Teman, perkenalkan namaku Aldi, aku anak pertama dari dua
bersaudara, tapi bulan depan aku akan punya dua orang adik, begitu kata abi.
Adikku bernama Fuad, dia masih kecil, baru masuk tk tahun ini. Aku juga punya
seorang tetangga sekaligus sahabat, Zaki namanya. Sejak tk sampai sekarang
kelas 3, kita tak hanya satu sekolah tapi juga satu kelas. Setiap berangkat dan
pulang sekolah kita selalu bersama. Dari situlah aku berani berangkat sendiri
tanpa diantar abi lagi.
Aku dan Zaki punya hobby yang sama, yaitu sepak bola. Setiap hari
libur kita bermain bersama dilapangan. Kalau sudah bermain sepak bola bersama
Zaki serasa tak ingin berhenti. Apalagi ditambah anak-anak desa sebelah yang
juga ikut bermain bersama kami, serasa tak mau berakhir. Sampai pernah suatu
saat abi menjemput aku di lapangan karena sampai lupa waktu.
Seperti biasa, setelah semua beres aku bergegas menghampiri Zaki.
“Ummi, Aldi mau berangkat sekolah dulu” sambil aku cium tangan manis ummi. “Iya,
disekolah jangan nakal ya...” nasehat ummi yang tak pernah ganti, selalu
nasehat itu yang ummi sampikan. Pasti ummi sangat beharap aku tidak jadi anak
nakal disekolah.
Aku mulai mengayunkan kakiku menuju rumah Zaki yang jaraknya tidak
begitu jauh dari rumahku. Dan seperti biasa Zaki sudah standbay diteras
rumahnya yang tidak terlalu lebar itu. “Ayo zaki kita berangkat” ajakku seperti
biasa.
Ini adalah hari Sabtu, hari yang selalu kami tunggu karena ada jadwal
olahraga, karena kami bisa bermain sepak bola disekolah. Tiba disekolah kami
langsung menuju gudang dan mengambil salah satu bola faforit kami. “Ayo Zaki
kita main, ayo teman-teman kita bermain sepak bola” teriaku di depan kelas dengan
suara lantang. Beberapa teman yang memiliki hobby sama berdatangan “Ayo Di, kali
ini siapa yang akan cetak goal paling banyak!” tantang salah satu dari mereka.
“Ayo, siapa takut..!” jawabku dengan optimis. Oh ya, tapi bukan berarti kita
tidak akur, tapi justu dengan sepak bola kita semakin akrab dengan teman-teman
yang punya hobby sama, padahal kelas kita saling berjauhan. Itulah salah satu hal
yang aku sukai dari olahraga sepak bola, selain menyehatkan tapi juga memperbanyak
teman. Tepat di tengah lapangan, aku, Zaki, dan teman-teman yang lain langsung bermain
sepak bola. Kami saling menggiring bola ke gawang lawan. Bergantian kami
menendang, dan mengoper bola dari satu anak ke yang lain.
Prit... Prit... Tiba-tiba suara peluit mengagetkan kami, pasti
suara peluit pak Budi. Kenalkan, pak Budi adalah guru olahraga kami. Beliau
kurus dan tinggi, kerena itulah beliau jago bermain bola. Mungkin karena
tubuhnya yang ramping membuat beliau lihai menggiring bola. “Anak-anak...
kumpul” teriak pak Budi dari pinggir lapangan. Dengan berat hati kami hentikan
permainan, “Yah... padahal waktu serunya permainan” celetuk Hasan salah satu
teman sepek bolaku. Memang iya, permainan sedang seru, sudah hampir setengah
jam kita bermain belum ada satupun team yang mempu mencetak goal.
“Anak-anak, cepat
kesini” teriak beliau lagi. Mungkin ada satu hal penting yang ingin beliau
samapikan. “Begini anak-anak... Berhubung bapak tidak bisa melatih kalian sepak
bola secara efektif, bagi kalian yang ingin menekuni sepak bola bisa daftar di sekolah
sepak bola yang akan dibuka sekitar dua bulan lagi. Pendaftaran sudah dibuka
mulai hari ini, nanti yang ingin mendaftar bisa daftar lewat bapak” jelas pak
Budi panjang lebar. “Berarti di sekolah sudah tidak ada olahraga sepak bola lagi
pak?” tanya salah seorang dari kami. “Bukan tidak ada, masih tetap ada. Hanya
saja, kita hanya berolahraga sekali dalam seminggu, dan itu juga belum tentu efektif.
Jadi sekolah ini di buka untuk anak-anak yang memang berminat untuk menekuni
olah raga ini” terang pak Budi lagi, terlihat teman yang bertanya tadi
mengangguk, sepertinya baru faham. Aku langsung minat dengan penawaran pak
Budi, siapa tahu aku bisa jadi pemain sepak bola terkenal.
“Oh ya anak-anak, untuk daftar di sekolah sepak bola ini ada
syaratnya, mempunyai sepatu sepak bola yang standart dan membayar uang sebesar
seratus ribu untuk biaya sragam dan pendaftarannya” jelas pak Budi lagi. “Aku
ikut pak...” sahut temanku yang bernama Iwan. “Aku juga pak” sahut Reno dan
Beni bersamaan. Minatku untuk daftar jadi menurun, aku belum punya sepatu olah
raga, apa mungkin aku minta dibeliin abi, tapi sebentar lagi ummi melahirkan.
“Aldi gimana?” tanya pak Budi mengagetkanku, mungkin beliau tahu
aku sangat hobby dengan olahraga yang satu ini. “Em... nanti dulu pak,
daftarnya sampai kapan pak?” tanyaku. “Oh, jangan khawatir, masih ada waktu
sekitar satu bulan setengah untuk daftar. Jadi untuk yang belum ada uang masih
bisa menabung. Terakhir daftar tanggal 23 November” terang pak Budi. Aku masih
binggung, aku ingin sekali ikut, tapi aku belum punya sepatu sepak bola, uang
tabunganku juga belum cukup untuk membayar pendaftarannya. Pasti biaya
perslinan ummi butuh biaya banyak, pikirku.
“Kenapa diam aja Di? Ayo kita ikutan, nanti kita bisa berangkat
bersama” ucap Zaki yang sedari tadi melihatku terdiam. “Yaudah anak-anak,
sekarang kalin bubar, dan bersihkan badan persiapan masuk kelas. Bapak masih
menunggu siapa yang mau daftar” ucap pak Budi, sambil bersiap meninggalkan kami.
Belum sampi aku jawab pertanyaan Zaki, dia sudah berlari persiapan masuk kelas.
Selesai sholat Dzuhur tepat pukul 12.30 WIB aku dan Zaki udah
keluar sekolah. Seperti biasa kami mampir ditempat bu Dewi penjual es jus
dipinggir jalan. “Gimana Di?” tanya Zaki tiba-tiba mengagetkanku. “Bingung Zak,
bulan depan ummi lahiran, pasti butuh biaya banyak” jawabku singkat. “Yaudah
kita nabung dulu aja. Aku juga belum punya sepatu sepak bola kok” jawab Zaki
sambil menikmati jus jambunya. “Tapi apa cukup zak, kan nggak hanya punya
sepatu sepak bola aja, tapi juga harus bayar uang sragam” jelasku. “Iya Di, nanti
kurangnya kita minta abi aja” jawab Zaki. “Iya, aku juga ingin Zak, nanti aku
coba ngomong sama abi” jawabku sambil menghabiskan jus jambuku yang masih
sedikit.
Setiba di rumah aku langsung menuju kamar “minta uang abi nggak ya?
jangan-jangan untuk biaya persalinan ummi membutukan biaya banyak” aku masih
berusaha memutar otak. Mungkin benar apa yang disarankan Zaki aku harus
menabung, tapi aku belum bisa setiap sepulang sekolah untuk tidak mampir di
tempat bu Dewi, pasti perutku keroncogan. “Mungkin aku bisa menabung sebagian
uang sakuku” pikirkan dengan senyum keputusan.
Mulai aku putuskan sejak saat itu aku hanya membawa setengah dari
uang saku yang diberikan abi, dan setengahnya aku tabung untuk daftar sekolah
sepak bola. Dan setiap hari aku masih bisa mampir di tempat bu Dewi dengan
membeli setengah jus dari harga biasannya. Tapi berbeda denagn Zaki, dia sama
sekali sudah tidak membawa uang saku.
“Jus jambu bu yang kecil” ucapku kepada bu Dewi. “Ini dek” sambil
menyodorkan jus jambu di dalam plastik yang lebih kecil dari biasannya. “Zaki tidak
beli?” tanya bu Dewi, dan Zaki hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum.
“Di, boleh bagi esnya sedikit” ucap Zaki lirih, pasti Zaki juga merasakan haus
seperti aku. “Kita bagi ya” sahutku. Dan ternyata kejadian itu berlanjut.
Setelah berjalan dua minggu, aku mulai sebal sama Zaki, setiap hari
dia hanya minta es dariku, sesekali dia tidak minta tapi aku nggak tega melihat
dia kehausan, sedangkan dia menabungkan uang sakunya semua untuk daftar sekolah
sepak bola. Pasti uang Zaki lebih banyak, kalau uang Zaki udah terkumpul dan
aku belum, pasti hanya Zaki yang ikut sekolah sepak bola. Dan aku tidak.
“Huh, aku sebal sama Zaki” teriakku dikamar. “Aku harus bilang pada
Zaki kalau dia haus, dia harus membawa sebagian uang sakunya juga, dan hanya
menabungkan setengahnya saja”. Tiba-tiba aku teringat uang tabunganku,
barangkali sudah cukup untuk beli sepatu sepak bola. “Alhambulullah, sudah
terkumpul 78.000” ucapku sambil tersenyum sendiri. Mungkin abi tahu berapa
harga sepatu sepak bola. Bergegas aku mencari abi di ladang, “Abi...” teriaku
yang melihat abi yang berada di tengah tanaman cabe. “Kenapa Di?” jawab abi
sambil berjalan mendekat. “Abi tahu berapa harga sepatu sepak bola bi?”
tanyaku. “Kenapa memang? Aldi mau beli sepatu sepak bola? Memang Aldi punya
uang?” tanya abi. “He... punya bi tapi belum banyak” jawabku smabil meringis.
“Mungkin sekitar seratus ribu, nanti kalo uang Aldi sudah terkumpul, InsyaAlloh
abi belikan”, terang abi. “Benar bi? sebentar lagi seratus ribu kok bi” jawabku
sambil tersenyum riang. “Uang Zaki sudah terkumpul berapa ya? pasti sudah lebih
banyak, kan Zaki menabung semua uang sakunya”.
Aku semakin jarang bermain dengan Zaki, jarang pulang bersama juga.
Aku malas pulang bersama Zaki, pasti dia ikut minum es punyaku. Aku selalu
menghindar dan keluar kelas terlebi dulu, dan aku segera lari ke warung bu
Dewi, pasti Zaki tidak mampir karena Zaki nggak membawa uang saku.
Kurang tiga hari lagi pendaftaran ditutup, dan uangku yang
terkumpul baru 98.000,-, masih kurang banyak, pikirku. Pasti uang Zaki sudah terkumpul,
dan tinggal daftar ke pak Budi. Tiba-tiba lamunanku buyar dengan teriakan abi
“Zaki....Zaki”. Sambil berlari aku hampiri abi, “Innalillahi, kenapa
ummi bi” mataku terbelalak melihat ibu pingsan di dapur. “Cepat pergi kerumah
Pak Ahmad, bilang kata abi suruh datang ke rumah membawa mobil”, dengan cepat
aku langsung mengyuh sepeda menuju rumah pak Ahmad.
Aku di rumah sendiri sambil menunggu kabar dari abi. Kring...
Kring... Suara telpon berbunyi. Pasti dari abi, dan ternayata benar “Iya bi,
gimana ummi bi”, “Alhamdulillah ummi dan adiknya sehat, tapi ummi harus
sesar, jadi harus menginap beberapa hari di rumah sakit. Nanti malam abi jemput
Aldi kita ke rumah sakit” suara abi dari seberang. “Iya bi. Trus sekolah Aldi?”
tanyaku. “Abi udah izinkan sama kepala sekolah, besol Aldi tidak sekolah”. “Iya
bi” jawabku nurut. “Yaudah, Aldi persiapan ya, assalamu’alaikum”
tut...tut... terdengar tanda abi sudah mengakhiri percakapan. Wa’alaikumusslam
warahmatullah...
Malam ini aku tidur di rumah sakit ditemani adik baruku yang
ternyata laki-laki juga. Tapi malam ini mataku tidak bisa terpejam, aku masih
teringat sekolah sepak bola, pendaftaran lusa akan ditutup. Pasti besok Zaki
sudah daftar ke Pak Budi, dan kita pasti semakin jarang bermain bersama.
Sepertinya aku harus mengurungkan niatku untuk sekolah sepak bola, uang untuk
seragam sudah terkumpul seratus ribu, tapi aku belum punya sepatu sepak bola.
Waktunya tinggal dua hari, aku tidak mungin punya uang sebanyak itu dalam waktu
dua hari, aku juga tidak mau minta uang dari abi, pasti operasi sesar ibu butuh
biaya banyak. “Huh, mungkin belum sekarang waktunya aku sekolah sepak bola”
pikirku pasrah.
Siang ini aku diantar pulang, karena besok harus sekolah, abi hanya
mengizinkan aku satu hari. Dan besok adalah hari terakhir pendaftaran sekolah
sepak bola, padahal sampai saat ini aku punya sepatus sepak bola.
“Aldi.....” terdengar suara panggilan dari depan, sepertinya suara
Zaki. Segera menyelesaikan sarapanku dan menyahut tas disamping tv. Tidak
biasanya Zaki yang menghampiri aku, tapi sudah beberapa hari ini aku tidak
menghampirinya.
“Zaki.... kita berangkat sekolah bersama?” tanyaku aneh sambil
menutup pintu rumah. “Iya, ayo berangkat Di” ajaknya. Aku masih aneh dibuatnya.
“Hari ini jadwal terakhir kita daftar sekolah sepak bola, sampai sekolah kita
langsung cari Pak Budi ya” ucapnya dengan wajah berseri. Aku hanya diam, tapi
aku menjelaskan pada Zaki kalau aku nggak jadi ikut sekolah sepak bola. “Hm,
begini Zak, sepertinya Aku nggak jadi ikut sekolah sepak bola itu, aku belum
beli sepatu sepak bola” ucapku sambil menunduk. Terlihat Zaki menurunkan
tasnya, dan mengeluarkan sesuatu dari tasnya “Aku udah beli sepatu sepak bola
kok” aku tambah terdiam. “Ini buat kamu Di” jawab Zaki sambil menyodorkan
bungkusan berwarna hitam. Aku masih terbengong “Maksudnya?” “Alhadulillah
uangku cukup untuk beli dua sepatu sepak bola, aku nggak mau hanya aku yang
ikut sekolah sepak bola, tapi kamu juga harus ikut Di”. Aku terbelalak dengan
ucapan Zaki, serasa aku mimpi, Zaki memberiku sepasang sepatu sepak bola. “Buat
aku Zak?” tegasku pada Zaki, “Iya, nanti kita daftar ke Pak Budi” ucpanya sambil
tersenyum.
“Trimakasih banyak Zak, aku nggak nyagka kamu beliin buat aku juga”
ucapku haru. “Iya Di, sama-sama, maaf ya gara-gara aku menabung semua uangku,
aku jadi selalu minta es kamu” ucapnya lirih. Aku tersenyum “Harusnya aku yang
minta maaf Zak, aku terlalu buruk sangka sama kamu”. “Yaudah, aku pulang lagi
Zak, mau mengambil uang seratu ribu untuk pendaftarannya” tanpa hiraukan Zaki
aku langsung lari kembali kerumah.
Mulai saat itu kami masuk sekolah sepak bola bersama. Dan sejak
saat itu juga aku berjanji akan selaku berteman dengan Zaki. Aku yang terlalu
buruk sangka dengan Zaki, tapi Zaki malah mebalas aku dengan kebaikan. Maafkan
aku Zak...
Magetan, 06 Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar