Jumat, 12 Agustus 2016

KRISIS AKHLAK MURID TERHADAP GURU





I.                   Pendahuluan
Era globalisasi mempunyai banyak pengaruh dalam pola kehidupan masyarakat, baik dari sisi ekonomi, pergaulan, hingga pendidikan. Dewasa ini anak-anak menganggap guru hanya seorang yang bekerja dan mendapat gaji, sedangkan anak didik adalah pemakai jasanya. Tidak ada hubungan lebih dalam mengenai interkasi yang mereka lakukan kecuali hanya sebagai ajang pekerjaan. Apalagi sekolah swasta, yang menggaji guru dari SPP anak didik. Hal ini menjadikan peserta didik merasa lebih berkedudukan dari pada guru, karena tanpa anak didik guru tidak akan mendapat gaji.
Maka dari sinilah tidak adanya hubungan yang harmonis antara guru dan anak didik. Sehingga salah seorang murid di salah satu SMA swasta Kota Sukabumi tega memukul gurunya. Begitu juga seorang wali murid yang menyuruh anaknya untuk membalas pukulan guru saat menegur murid tersebut.
Keadaan yang sangat miris jika dibandingkan dengan keadaan salaf yang sangat menghormati dan memuliakan guru mereka. Karena mereka beranggapan gurulah seorang yang amat berjasa, karena lewat merekalah ilmu itu dapat tersalur. Apalagi guru yang mengajarkan agama sangat tidak ada nilainya dengan gaji yang didapat atas ilmu yang tersalurkan. Karena Islam sangat menghormati sebuah ilmu. Maka dalam makalah ini penulis membahas faktor krisisnya akhlak seorang murid terhadap guru berikut solusinya.
II.                Pembahasan
a.      Definisi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “guru” adalah orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar.[1]
Sedangkan dalam Undang-undang nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini melalui jalur formal pendidikan dasar dan pendidikan menengah.[2]
Hasan Abdul Hamid Ahmad Rasywani mengatakan bahwasanya guru adalah sarana masyarakat untuk mencapai sebuah tujuan yaitu mengangkat manusia dari gelapnya kejahiliyahan kepada ilmu agama dan ma’rifah.[3]
Majdil Aziz  Ibrahim mengatakan bahwasannya guru merupakan suatu penyambung antara pendidikan dan masyarakat. Karena itu mereka mengerahkan seluruh usaha dan tenaga untuk merealisasikan sebuah pertumbuhan yang baik dan melekat padanya karekter dan cara berfikir yang benar.[4]
Dalam bahasa arab istilah guru sama halnya dengan mu’allim, mudarris, atau ustadz, yang mana secara umum mereka adalah seorang yang telah menguasai ilmu tertentu dan menyampaikan kepada muridnya. Sebagaimana guru, yang mana masyarakat umum menganggapnya sebagai seorang yang tugasnya mengajarkan atau mendidik murid dengan tujuan perubahan menuju sebuah kebaikan.
b.      Keutamaan Seorang Guru dalam Pandangan Islam
Guru adalah orang yang memiliki ilmu. Dan orang yang memiliki ilmu memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam. Jadi, memiliki ilmunya saja sudah memiliki kedudukan yang tinggi, apalagi apa yang biasa dilakukan oleh guru, yakni mengajarkannya berikut mengamalkannya. Hal itu akan lebih meninggikan kembali posisinya dalam Islam. Sebagaimana firman Allah:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[5]

إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa saja mereka telah kerjakan, dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata.”[6]
Sebagaimana juga sabda rasulullah yang menunjukkan keutamaan seorang seorang guru antara lain:
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيرٍ فَلَهُ مِثْلَ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang mengunjukkan atau mengajarkan kebaikan, pahalanya sama dengan orang yang melakukan kebaikan itu. (HR. Muslim)[7]
“Sesungguhnya Alloh, Malaikat-malaikat-Nya, penghuni langit dan penghuni bumi, hingga semut dalam lubangnya dan ikan dalam lautan, memintakan ampun para pendidik manusia kepada kebaikan “.[8]
“Sesungguhnya dari antara amal dan kebaikan seorang Mukmin yang tetap dia peroleh pahalanya, walaupun dia sudah wafat, adalah: Ilmu yang diajarkan dan disebarluaskannya; anak yang shaleh yang ditinggalkannya; atau mushaf/pegangan misalkan buku-buku/ al-qur’an/kitab-kitab yang ditinggalkannya; atau masjid yang dibangunnya; atau rumah untuk ibnus sabil yakni anak yatim piatu/panti jompo yang dibangunnya; atau saluran air yang dibuatnya; atau shadaqah yang dikeluarkannya dari harta kekayaannya pada waktu hidupnya (shadaqah jaariyah), itu semua dia akan mendapatkan pahalanya setelah dia wafat.”[9]
Sebagaimana juga yang dikatakan oleh Al-Ghazali terhadap seorang guru “Barang siapa yang mengetahui sesuatu dan mengamalkan apa yang dia ketahui maka dia akan dimendapat pengagungan di kerajaan langit. Sebagaimana juga matahari yang menyinari lainnya. Dan barang siapa yang menyibukkan diri dengan belajar maka sungguh ia telah mengerjakan sesuatu yang mulia, maka dia akan dijaga adab dan tugasnya”[10]

c.       Akhlak Ulama Salaf Terhadap Guru
Ulama salaf merupakan manusia teladan yang meneladani rasulullah telah mengajarkan kepada umat setelahnya mengenai akhlak seorang murid terhadap gurunya. Sebagaimana Sahabat Abu Sa’id Al-Khudri Radhiallahu ‘anhu berkata:
كنَّا جُلُوساً فِي المَسْجِدِ إِذ خَرَجَ رَسُولُ اللهِ فَجَلَسَ إِلَيْنَا فَكَأَنّ عَلَى رَؤُوسِنَا الطَيرُ لاَ يَتَكَلَّمْ أَحَدٌ مِنّا
“Saat kami sedang duduk-duduk di masjid, maka keluarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian duduk di hadapan kami. Maka seakan-akan di atas kepala kami terdapat burung. Tak satu pun dari kami yang berbicara”[11]
Ibnu Abbas seorang sahabat yang ‘alim, mufasir Quran umat ini, seorang dari Ahli Bait Nabi pernah menuntun tali kendaraan Zaid bin Tsabit al-Anshari radhiallahu anhu dan berkata,
هَكَذَا أَمَرنَا أَنْ نَفْعَلَ بِعُلَمَائُنَا وَكُبَرَائِنَا
Seperti inilah kami diperintahkan untuk memperlakukan para ulama kami”.[12]
Al Imam As-Syafi’i juga berkata,
كُنْتُ أَصفحُ الوَرَقَةَ بَيْنَ يَدَي مَالِكٍ صَفْحًا رَفِيقًا هِيبَةً لَه لِئَلَّا يَسْمَع وَقَعهَا
“Dulu aku membolak balikkan kertas  di depan  Malik dengan sangat lembut karena segan padanya dan supaya dia tak mendengarnya”.[13]
Abu ‘Ubaid Al Qosim bin Salam berkata, “Aku tidak pernah sekalipun mengetuk pintu rumah seorang dari guruku, karena Allah berfirman,
وَلَوْ أَنَّهُمْ صَبَرُوا حَتَّى تَخْرُجَ إِلَيْهِمْ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Kalau sekiranya mereka sabar, sampai kamu keluar menemui mereka, itu lebih baik untuknya [14]
Dan masih banyak sikap ulama terhadap muridnya. Bahkan dalam masalah yang terlihat sepele pun sangat mereka perhatikan. Sehingga hanya hubungan harmonis yang terjalin antara keduanya. Karena salah satu upaya untuk menghormati ilmu begitujuga harapan akan sebuah barakah ilmu adalah dengan menghormati seorang guru.
d.      Faktor Krisis Akhlak Seorang Murid
Menurut Hanif Dhakiri[15] bahwa banyak yang perlu diprihatinkan munculnya konflik antara guru dan murid, antara lain lemahnya penanaman nilai pendidikan karakter di sekolah. Pendidikan moral dan agama mendapatkan tempat yang tidak proporsional dan terlampau sedikit dibandingkan pelajaran lain. Ironisnya, pendidikan moral keagamaan hanya bersifat formalistik, sangat terbatas dan hanya menjejalkan pengetahuan nilai tanpa mengarah ke pembentukan karakter. Ditinjau dari segi usianya, pelajar yang sedang menempuh pendidikan di SLTP maupun SLTA memang sedang mengalami periode yang sangat potensial bermasalah. Pada fase ini, pelajar atau remaja sering digambarkan sebagai topan dan badai atau storm yang mudah tersulut emosi dan mengalami tekanan jiwa. Sehingga perilaku mereka mudah menyimpang. Dalam situasi konflik dan problem ini remaja tergolong dalam sosok pribadi yang tengah mencari identitas dan membutuhkan tempat penyaluran kreativitas. Jika tempat penyaluran tersebut tidak ada atau kurang memadai, mereka akan mencari berbagai cara sebagai penyaluran.[16]
            Faktor lain yang menyebabkan krisisnya akhlak seorang murid adalah kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh rumah tangga, sekolah maupun masyarakat. Pembinaan moral yang dilakukan oleh ketiga institusi ini tidak berjalan menurut semsetinya atau yang sebiasanya.
Zakiah Darajat[17] mangatakan, moral bukanlah suatu pelajaran yang dapat dicapai dengan mempelajari saja, tanpa membiasakan hidup bermoral dari sejak keci. Moral itu tumbuh dari tindakan kepada pengertian dan tidak sebaliknya. Seperti halnya rumah tangga, sekolahpun dapat mengambil peranan yang penting dalam pembinaan moral anak didik. Hendaknya dapat diusahakan agar sekolah menjadi lapangan baik bagi pertumuhan dan perkembangan mental dan moral anak didik.[18]
       Faktor-faktor di atas sebagian besar dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Dengan berkembang pesatnya teknologi pada zaman sekarang ini, arus informasi menjadi lebih transparan. Kemampuan masyarakat yang tidak dapat menyaring informasi ini dapat mengganggu etika dan moral remaja. Pesatnya perkembangan teknologi dapat membuat masyarakat melupakan tujuan utama manusia diciptakan, yaitu untuk beribadah.
e.      Solusi Dalam Meningkatkan Akhlak Murid Terhadap Guru
Upaya upaya yang dapat dilakukan untuk menangani konflik itu di antaranya Menghadirkan figur yang baik dan mentradisikan sikap santun, sebagai contoh dan suri tauladan bagi para remaja demi terciptanya suasana harmonis, toleran, saling menghormati dan mengasihi antar sesama. Maka saat ini sangat membutuhkan sosok sosok yang dapat dijadikan teladan, salah satunya adalah seorang guru itu sendiri. Salah satu tugas utama seorang guru adalah sebagai qudwah atau contoh bagi para muridnya. Yang mana dari sikap dan perilaku itu sendiri yang akan dijadikan hujjah oleh peserta didiknya. Pandangan murid akan terfokus pada semua perilaku guru. Maka salah satu tugas yang berat bagi seorang guru adalah sebagai contoh untuk para peserta didiknya dalam semua hal termasuk penampilan, dan juga perilaku keseharian.[19]
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّكُمْ لَا تَسَعُونَ اَلنَّاسَ بِأَمْوَالِكُمْ, وَلَكِنْ لِيَسَعْهُمْ بَسْطُ اَلْوَجْهِ, وَحُسْنُ اَلْخُلُقِ
“Sesungguhnya kalian tidak mampu menguasai manusia dengan harta kalian, tetapi mereka dapat dikuasai dengan manisnya wajah dan akhlak yang baik (husnul khuluq).”[20]
            Syaikh Sholeh Fauzan menjelaskan tanggung jawab untuk terbentuknya pemuda-pemuda tangguh dan generasi yang taat, itu merupakan kewajiban dan tugas yang besar di pundak para orang tua, agar mendidik anak-anaknya semenjak dini dengan pendidikan yang benar, yaitu pendidikan yang diajarkan oleh Islam, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkanlah anak-anak kalian agar menunaikan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun dan pukullah mereka ketika telah berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidurnya.”[21]
Hadits ini, meskipun berhubungan dengan mendidik anak dalam masalah shalat, akan tetapi, sesungguhnya mencakup pendidikan lainnya dari syariat Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda kepada Ibnu ‘Abbâs yang pada saat itu beliau masih kecil:
يَا غُلَامُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
“Wahai, anak kecil! Sesunguhnya aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat; jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu; jagalah Allah, niscaya engkau akan mendapatkan Dia selalu di hadapanmu; apabila engkau minta, mintalah kepada Allah dan apabila engkau minta pertolongan, mintalah pertolongan kepada-Nya.”[22]
Maka didiklah mereka dengan pendidikan Islam. Berilah para pemuda itu dengan pengarahan yang benar. Hendaklah orang tua menjadi teladan yang baik bagi anaknya, sehingga menjadikannya sebagai qudwah hasanah.
Oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam memegang amanah yang agung ini. jagalah anak-anak, para pemuda kita dari api neraka Jahannam.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”[23]
Dan selain qudwah dari orang lain hal penting yang juga harus diperhatikan adalah adanya usaha untuk selalu mengingatkan dan menasehati terhadap murid untuk selalu berakhlakul karimh. Karena dengan adanya nasehat dan teguran dapat menumbuhakn kesadaran pada murid tersebut.
III.             Penutup
Diantara faktor krisisnya akhlak seorang murid terhadap guru adalah kurangnya qudwah atau contoh dari pihak lain seperti guru atau orang tua, yang mana merekalah orang yang akan selalu diikuti oleh murid tersebut. Maka diantara cara merubah akhlak seorang murid adalah dengan adanya contoh perilaku itu sendiri, baik dari pihak orang tua dan guru. Selain itu mjrid juga selalu disadarkan akan pentingnya akhlak tersebut.



Referensi
Jami’ah Al-Wadi, Makanah Al-Ijtima’iyah lil Mu’allim wa Dauruhaa fil ‘Amaliyah At-Tarbawiyah, Nurul Huda Al-‘Akisy.

Al-Mamlakah Al-Maghribiyah Wizaroh At-Tarbiyah Al-Wathaniyah, Akhlaqiyaat Al-Mihnah wa Muwashafat Al-Mudarris.

Jauzi, Jamaluddin Abi Al-Farah Ibnul, Shifatus Shafwah, juz 1, cet 3, (Beirut: Daar Al-Ma’rifah, 1985 M).

Manawi, Al-Muhammad Al-Mad’u bi’adi Ar-Rauf, Faidul Qadir, Juz 6, cet 3, (Beirut: Daarul Ma’rifah, 1972 M).

Naisamburi, An- Al-Hafidz Abi Abdillah Al-Hakim, Al-Mustadrak, juz 1, cet 1, (Kairo: Daar Al-Haramain, 1997 M).

aqr, Abd al-Badīʻ, Mukhtar Al-Hasan wa As-Shohih min Al-Hadits As-Syarif, (Maktabah Wahbah 1982 M).

Sijsitaani, As- Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, juz 1, cet 1, (Beirut: Daar Ibnu Hazm, 1997 M).

Syafi’i, As- Ibnu Jama’ah Al-Kinaniy, Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, cet 1, (Mesir: Maktabah Ibnu Abbas, 2005 M).

Tirmidzi, At- Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Surah, Al-Jami’ AS-Shaghir, juz 4, Syarkah Maktabah Muthaba’ah Mushthafa Al-Bani.

UU RI Nomor 14 Tahun 2005 Bab 1 Pasal 1


                                   




[1] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet 3, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991 M), hlm.
[2] UU RI Nomor 14 Tahun 2005 Bab 1 Pasal 1
[3] Jami’ah Al-Wadi, Makanah Al-Ijtima’iyah lil Mu’allim wa Dauruhaa fil ‘Amaliyah At-Tarbawiyah, Nurul Huda Al-‘Akisy, hal, 40.
[4] Ibid.
[5] QS:Al-Mujadalah :11.
[6] Q.S:Yaasiin: 12
[7] Muhammad Al-Mad’u bi’adi Ar-Rauf Al-Manawi, Faidul Qadir, Juz 6, cet 3, (Beirut: Daarul Ma’rifah, 1972 M), hal, 127
[8] Ibnu Jama’ah Al-Kinaniy As-Syafi’i, Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, cet 1, (Mesir: Maktabah Ibnu Abbas, 2005 M), hal, 46
[9] Abd al-Badīʻ aqr, Mukhtar Al-Hasan wa As-Shohih min Al-Hadits As-Syarif, (Maktabah Wahbah 1982 M), Hal. 381
[10] Jami’ah Al-Wadi, Makanah Al-Ijtima’iyah lil Mu’allim wa Dauruhaa fil ‘Amaliyah At-Tarbawiyah, Nurul Huda Al-‘Akisy, hal, 55
[11] HR. Al-Bukhari.
[12]Jamaluddin Abi Al-Farah Ibnul Jauzi, Shifatus Shafwah, juz 1, cet 3, (Beirut: Daar Al-Ma’rifah, 1985 M), hal, 706
[13] Ibnu Jama’ah Al-Kinaniy As-Syafi’i, Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, cet 1, (Mesir: Maktabah Ibnu Abbas, 2005 M), hal, 41.
[14] QS. Al-Hujurat: 5
[15] Hanif Dhakiri adalah anggota DPR RI (2009), beliau seorang aktivis - politisi muda sekaligus sekretaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa yang mengabdi untuk partai tersebut sejak tahun 1998. Pada April 2005, Hanif yang pernah menjabat sebagai konsultan partai sekaligus trainer dan fasilitator dalam berbagai kegiatan politik. Dikenal sebagai pemuda yang aktif dalam berbagai kegiatan organisasi dan kemasyarakatan.
[17]Zakiah Daradjat adalah ketua Majlis Ulama Indonesia dan pakar psikologi Islam. Berkarier di Departeman Agama Indonesia selama 30 tahun sejak 1964, ia menghabiskan sisa umurnya sebagai pendidik dan guru besar ilmu psikologi.
[19] Al-Mamlakah Al-Maghribiyah Wizaroh At-Tarbiyah Al-Wathaniyah, Akhlaqiyaat Al-Mihnah wa Muwashafat Al-Mudarris, hal, 2
[20] HR. Hakim: 428, Al-Hafidz Abi Abdillah Al-Hakim An-Naisamburi, Al-Mustadrak, juz 1, cet 1, (Kairo: Daar Al-Haramain, 1997 M), hal, 201
[21] Abi Dawud Sulaiman As-Sijsitaani, Sunan Abi Dawud, juz 1, cet 1, (Beirut: Daar Ibnu Hazm, 1997 M), hal, 239
[22] HR. Tirmidzi: 2516, Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Surah At-Tirmidzi, Al-Jami’ AS-Shaghir, juz 4, Syarkah Maktabah Muthaba’ah Mushthafa Al-Bani, hal, 667
[23] QS. At-Tahrim: 6. https://almanhaj.or.id/3700-pentingnya-memperhatikan-pendidikan-para-pemuda.html. Ringkasan dari al-Khutab al-Mimbariyyah, karya Syaikh Shâlih bin Fauzân al-Fauzân.

Tidak ada komentar: