مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Tiada
suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas
yang selalu hadir. (QS. Qaf: 18)
Dalam surat ini Allah Ta’ala
menyebutkan dengan sangat jelas, bahwasannya apa yang keluar dari lisan seorang
hamba tidaklah lepas dari pengawasan malaikat. Tak ada satu patah kata yang
tidak dicatat, tidak pula tertinggal. Semakna dengan firman Alloh Ta’ala
dalam ayat yang lain:
كِرَاماً كَاتِبِينَ
يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ وَإِنَّ عَلَيْكُمْ
لَحَافِظِينَ
Padahal sesungguhnya bagi
kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu). Yang mulia (di sisi
Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu). Mereka mengetahui apa yang
kamu kerjakan. (QS. Al-Infithar: 10-12).
Para ulama berselisih pendapat mengenai
masalah pekerjaan malaikat dalam hal ini. Apakah malaikat mencatat semua kalimat
yang diucapkan oleh seorang hamba sebagaimana pendapat Al-Hasan dan Qatadah.
Atau malaikat hanya mencatat ucapan yang mengandung pahala dan siksaan
sebagaimana pendapat Ibnu Abbas. Ibnu Katsir merajihkan pendapat yang pertama,
yaitu diambil dari keumuman ayat bahwasannya malaikat mencatat semua yang
diucapkan seorang hamba tanpa terkecuali.
Imam Ahmad mengatakan, telah
bercerita kepada kami Abu Mua’wiyah, bahwasannya rasulullah sallahu ‘alaihi
wasaalam pernah bersabda “Sesungguhnya seseorang benar-benar mengucapkan
satu kalimat yang diridhai oleh Alloh, tanpa diduga dapat menghantarkan kepada
kedudukan yang diraihnya hingga Alloh mencatat baginya keridhaan berkat kalimat
itu hingga hari dia menghadap-Nya. Dan sesungguhnya seseorang yang benar-benar
mengucapkan suatu kalimat yang membuat Alloh murka tanpa diduga dapat
menjerumuskan pada murka-Nya sehingga Alloh mencatat murka terhadapnya
disebabkan kalimat itu hingga dihari dia menghaap-Nya.
Disebutkan juga bahwasannya
Alqamah pernah mengatakan hendak mengucapkan beberapa kata-kata, tapi
diurungkan karena adanya hadits diatas. Imam Tirmidzi mengatakan bahwasannya
hadits tersebut adalah hasan shahih.
Ali Ibnu Abi Talhah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman Alloh “Tiada suatu
ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang
selalu hadir” “Bahwasannya semua yang diucapkan oleh seorang hamba berupa
kebaikan atau keburukan akan dicatat, hingga benar-benar dicatat ucapanya. Baik
yang mengatakan “aku telah makan dan minum,” “aku telah pergi,” “aku baru
datang”, atau “aku telah melihat sesuatu,” dan lain sebagainya. Maka pada hari
Kamis ucapan dan amal perbuatan ditampilkan dihadapannya, lalu ia mengakuinya, baik
itu yang baik ataupun yang buruk.
Maka dengan penguat ayat
diatas dapat kita pahami hadist rasulullah yang berbunyi:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ
لِيَصْمُتْ
Dari Abu Hurairah, bersabda
Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Dan siapa yang beriman
kepada Allah dan Hari Akhir, maka berbicaralah yang baik atau diamlah” (HR
Bukhari, Muslim, dan Ahmad).
Sangatlah jelas bahwasannya diam
lebih baik dari pada berbicara, kecuali seseorang tersebut berbicara kebaikan.
Lisan juga memiliki pengaruh besar dalam sebuah amalan. Dengan seuntai kalimat
atau bahkan sepatah kata, menyebabkan amalan sebanyak buih dilautan hilang tak
bernilai.
Telah diriwayatkan dari Imam
Ahmad bahwasannya ia pernah merintih di saat sakit, lalu disampaikan kepadanya
berita dari Thawus yang mengatakan bahwasannya malikat pencatat amal perbuatan
menulis segala sesuatu bahkan sampai rintihan seorang hamba. Maka sejak saat
itu Imam Ahmad tidak lagi merintih sampi meninggal dunia.
Begitu sangat berhati-hati
ulama dalam menjaga lisan, hingga rintihan pun mereka sembunyikan. Padahal
tidak jarang kita mengeluh karena suatu hal yang tidak sesuai dengan kehendak
kita. Atau bahkan kita sering lupa dengan adanya dua malaikat petugas pencatat
ini, hingga tanpa sadar rentetan kalimat keluar tak terkendali. Tak jarang pula
dari banyaknya kalimat yang terucap, banyak pula kesalahan tanpa sadar turut
mengalir. Wal’iyadzubillah.
Sungguh tak ada yang salah
pada sebuah ungkapan “Diam itu emas,” bahkan itu juga merupakan anjuran
rasulullah selagi belum mampu mengucapkan kebaikan. Sebagai wujud kehati-hatian
terhadap daging tak bertulang ini. Diam dengan alasan mengurangi sebuah
kesalahan sungguh lebih baik dari pada banyak berucap yang tak berfaedah. Dan
harus diketahui juga bahwasnnya diam mempunyai tempat, tidak diam disetiap
keadaan. Sebagaimana yang dikatakan Abu Ali Ad-Daqiq “Barangsiapa diam dari
kebenaran maka ia adalah setan bisu.
Maka haruslah selalu kita
ingat bahwasannya malaikat tidak pernah lengah sedikitpun dari apa yang keluar
dari lisan kita, walaupun hanya satu huruf. Lebih berhati-hati dalam berucap,
dan mempertimbangkan sebelum mengucpkan itulah yang harus kita lakukan. Semoga
kita termasuk orang yang selamat dari fitnah lisan. Wallahu a’lam bish
shawwab...
Refrensi: Tafsir
Ibnu Katsir, Ibnu Katsir juz 13 hal 186
Syarah Hadits
Arba’in, Imam Nawawi hal 189.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar