I.
Pendahuluan
Agama Islam adalah agama yang sempurna.
Didalamnya Alloh telah menurunkan sebuah syari’at yang sangat agung, yang mana
Alloh telah mengatur didalamnya semua permasalan dan hukum, dan dijelaskan dalam
sebuah nash yang telah Alloh turunkan
langsung atau penjelasan dari rasulullah. Namun sebagai seorang mukallaf terkadang
mengalami kesalahan dalam memahami makna nash tersebut. Kurangnya kemampuan
seseorang dalam memahami sebuah nash bisa berakibat fatal, karena akan mendapat
pemahaman yang tidak sesuai dengan makna sebenarnya yang terkandung dalam nash
tersebut. Kesalahan bisa juga terjadi karena memahami sebuah nash dari lafadz dzahir
nash tersebut, padahal maksud dari nash tersebut tersirat, tidak bisa langsung difamhami
secara dzahir lafadz, atau membutuhkan sebuah penelitian, maka
terjadilah kerancuan dalam memahami dan mengambil nash tersebut.
Maka sangat penting bagi seorang mukallaf
mengetahui cara yang digunakan oleh seorang mujtahid dalam mengambil dalil dari
sebuah nash, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam memaknai sebuah nash dan
bisa menggunakan nash sesuai dengan maksud syari’at yang terkandung didalam
nash tersebut.
II. Pembahasan
A.
Pengantar Qaidah
Pada dasarnya semua
qaidah ushul fiqih mencakup metode yang digunakan seorang mujtahid dalam
memperoleh istimbath hukum. Diantara qaidahnya adalah qaidah dalam pengambilan
dalil dari sebuah nash yang difahami dari segi bahasa atau lafadz yang
digunakan dalam nash tersebut, yaitu bahsa arab. Karena semua nash baik dari
Al-Qur’an atau sunnah turun dengan menggunkan bahasa arab.
Memahami nash dari segi
bahasa atau lafadz ini merupakan salah salah satu cara yang digunakan seorang
mujtahid untuk memahami sebuah nash dengan pemahaman yang benar. Maka seorang
mujtahid harus benar-benar memahani seluk beluk bahasa arab. Apakah nash tersebut
bisa dimaknai tiap kata, atau hanya bisa dipahami apabila kata itu tersusun
menjadi satu kalimat yang sempurna. Memahami juga bentuk kalimat yang
digunakan, apakah kalimat itu menunjukkan perintah, larangan, atau yang lainya.
Fuqaha’ meneliti bahwasanya ulama’ bahasa terkadang tidak memberi makna seauai
dengan lafadz yang digunakan, terkadang lafadz yang digunakan dimaknai dengan
makna yang lain.
Cara memahami dalil dari
sebuah nash baik dari Al-Qur’an atau sunnah apabila dilihat dari segi bahasa maka terlebih dahulu
dilihat dari pemahaman dzahir lafadz dalam nash tersebut, apabila belum
memahamkan maka dilihat dari susunan kalimat dalam nash, maka cara memahami nash
menggunakan metode ini seorang mujtahid harus mengetahui cara pengambilan nash
baik secara lafadz ataupun secara tersusunan dalam sebuah kalimat. Tetapi dalam
memahami dalil dari sebuah nash tidak cukup menggunakan dua cara ini, maka
ulama menyebutkan ada beberapa cara yang lain.
Maka dalam pembagian
metode pemahaman dalil ini ualama berbeda pendapat, tetapi penulis hanya menjelaskan
pendapat dari ulama Hanafiyah yang
membaginya menjadi empat cara, yaitu ibaratun nash, isyaratun nash,
dalalatun nash, dan iqtidha’un nash.
B.
Pembagian Thuruq Dalalatin Nash
Ulama’ Hanafiyah membagi
metode memahami dalil dari sebuah nash menjadi empat cara:
1.
Ibaratun nash
Ibaratun nash merupakan lafadz yang dengan sendirinya menunjukkan atas makna
sebuah nash, baik makna secara asli atau makna yang mengikuti, karena setiap
nash syar’i memiliki dua hukum tersebut. Setiap nash yang dengan sendirinya
bisa difahami langsung, maka itu merupakan hukum asli, sedangkan hukum yang
muncul atau mengikuti karena adanya hukum asli maka itu yang disebut hukum yang
mengikuti.
Nash yang bisa difahami menggunkan metode
ini sangat banyak. Semua nash dari Al-Qur’an dan sunnah menunjukkan sebuah
hukum dari lafadz yang digunakan tanpa membutuhkan penjelasan lain apabila
memang ingin memahami nash secara dzahir nash, maka yang dihasilkan
adalah hukum asli yang tertera didalam nash tersebut, dan tidak mendapatkan
penjelasan atau pemahaman lain dari nash tersebut. Akan tetapi nash yang
diturunkan tidak untuk tujuan tersebut, melainkan sebuah nash itu membutuhkan
penelitian yang bisa menghasilkan sebuah hukum syar’i yang yang menjadi tujuan
nash tersebut.
Maka apabila memahami dengan cara ini, makna dari sebuah nash langsung bisa
difahami sebelum dita’wil, karena dzahir nash sudah memahamkan. Diantara
contoh nash yang difahami menggunakan cara ini adalah:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا
طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ
تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ
تَعُولُواْ
“Dan jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana
kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi :
dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil ,
maka (kawinilah) seorang saja , atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-nisa: 3)
Dari nash diatas apabila
dilihat dari dzahir lafadz bisa diambil kesimpulan hukum sebagai
berikut:
- Boleh menikahi perepuan lebih dari satu, bisa dua, tiga, sampai
empat.
- Wajib membatasi satu istri apabila takut tidak berlaku adil
terhadap isrti yang lain.
- Diperbolehkannya menikah
Maka semua hukum diatas
merupakan kesimpulan yang diambil dari nash apabila menggunakan cara ibaratun
nash, karena makna langsung disimpulkan dari dzahir lafadz, tanpa
adanya pentakwilan. Dan hukum bolehnya menikah merupakah hukum yang mengikuti
dari adanya pembatasan dalam menikah.
Contoh lain dalam QS.
Al-Baqarah:275 yang berbunyi:
وَأَحَلَّ
اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Apabila dilihat dengan
ibaratun nash maka ayat diatas mengadung makna yaitu hukum asli yang dihasilkan
adalah perbedaan antara jual beri dengan riba, antara halal dan haram.
Sedangkan hukum yang mengikuti adalah diperbolehkannya jual beli apabila tidak
mengandung riba.
2.
Isyaratun nash
Isyaratun nash adalah lafadz yang menunjukan makna tidak secara asli dari lafadz pada
nash, atau dari hukum yang mengikuti, akan tetapi makna yang dihasilkan dari
lafadz yang tersusun menjadi sebuah kalimat, sehingga dapat menyimpan sebuah
makna yang tidak tampak pada lafadz. Maka
isyarah nash difahami setelah ada penelitian atau takwil yang menunjukkan
makna yang dimaksud didalam nash tersebut. Sehingga dalam memahami membutuhkan
penelitian yang cermat, dan kemampuan menyingkap hukum yang tidak tampak secara
dzahir, sehingga terkadang menimbulkan pemahaman yang berbeda antara
satu mujtahid dengan yang lainnya.
Contoh isyaratun nash diantaranya dalam QS Al-baqarah: 187
أُحِلَّ لَكُمْ
لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ
لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ
فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا
كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ
الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ
إِلَى الَّليْل
“Dihalalkan bagi kamu
pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu. mereka adalah
pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu
dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa
yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu
benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam.”
Nash diatas apabila disimpulkan dengan menggunakan ibaratun nash,
maka dapat menghasilkan sebuah hukum
-
Bolehnya
melakukan jima’, makan, dan minum mulai masuk waktu malam, hingga terbitnya
matahari.
Akan tetapi apabila dilihat dari isyaratun nash maka akan
menghasilkan hukum:
-
Sahnya
puasa, walaupun ketika fajar terbit masih dalam keadaan junub, karena bolehnya
jima’ hingga terbit matahari. Artinya mandi junub bisa dilakukan setelah terbit
fajar.
Maka hukum yang yang
dihasilkan dari isyaratun nash akan lebih jelas, karena isyaratun
nash menjelaskan sebuah hukum yang terkandung didalam nash tersebut, dan
tidak terlihat apabila hanya difamhami sesuai dzahir lafadz. Maka dalam
menghasilkan hukum dengan cara ini membutuhkan penelitian yang cermat, sehingga
hanya orang-orang tertentu saja yang bisa meneliti nash dengan menggunakan metode
ini.
3.
Dalalatun nash
Dalalatun nash adalah menetapkan sebuah hukum pada suatu nash dari illah
yang terkandung didalam nash tersebut, maka hukum lain yang sama illahnya seperti hukum yang didiamkan. Maka hukum lain
yang muncul karena kesamaan dalam illah, dihukumi sama. Tetapi bisa jadi
kingkatan illahnya berbeda atau lebih kuat.
Maka hukum yang dihasilkan bukan diperoleh dari ijtihad, atau qiyas,
tetapi dilihat dari susunan lafadz yang digunakan dalam nash.
Maka hukum yang timbul dari dalatun nash ini diambil dari makna yang
terkandung dalam lafadz bukan dari lafadz yang digunakan.
Jumhur ulama’
membedakan antara qiyas dengan dalalatun nash, yaitu illah
didalam dalaltun nash difahami dari segi lafadz, maka mengetahui
hukumnnya tidak membutuhkan ijtihad, atau pendapat lain, akan tetapi
diketahui dari lafadz dan makna yang terkandung didalamnya. Adapun didalam qiyas
kesimpulan hukum dihasilkan dengan adanya sebuah ijtihad, ra’yun, nash lain dari Al-Qur’an atau
sunnah, dan ijma’ dan tidak cukup apabila hanya difahami dari segi lafadznya.
Ulama berbeda
dalam memberi nama metode dalaltun nash, sebagian ulama’ ada yang menyebutnya
denagn fahwal khitob, Imam Syafi’i menyebutnya dengan qiyas
jali, sedangkan ulama’ Syafi’iyah menyebutnya dengan mafhum muwafaqoh.
Sedangkan dinamakan dengan dalalatun nash karena sebuah hukum yang
dihasilkan tidak hanya difahami dari segi lafadz saja, seperti ibaratun nash
dan isyaratun nash, akan tetapi selain difahami dari lafadznya juga
difahami dengan illahnya.
Contoh nash yang menggunakan metode ini adalah:
فَلاَ تَقُل
لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيم
“Maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia “ (QS. Al-isra’: 23)
Secara ibaratun
nash dapat difahami makna dalam nash tersebut bahwasanya dilarang
mengucapkan “ah” pada kedua rang tua. Tetapi apabila secara dalalatun nash,
illah dalam ayat diatas adalah “menyakiti orang tua” maka dari illah
tersebut akan menghasilkan sebuah hukum, dilarang mengucapakan “ah”, dilarang
juga memukul, mencela, dan semua perbuatan yang memiliki kesamaan dalat illah
yaitu “menyakiti orang tua”, walaupun illat
yang digunakan memiliki tingkatan yang lebih.
Maka hukum
dilarangnya mencela, memukul, atau perbuatan lain yang menyakiti orang tua
tidak disebutkan secara langsung didalam nash, sehingga seakan-akan seperti hukum
yang didiamkan.
4.
Iqtidha’un nash
Iqtidha’un nash adalah cara mengambil dalil dari sebuah nash, dari segi makna yang
dimaksudkan oleh nash tersebut, sehingga makna nash secara benar tidak akan
deketahui tanpa adanya penelitian, atau
perkiraan. Dan dinamalan dalaltul iqtidha’ karena nash tersebut mendorong
adanya perkiraan atau penelitian, sehingga makna yang dimaksud sesuai dengan
maksud sesungguhnya didalam nash.
Maka tercapainya tujuan dalam memaknai nash dengan benar, diteliti dengan akal
yang sehat dan perkataan yang benar terhadap nash tersebut mengenai makna yang
terkandung didalam lafadz. Maka cara ini disebut juga dengan makna muqaddar
yaitu makna yang kesimpulannya dari sebuah perkiraan, sehingga nash ini
mengandung makna yang mendorong seseorang untuk meneliti nash tersebut.
Contoh nash
yang bisa difahami dengan cara ini, antara lain:
وَاسْأَلِ
الْقَرْيَةَ
“Dan tanyalah
kepada negeri.” (QS.
Yusuf:82)
Maka jika
difahami dengan ibaratun nash akan mengandung makna, perintah
bertanya kepada negri. Maka seorang mukallaf tidak akan memahami perintah
tersebut, kerena hal itu merupakan perbuatan yang mustahil. Maka nash tersebut
mendorong adanya perkiraan dan penelitian, sehingga apabila difahami dengan iqtidha’un
nash akan bisa difahami maksud nash tersebut adalah kepada penduduk
negrinya. Maka penduduk negri yang menjadi kesimpulan itu diketahui dengan cara
perkiraan atau penelitian.
Contoh lain
dalam QS. An-nisa’: 23
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
“Diharamkan
atas kamu ibu-ibu kamu”
Maka apabila
nash tersebut difahami secara dzahir tidak memahamkan, karena pengharaman
yang terkandung didalamnya tidak dijelaskan, apakah ibu haram dimakan,
disembelih, dinikahi, atau yang lain. Sehingga nash ini mendorong seorang
mukallaf mencari makna sebenarnya yang dimaksudkan didalam nash tersebut. Maka
apabila difahami dengan iqtidh’un nash hukumnya menjadi haram bagi
kalian menikahi ibu kalian. Maka pengharaman tersebut diketahu setelah adanya
penelitian atau perkiraan.
C.
Hukum Dalalatun Nash
Hukum ibaratun nash,
isyaratun nash dan dalalatun nash adalah qath’i, karena dalam
memahami sebuah nash dilihat dari sisi lafadz yang digunakan didalam nash.
Tetapi apabila lafadz yang digunakan adalah lafadz yang mengandung makna umun,
maka hukumnya berubah menjadi dzanni, sampai ada nash lain yang
mengkususkan atau mentakwailnya.
Hukum iqtidha’un
nash berbeda dengan tiga metode diatas, walaupun hukumnya qath’i karena
pemahaman tidak tergantung dengan lafadz dalam nash tersebut. Maka metode terakhir
ini lebih lemah, karena mengandung dorongan untuk mencari makna yang dibutuhkan
dalam memahami nash, sehingga dalam menyimpulkan membutuhkan perkataan yang
benar, dan syari’at yang benar untuk sebuah kebutuhan pokok dalam memahami
hukum dalam nash tersebut.
Maka semua dalalah diatas
merupakan pembagian menuruh Hanafiyah, yang semuanya memahami hakum dari segi
lafadz yang digunakan, baik dari makna lafadz itu sendari, atau dari pemahamah
dalam memahami bahasa, atau dari pemahaman yang membutuhkan penelitian,
sehingga membutuhkan perkataan yang benar. Akan tetapi semua dalalah ini
memiliki hukum qaht’i sampai ada nash lain yang menghususkan atau
mentakwilnya.
D.
Tingkatan Thuruq Dalalatin Nash
Ulama’ Hanafiyah telah menyusun tingkatan
dalalah ini sesuai dengan kuat lemahnya nash ketika difahami. Maka ibaratun
nash lebih kuat dari isyaratun
nash, karena ibaratun nash bisa dengan lafadznya memahamkan makan
yang terkandung dalam susunan nash, sedangkan isyaratun nash tidak bisa
langsung difahami sesuai dengan dzahir lafadz.
Isyaratun nash lebih kuat dari pada
dalalatun nash, karena isyaratun nash bisa memberikan makna yang
terkandung didalam nash dengan nash tersebut, tanpa adanya wasilah lain.
Sedangkan dalatun nash dalam memperoleh hukum menggunaka wasilah illah
yang dimaksudkan syari’at didalam nash tersebut, sehingga dari illah
tersebut bisa menimbulkan hukum yang lebih kuat.
Dan dalalatun nash lebih kuat lebih
kuat dari pada iqtidha’un nash, karena iqtidha’un nash memperoleh
hukumnya dari sebuah kebutukan yang penting dalam memahami nash.
Tingkatan dalam dalalah ini tidak memberi
pengaruh dalam menetapkan sebuah hukum, akan tetapi kekuatan ini memberi
pengaruh apabila ada pertentangan hukum dalam sebuah nash yang disebabkan dua
metode yang berbeda.
Maka
untuk mempermudah pemahaman lihat contoh berikut:
Apabila
saling bertentangan antara ibaratun nash dan isyaratun nash dalam
ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى
”Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh.” (QS. Al-Baqarah:178)
Ayat
diatas menunjukkan wajibnya qisas bagi orang yang membunuh, secara ibaratun
nash, bertentangan dengan ayat:
وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً
فِيهَا
“ Barangsiapa yang
membunuh seorang mu'min dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia
di dalamnya” (QS. An-Nisa’: 93)
Ayat diatas menerangkan bahwasanya orang
yang membunuh secara sengaja akaa mendapat balasan neraka jahanam dan
kekal didalamnya, sedangkan secara isyatarun nash ayat tersebut
menerngkan bahwasanya tidak adanya qisas bagi orang yang membunuh dengan
sengaja. Maka dari pertentangngan kedua ayat diatas maka yang dipakai adalah
ayat pertama, wajibnya hukuman qisas bagi orang yang membunuh, karena ibratun
nash lebih kuat dari pada isyaratun nash.
Contoh lain dalam ayat berikut:
وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ
خَالِداً فِيهَا
“Dan barangsiapa yang
membunuh seorang mu'min dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia
di dalamnya.” (QS. An-Nisa’: 93)
Ayat diatas secara dzahir
menyebutkan orang yang membunuh dengan sengaja maka akan mendapatkan balasan
neraka jahanam dan kekal didalamnya, bertentangan dengan ayat:
وَمَن قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَئاً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ
وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ
“Barangsiapa membunuh
seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya
yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si
terbunuh itu).” (QS. An-Nisa: 92)
Ayat yang kedua difahami dengan dalalatun
nash menjelaskan bahwasanya orang yang tidak sengaja membunuh meka mandapat
kafarah membebaskan budak mukminah, dan membayar diyat kepada
keluarganya, dan illahnya adalah sengaja. Maka seakan akan kedua ayat
ini terlihat bertentangan, kerana orang yang sengaja membunuh tidak mendapat
kafarah, sedangkan orang yang tidak sengaja membunuh mendapatkan kafarah.
Tetapi dari kedua ayat diatas yang lebih kuat ayat yang pertama, karena ayat
yang pertama difahami dengan isyatarun nash, bahwasannya orang yang
sengaja membunuh lebih berat kafarahnya dari pada orang yang tidak
sengaja membunuh.
Dan masih banyak contoh
lain didalam Al-Quran. Sedangkan untuk ayat yang bertentangan hukum antara dalalatin
nash dengan iqtidha’n nash.
III.
Penutup
Kesimpulan
Cara seorang mujtahid
dalam mengambil dalil dari sebuah nash dari segi bahasa ada empat cara, yaitu: ibaratun
nash yang difahami langsung dari dzahir nash, isyaratun nash
yang difahami dari makna yang tersurat dalam nash, dalalatun nash yang
difahami dari illah yang ada dalam nash, dan iqtidha’un nash yang
difahami dengan sebuah perkiraan makna yang sesuai dengan nash.
Maka dari penjabaran
metode tersebut penulis berharap pembaca dapat memahami bagaimana metode yang
digunakan seorang mujtahid untuk mengambil sebuah dalil, sehingga tidak terjadi
salah penafsiran dalam sebuah nash yang memang belum bisa difahami.
IV.
Refrensi
Al-Qur’anul Karim
Al-Hanafi, Abdullah
bin Muhammad bin Maudud Al-Musholi, Al ihtishor lita’lilil muhtar
(Beirut: Daarul Kutubil Ilmiyah, juz 1).
Ar-Rumi, Muhammad
Zakariya, Ushul fiqih (Kairo: Daarul Tsaqofah Linasyri wa Tauzi’)
Husain, Ahmad
Furaj dan As-Sariti, Abdul Wadud Muhammad, Ushul fiqih al islami (Iskandariyah:
Haqu Sunnah As- Tsaqofahtil Jami’iyah, tt: 1990)
Syalbi, Muhammad Musthafa, Ushul fiqih
islami (Beirut: Daarul Jami’ah)
Tuwailah, Abdul
Wahab Abdus Salam, Atsarul lughah fi ikhtilaf (Daarus Salam, tt: 2000,
cet: 2)
Zuhaili, Wahbah, Ushul
fiqih al islami (Daarul Fikri, tt: 1986, cer: 1)
Zuhaili, Wahbah, Al
wajiz fi ushul fiqh (Damaskus: Daarul Fikri, tt:1999, cet: 1)
Ushul
fiqih al islami, Ahmad Furaj Husain dan Abdul Wadud Muhammad As-Sariti (Iskandariyah:
Haqu Sunnah As- Tsaqofahtil Jami’iyah, tt: 1990), hlm: 338
Tidak ada komentar:
Posting Komentar