Jumat, 20 Mei 2016

BALADA KATA “SUKSES”



Sukses, satu kata yang tak asing terdengar ditelinga kita. Mulai dari anak TK hingga lansia tak ada yang belum pernah mengucapkan ataupun mendengar satu kata ini. Hampir semua orang tua tak pernah luput dari menyertakan satu kata tersebut dalam setiap lantuan doa mereka. Seakan semua orang tak akan pernah mengenal bosan mengucapkan kata “sukses.” Hingga semua orang berharap akan pertemuan dengan satu kata tersebut, termasuk aku, orang yang mendamba untuk bertemu dengan satu kata itu.
Namun hinngga detik ini aku belum mampu mengambil kesimpulan yang sebenarnya mengenai makna sukses itu sendiri. Yang aku tahu sukses jatuh pada satu orang, yaitu pada seorang yang mampu menggiring umat manusia dari gelapnya masa jahiliyah menuju masa penuh berkah. Hingga semua orang selalu menyebut namanya, dan mengharap pertemuan dengannya. Beliaulah utusan terakhir yang Allah kirimkan pada umat manusia Muhammad bin Abdullah. Namanya murni tanpa gelar Doktor, Profesor, Insinyur atau seabreg gelar yang diburu manusia. Namun tak dapat dipungkiri, semua orang akan mengatakan Muhammad adalah orang yang sukses.
Tapi aku juga berfikir, bahwa gelar sukses tidak hanya jatuh pada satu orang. Toh, tidak mungkin hingga saat ini manusia masih mewariskan satu kosa kata tersebut kecuali ada  realisasi dari kata tersebut dari masa ke masa walaupun tetap kesuksesan yang sempurna hanya mampu diraih oleh manusia mulia yang bernama Muhammad. Tak dapat dipungkiri juga seorang seperti  Imam Syafi’i yang dengan kecerdasannya mampu membuka wawasan baru dalam masalah fiqih, lalu disusul muridnya Imam Ahmad bin Hambal yang mampu mempertahankan kemurnian al-Qur’an dari fitnah yang dilontarkan orang Mu’tazilah, kemudian Muhammad Al-Fatih yang mampu menakhlukkan Konstantinopel yang sepertinya terlihat mustahil, mereka juga sangat pantas menjadi golongan manusia yang sukses. Lalu sampailah era globalisasi yang mana gelar sukses semakin sulit diraih oleh umat manusia. Atau mungkin kualitas sukses itu sendiri yang semakin surut. Kesuksesan yang diraih serasa mustahil mencapai sebagaimana yang telah dicapai orang-orang yang terdahulu.
Lalu kembali aku melihat pada diriku, siapa aku? aku seorang wanita, serasa hanya mimpi namaku mampu menggoncangkan dunia. Tapi aku itu tak salah, karena mimpi bisa menjadi awal kesuksesan itu sendiri. Aku yang lahir di era globalisasi ini tentu akan mengalami perbedaan dalam mencapai gelar sukses itu sendiri. Minimal aku akan berusaha mendapat gelar sukses dari orang disekelilingku.
Kalau kata orang tua “Belajar yang sungguh-sungguh nak, biar jadi anak yang sukes.” Kesimpulan sederhara yang dapat aku ambil dari ucapan tersebut bahwa sukses adalah sebuah keberhasilan seseorang dengan keadaan hidup yang sangat memadai karena mempunyai kemampuan dalam menguasai satu objek tertentu dari hasil belajar. Sehingga dengannya semua kebutuhan tercukupi.
Tapi orang tua mengatakan hal tersebut saat aku masih mengenakan seragam merah putih, dan mengalungkan bolol air minum dileher. Selalu aku cium tangan orang tua sebelum ku ayuhkan kaki ke sekolah, dan selalu kalimat itu yang mampir di telinga. Dan itu masa lalu, ternyata aku menempuh alur yang berbeda. Aku berada ditengah-tengah lingkungan yang agamis, dan jauh dari orang tua. Atau lebih tepatnya disebut dengan “pesantren.” Sehingga perspektif dari gelar sukses sendiri juga mengalami perubahan. 
Kalau kata ustdaz “Jadilah seorang wanita yang sukses, mampu berdakwah dan menyampaikan semua ilmu yang telah dipelajari selama dipondok. Agar orang lain yang belum faham bisa mendapat manfaat dari ilmu yang telah kita pelajari.” Kesimpulan sederhana yang dapat aku ambil dari kalimat tersebut bahwasannya wanita yang sukses adalah yang mampu berdakwah dan mampu menyampaikan ilmu yang telah dipelajai selama di pesantern. Padahal kata dakwah identik dengan sebuah aktifitas yang mengharuskan pelakunya berinterkasi dengan banyak orang dan juga banyak tempat. Karena tidak semua orang diberi kesempatan mencicip bangku pesantren berikut ilmu yang mengiringinya. Dengan kata lain gambaran diatas mencerminkan seorang wanita sholihah, karena tujuan ustadaz mendidik tidak lain hanya ingin menjadikan para santrinya menjadi seorang yang sholeh atau sholihah.
Tapi ustadz lain juga berkata “Wanita yang sukses adalah seorang wanita yang mampu menjaga dirinya dan harta suaminya dirumah, mampu mendidik anak dengan baik, sehingga esok dapat mencetak segerasi pejuang yang terbina.” Terdapat perbedaan yang sangat kontras dari ungkapan sebelumnya. Kesimpulan sederhananya adalah santri yang dibimbing dipesantern kelak menjadi sholihah dengan kemampuannya dalam mendidik anak dirumah. Dengan kata lain seorang wanita sholihah lebih dominan untuk berada dirumah, dan tidak banyak menghabiskan waktu untuk berinterkasi diluar rumah.
Sedangkan dengan fersi yang berbeda seorang ustadzah lain mengatakan “Seorang wanita yang sukses adalah seorang wanita yang menjaga sholatnya lima waktu, berpuasa ketika ramadhan, menjaga kemaluan, dan taat kepada suami, sebagaimana hadits rasulullah. Karena dengan begitu seorang istri bisa masuk surga dari pintu mana saja yang dia kehendaki.” Kesimpulan yang juga berbeda dengan sebelumnnya. Sekilas ungkapan terakhir seperti ungkpan yang paling dekat dengan gelar sukses. Karena kita sebagai seorang muslim yang berkeyakinan bahwasannya kesuksesan yang paling utama adalah menjadi golongan orang yang diberi izin oleh Allah untuk memasuki rumah-Nya. Tapi berhubung aku belum menjadi seorang istri hal ini belum bisa terealisasikan. Tapi secara nalar dapat dijangkau, kalau sesorang yang mendapat balasan istimewa tentu yang dibebankan bukan hanya pekerjaan yang biasa, pasti pekerjaan yang juga luar biasa.
Kembali aku meneliti gelar sukses ini. Aku ingin menjadi golongan orang yang berjumpa dengan sukses tersebut, tapi dari pengerian mana yang harus aku realisasikan. Apakah ustadz satu, dua, atau ustadzah?. Dan untuk ungkapan orang tua tentulah tak bisa aku terima, karena gelar sukses hanya akan tertera sementara. Padahal gelar sukses yang diharapkan oleh setiap orang muslim adalah gelar sukses yang sifatnya permanen. Dan tidak akan terputus walau dengan kematian.
Haruskah aku mengkomperasikan ketiga ungkapan diatas. Atau mengabaikan ungkapan tersebut, lalu aku akan mengambil salah satu contoh dari Muhammad bin Abdullah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, atau Muhammad Al-Fatih? Tapi aku bukan mereka. Mana mungkin aku akan meniru semua perilaku mereka dan aku akan mendapatkan gelar yang sama? tidak mungkin.
Setelah sejenak aku berfikir. Gelar sukses bukan pada setiap orang mampu mengenyam bangku pendidikan paling lama, karena Muhammad bin Abdullah tidak pernah mengenyam bangku sekolah, selain pada saat itu belum ada sekolah beliau juga tidak belajar kepada seorang guru. Gelar sukses bukan pula pada setiap orang yang mampu berdakwah, dan menyeru umat manusia kembali pada jalan yang lurus, karena Imam Ahmad bin Hambal mendapat gelar sukses karena telah berusaha melindungi al-Qur’an dari fitnah orang Mu’tazilah dan bukan karena berdakwah.
Kesimpulan ringan yang dapat aku petik adalah, gelar sukses tidak hanya terbatas pada orang yang namanya mampu menggoncngkan dunia. Akan tetapi orang yang berhak mendapat gelar sukses adalah semua orang yang berusaha melakukan dengan kemampuannya pada suatu hal untuk menimbulkan manfaat baik untuk dirinya maupun orang lain. Karena kembali kita melihat gelar sukses yang diraih oleh Muhammad bin Abdullah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, dan Muhammad Al-Fatih dengan sebab kesuksesan yang berbeda. Maka jangan hanya melihat pengertian sukses dari satu arah, karena bisa menjadikan kita berfikir sempit dan kaku. Masih ingatkan pepatah arab yang mengatakan “khairun naasi anfa’uhum linnaas.” Tidak pernah ada batasan dari sebuah kesuksekan itu sendiri. Maka jangan sampai kita membatasi pencapaian sukses itu sendiri. Ingat, semua orang memiliki kemampuan, tapi kemampuan itu sendiri mempunyai ragam. Maka jadilah orang yang sukses sesuai dengan kemampuan masing-masing. Dan ingat, semua kesuksesan yang diraih tidaklah lepas dari koridor syari’at Islam, kerena kita adalah muslim yang mempunyai aturan, dan tak ada yang kita harap kecuali hanya Ridho Allah dan Surga-Nya.JJJ  
Mahira, 10 May 2016.

Tidak ada komentar: