Rabu, 21 Oktober 2015

QAIDAH: THURUQU DILALATIN NASH




I.     Pendahuluan


     Agama Islam adalah agama yang sempurna. Didalamnya Alloh telah menurunkan sebuah syari’at yang sangat agung, yang mana Alloh telah mengatur didalamnya semua permasalan dan hukum, dan dijelaskan dalam sebuah  nash yang telah Alloh turunkan langsung atau penjelasan dari rasulullah. Namun sebagai seorang mukallaf terkadang mengalami kesalahan dalam memahami makna nash tersebut. Kurangnya kemampuan seseorang dalam memahami sebuah nash bisa berakibat fatal, karena akan mendapat pemahaman yang tidak sesuai dengan makna sebenarnya yang terkandung dalam nash tersebut. Kesalahan bisa juga terjadi karena memahami sebuah nash dari lafadz dzahir nash tersebut, padahal maksud dari nash tersebut tersirat, tidak bisa langsung difamhami secara dzahir lafadz, atau membutuhkan sebuah penelitian, maka terjadilah kerancuan dalam memahami dan mengambil nash tersebut.

     Maka sangat penting bagi seorang mukallaf mengetahui cara yang digunakan oleh seorang mujtahid dalam mengambil dalil dari sebuah nash, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam memaknai sebuah nash dan bisa menggunakan nash sesuai dengan maksud syari’at yang terkandung didalam nash tersebut.


II.  Pembahasan


A.    Pengantar Qaidah

     Pada dasarnya semua qaidah ushul fiqih mencakup metode yang digunakan seorang mujtahid dalam memperoleh istimbath hukum. Diantara qaidahnya adalah qaidah dalam pengambilan dalil dari sebuah nash yang difahami dari segi bahasa atau lafadz yang digunakan dalam nash tersebut, yaitu bahsa arab. Karena semua nash baik dari Al-Qur’an atau sunnah turun dengan menggunkan bahasa arab.

     Memahami nash dari segi bahasa atau lafadz ini merupakan salah salah satu cara yang digunakan seorang mujtahid untuk memahami sebuah nash dengan pemahaman yang benar. Maka seorang mujtahid harus benar-benar memahani seluk beluk bahasa arab. Apakah nash tersebut bisa dimaknai tiap kata, atau hanya bisa dipahami apabila kata itu tersusun menjadi satu kalimat yang sempurna. Memahami juga bentuk kalimat yang digunakan, apakah kalimat itu menunjukkan perintah, larangan, atau yang lainya. Fuqaha’ meneliti bahwasanya ulama’ bahasa terkadang tidak memberi makna seauai dengan lafadz yang digunakan, terkadang lafadz yang digunakan dimaknai dengan makna yang lain.[1]

     Cara memahami dalil dari sebuah nash baik dari Al-Qur’an atau sunnah apabila  dilihat dari segi bahasa maka terlebih dahulu dilihat dari pemahaman dzahir lafadz dalam nash tersebut, apabila belum memahamkan maka dilihat dari susunan kalimat dalam nash, maka cara memahami nash menggunakan metode ini seorang mujtahid harus mengetahui cara pengambilan nash baik secara lafadz ataupun secara tersusunan dalam sebuah kalimat. Tetapi dalam memahami dalil dari sebuah nash tidak cukup menggunakan dua cara ini, maka ulama menyebutkan ada beberapa cara yang lain.[2]  

     Maka dalam pembagian metode pemahaman dalil ini ualama berbeda pendapat, tetapi penulis hanya menjelaskan pendapat dari ulama  Hanafiyah yang membaginya menjadi empat cara, yaitu ibaratun nash, isyaratun nash, dalalatun nash, dan iqtidha’un nash.


B.     Pembagian Thuruq Dalalatin Nash

     Ulama’ Hanafiyah membagi metode memahami dalil dari sebuah nash menjadi empat cara:

1.    Ibaratun nash

     Ibaratun nash merupakan lafadz yang dengan sendirinya menunjukkan atas makna sebuah nash, baik makna secara asli atau makna yang mengikuti, karena setiap nash syar’i memiliki dua hukum tersebut. Setiap nash yang dengan sendirinya bisa difahami langsung, maka itu merupakan hukum asli, sedangkan hukum yang muncul atau mengikuti karena adanya hukum asli maka itu yang disebut hukum yang mengikuti.[3]

     Nash yang bisa difahami menggunkan metode ini sangat banyak. Semua nash dari Al-Qur’an dan sunnah menunjukkan sebuah hukum dari lafadz yang digunakan tanpa membutuhkan penjelasan lain apabila memang ingin memahami nash secara dzahir nash, maka yang dihasilkan adalah hukum asli yang tertera didalam nash tersebut, dan tidak mendapatkan penjelasan atau pemahaman lain dari nash tersebut. Akan tetapi nash yang diturunkan tidak untuk tujuan tersebut, melainkan sebuah nash itu membutuhkan penelitian yang bisa menghasilkan sebuah hukum syar’i yang yang menjadi tujuan nash tersebut.[4] Maka apabila memahami dengan cara ini, makna dari sebuah nash langsung bisa difahami sebelum dita’wil, karena dzahir nash sudah memahamkan.[5] Diantara contoh nash yang difahami menggunakan cara ini adalah:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ

     “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil , maka (kawinilah) seorang saja , atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-nisa: 3)

     Dari nash diatas apabila dilihat dari dzahir lafadz bisa diambil kesimpulan hukum sebagai berikut:

- Boleh menikahi perepuan lebih dari satu, bisa dua, tiga, sampai empat.

- Wajib membatasi satu istri apabila takut tidak berlaku adil terhadap isrti yang lain.

- Diperbolehkannya menikah

     Maka semua hukum diatas merupakan kesimpulan yang diambil dari nash apabila menggunakan cara ibaratun nash, karena makna langsung disimpulkan dari dzahir lafadz, tanpa adanya pentakwilan. Dan hukum bolehnya menikah merupakah hukum yang mengikuti dari adanya pembatasan dalam menikah.

     Contoh lain dalam QS. Al-Baqarah:275 yang berbunyi:

وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”

     Apabila dilihat dengan ibaratun nash maka ayat diatas mengadung makna yaitu hukum asli yang dihasilkan adalah perbedaan antara jual beri dengan riba, antara halal dan haram. Sedangkan hukum yang mengikuti adalah diperbolehkannya jual beli apabila tidak mengandung riba.

2.    Isyaratun nash

     Isyaratun nash adalah lafadz yang menunjukan makna tidak secara asli dari lafadz pada nash, atau dari hukum yang mengikuti, akan tetapi makna yang dihasilkan dari lafadz yang tersusun menjadi sebuah kalimat, sehingga dapat menyimpan sebuah makna yang tidak tampak pada lafadz.[6] Maka isyarah nash difahami setelah ada penelitian atau takwil yang menunjukkan makna yang dimaksud didalam nash tersebut. Sehingga dalam memahami membutuhkan penelitian yang cermat, dan kemampuan menyingkap hukum yang tidak tampak secara dzahir, sehingga terkadang menimbulkan pemahaman yang berbeda antara satu mujtahid dengan yang lainnya.

Contoh isyaratun nash diantaranya dalam QS Al-baqarah: 187

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْل

     “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu. mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.”

Nash diatas apabila disimpulkan dengan menggunakan ibaratun nash, maka dapat menghasilkan sebuah hukum

-          Bolehnya melakukan jima’, makan, dan minum mulai masuk waktu malam, hingga terbitnya matahari.

Akan tetapi apabila dilihat dari isyaratun nash maka akan menghasilkan hukum:

-          Sahnya puasa, walaupun ketika fajar terbit masih dalam keadaan junub, karena bolehnya jima’ hingga terbit matahari. Artinya mandi junub bisa dilakukan setelah terbit fajar.

     Maka hukum yang yang dihasilkan dari isyaratun nash akan lebih jelas, karena isyaratun nash menjelaskan sebuah hukum yang terkandung didalam nash tersebut, dan tidak terlihat apabila hanya difamhami sesuai dzahir lafadz. Maka dalam menghasilkan hukum dengan cara ini membutuhkan penelitian yang cermat, sehingga hanya orang-orang tertentu saja yang bisa meneliti nash dengan menggunakan metode ini.

3.    Dalalatun nash

Dalalatun nash adalah menetapkan sebuah hukum pada suatu nash dari illah yang terkandung didalam nash tersebut, maka hukum lain yang sama illahnya  seperti hukum yang didiamkan. Maka hukum lain yang muncul karena kesamaan dalam illah, dihukumi sama. Tetapi bisa jadi kingkatan illahnya berbeda atau lebih kuat.[7] Maka hukum yang dihasilkan bukan diperoleh dari ijtihad, atau qiyas, tetapi dilihat dari susunan lafadz yang digunakan dalam nash.[8] Maka hukum yang timbul dari dalatun nash ini diambil dari makna yang terkandung dalam lafadz bukan dari lafadz yang digunakan.[9]

Jumhur ulama’ membedakan antara qiyas dengan dalalatun nash, yaitu illah didalam dalaltun nash difahami dari segi lafadz, maka mengetahui hukumnnya tidak membutuhkan ijtihad, atau pendapat lain, akan tetapi diketahui dari lafadz dan makna yang terkandung didalamnya. Adapun didalam qiyas kesimpulan hukum dihasilkan dengan adanya sebuah ijtihad,  ra’yun, nash lain dari Al-Qur’an atau sunnah, dan ijma’ dan tidak cukup apabila hanya difahami dari segi lafadznya.[10]

Ulama berbeda dalam memberi nama metode dalaltun nash, sebagian ulama’ ada yang menyebutnya denagn fahwal khitob, Imam Syafi’i menyebutnya dengan qiyas jali, sedangkan ulama’ Syafi’iyah menyebutnya dengan mafhum muwafaqoh. Sedangkan dinamakan dengan dalalatun nash karena sebuah hukum yang dihasilkan tidak hanya difahami dari segi lafadz saja, seperti ibaratun nash dan isyaratun nash, akan tetapi selain difahami dari lafadznya juga difahami dengan illahnya.[11]

Contoh nash yang menggunakan metode ini adalah:

فَلاَ تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيم

     “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia “ (QS. Al-isra’: 23)

Secara ibaratun nash dapat difahami makna dalam nash tersebut bahwasanya dilarang mengucapkan “ah” pada kedua rang tua. Tetapi apabila secara dalalatun nash, illah dalam ayat diatas adalah “menyakiti orang tua” maka dari illah tersebut akan menghasilkan sebuah hukum, dilarang mengucapakan “ah”, dilarang juga memukul, mencela, dan semua perbuatan yang memiliki kesamaan dalat illah yaitu  “menyakiti orang tua”, walaupun illat yang digunakan memiliki tingkatan yang lebih.

Maka hukum dilarangnya mencela, memukul, atau perbuatan lain yang menyakiti orang tua tidak disebutkan secara langsung didalam nash, sehingga seakan-akan seperti hukum yang didiamkan.

4.    Iqtidha’un nash

Iqtidha’un nash adalah cara mengambil dalil dari sebuah nash, dari segi makna yang dimaksudkan oleh nash tersebut, sehingga makna nash secara benar tidak akan deketahui tanpa  adanya penelitian, atau perkiraan. Dan dinamalan dalaltul iqtidha’ karena nash tersebut mendorong adanya perkiraan atau penelitian, sehingga makna yang dimaksud sesuai dengan maksud sesungguhnya didalam nash.[12] Maka tercapainya tujuan dalam memaknai nash dengan benar, diteliti dengan akal yang sehat dan perkataan yang benar terhadap nash tersebut mengenai makna yang terkandung didalam lafadz. Maka cara ini disebut juga dengan makna muqaddar yaitu makna yang kesimpulannya dari sebuah perkiraan, sehingga nash ini mengandung makna yang mendorong seseorang untuk meneliti nash tersebut.[13]


Contoh nash yang bisa difahami dengan cara ini, antara lain:

وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ

“Dan tanyalah kepada negeri.” (QS. Yusuf:82)

Maka jika difahami dengan ibaratun nash akan mengandung makna, perintah bertanya kepada negri. Maka seorang mukallaf tidak akan memahami perintah tersebut, kerena hal itu merupakan perbuatan yang mustahil. Maka nash tersebut mendorong adanya perkiraan dan penelitian, sehingga apabila difahami dengan iqtidha’un nash akan bisa difahami maksud nash tersebut adalah kepada penduduk negrinya. Maka penduduk negri yang menjadi kesimpulan itu diketahui dengan cara perkiraan atau penelitian.

Contoh lain dalam QS. An-nisa’: 23

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ

“Diharamkan atas kamu ibu-ibu kamu”

Maka apabila nash tersebut difahami secara dzahir tidak memahamkan, karena pengharaman yang terkandung didalamnya tidak dijelaskan, apakah ibu haram dimakan, disembelih, dinikahi, atau yang lain. Sehingga nash ini mendorong seorang mukallaf mencari makna sebenarnya yang dimaksudkan didalam nash tersebut. Maka apabila difahami dengan iqtidh’un nash hukumnya menjadi haram bagi kalian menikahi ibu kalian. Maka pengharaman tersebut diketahu setelah adanya penelitian atau perkiraan.

C.    Hukum Dalalatun Nash

     Hukum ibaratun nash, isyaratun nash dan dalalatun nash adalah qath’i, karena dalam memahami sebuah nash dilihat dari sisi lafadz yang digunakan didalam nash. Tetapi apabila lafadz yang digunakan adalah lafadz yang mengandung makna umun, maka hukumnya berubah menjadi dzanni, sampai ada nash lain yang mengkususkan atau mentakwailnya.

     Hukum iqtidha’un nash berbeda dengan tiga metode diatas, walaupun hukumnya qath’i karena pemahaman tidak tergantung dengan lafadz dalam nash tersebut. Maka metode terakhir ini lebih lemah, karena mengandung dorongan untuk mencari makna yang dibutuhkan dalam memahami nash, sehingga dalam menyimpulkan membutuhkan perkataan yang benar, dan syari’at yang benar untuk sebuah kebutuhan pokok dalam memahami hukum dalam nash tersebut.[14]

     Maka semua dalalah diatas merupakan pembagian menuruh Hanafiyah, yang semuanya memahami hakum dari segi lafadz yang digunakan, baik dari makna lafadz itu sendari, atau dari pemahamah dalam memahami bahasa, atau dari pemahaman yang membutuhkan penelitian, sehingga membutuhkan perkataan yang benar. Akan tetapi semua dalalah ini memiliki hukum qaht’i sampai ada nash lain yang menghususkan atau mentakwilnya.[15]


D.    Tingkatan Thuruq Dalalatin Nash

     Ulama’ Hanafiyah telah menyusun tingkatan dalalah ini sesuai dengan kuat lemahnya nash ketika difahami. Maka ibaratun nash lebih kuat dari  isyaratun nash, karena ibaratun nash bisa dengan lafadznya memahamkan makan yang terkandung dalam susunan nash, sedangkan isyaratun nash tidak bisa langsung difahami sesuai dengan dzahir lafadz.

     Isyaratun nash lebih kuat dari pada dalalatun nash, karena isyaratun nash bisa memberikan makna yang terkandung didalam nash dengan nash tersebut, tanpa adanya wasilah lain. Sedangkan dalatun nash dalam memperoleh hukum menggunaka wasilah illah yang dimaksudkan syari’at didalam nash tersebut, sehingga dari illah tersebut bisa menimbulkan hukum yang lebih kuat.

     Dan dalalatun nash lebih kuat lebih kuat dari pada iqtidha’un nash, karena iqtidha’un nash memperoleh hukumnya dari sebuah kebutukan yang penting dalam memahami nash.

     Tingkatan dalam dalalah ini tidak memberi pengaruh dalam menetapkan sebuah hukum, akan tetapi kekuatan ini memberi pengaruh apabila ada pertentangan hukum dalam sebuah nash yang disebabkan dua metode yang berbeda.[16]

Maka untuk mempermudah pemahaman lihat contoh berikut:

Apabila saling bertentangan antara ibaratun nash dan isyaratun nash dalam ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى

     ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS. Al-Baqarah:178)

Ayat diatas menunjukkan wajibnya qisas bagi orang yang membunuh, secara ibaratun nash, bertentangan dengan ayat:

وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا

     “ Barangsiapa yang membunuh seorang mu'min dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya” (QS. An-Nisa’: 93)

     Ayat diatas menerangkan bahwasanya orang yang membunuh secara sengaja akaa mendapat balasan neraka jahanam dan kekal didalamnya, sedangkan secara isyatarun nash ayat tersebut menerngkan bahwasanya tidak adanya qisas bagi orang yang membunuh dengan sengaja. Maka dari pertentangngan kedua ayat diatas maka yang dipakai adalah ayat pertama, wajibnya hukuman qisas bagi orang yang membunuh, karena ibratun nash lebih kuat dari pada isyaratun nash.

     Contoh lain dalam ayat berikut:

وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا

     “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu'min dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya.” (QS. An-Nisa’: 93)

     Ayat diatas secara dzahir menyebutkan orang yang membunuh dengan sengaja maka akan mendapatkan balasan neraka jahanam dan kekal didalamnya, bertentangan dengan ayat:

وَمَن قَتَلَ مُؤْمِناً خَطَئاً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ

     “Barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu).” (QS. An-Nisa: 92)

     Ayat yang kedua difahami dengan dalalatun nash menjelaskan bahwasanya orang yang tidak sengaja membunuh meka mandapat kafarah membebaskan budak mukminah, dan membayar diyat kepada keluarganya, dan illahnya adalah sengaja. Maka seakan akan kedua ayat ini terlihat bertentangan, kerana orang yang sengaja membunuh tidak mendapat kafarah, sedangkan orang yang tidak sengaja membunuh mendapatkan kafarah. Tetapi dari kedua ayat diatas yang lebih kuat ayat yang pertama, karena ayat yang pertama difahami dengan isyatarun nash, bahwasannya orang yang sengaja membunuh lebih berat kafarahnya dari pada orang yang tidak sengaja membunuh.

            Dan masih banyak contoh lain didalam Al-Quran. Sedangkan untuk ayat yang bertentangan hukum antara dalalatin nash dengan iqtidha’n nash.[17]



III.        Penutup

Kesimpulan

     Cara seorang mujtahid dalam mengambil dalil dari sebuah nash dari segi bahasa ada empat cara, yaitu: ibaratun nash yang difahami langsung dari dzahir nash, isyaratun nash yang difahami dari makna yang tersurat dalam nash, dalalatun nash yang difahami dari illah yang ada dalam nash, dan iqtidha’un nash yang difahami dengan sebuah perkiraan makna yang sesuai dengan nash.

     Maka dari penjabaran metode tersebut penulis berharap pembaca dapat memahami bagaimana metode yang digunakan seorang mujtahid untuk mengambil sebuah dalil, sehingga tidak terjadi salah penafsiran dalam sebuah nash yang memang belum bisa difahami.


IV.        Refrensi

   Al-Qur’anul Karim

            Al-Hanafi, Abdullah bin Muhammad bin Maudud Al-Musholi, Al ihtishor lita’lilil muhtar (Beirut: Daarul Kutubil Ilmiyah, juz 1).

            Ar-Rumi, Muhammad Zakariya, Ushul fiqih (Kairo: Daarul Tsaqofah Linasyri wa Tauzi’)

            Husain, Ahmad Furaj dan As-Sariti, Abdul Wadud Muhammad, Ushul fiqih al islami (Iskandariyah: Haqu Sunnah As- Tsaqofahtil Jami’iyah, tt: 1990)

            Syalbi, Muhammad Musthafa, Ushul fiqih islami (Beirut: Daarul Jami’ah)

            Tuwailah, Abdul Wahab Abdus Salam, Atsarul lughah fi ikhtilaf (Daarus Salam, tt: 2000, cet: 2)

            Zuhaili, Wahbah, Ushul fiqih al islami (Daarul Fikri, tt: 1986, cer: 1)

            Zuhaili, Wahbah, Al wajiz fi ushul fiqh (Damaskus: Daarul Fikri, tt:1999, cet: 1)



[1] Ushul fiqih al islami, Wahbah Zuhaili (Daarul Fikri, tt: 1986, cet: 1), hlm: 198

[2] Ushul fiqih islami, Muhammad Musthafa Syalbi (Beirut: Daarul Jami’ah), hlm: 487

[3] Alwajiz fi ushul fiqh, Wahbah Zuhaili (Damaskus: Daarul Fikri, tt: 1999, cet: 1), hlm: 164

[4] Ushul fiqih islami, Muhammad Musthafa Syalbi (Beirut: Daarul Jami’ah), hlm: 489

[5]Ushul fiqih al islami, Ahmad Furaj Husain dan Abdul Wadud Muhammad As-Sariti (Iskandariyah: Haqu Sunnah As- Tsaqofahtil Jami’iyah, tt: 1990), hlm: 338

[6] Ushul fiqih islami, Muhammad Musthafa Syalbi (Beirut: Daarul Jami’ah), hlm: 491

[7] Ushul fiqih, Muhammad Zakariya Ar-Rumi (Kairo: Daarul Tsaqofah Linasyri wa Tauzi’), hlm: 371

[8] Alwajiz fi ushul fiqh, Wahbah Zuhaili (Damaskus: Daarul Fikri, tt: 1999, cet: 1), hlm: 167

[9] Ushul fiqih islami, Muhammad Musthafa Syalbi (Beirut: Daarul Jami’ah), hlm: 486

[10] Ushul fiqih, Muhammad Zakariya Ar-Rumi (Kairo: Daarul Tsaqofah Linasyri wa Tauzi’), hlm: 372

[11] Alwajiz fi ushul fiqh, Wahbah Zuhaili (Damaskus: Daarul Fikri, tt: 1999, cet: 1), hlm: 167

[12] Ibid, hlm:196

[13] Ushul fiqih al islami, Ahmad Furaj Husain dan Abdul Wadud Muhammad As-Sariti (Iskandariyah: Haqu Sunnah As- Tsaqofahtil Jami’iyah, tt: 1990), hlm: 344

[14] Ushul fiqih islami, Muhammad Musthafa Syalbi (Beirut: Daarul Jami’ah), hlm: 498

[15] Ushul fiqh al islami, Ahmad Furaj Husain, dan Abdul Wadud Muhammad As-Sariti (Iskandariyah: Haqu Sunnah As- Tsaqofatil Jami’iyah, tt:1990), hlm: 346

[16]Ushul fiqih islami, Muhammad Musthafa Syalbi (Beirut: Daarul Jami’ah), hlm: 500

[17] Alwajiz fi ushul fiqh, Wahbah Zuhaili (Damaskus: Daarul Fikri, tt: 1999, cet: 1), hlm: 170

Tidak ada komentar: