Rabu, 21 Oktober 2015

HUKUM MEMBUNUH ANJING MENURUT SYARI’AT




I.              Pendahuluan

Anjing merupakan salah satu hewan yang dijadikan peliharaan oleh sebagian orang, dan sebagian lain juga menggunakan najing untuk berburu karena ada jenis anjing yang sangat buas, sebagian juga menggunakannya sebagai hewan penjaga atau hewan pelacak. Dari sisi lain anjing merupakan salah satu binatang buas yang dihukumi najis mughaladzhah oleh para ulama’, sehingga menimbulkan pengaruh negatif dalam bermu’amalah dengan anjing baik dalam memakan, memelihara, atau yang lainnya.

Karena anjing merupakan hewan yang buas, dan menganudng najis mughaladzah, apakah anjing memiliki hukum tersendiri dalam maslaha membunuhnya, atau dihukumi sama dengan hewan lain yang dilarang dibunuh.

Dalam risalah ini penulis akan mencoba menjelaskan sedikit tentang perihal pembunuhan terhadap anjing.

II.           Pembahasan

A.    Definisi

Membunuh adalah mematikan.[1] Dengan kata lain membunuh adalah sebuah perbuatan yang disengaja untuk mematikan sesuatu, baik dengan cara dipotong, dipukul, atau yang lain yang menyebabkan sesuatu tersebut mati atau hilang nyawanya.

Anjing adalah binatang yang bisa dpelihara untuk berburu, menjaga rumah, melacak rumah dan lain sebagainya.[2] Maka jenis hewan ini dibagi menjadi dua golongan, diantaranya anjing yang jinak yaitu anjing yang umumnya hanya digunakan sebagai hewan peliharaan yang tidak berbahaya, atau sudah dijinakkan. Dan jenis anjing yang buas, tetapi sudah dilatih. Hewan ini juga dipelihara untuk sebuah kebutuhan tertentu, seperti pelacak atau penjaga. Tetapi dari jenis anjing yang buas ini sebagian tidak dilatih dan tidak dipelihara, yang hidup bebas dan bisa menerkam apa saja. Tetapi telah ulama’ bersepakat akan kenajisan hewan tersebut, walaupun para ulama berbeda-beda dalam menetapkan keharamannya. Maka dalam risalah ini penulis akan memaparkan sedikit pembahasan mengenai hukum membunuh anjing dalam syari’at.


B.     Hukum seputar anjing

Agama islam adalah agama yang unifersal, yang telah mengatur semua urusan dengan prinsip yang yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan sunnah. Termasuk perihal bemu’amalah yang berhubungan dengan anjing. Anjing merupakan salah satu binatang yang najis, walaupun para ulama’  berbeda pendapat mengenai bentuk kenajisannya, sehingga apabila terkena air liur anjing harus dicuci sebanyak tujuh kali, karena air liur anjing termasuk  najis mughaladzah[3]. Maka dengan perintah mencuci sebanyak tujuh kali inilah yang menjadikan anjing termasuk najis mughaladzh.[4] Dan anjing juga termasuk hewan yang buas dan suka menerkam.

Diantara bentuk pengharamannya dalam perihal memakannya, jumhur ulama’ bersepakat tentang pengharaman memakan binatang buas yang bertaring kuat, menyerang mangsanya sebagaimana hadits yang telah diriwayatkan dari rasulullah:

عن أبي إدريس الخولاني عن أبي ثعلبة الخشني أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى عن أكل كل ذى ناب من السباع

Diriwayatkan dari Abu Idris Al-Khaulani dari Tsa’labah Al-Khusyani bahwasanya rasulullah melarang memakan binatang buas yang bertaring kuat[5]

            Rasulullah juga melarang jual beli anjing, dan menjadi jual beli yang bathil, sebagaimana hadits dari rasulullah:

عن  أبي بكر بن عبد الرحمن عن أبي مسعود الأنصاري رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم نهى عن ثمن الكلب ومهر البغى وحلوان الكاهن

Dari Abu Bakar bin Abdir Rahman dari Abi Mas’ud Al-Anshari bahwasanya rasulullah melarang hasil dari jualbeli anjing, uang bayaran pelacur, dan upah tukang adu nasib (judi).”[6]

            Larangan lain adalah memelihara anjing tanpa ada tujuannya, atau untuk selain berburu, berdasarkan sabda rasulullah:

عبد الله بن عمر يقول سمعت النبي صلى الله عليه و سلم يقول من اقنى كلبا إلا كلبا ضاربا لضيد أو كلبا ماشية فإنه ينقص من أجره كل يوم قيراطان

“Abdullah bin Umar berkata bahwasanya saya pernah mendengar rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang memelihara anjing, kecuali untuk berburu atau sebagai penjaga kebun atau ternak, maka pahalanya berkurang setiap hrinya sebesar dua qirath”.[7]


Maka dari hadits diatas dapat diambil kesimpulan yaitu memelihara anjing dengan tujuan untuk berburu dan sebagai penjaga kebun atau ternak maka diperbolekan. Mengenai keterangan diatas lalu bagaimana jika anjing dibunuh, kerena tidak semua anjing dimanfaatkan untuk berburu atau sebagai penjagakebun atau ternak.


C.    Hukum membunuh anjing

Syari’at islam adalah syari’at sebagai rahmat bagi seluruh alam, dimana Alloh memerintahkan makhluqnya untuk saling berksih sayang, saling melindungi, dan dilarang membuat kerusakan. Dilarang menimbulkan madharat dilarang juga membalas madzarat. Dilarang saling membunuh, apalagi membunuh hal yang tidak bersalah. Begitu juga Alloh telah menciptakan semua yang ada dialam semesta ini tidak ada yang sia-sia. Sama halnya denagn anjing yang dicitapkan Alloh tidak lepas dari sebuah manfaat diantaranya sebagai pelacak atau penjaga. Akan tetapi ulama’ berbeda pendapat mengenai masalah anjing, karena anjing merupakan binatang penerkam yang buas dan berbahaya. Walaupun tidak semua anjing buas menerkam, karena ada beberapa anjing yang memang sudah dilatih seperti anjing yang digunakan untuk berburu dan melacak.

Para sahabat memperbolehkan membunuh hewan yang tidak ada manfaatnya, seperti ulat, singa, kumbang, dan lain sebagainya. Begitu juga perkataan Ar-Rofi’i yang mengatakan permasalahan itu dalam bab haji, yang termasuk didalamnya anjing yang penggigit.[8] Diantara hadits rasulullah yang menyebutkan diperbolehkannya membunuh anjing penggigit antara lain:

عن عاءشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: خمس من الدواب كلهن فاسق يقتلن في الحرم الغراب و الحدأة و العقرب و الفأرة و الكلب العقور

“Diriwayatkan dari Aisyah ra bahwasanya rasulullah bersabda: Lima dari hewan tunggangan yang mereka semua adalah fasiq, maka diperbolehkan untuk dibunuh ketika iharam yaitu burung gagak, burung rajawali, kalajengking, tikus, dan anjing penggigit.”[9]

Imam Nawawi berkata fasiq secara bahasa artinya keluar, maka semua binatang diatas dinamakan fasiq karena keluar dari hukum yang berlaku pada hewan lain, yaitu haram dibunuh, kecuali binatang diatas diwajibkan untuk dibunuh.[10]

Imam Bukhari menjelaskan diperbolehkannya membunuh hewan diatas bukan hanya bagi orang yang sedang ihram saja, tetapi juga berlaku kepada yang lain.[11]

Hadits lain yang menyebutkan bolehnya membunuh anjing adalah:

قال عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قالت حفصة قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: خمس من الدواب لا حرج  على من قتلهن الغراب و الحدأة و الفأرة و العقرب و الكلب العقور

“Abdullah bin Umar ra berkata: Hafshah berkata: Rasulullah berkata: Lima binatang tunggangan yang diperbolehkan untuk dibunuh antara lain burung gagak, burung rajawali, tikus, kalajengking, dan anjing penggigit.”[12]

Dan masih banyak hadits lain yang menyebutkan diperbolehkan membunuh anjing penggingit, anjing yang menerkam binatang ternak, dan lain sebagainya yang bisa merugikan manusia. Sedangkan ada jenis anjing yang tidak merugikan manusia seperti anjing yang digunakan untuk berburu atau anjing sebagai penjaga rumah dan hewan ternak. Maka diambil dari keumuman dalil diatas selama anjing digunakan untuk berburu atau sebagai penjaga maka dilarang untuk dibunuh. Hadits yang menguatkan adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar yaitu:

عن ابن عمر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أمر بقتل الكلاب إلا كلب صيد أو كلب غنم أو ماشيه. فقيل لابن عمر: إن أبا هريره يقول: أو كلب زرع. فقال ابن عمر: إن لأبي هريرة زرعا

“Dari Ibnu Umar bahwasannya rasulullah memerintahkan untuk membunuh semua anjing, kecuali anjing untuk berburu, anjing untuk menjaga kambing, atau anjing penjaga ternak. Maka kepada Ibnu Umar bahwasanya Abu Hurairah berkata: atau anjing untuk berkebun. Maka Ibnu Umar berkata: Sesungguhnya Abu Hurairah memiliki anjing untuk berkebun.” [13]

Dari berbagai hadits diatas dapat diambil kesimpulan bahwa diperbolehkannya membunuh anjing apabila anjing tersebut anjing yang merugikan. Dari pemaparan diatas penulis mengambil tarjih dari Dr. Sholeh Fauzan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir:

أن النبي صلى الله عليه وسلم أمر بقتل الكلب ثم نهى عن قتلها وقال عليكم بالأسود البهيم ذي النقطتين فإنه شيطان

“Sesungguhnya nabi shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk membunuh anjing kemudian beliau melarang untuk membunuhnya, dan beliau berkata lagi: diperintahkan atas kalian (membunuh) anjing hitam yang memiliki dua bintik (dimata) karena itu adalah setan”

Maka perintah membunuh anjing dinaskh dengan dilarangnya membunuh anjing kecuali hanya anjing hitam karena itu adalah setan.[14] Pendapat ini disamakan dengan haramnya berburu menggunakan anjing yang berwarna hitam, karena itu adalah setan yang diperbolehkan untuk dibunuh. Sedangkan membunuh anjing yang merugikan, seperti anjing penerkam maka diperbolehkan, bahkan tidak hanya anjing, hewan yang merugikan selain anjing juga diperbolehkan untuk dibunuh. Sedangkan anjing yang dipelihara untuk sebuah kemaslahatan tidak boleh untuk dibunuh, karena bisa menimbulkan maslahat. Sedangkan anjing yang tidak berbahaya, yang hanya dipelihara dan tidak diambil manfaatnya tetap tidak boleh dibunuh, tetapi bagi orang yang memeliharanya akan terkurangi pahalanya seperti hadits yang telah disebutkan diatas.


III.        Penutup

Kesimpulan

Dari paparan diatas dapat diambil kesimpulan bahwasanya membunuh anjing diperbolehkan untuk jenis anjing berwarna hitam dan anjing penerkam, atau anjing yang bisa merugikan, maka selain anjing jenis tersebut dilarang untuk dibunuh, walaupun anjing tersebut tidak menimbulkan manfaat apa-apa. 

IV.        Refrensi

Al-Bukhari, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, Al jami’us shahih (Kairo: Al-Mathba’atus Salafiyah, juz: 2-3, cet: 1, 1980)

Al-Haishabi, Abi Fadhl ‘Iyadh bin Musa bin ‘Iyadh, Ikmalul bi fawaidi muslim mu’alim (Daarul Wafa’, juz: 5, cet:1, tt: 1998).


Al-Hanbali, Ibnu Qudamah, Al mughni (Riyadh: Daarul Alamil Kutub, juz:13, cet:1,  tt:1982)

As-Syafi’i, Al-Imam Syihabuddin bin Yusuf, At tibyaanu lima yahillu wa yahrumu minal hayawan (Beirut: Daarul Kutubil Ilmiyah, cet: 1, tt:1996)


Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, Al ath’imah wa ahkaamus shaidi wad dabaih (Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif, cet:1, tt: 1988)


Zuhaili, Wahbah, Fiqh islami wa adillatuhu (Damaskus: Daarul Fikr, juz:1, cet: 2, tt:1985)





[1] Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Moderen, Muhammad Ali (Jakarta: Pustaka Amani), hlm: 49

[2] Ibid, hlm: 16

[3] Tingkatan najis yang berat, sehingga mencucinya harus tujuh kali dan salah satunya menggunakan tanah.

[4]Fiqhlul islami wa adillatuhu, Wahbah Zuhaili (Damaskus: Daarul Fikr, juz:1, cet: 2, tt: 1985), hlm: 166

[5] HR. Bukhari: 5530

[6] HR. Bukhari: 2237

[7] HR. Bukhari: 5481

[8] At tibyaanu lima yahillu wa yahrumu minal hayawan, Al-Imam Syihabuddin bin Yusuf As-Syafi’i (Beirut: Daarul Kutubil Ilmiyah, cet: 1, tt:1996), hlm: 158

[9] HR. Bukhari: 1829

[10] Al jami’us shahih, Al-Bukhari, (Kairo: Al-Mathba’atus Salafiyah, juz: 2, cet: 1, 1980), hlm: 11

[11] Ibid.

[12]HR. Bukhari: 1828

[13] HR.Muslim: 1571

[14] Al ath’imah wa ahkaamus shaidi wad dabaih , Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan (Riyadh: Maktabah Al-Ma’arif, cet:1, tt: 1988), hlm: 177

Tidak ada komentar: