Senin, 31 Agustus 2015

URGENSI NIAT DALAM SEBUAH AMAL


Setiap mukallaf sudah barang tentu terbebani dengan kewajiban-kewajiban yang telah Alloh atur dengan sedemikian rupa. Selain Alloh memberi pahala disetiap kewajiban yang dilakukan seorang mukallaf, Alloh juga menilai dari apa yang diniatkan seorang mukallaf tersebut. Maka amalan yang dilakukan seorang mukallaf tidak akan terlepas dari sebuah niat, karena niat merupakan pondasi utama yang membangun sebuah amalan tersebut. Karena bisa jadi sebuah amalan wajib tidak mengandung pahala apapun kerena tidak adanya niat yang benar. Jika niat lurus dalam beramal maka akan lurus juga amalan tersebuat dan begitu sebaliknya, bila niatnya buruk amalan akan mengikutinya. Niat adalah sebuah amalan yang dilakukan setiap sebelum melakukan setiap amal perbuatan, baik itu yang berupa ibadah ataupun muamalah. Karena dengan niat itulah sebuah amalan menjadi bernilai, dan berbuah pahala.

Niat secara bahasa berasal dari kata nawa yanwi nawan niyatan, yang artinya maksud atau tujuan terhadap sesuatu. Sedangkan secara istilah niat mengandung dua makna, yaitu secara umum dan khusus. Secara umum niat adalah kecondongan hati untuk melakukan sesuatu yang diinginkan, baik untuk mendatangkan sebuah maslahat atau mencegah madharat. Sedangkan secara khusus niat adalah melakukan sesuatu dengan tujuan melakukan ketaatan dan taqarub kepada Alloh, dengan melakukan perintah dan menjauhi laranganNya. (Al wajiz fi idzahi qawaidil fiqhil kulliyah, Muhammad Shidqiy 48).

Al Mawardi juga memberikan pengertian bahwa niat adalah keinginan untuk melakukan sesuatu, dan diiringi dengan perbuatan yang dimaksudkan tersebut.(Kitabul qawaid, Taqiyuddin Al Hishni,  1/208).

Ibnu Qayyim menjelaskan niat adalah pokok dan tiangnya suatu perkara, asas dan akar yang membangun sebuah perkara, karena niat adalah ruh, panglima, pengemudi sebuah amalan, dan setiap amalan pasti akan mengikutinya, yang terbangun diatasnya, dan akan benar bila niatnya juga benar, salah jika niatnya salah. Dengan niat juga dapat mendatangkan taufiq, dan tanpanya manusia bisa tersesat, dengannya juga yang membedakan derajat seorang hamba didunia maupun diakhirat. (Qawaid fiqhiyah min a’lamin muwaqi’in, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, hal:220).

Berkenaan dengan pentingnya niat dalam sebuah amalan telah disebutkan dalam hadist rasulullah yang diriwayatkan dari Umar bin Khatab, bahwasanya beliau pernah mendengar rasulullah saw bersabda:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.

 Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.(HR Bukhari no:1)

Dari hadits ini, maka terbangunlah qaidah kubara yang menunjukkan pentingnya niat dalam setiap beramal, yaitu al umuuru bi maqasidiha “setiap perkara yang dilakukan seorang mukallaf itu tergantung dari apa yang diniatkan”. Maka yang dinilai dari sebuah amalan adalah dari niat yang mengiringi amalan tersebut.

Niat tidak hanya disertakan pada amalan yang derupa ibadah, tetapi niat masuk juga pada semua perkara yang mubah, seperti makan, minum, jual beli, dan perkara mubah lainnya. Semua amalan tersebut bisa bernilai ibadah jika disertai dengan niat ibadah, dan menjadi amalan biasa yang tidak mengandung pahala apabila tidak ada niat ibadah yang mengiringinya.

Niat menjadi pembeda setiap amalan

            Niat merupakan pondasi sebuah amalan, maka hasil dari amalan tersebuat akan tergantung dari pondasi yang membangunnya. Begitu juga niat menjadi tolak ukur setiap amalan yang dilakukan seoramg mukallaf. Sebuah amalan mubah menjadi bernilai pahala apabila disertakan niat ibadah didalamnya, sama halnya dengan amalan mubah yang dilakukan tanpa disertai niat ibadah tidak ada nilai lebih kecuali hanya hasil dari amalan tersebut.

Contoh seperti seseorang yang makan dengan disertai niat ibadah maka aktifitas makannya bernilai pahala, selain orang itu mendapatkan rasa kenyang dari apa yang dimakan tersebut. Berbeda halnya dengan seseorang yang makan tanpa disertai niat ibadah, maka tidak ada yang dia dapatkan kecuali hanya rasa kenyang.

Maka dapat diambil kesimpulan bahwa setiap amalan yang sifatnya mubah apabila diniatkan untuk sebuah ibadah, atau taqarub maka amalan itu akan bernilai pahala, seperti makan, tidur, mencari nafkah, begitu juga memberi nafkah batin kepada istri diniatkan untuk menghidupkan sunnah, atau berniat untuk menghasilkan keturunan yang baik, dan amalan mubah lainnya. (Asybah wan nadhair fi qawaid wa furu’ fiqih Syafi’i, Imam Suyuti, 10).

Niat juga sebagai pembeda antara satu ibadah dengan ibadah yang lain, maka hanya niat yang dapat membedakan antara beberapa amal ibadah yang memiliki kesamaan. Seperti seorang yang sedang sholat dua rakaat dimasjid ketika waktu fajar, maka orang lain yang melihat tidak akan tahu sholat apa yang dilakukan seorang mukallaf tersebut, apakah sholat fajr, sholat tahiyatul masjid ataupun sholat subuh. Secara dzohir semua ibadah ini sama, yaitu dua rakaat, maka hanya niat yang bisa membedakan antara satu ibadah dengan lainnya. Dengan begitu Alloh juga memberi pahala yang berbeda dari setiap amalan yang dilakukan seorang mukallaf tersebut.

Ibnul Qayyim mengatakan: niat sangatlah mempengaruhi sah atau tidaknya ibadah, maka niat sangat butuh untuk ditunaikan, karena semua bentuk ibadah terbagun atas niatnya, dan sebuah amalan yang berupa ibadah tidak bernilai kecuali dengan niat dan tujuan. (Qawaid fiqhiyah min i’lamil muwaqi’in, Ibnul Qayyim Al Jauziyah, 225).

Apakah niat harus dilafadzkan?

            Niat merupakan salah satu ibadah yang disyari’atkan, dilakukan sebelum memulai sebuah amalan, baik ibadah ataupun yang lainnya. Ulama Syafi’iyah berpendapat behwasanya melafadzkan niat hukumnya adalah sunnah, karena pada dasarnya niat terletak didalam hati, dan tidak tergantung dengan lisan. Maka fungsi melafadzkan niat disini adalah agar lisan dapat membantu hati dalam menghadirkan niat, menghindari perasaan was-was saat melakukan amalan tersebut.

            Keluar dari permaslahan ini dimana antara niat dan amalan tidak sejalan, seperti seorang suami yang mengatakan suatu kalimat yang menyebabkan seorang istri beranggapan bahwa suminya mentalak dia, padahal tidak ada niat dari seorang suami untuk menalak sang istri. Contoh seorang suami mengatakan kepada istrinya pulanglah kerumah orang tuamu dan seorang istri memahami bahwa suaminya mentalak dia.

Maka Ibnul Qayyim menjelaskan: lafazd yang secara jelas terucap harus diiringi dengan niat yang sejalan, begitu juga lafadz yang diucapkan tidak jelas atau kurang memahamkan maka juga membutuhkan niat. (Qawaid fiqhiyah min i’lamil muwaqi’in, Ibnul Qayyim Al Jauziyah, 229).

Dari sini dapat difahami bahwasanya setiap amalan membutuhkan niat sejalan yang mengiringinya. Apabila sebuah amalan yang dilakukan ataupun diucapkan seorang mukallaf berbeda dengan apa yang diniatkan maka yang diakui tetap apa yang diniatkan. Walaupun terkadang berbedaan antara niat dengan apa yang dilakukan mempengaruhi berbedaan dalam menentukan hukum. Wallahu a’lam bish shawab.




           








Tidak ada komentar: