat yang kedua karena dalil yang diguanakan sesuai dengan dalil aqli, sedangkan pada pendapat yang pertama masih diragukan kemarfu’annya dan juga masih menggunakan pendapat yang mengandung takwil.[11]

D.    Konsekwensi Mentalak Ketika Haid

Jumhur Ulama berpendapat talak yang terjadi ketika seorang istri dalam keadaan haid masih tetap jatuh. Akan tetapi suami harus langsung merujuk istri saat itu. Karena talak yang dilakukan tidak sesuai dengan syari’at. Sedangkan larangan talak ketika haid ini salah satunya menyebabkan masa iddah seorang istri menjadi semakin panjang. Karena masa haid dimana seorang ditalak belum dihitung sebagai masa iddah. Sehingga harus menunggu masahaid yang akan.[12]

III.             PENUTUP

Kesimpulan

Dari pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwasaanya talak ketik istri dalam keadaan haid masih tetap terjadi, walaupun talaknya tidak sesuai dengan syari’at menurut kesepakatan jumhur ulama. Wallahu a’lam bish shawab...

 



[1] AW. Al-Munawwir, Kamus Al-Munawir, hal. 861

[2] Imam Nawawi, Raudhatut Thalibin, juz 6, hal. 3

[3] Mausu’ah Kuwaitiyah,  juz 29, hal. 5

[4] Sayyi Sabiq, Fikh sunnah, juz 2, hal 172. Sholih Al-Bassam, Taisirul Alam fi Syarkh Umdatil Ahkam, hal. 854

[5] Abdur Razak 10960, Al-Mushanif,  juz 6, hal. 310

[6] HR. Muslim 1471. Imam Muslim, Shohih Muslim, Baitil Afkar hal. 588

[7] Abu Daud, Sunan Abu Daud, juz 2, hal. 442

[8] Al-Khatabi, Ma’alim sunan, juz 3, hal. 235

[9] Ibnu Qayyim, Zaadul Ma’ad, juz 5, hal. 225

[10] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, juz 2, hal. 172

[11] Syaikh Al-Bani, Arwa’ul Alil fi Takhrij Ahadits Manaris Sabil, juz 7, hal. 133

[12] Sholih Al-Bassam, Taisirul Alam fi Syarkh Umdatil Ahkam, hal. 854

Tidak ada komentar: