I.
PENDAHULUAN
Perkawinan
merupakan salah satu ibadah yang telah Allah Ta’ala anjurkan bagi hamba-Nya.
Dari perkawinan inilah Allah jadikan hubungan antara dua insan yang sebelumnya
orang lain menjadi sebuah keluarga. Dimana dari keluarga tersebut mengumpulkan
antara dua insan untuk saling bersandar
dan berkasih sayang. Namuna adanya syari’at perkawinan ini tidak hanya menjadi
ladang berkasih sayang atau saling bersandar antara keduanya, melainkan banyak
tujuan mulia dibalik itu semua. Diantaranya adalah menjaga keturunan, menjaga
kehormatan, menjaga pergaulan, menjaga pandangan, dan masih banyak tujuan lain.
Dari banyaknya tujuan mulia tersebut menjadikan semakin sempurna syari’at Islam
dengan adanya anjuran perkawinan ini.
Perkawinan
ibarat sebuah bangunan. Dimana kokoh tidaknya sebuah bangunan ditentukan oleh
pondasi yang membangun. Sama halnya dengan sebuah pernikahan juga membutuhkan
sebuah pondasi yang kuat, dimana dengan pondasi tersebut menjadikan keluarga akan
terbina dengan sejahtera. Maka unsur yang membangun pondasi dalam keluarga
harus sangat diperhtikan. Mulai dari saling memahami dan memenuhi antara hak
dan kewajiban. Keseimbangan pemahaman dan pemenuhan antara hak dan kewajiban
inilah yang menjadi unsur penting dalam menguatkan podasi keluarga.
Syari’at Islam hanya menginginkan sebuah keluarga yang kokoh, sehingga bisa
mewujudkan tujuan mulia yang telah dimaksudkan dalam syari’at. Dimana keluarga
tersebut bisa berjalan langgeng dengan adanya saling kerjasama dalam
membangunnya. Akan tetapi dalam menguatkan pondasi dalam sebuah keluarga bukanlah
hal yang mudah, karena tidak sedikit terjadi keretakan dalam keluagra itu
sendiri. Sehingga syari’at juga dilengkapi dengan adanya talak, dimana talak
ini sebagai media bagi sebuah keluagra yang ingin mengakhirinya. Talak
disebabkan kerang kuatnya pondasi yang membangun sebuah keluarga. Sehingga
tidak tercapainya tujuan dari disyari’atkannya sebuah perkawinan.
Maka sangat
dibutuhkan upaya untuk menguatkan sebuh perkawinan tersebut. Salah satu caranya
adalah diadakan sebuah perjanjian atau yang biasa disebut dengan sihgah
ta’liq dalam sebuah perkawinan, dengan tujuan menjaga kelanggengan keluarga
seperti keingingn syari’at. Seperti kebiasaan di Indonesia yang mengucapkan sighoh
ta’liq setelah mengucapkan akad dalam perkawinan. Karena dengan adanya sighah
ta’lik menjadikan saling menjaganya hak dan kewajiban antara keduanya,
teruatama bagi seorang istri yang biasa menjadi objek yang terzalimi.
Maka perlukah
mengucapkan sighah ta’lik dengan tujuan untuk melindungi seorang istri
dalam perkawinan. Dan sudah barang tentu pengucapan sighah ta’lik
berhubungan erat dengan percerian. Karena secara tidak langsung pelanggaran
terhadap sighah ta’liq yang telah diucapkan akan mengakibatkan jatuhnya
talak. Maka dalam tulisan ini penulis membahas seputar sighah ta’lik yang
diucapkan dalam perkawinan dengan tujuan melanggengkan sebuah perkawinan.
II.
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Sighoh secara etimologi merupakan bentuk masdar dari
kata صوغ صَاغَ- يَصُوغُ- yang artinya membuat, menciptakan, atau
menjadikan.
Sedangkan
secara terminologi ulama tidak memberikan pengertian secara menyeluruh tentang
pengertian sighah, apakah mencakup semua akad dalam muamalah, ibadah atau yang lainnya.
Akan tetapi ulama mengambil pengertian sighah dari sisi bahasa dan
pengertian yang diungkapkan dari sebagian ulama bahwasannya sighoh
adalah lafaz atau ungkapan yang akan diungkapkan oleh seorang mutakalim sesuai
dengan maksudnya.
Ibnu Qayyim berkata “Sesungguhnya Allah telah menciptakan lafaz bagi hamba-Nya
untuk saling mengerti dan sebagai bukti apa yang terjadi dalam hati mereka.
Apabila salah satu dari mereka menginginkan sesuatu dari orang lain, maka
mereka saling memberi tahu dengan lafaz apa yang ada di hati mereka. Dan
penetapan maksud, keinginan, dan hukum, dari lafaz yang telah diucapkan. Serta hukum
belum bisa ditetapkan apabila perbuatan hanya terjadi di dalam hati, tanpa
adanya bukti dari lafaz yang diungkapkan atau perbuatan yang dilakukan.”
Ta’liq secara etimologi merupakan bentuk masdar dari
kata عَلّقَ- يُعَلّقُ yang artinya menggantungkan
yaitu menggantungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain.
Sedangkan
secara terminologi mengikat atau menggantungkan terjadinya sesuatu dengan
adanya sesuatu yang lain. Disebut juga majas dari sumpah, kerana mengandung
sebuah persyaratan, atau sebab akibat sehingga menyeruapi sumpah.
Maka dapat diketahui
bahwasannya sighoh ta’liq adalah lafaz atau ungkapan yang diucapkan oleh
seorang mutakalim untuk mengikat sebuah perawinan dengan sesuatu yang lain.
Sama halnya di Inonesia, sighoh ta’liq diucapkan oleh suami setelah akad
nikah atas persetujuan dari kedua belah pihak. Seperti yang telah tertera dalam
UUD RI nomor 1 tahun 1974 pasal 29 yang telah mengatur tentang perjanjian dalam
perkawinan dengan tujuan untuk melindungi langgenganya pernikahan, dan
terpenuhinya hak dan kewajiban antara keduanya.
B. Dasar Hukum Ta’liq Nikah
Sebagaimana
firman Alloh Ta’ala:
وَإِنِ
امْرَأَةٌ خَافَتْ مِن بَعْلِهَا نُشُوزاً أَوْ إِعْرَاضاً فَلاَ جُنَاْحَ
عَلَيْهِمَا أَن يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحاً وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ
الأَنفُسُ الشُّحَّ وَإِن تُحْسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ اللّهَ كَانَ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيراً
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz
atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik
(bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu
bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan
sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (QS. An-nisa:
128)
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُودِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji yang mengikat” (QS. Al-Ma’dah: 1)
Hadits rasulullah yang diriwayatkan oleh Aisyah:
مَن
اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِى كِتَابِ
اللهِ , فَهَوَ بَاطِلٌ وإنْ كَانَ مِائَةَ شَرطٍ
“Barang siapa
yang memberi syarat sedang syatar tersebut tidak sesuai dengan kitab Allah maka
batal persyaratan tersebut, walaupun serataus syarat.”
C. Pembagian Ta’liq
Sebelum menuju pembagian ta’liq terlebih dahulu penulis menjelaskan
tentang pembagian dalam pengucapan talak itu sendiri. Pengucapan talak dibagi
menjadi dua:
1.
Munjazah, yaitu ucapan talak yang diucapkan tanpa disandarkan dengan sebuah syarat.
Seperti ngkapan “kamu saya talak” maka ucapan talak semacam ini langsung
berlaku pada saat itu juga.
2.
Mu’allaqoh, yaitu ucapan talak yang digantungkan dengan adanya syarat, seperti ucapan
suami “jika kamu pergi ketampat ini maka kamu saya talak” maka terjadinya talak
apabila seorang istri telah pergi ketempat tersebut.
Kemudian Sayyid Sabiq dalam kitabnya Al Fiqh As Sunnah menjelaskan
bahwa ulama membagi ta’liq nikah menurut kejadiaanya dibagi menjadi dua:
1.
Ta’liq Qasmi
Menurut syari’at qasam atau yamin adalah adalah ungkapan dari
sebuah janji dari orang yang bersumpah untuk melakukan atau meninggalkan
sesuatu.
Maka ta’liq
yang dimaksudkan adalah seperti janji, yang diucapkan untuk pengajaran atau
menakuti seorang istri. Juga mengndung pengertian anjuran melakukan dan
meninggalkan suatu perbuatan, atau sebagai penguat. Contoh ta’liq qasmi
adalah perkataan “Jika kamu keluar rumah maka kamu tertalak”, maksud dari
ucapan suami adalah melarang seorang istri untuk keluar dari rumah.
Ta’liq syarti adalah ta’liq yang dimaksudkan untuk sengaja menjatuhkan talak bila
telah terpenuhi syarat tertentu. Seperti perkataan suami terhadap istrinya “Apabila
kamu membebaskan aku dari kekurangan maharmu, maka kamu tertalak.” Maka ta’liq syarti adalah perkara yang belum ada, tetapi mungkin terjadi di kemudian
hari. Dan selama ta’liq talak tidak terpenuhi
maka talak tidak bisa jatuh kecuali apabila ada perkara lain.
D. Hukum Meyertakan Ta’liq Talak dalam Perkawinan
Ta’liq talak merupakan salah satu upaya untuk
menjaga keutuhan hak dan kewajiban dalam keluarga. Akan tetapi ulama berbeda perincian
mengenai ta’liq talak dalam sebuah perkawinan itu sendiri. Karena tidak
ada baik dari Al-Qur’an atau hadis yang menjelaskan tentang ta’liq talak
itu sendiri, sedangkan pembahsan ta’liq sangat luas. Dalam permasalahan
ini pendapat ulama terbagi menjadi tiga:
Pendapat
pertama menurut jumhur dan empat madzhab diperbolehkan mengucapkan ta’liq baik ta’liq
qasmi atau syarti. Baik hanya sebagai peringatan, pembelajaran, atau
anjuran, talak tetap jatuh.
Maka Sayid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah menyebutkan syarat sahnya ta’liq
ada tiga:
1. Perkaranya belum ada. Tetapi mungkin terjadi kemudian jika perkaranya telah
telah diucapkan, seperti perkataan “Jika terbit matahari maka kamu saya talak”.
Dan jika saat suami mengatakan talak itu matahari sudah terbit, maka termasuk
talak munjizah. Maka talak terjadi saat itu juga, walaupun ucapan itu
termasuk ta’liq.
2. Hendaknya ketika jatuhnya akad talak seorang istri masih dalam pemeliharaan
suami.
Ulama telah bersepkat terjadinya talak apabila telah terjadinya perkawinan
atau seorang istri telah berada dalam penjagaan seorang suami atau ketika masih
dalam masa talak raj’i. Bukan
terjadi pada wanita ajnabiyah.
Maka sebelum jatuhnya talak suami istri tersebut masih boleh melakukan hubungan.
3. Hendaknya ketika jatuhnya sesuatu yang dita’liq, istri dalam masa
pemeliharaan suami.
Dalil yang
digunkan untuk menguatkan pendapat mereka adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari dari Al-Jazm bertanya kepada Ibnu Umar tentang seorang laki-laki yang
mentalak bain istrinya apabila keluar rumah, maka Ibnu Umar menjawab “Apabila
istri tersebut keluar maka jatuh talak, tapi apabila istri tidak keluar maka
tidak terjadi sesuatu.” Hadits inilah yang menjadi dalil terjadinya talak
karena adanya ta’lik.
Dalil lain sebagaimana
yang diriwayatkan dari Abu Hurairah. bahwasannya rasulullah bersabda:
ثَلَاثٌ
جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالرَّجْعَةُ
“Tiga perkara yang diucakan serius menjadi serius, dan
apabila diucapkan dengan bercanda juga tetap dianggap serius adalah ucapan
nikah (akad), talak, dan ruju’”
Maka ketiga
ucapan diatas tetap dihukumi, walaupun itu hanya diucapkan dengan senda gurau
atau karena memang sengaja bersumpah.
Pendapat kedua
menurut Ibnu Hazm dan Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam kitabnya Nidham At Talak
f Al Islam mengatkan bahwa ta’liq talak tidak sah dalam sebuah
perkawinan.
Ibnu Hazm
dalam kitabnya Al Muhalla mengatakan bahwasannya “Talak yang terjadi
karena sumpah tidak sah. Karena talak tidak terjadi kecuali seperti yang telah
ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an. Bahwasannya talak hanya terjadi bila
seseorang memang berkeinginan untuk mentalak istri, maka selain alasan diatas
maka hukum talaknya batal, karena telah menyelisihi ketentuan Alloh.
Syaikh Ahmad Muhammad
Syakir dalam kitabnya Nidham At Talak fi Al Islam mengatkan bahwasannya
“Talak yang digantungkan maka tidak sah, dan tidak jatuh talaknya. Karena
talaknya tidak termasuk talak yang tidak diizinkan. Dan seorang laki-laki tidak
mempunyai hak untuk mentalak kecuali karena telah diizinkan Allah. Dan talak
yang digantungkan pada waktu yang akan datang maka lafaznya menjadi batil,
karena lafaz dalam kalimat terjadi pada saat itu juga (saat lafaz itu
diucapkan). Dan pastilah sesorang tidak dapat mengetahui apa yang terjadi pada
masa yang akan datang.
Pendapat
diatas dilemahkan karena menyelisihi jumhur ulama, salaf dan khalaf.
Kemudian pendapat
ketiga, yaitu pendapat yang merinci dari pendapat sabelumnya. Pendapat yang
dipilih Ibnu Abbas. Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim menjelaskan “Sesungguhnya
talak yang terjadi karena adanya ta’lik yang mengandung unsur sumpah tidak sah.
Dan wajib membayar kafarat apabila melanggar dari sumpahnya. Dan
kafaratnya adalah memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakian,
apabila tidak mendapati puasa tiga hari. Akan tetapi talak tetap jatuh apabila
bentuk ta’liqnya berupa syarat.
Dalil yang
digunakan pada pendapat ketiga yaitu talak syarti tetap sah, tapi talak
qasmi tidak sah adalah apabila seorang bersumpah untuk mentalak tapi
seseorang tersebut tidak ada niat untuk menjatuhkan talak. Hanya berniat untuk
menganjurkan sesuatu, melarang atau yang lainnya, maka talak bisa jatuh, sebagaimana
sabda rasulullah:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ
بِالنِّيَّةِ، وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya setiap perbuatan
itu tergantung pada niatnya, dan setiap manusia itu tergantung pada niatnya”
Dalil lain yang menguatkan
pendapat ketiga adalah ta’liq talak dengan tujuan sebuah larangan,
perintah, anjuran, atau yang lain dinamakan janji baik secara bahasa maupun
menurut kesepakatan fuqaha. Maka secra umum ta’liq
qasmi dihukumi seperti janji pada sebuah kesepakatan atau akad. Sebagaimana
sabda rasulullah:
وَعَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم
يَمِينُكَ عَلَى مَا يُصَدِّقُكَ بِهِ صَاحِبُكَ
“Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sumpahmu haruslah apa
yang dibenarkan oleh temanmu."
Sebagaimana yang telah dijelaskan
juga oleh Syaikh Islam Ibnu Taimiyah beserta muridnya Ibnul Qoyyim, secara umum
ta’liq qasmi termasuk pada janji, sebagaimana firman Alloh:
قَدْ
فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ وَاللَّهُ مَوْلَاكُمْ وَهُوَ
الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan
kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu dan Allah adalah Pelindungmu
dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Tahrim: 2)
لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ
بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَـكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ
الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا
تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ
يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا
حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ
لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar)
sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang
biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak. Barang
siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga
hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah
(dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan
kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QS. Al-Maidah: 89).
Maka apabila suami melanggar janji, wajib
baginya membayar kafarat. Dan masih banyak dalil yang digunakan ulama
untuk menguatkan pendapat mereka.
Dari ketiga pendapat diatas jumhur ulama
merajihkan pendapat yang ketiga. Dengan menggunakan penguat dari atsar dari
Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya yang lafaznya diambil
dari Nafi’ dan dari astar yang lain bahwasannya seorang suami yang berniat
mentalak istri apabila syarat itu terjadi, dan bukan karena melanggar janji.
Dalil lain yang digunakan jumhur adalah dari
ijma yang telah disebutkan As-Subki rahimahullah bahwasannya talak bisa
terjadi apabila terpenuhinya syarat tersebut, bukan yang lain.Sebagaimana yang telah difatwakan juga oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Abdur Razaq ‘Afifi, Syaikh Abdullah Hiyath, Syaikh
Abdullah bin Hamid dan Syaikh Shaleh bin Al-Haydan rahimahumullah.
E.
Urgensi
Mengucapkan Sighoh Ta’liq dalam Perkawinan di Indonesia
Diantara tujuan diadakan sighoh ta’lik adalah
untuk menjaga kelanggengan keluarga itu sendiri, dan juga sebagai bentuk
perlindungan terhadap hak dan kewajiban dari kedua belah pihak. Begitu juga
sama halnya di Indonesia, dalam UUD RI nomor 1 tahun 1974 pasal 29 yang telah
mengatur tentang perjanjian dalam perkawinan. Pengucapan perjanjian atau ta’liq
sebagai suatu janji secara tertulis yang ditandatangani dan dibacakan oleh
suami setelah selesai prosesi akad nikah. Dibacakan di depan penghulu, isteri,
orang tua atau wali, saksi-saksi dan para hadirin yang menghadiri akad
perkawinan tersebut.
Sedangkan sighah taklik menurut
Kompilasi Hukum Islam (KHI) berbunyi “ Ta’liq talak ialah perjanjian
yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam
Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu
yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang.
Adapun
diantara bunyi sighah ta’lik talak tersebut
sebagai berikut :
Sesudah akad nikah, saya (nama mempelai pria)
bin (nama ayah mempelai pria) saya berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya
akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan akan saya pergauli
istri saya bernama (nama mempelai wanita) binti (nama ayah mempelai wanita)
dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut syariat agama
Islam.
Selanjutnya saya membaca sighat
ta’lik
atas isteri saya itu sebagai berikut:
Sewaktu-waktu saya :
1.
Meninggalkan istri saya tersebut dua tahun berturut-turut.
2. Atau saya tiada memberikan nafkah wajib kepadanya tiga bulan
lamanya.
3. Atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya itu.
4. Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya itu enam
bulan lamanya,
kemudian istri
saya tidak ridho dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama, dan
pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan tersebut, dan istri saya
itu membayar uang sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadl
(pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada
pengadilan tersebut tadi kuasakan untuk menerima uang iwadl (pengganti) itu dan
kemudian menyerahkan kepada Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji Cq. Direktorat
Urusan Agama Islam untuk keperluan Ibadah Sosial.
(nama kota),
(tanggal)
Suami,
(tandatangan)
(nama jelas
mempelai
pria)
Setelah proses akad pernikahan biasanya
mempelai wanita ditanya apakah menginginkan mempelai laki-laki mengucapkan
taklik atau tidak, demikian halnya dengan mempelai laki-laki. Umunya keduanya
setuju agar taklik dibacakan dari mempelai laki-laki di hadapan istri
sebagaimana bunyi tersebut diatas dalam shigah ta’liq. Mengenai ta’lik
yang dibacakan termasuk ta’lik qasmi, karena ta’liq tersebut
mengandung unsur perjanjian, dan bukan syarat sebagaimana pendapat yang
dirajihkan menurut jumhur.
Ta’liq yang telah menjadi kebiasaan diatas tidak serta merta
menyebabkan talak apabila ada perjanjian yang dilanggar. Karena dalam
perjanjian tersebut disertkan kalimat “kemudian tidak ridho”, maka mereka masih
berhak melanjutkan pernikahan selama istri ridho dengan perlakuan suami.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwasannya jumhur tidak menetapkan jatuhnya
talak dengan adanya ta’liq qasmi, karena tidak adanya niat suami untuk
mencerai istri.
Sighah ta’liq dirumuskan sedemikian rupa untuk melindungi
istri dari sikap kesewenang-wenangan suami, jika istri tidak rela atas
perlakuan suami maka istri dapat mengajukan gugatan perceraian berdasarkan
terwujudnya syarat ta’liq talak yang disebutkan dalam sighah ta’liq.
Bentuk anjuran dari Departemen Agama
menjadikan kebiasaan membaca ta’lik dalam perkawinan, padahal sebenarnya tidak
ada keharusan didalamnya. Sebagaimana dalam dalam KHI pasal 46 nomor 3. Bagi
seorang suami yang tidak ingin mengucapkan karena dianggap tidak perlu
hendaknya tidak usah menucapkan. Karena ketentuan talak pada dasarnya kembali
pada keputusan suami itu sendiri.
III.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelsan
diatas, dapat diambil kesimpulan behwasannya anjuran Departemen Agama untuk
mengucapkan ta’lik sudah menjadi adat sehingga dianggap sebuah kewajiban. Padahal
tidak ada kewajiban bagi suami mengucapkan sighah ta’liq talak, karena
pada dasarnya jatuhnya talak tetap menjadi wewenang suami.
Ta’liq talak yang diucapkan hanyalah sebagai janji
sebagai upaya perlindungan terhadap kedua belah pihak. Dan jumhur ulama
merajihkan ta’liq yang berupa perjanjian atau ta’liq qasmi,
dengan tujuan tertentu, maka tidak menyebabkan jatuhnya talak. Tetapi apabila ada
pelanggran dari perjanjian tersebut wajib membayar kafarat yang telah
ditetapkan. Wallahu a’lam bish shawab.
Referensi
Al-Qur’anul Karim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar