I.
Pendahuluan
Era globalisasi
mempunyai banyak pengaruh dalam pola kehidupan masyarakat, baik dari sisi
ekonomi, pergaulan, hingga pendidikan. Dewasa ini anak-anak menganggap guru
hanya seorang yang bekerja dan mendapat gaji, sedangkan anak didik adalah
pemakai jasanya. Tidak ada hubungan lebih dalam mengenai interkasi yang mereka
lakukan kecuali hanya sebagai ajang pekerjaan. Apalagi sekolah swasta, yang
menggaji guru dari SPP anak didik. Hal ini menjadikan peserta didik merasa
lebih berkedudukan dari pada guru, karena tanpa anak didik guru tidak akan
mendapat gaji.
Maka
dari sinilah tidak adanya hubungan yang harmonis antara guru dan anak didik.
Sehingga salah seorang murid di salah satu SMA swasta Kota Sukabumi tega
memukul gurunya. Begitu juga seorang wali murid yang menyuruh anaknya untuk
membalas pukulan guru saat menegur murid tersebut.
Keadaan
yang sangat miris jika dibandingkan dengan keadaan salaf yang sangat
menghormati dan memuliakan guru mereka. Karena mereka beranggapan gurulah
seorang yang amat berjasa, karena lewat merekalah ilmu itu dapat tersalur.
Apalagi guru yang mengajarkan agama sangat tidak ada nilainya dengan gaji yang
didapat atas ilmu yang tersalurkan. Karena Islam sangat menghormati sebuah
ilmu. Maka dalam makalah ini penulis membahas faktor krisisnya akhlak seorang
murid terhadap guru berikut solusinya.
II.
Pembahasan
a.
Definisi
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia “guru” adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya,
profesinya) mengajar.[1]
Sedangkan
dalam Undang-undang nomor 14 Tahun 2005 tentang guru
dan dosen. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini melalui jalur formal pendidikan dasar dan
pendidikan menengah.[2]
Hasan
Abdul Hamid Ahmad Rasywani mengatakan bahwasanya guru adalah sarana masyarakat
untuk mencapai sebuah tujuan yaitu mengangkat manusia dari gelapnya
kejahiliyahan kepada ilmu agama dan ma’rifah.[3]
Majdil
Aziz Ibrahim mengatakan bahwasannya guru
merupakan suatu penyambung antara pendidikan dan masyarakat. Karena itu mereka
mengerahkan seluruh usaha dan tenaga untuk merealisasikan sebuah pertumbuhan
yang baik dan melekat padanya karekter dan cara berfikir yang benar.[4]
Dalam
bahasa arab istilah guru sama halnya dengan mu’allim, mudarris,
atau ustadz, yang mana secara umum mereka adalah seorang yang telah
menguasai ilmu tertentu dan menyampaikan kepada muridnya. Sebagaimana guru,
yang mana masyarakat umum menganggapnya sebagai seorang yang tugasnya
mengajarkan atau mendidik murid dengan tujuan perubahan menuju sebuah kebaikan.
b.
Keutamaan Seorang Guru dalam Pandangan Islam
Guru adalah orang yang memiliki ilmu. Dan orang yang memiliki ilmu
memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam. Jadi, memiliki ilmunya saja sudah
memiliki kedudukan yang tinggi, apalagi apa yang biasa dilakukan oleh guru,
yakni mengajarkannya berikut mengamalkannya. Hal itu akan lebih meninggikan
kembali posisinya dalam Islam. Sebagaimana firman Allah:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ
آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[5]
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى
وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ
مُبِينٍ
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami
menuliskan apa saja mereka telah kerjakan, dan bekas-bekas yang mereka
tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata.”[6]
Sebagaimana juga sabda rasulullah yang menunjukkan keutamaan
seorang seorang guru antara lain:
مَنْ دَلَّ
عَلَى خَيرٍ فَلَهُ مِثْلَ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa
yang mengunjukkan atau mengajarkan kebaikan, pahalanya sama dengan orang yang
melakukan kebaikan itu.” (HR. Muslim)[7]
“Sesungguhnya Alloh, Malaikat-malaikat-Nya, penghuni langit dan
penghuni bumi, hingga semut dalam lubangnya dan ikan dalam lautan, memintakan
ampun para pendidik manusia kepada kebaikan “.[8]
“Sesungguhnya dari antara amal dan kebaikan seorang Mukmin yang
tetap dia peroleh pahalanya, walaupun dia sudah wafat, adalah: Ilmu yang
diajarkan dan disebarluaskannya; anak yang shaleh yang ditinggalkannya; atau
mushaf/pegangan misalkan buku-buku/ al-qur’an/kitab-kitab yang ditinggalkannya;
atau masjid yang dibangunnya; atau rumah untuk ibnus sabil yakni anak yatim
piatu/panti jompo yang dibangunnya; atau saluran air yang dibuatnya; atau
shadaqah yang dikeluarkannya dari harta kekayaannya pada waktu hidupnya
(shadaqah jaariyah), itu semua dia akan mendapatkan pahalanya setelah dia
wafat.”[9]
Sebagaimana juga yang dikatakan oleh Al-Ghazali terhadap seorang
guru “Barang siapa yang mengetahui sesuatu dan mengamalkan apa yang dia ketahui
maka dia akan dimendapat pengagungan di kerajaan langit. Sebagaimana juga
matahari yang menyinari lainnya. Dan barang siapa yang menyibukkan diri dengan
belajar maka sungguh ia telah mengerjakan sesuatu yang mulia, maka dia akan
dijaga adab dan tugasnya”[10]
c.
Akhlak Ulama Salaf Terhadap Guru
Ulama salaf merupakan manusia teladan yang meneladani rasulullah
telah mengajarkan kepada umat setelahnya mengenai akhlak seorang murid terhadap
gurunya. Sebagaimana Sahabat Abu Sa’id Al-Khudri Radhiallahu ‘anhu
berkata:
كنَّا
جُلُوساً فِي المَسْجِدِ إِذ خَرَجَ رَسُولُ اللهِ فَجَلَسَ إِلَيْنَا فَكَأَنّ عَلَى
رَؤُوسِنَا الطَيرُ لاَ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ مِنّا
“Saat kami sedang duduk-duduk di masjid, maka
keluarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian duduk di hadapan
kami. Maka seakan-akan di atas kepala kami terdapat burung. Tak satu pun dari
kami yang berbicara”[11]
Ibnu
Abbas seorang sahabat yang ‘alim, mufasir Quran umat ini, seorang
dari Ahli Bait Nabi pernah menuntun tali kendaraan
Zaid bin Tsabit al-Anshari radhiallahu anhu dan berkata,
هَكَذَا أَمَرنَا أَنْ نَفْعَلَ بِعُلَمَائُنَا وَكُبَرَائِنَا
Al Imam
As-Syafi’i juga berkata,
كُنْتُ أَصفحُ الوَرَقَةَ بَيْنَ يَدَي
مَالِكٍ صَفْحًا رَفِيقًا هِيبَةً لَه لِئَلَّا يَسْمَع وَقَعهَا
“Dulu
aku membolak balikkan kertas di
depan Malik dengan sangat lembut
karena segan padanya dan supaya dia tak mendengarnya”.[13]
Abu
‘Ubaid Al Qosim bin Salam berkata, “Aku tidak pernah sekalipun mengetuk pintu
rumah seorang dari guruku, karena Allah berfirman,
وَلَوْ أَنَّهُمْ صَبَرُوا حَتَّى
تَخْرُجَ إِلَيْهِمْ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan
masih banyak sikap ulama terhadap muridnya. Bahkan dalam masalah yang terlihat
sepele pun sangat mereka perhatikan. Sehingga hanya hubungan harmonis yang
terjalin antara keduanya. Karena salah satu upaya untuk menghormati ilmu
begitujuga harapan akan sebuah barakah ilmu adalah dengan menghormati seorang
guru.
d.
Faktor Krisis Akhlak Seorang Murid
Menurut
Hanif Dhakiri[15] bahwa banyak yang perlu diprihatinkan munculnya konflik antara
guru dan murid, antara lain lemahnya penanaman nilai pendidikan karakter di
sekolah. Pendidikan moral dan agama mendapatkan tempat yang tidak proporsional
dan terlampau sedikit dibandingkan pelajaran lain. Ironisnya, pendidikan moral
keagamaan hanya bersifat formalistik, sangat terbatas dan hanya menjejalkan
pengetahuan nilai tanpa mengarah ke pembentukan karakter. Ditinjau dari
segi usianya, pelajar yang sedang menempuh pendidikan di SLTP maupun SLTA
memang sedang mengalami periode yang sangat potensial bermasalah. Pada fase
ini, pelajar atau remaja sering digambarkan sebagai topan dan badai atau storm
yang mudah tersulut emosi dan mengalami tekanan jiwa. Sehingga perilaku mereka
mudah menyimpang. Dalam situasi konflik dan problem ini remaja tergolong dalam
sosok pribadi yang tengah mencari identitas dan membutuhkan tempat penyaluran
kreativitas. Jika tempat penyaluran tersebut tidak ada atau kurang memadai,
mereka akan mencari berbagai cara sebagai penyaluran.[16]
Faktor lain yang
menyebabkan krisisnya akhlak seorang murid adalah kurang efektifnya pembinaan
moral yang dilakukan oleh rumah tangga, sekolah maupun masyarakat. Pembinaan
moral yang dilakukan oleh ketiga institusi ini tidak berjalan menurut
semsetinya atau yang sebiasanya.
Zakiah Darajat[17] mangatakan, moral bukanlah suatu pelajaran yang dapat dicapai
dengan mempelajari saja, tanpa membiasakan hidup bermoral dari sejak keci.
Moral itu tumbuh dari tindakan kepada pengertian dan tidak sebaliknya. Seperti
halnya rumah tangga, sekolahpun dapat mengambil peranan yang penting dalam
pembinaan moral anak didik. Hendaknya dapat diusahakan agar sekolah menjadi
lapangan baik bagi pertumuhan dan perkembangan mental dan moral anak didik.[18]
Faktor-faktor di atas sebagian besar
dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Dengan berkembang pesatnya teknologi
pada zaman sekarang ini, arus informasi menjadi lebih transparan. Kemampuan
masyarakat yang tidak dapat menyaring informasi ini dapat mengganggu etika dan
moral remaja. Pesatnya perkembangan teknologi dapat membuat masyarakat
melupakan tujuan utama manusia diciptakan, yaitu untuk beribadah.
e.
Solusi Dalam Meningkatkan Akhlak Murid Terhadap Guru
Upaya upaya yang dapat dilakukan untuk menangani konflik itu di antaranya
Menghadirkan figur yang baik dan mentradisikan sikap santun, sebagai contoh dan
suri tauladan bagi para remaja demi terciptanya suasana harmonis, toleran,
saling menghormati dan mengasihi antar sesama. Maka saat ini sangat membutuhkan
sosok sosok yang dapat dijadikan teladan, salah satunya adalah seorang guru itu
sendiri. Salah satu tugas utama seorang guru adalah sebagai qudwah atau contoh
bagi para muridnya. Yang mana dari sikap dan perilaku itu sendiri yang akan
dijadikan hujjah oleh peserta didiknya. Pandangan murid akan terfokus pada
semua perilaku guru. Maka salah satu tugas yang berat bagi seorang guru adalah
sebagai contoh untuk para peserta didiknya dalam semua hal termasuk penampilan,
dan juga perilaku keseharian.[19]
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّكُمْ
لَا تَسَعُونَ اَلنَّاسَ بِأَمْوَالِكُمْ, وَلَكِنْ لِيَسَعْهُمْ بَسْطُ
اَلْوَجْهِ, وَحُسْنُ اَلْخُلُقِ
“Sesungguhnya
kalian tidak mampu menguasai manusia dengan harta kalian, tetapi mereka dapat
dikuasai dengan manisnya wajah dan akhlak yang baik (husnul khuluq).”[20]
Syaikh
Sholeh Fauzan menjelaskan tanggung jawab untuk terbentuknya pemuda-pemuda
tangguh dan generasi yang taat, itu merupakan kewajiban dan tugas yang besar di
pundak para orang tua, agar mendidik anak-anaknya semenjak dini dengan
pendidikan yang benar, yaitu pendidikan yang diajarkan oleh Islam, sebagaimana
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مُرُوا
أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ
عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkanlah
anak-anak kalian agar menunaikan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun dan
pukullah mereka ketika telah berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat
tidurnya.”[21]
Hadits ini,
meskipun berhubungan dengan mendidik anak dalam masalah shalat, akan tetapi,
sesungguhnya mencakup pendidikan lainnya dari syariat Islam. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda kepada Ibnu ‘Abbâs yang pada saat
itu beliau masih kecil:
يَا
غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ
تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ
فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
“Wahai,
anak kecil! Sesunguhnya aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat; jagalah
Allah, niscaya Allah akan menjagamu; jagalah Allah, niscaya engkau akan
mendapatkan Dia selalu di hadapanmu; apabila engkau minta, mintalah kepada
Allah dan apabila engkau minta pertolongan, mintalah pertolongan kepada-Nya.”[22]
Maka didiklah
mereka dengan pendidikan Islam. Berilah para pemuda itu dengan pengarahan yang
benar. Hendaklah orang tua menjadi teladan yang baik bagi anaknya, sehingga
menjadikannya sebagai qudwah hasanah.
Oleh karena
itu, bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam memegang amanah yang
agung ini. jagalah anak-anak, para pemuda kita dari api neraka Jahannam.
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا
النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ
اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”[23]
Dan selain
qudwah dari orang lain hal penting yang juga harus diperhatikan adalah adanya
usaha untuk selalu mengingatkan dan menasehati terhadap murid untuk selalu
berakhlakul karimh. Karena dengan adanya nasehat dan teguran dapat menumbuhakn
kesadaran pada murid tersebut.
III.
Penutup
Diantara
faktor krisisnya akhlak seorang murid terhadap guru adalah kurangnya qudwah
atau contoh dari pihak lain seperti guru atau orang tua, yang mana merekalah
orang yang akan selalu diikuti oleh murid tersebut. Maka diantara cara merubah
akhlak seorang murid adalah dengan adanya contoh perilaku itu sendiri, baik
dari pihak orang tua dan guru. Selain itu mjrid juga selalu disadarkan akan
pentingnya akhlak tersebut.
Referensi
Jami’ah
Al-Wadi, Makanah Al-Ijtima’iyah lil Mu’allim wa Dauruhaa fil ‘Amaliyah
At-Tarbawiyah, Nurul Huda Al-‘Akisy.
Al-Mamlakah
Al-Maghribiyah Wizaroh At-Tarbiyah Al-Wathaniyah, Akhlaqiyaat Al-Mihnah wa
Muwashafat Al-Mudarris.
Jauzi,
Jamaluddin Abi Al-Farah Ibnul, Shifatus Shafwah, juz 1, cet 3, (Beirut:
Daar Al-Ma’rifah, 1985 M).
Manawi,
Al-Muhammad Al-Mad’u bi’adi Ar-Rauf, Faidul Qadir, Juz 6, cet 3,
(Beirut: Daarul Ma’rifah, 1972 M).
Naisamburi,
An- Al-Hafidz Abi Abdillah Al-Hakim, Al-Mustadrak, juz 1, cet 1, (Kairo:
Daar Al-Haramain, 1997 M).
Ṣaqr, Abd al-Badīʻ, Mukhtar Al-Hasan wa As-Shohih min
Al-Hadits As-Syarif, (Maktabah Wahbah 1982 M).
Sijsitaani,
As- Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, juz 1, cet 1, (Beirut: Daar
Ibnu Hazm, 1997 M).
Syafi’i,
As- Ibnu Jama’ah Al-Kinaniy, Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, cet 1,
(Mesir: Maktabah Ibnu Abbas, 2005 M).
Tirmidzi,
At- Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Surah, Al-Jami’ AS-Shaghir, juz 4,
Syarkah Maktabah Muthaba’ah Mushthafa Al-Bani.
UU
RI Nomor 14 Tahun 2005 Bab 1 Pasal 1
http://www.kompasiana.com/fiancules/menanamkan-pendidikan-moral-sejak-tk_5528d0cff17e613f0c8b456e,
21 Maret 2013 09:28:55
[1] Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet 3, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1991 M), hlm.
[2]
UU RI Nomor 14
Tahun 2005 Bab 1 Pasal 1
[3] Jami’ah
Al-Wadi, Makanah Al-Ijtima’iyah lil Mu’allim wa Dauruhaa fil ‘Amaliyah
At-Tarbawiyah, Nurul Huda Al-‘Akisy, hal, 40.
[4] Ibid.
[5] QS:Al-Mujadalah
:11.
[6] Q.S:Yaasiin:
12
[7] Muhammad
Al-Mad’u bi’adi Ar-Rauf Al-Manawi, Faidul Qadir, Juz 6, cet 3, (Beirut:
Daarul Ma’rifah, 1972 M), hal, 127
[8] Ibnu Jama’ah Al-Kinaniy
As-Syafi’i, Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, cet 1, (Mesir: Maktabah
Ibnu Abbas, 2005 M), hal, 46
[9] Abd al-Badīʻ Ṣaqr, Mukhtar Al-Hasan wa As-Shohih min
Al-Hadits As-Syarif, (Maktabah Wahbah 1982 M), Hal. 381
[10] Jami’ah
Al-Wadi, Makanah Al-Ijtima’iyah lil Mu’allim wa Dauruhaa fil ‘Amaliyah
At-Tarbawiyah, Nurul Huda Al-‘Akisy, hal, 55
[11] HR. Al-Bukhari.
[12]Jamaluddin Abi
Al-Farah Ibnul Jauzi, Shifatus Shafwah, juz 1, cet 3, (Beirut: Daar
Al-Ma’rifah, 1985 M), hal, 706
[13] Ibnu Jama’ah
Al-Kinaniy As-Syafi’i, Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, cet 1, (Mesir:
Maktabah Ibnu Abbas, 2005 M), hal, 41.
[14] QS.
Al-Hujurat: 5
[15]
Hanif Dhakiri
adalah anggota DPR RI (2009), beliau seorang aktivis - politisi muda sekaligus
sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa yang mengabdi untuk partai tersebut
sejak tahun 1998. Pada April 2005, Hanif yang pernah menjabat sebagai konsultan
partai sekaligus trainer dan fasilitator dalam berbagai kegiatan politik.
Dikenal sebagai pemuda yang aktif dalam berbagai kegiatan organisasi dan
kemasyarakatan.
[17]Zakiah Daradjat
adalah ketua Majlis Ulama Indonesia dan pakar psikologi Islam. Berkarier di
Departeman Agama Indonesia selama 30 tahun sejak 1964, ia menghabiskan sisa
umurnya sebagai pendidik dan guru besar ilmu psikologi.
[19] Al-Mamlakah
Al-Maghribiyah Wizaroh At-Tarbiyah Al-Wathaniyah, Akhlaqiyaat Al-Mihnah wa
Muwashafat Al-Mudarris, hal, 2
[20] HR. Hakim:
428, Al-Hafidz Abi Abdillah Al-Hakim An-Naisamburi, Al-Mustadrak, juz 1,
cet 1, (Kairo: Daar Al-Haramain, 1997 M), hal, 201
[21] Abi Dawud
Sulaiman As-Sijsitaani, Sunan Abi Dawud, juz 1, cet 1, (Beirut: Daar
Ibnu Hazm, 1997 M), hal, 239
[22] HR. Tirmidzi:
2516, Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Surah At-Tirmidzi, Al-Jami’ AS-Shaghir,
juz 4, Syarkah Maktabah Muthaba’ah Mushthafa Al-Bani, hal, 667
[23] QS. At-Tahrim: 6. https://almanhaj.or.id/3700-pentingnya-memperhatikan-pendidikan-para-pemuda.html.
Ringkasan dari al-Khutab al-Mimbariyyah, karya Syaikh Shâlih bin Fauzân
al-Fauzân.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar