Setiap mukallaf sudah barang tentu terbebani dengan
kewajiban-kewajiban yang telah Alloh atur dengan sedemikian rupa. Selain Alloh
memberi pahala disetiap kewajiban yang dilakukan seorang mukallaf, Alloh juga
menilai dari apa yang diniatkan seorang mukallaf tersebut. Maka amalan yang dilakukan
seorang mukallaf tidak akan terlepas dari sebuah niat, karena niat merupakan
pondasi utama yang membangun sebuah amalan tersebut. Karena bisa jadi sebuah
amalan wajib tidak mengandung pahala apapun kerena tidak adanya niat yang
benar. Jika niat lurus dalam beramal maka akan lurus juga amalan tersebuat dan
begitu sebaliknya, bila niatnya buruk amalan akan mengikutinya. Niat adalah
sebuah amalan yang dilakukan setiap sebelum melakukan setiap amal perbuatan,
baik itu yang berupa ibadah ataupun muamalah. Karena dengan niat itulah sebuah
amalan menjadi bernilai, dan berbuah pahala.
Niat secara bahasa berasal dari kata nawa yanwi nawan niyatan,
yang artinya maksud atau tujuan terhadap sesuatu. Sedangkan secara istilah niat
mengandung dua makna, yaitu secara umum dan khusus. Secara umum niat adalah
kecondongan hati untuk melakukan sesuatu yang diinginkan, baik untuk
mendatangkan sebuah maslahat atau mencegah madharat. Sedangkan
secara khusus niat adalah melakukan sesuatu dengan tujuan melakukan ketaatan
dan taqarub kepada Alloh, dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya.
(Al wajiz fi idzahi qawaidil fiqhil kulliyah, Muhammad Shidqiy 48).
Al Mawardi juga memberikan pengertian bahwa niat adalah keinginan
untuk melakukan sesuatu, dan diiringi dengan perbuatan yang dimaksudkan
tersebut.(Kitabul qawaid, Taqiyuddin Al Hishni,
1/208).
Ibnu Qayyim
menjelaskan niat adalah pokok dan tiangnya suatu perkara, asas dan akar yang
membangun sebuah perkara, karena niat adalah ruh, panglima, pengemudi sebuah
amalan, dan setiap amalan pasti akan mengikutinya, yang terbangun diatasnya,
dan akan benar bila niatnya juga benar, salah jika niatnya salah. Dengan niat
juga dapat mendatangkan taufiq, dan tanpanya manusia bisa tersesat, dengannya
juga yang membedakan derajat seorang hamba didunia maupun diakhirat. (Qawaid
fiqhiyah min a’lamin muwaqi’in, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, hal:220).
Berkenaan
dengan pentingnya niat dalam sebuah amalan telah disebutkan dalam hadist
rasulullah yang diriwayatkan dari Umar bin Khatab, bahwasanya beliau pernah
mendengar rasulullah saw bersabda:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ
امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ
فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا
يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan
dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena
(ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada
(keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena menginginkan
kehidupan yang layak di dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka
hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.(HR Bukhari no:1)
Dari hadits
ini, maka terbangunlah qaidah kubara yang menunjukkan pentingnya niat dalam
setiap beramal, yaitu al umuuru bi maqasidiha “setiap perkara yang
dilakukan seorang mukallaf itu tergantung dari apa yang diniatkan”. Maka yang
dinilai dari sebuah amalan adalah dari niat yang mengiringi amalan tersebut.
Niat tidak
hanya disertakan pada amalan yang derupa ibadah, tetapi niat masuk juga pada
semua perkara yang mubah, seperti makan, minum, jual beli, dan perkara mubah
lainnya. Semua amalan tersebut bisa bernilai ibadah jika disertai dengan niat
ibadah, dan menjadi amalan biasa yang tidak mengandung pahala apabila tidak ada
niat ibadah yang mengiringinya.
Niat menjadi pembeda setiap
amalan
Niat
merupakan pondasi sebuah amalan, maka hasil dari amalan tersebuat akan
tergantung dari pondasi yang membangunnya. Begitu juga niat menjadi tolak ukur
setiap amalan yang dilakukan seoramg mukallaf. Sebuah amalan mubah menjadi
bernilai pahala apabila disertakan niat ibadah didalamnya, sama halnya dengan
amalan mubah yang dilakukan tanpa disertai niat ibadah tidak ada nilai lebih
kecuali hanya hasil dari amalan tersebut.
Contoh
seperti seseorang yang makan dengan disertai niat ibadah maka aktifitas makannya
bernilai pahala, selain orang itu mendapatkan rasa kenyang dari apa yang dimakan
tersebut. Berbeda halnya dengan seseorang yang makan tanpa disertai niat
ibadah, maka tidak ada yang dia dapatkan kecuali hanya rasa kenyang.
Maka dapat
diambil kesimpulan bahwa setiap amalan yang sifatnya mubah apabila diniatkan
untuk sebuah ibadah, atau taqarub maka amalan itu akan bernilai pahala, seperti
makan, tidur, mencari nafkah, begitu juga memberi nafkah batin kepada istri
diniatkan untuk menghidupkan sunnah, atau berniat untuk menghasilkan keturunan
yang baik, dan amalan mubah lainnya. (Asybah wan nadhair fi qawaid wa furu’
fiqih Syafi’i, Imam Suyuti, 10).
Niat juga
sebagai pembeda antara satu ibadah dengan ibadah yang lain, maka hanya niat
yang dapat membedakan antara beberapa amal ibadah yang memiliki kesamaan.
Seperti seorang yang sedang sholat dua rakaat dimasjid ketika waktu fajar, maka
orang lain yang melihat tidak akan tahu sholat apa yang dilakukan seorang mukallaf
tersebut, apakah sholat fajr, sholat tahiyatul masjid ataupun sholat subuh.
Secara dzohir semua ibadah ini sama, yaitu dua rakaat, maka hanya niat yang
bisa membedakan antara satu ibadah dengan lainnya. Dengan begitu Alloh juga
memberi pahala yang berbeda dari setiap amalan yang dilakukan seorang mukallaf
tersebut.
Ibnul Qayyim
mengatakan: niat sangatlah mempengaruhi sah atau tidaknya ibadah, maka niat
sangat butuh untuk ditunaikan, karena semua bentuk ibadah terbagun atas
niatnya, dan sebuah amalan yang berupa ibadah tidak bernilai kecuali dengan
niat dan tujuan. (Qawaid fiqhiyah min i’lamil muwaqi’in, Ibnul Qayyim Al
Jauziyah, 225).
Apakah niat harus
dilafadzkan?
Niat merupakan salah satu ibadah yang disyari’atkan,
dilakukan sebelum memulai sebuah amalan, baik ibadah ataupun yang lainnya. Ulama
Syafi’iyah berpendapat behwasanya melafadzkan niat hukumnya adalah sunnah,
karena pada dasarnya niat terletak didalam hati, dan tidak tergantung dengan
lisan. Maka fungsi melafadzkan niat disini adalah agar lisan dapat membantu
hati dalam menghadirkan niat, menghindari perasaan was-was saat melakukan
amalan tersebut.
Keluar
dari permaslahan ini dimana antara niat dan amalan tidak sejalan, seperti
seorang suami yang mengatakan suatu kalimat yang menyebabkan seorang istri
beranggapan bahwa suminya mentalak dia, padahal tidak ada niat dari seorang
suami untuk menalak sang istri. Contoh seorang suami mengatakan kepada istrinya
pulanglah kerumah orang tuamu dan seorang istri memahami bahwa suaminya
mentalak dia.
Maka Ibnul
Qayyim menjelaskan: lafazd yang secara jelas terucap harus diiringi dengan niat
yang sejalan, begitu juga lafadz yang diucapkan tidak jelas atau kurang
memahamkan maka juga membutuhkan niat. (Qawaid fiqhiyah min i’lamil muwaqi’in,
Ibnul Qayyim Al Jauziyah, 229).
Dari sini
dapat difahami bahwasanya setiap amalan membutuhkan niat sejalan yang
mengiringinya. Apabila sebuah amalan yang dilakukan ataupun diucapkan seorang
mukallaf berbeda dengan apa yang diniatkan maka yang diakui tetap apa yang
diniatkan. Walaupun terkadang berbedaan antara niat dengan apa yang dilakukan
mempengaruhi berbedaan dalam menentukan hukum. Wallahu a’lam bish shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar