Senin, 10 Agustus 2015

SEPUTAR ILMU USHUL TAFSIR





PENDAHULUAN


1.        Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an adalah sumber utama bagi umat islam, namun kemampuan setiap orang berbeda dalam memahami makna Al-Qur’an it sendiri. Ada sebagian orang yang memahami Al-Qur’an sesuai dengan konteks kalimat tersebut, ada pula yang memahami Al-Qur’an dengan memahami dan menyimpulkan ayat dengan nalar mereka sendiri. Dari berbagai perbedaan pemahaman inilah maka Al-Qur’an mendapat terhatian khusus bagi umat islam itu sendiri. Sehingga muncullah ilmu seputar Al-Qur’an salah satunya ilmu tafsir. Ilmu ushul tefsir sangat penting sebagai permulaan dalam memahami Al-Qur’an, karena didalamnya terdapat penjelasan tentang pokok dan landasan sehingga memudahkan untuk memahaminya. Selain itu juga dapat menjadi sandaran dalam memahami tefsirnya.

2.        Definisi Ushul Tafsir

Secara bahasa ushuul memiliki banyak makna, diantaranya ushuul merupakan bentuk jamak dari ahslun yang artinya dasar dari sesuatu, dan darinya terbentu sesuatu yang lain, atau unsurnya, seperti anak terbentuk dari unsur orang tua, ataupun pohon yang memiliki unsur batang.[1]

Sedangkan secara istilah ushul memiliki empat makna, yaitu:

1.      Yang kuat

2.      Sesuatu yang terisi olehnya

3.      Qaidah yang bersambung

4.      Dalil[2]

Sedangkan tafsir secara bahasa memiliki arti menjelaskan dan menerangkan yang diambil dari kata fasara. Dalam lisanul arab dinyatakan kata al-fasr berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan kata at-tafsir menyingkap maksud suatu lafadz yang musykil. Dalam Al-Qur’an dinyatakan وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيراً[3] (tidaklah mereka datang kepadamu sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar)[4].

Sedangkan tafsir secara istilah juga memiliki banak makna, menurut beberapa ulama’ bukan merupakan ilmu yang dibebani terhadap sesorang, karena tafsir tidak memiliki qaidah tertentu seperti yang lain, namun tafsir itu dicukupkan dalam kemampuan penjelasan mengenai kalamullah, ataupun penjelasan ayat, dan memahaminya. Dan menurut ulama’ yang lain tafsir mencakup sebagian masalah, dan juga mencakup qaidah-qaidah umum yang bisa berkembang, maka dibutuhkan dalam ilmu lain dalam tafsir seperti ilmu bahasa yang mencakup Nahwu, Sorof, dan juga ilmu Qira’at[5].

Ada ulama lain berpendapat tafsir adalah ilmu yang mempelajari tentang turunnya ayat, perihalnya, kisah-kisah didalamya, sebab-sebab turunya ayat, penertiban surat yang turun di Makkah ataupun Madinah, muhkam mutasyabih[6], nasikh mansukh[7], khusus umum, mutlaq muqayyad[8], mujmal mufassir[9], halal haram, perintah larangan, janji maupun ancaman dan lain sebagainya yang terkandung dalan sebuah ayat dalam Al-Qur’an[10].

Sedangkan menurut Az-Zarkasy tafsir adalah ilmu untuk memahami katabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, menjelaskan makna-maknanya, serta meneluarkan hukum dan hikmahnya[11].

Maka dapat difahami bahwasanya ushul tafsir merupakan ilmu yang mempelajari pokok, atupun unsur dalam memahani penjelasan dalam Al-Qur’an. Para ulama berselisih pendapat antara perbedaan ushul tafsir dan ulumul qur’an[12],  sebagian mufasir mengatakan adapun ushul tafsir merupakan istilah lain dari ulumul qur’an, jadi sebagian pengamat Al-Qur’an ada yang menggunakan kata ulumul qur’an maupun ushul tafsir, karena pada dasarnya ushul tafsir maupun ulumul qur’an memiliki tujuan yang sama yaitu membahas tentang penjelasan yang terdapat didalam Al-Qur’an[13]. Namun ulama lain berpendapat bahwasanya ushul tafsir dengan ulumul qur’an berbeda karena tafsir merupakan salah satu bagian dari ulumul qur’an, dan ushul tafsir merupakan bagian dari tafsir, maka ushul tafsir lebih khusus dari pada tafsir, dan didalam ushul tafsir sering kali membahas tentang sebuah qaidah yang terdiri dari beberapa contoh diatasnya, dan dengan ushul tafsir seseorang akan dapat lebih mudah dalam memahami tafsir[14]. Maka sebagian mufasir ada yang menyamakan antara ushul tafsir dan ulumul qur’an, dan ada pula yang lebih mengkhususkan.

3.        Tujuan Mempelajari Ushul Fafsir

Adapun tujuan dalam mempelajari ilmu ushul tafsir antara lain:

1.      Agar dapat memahami kalam Alloh  sesuai dengan keterangan yang diambil oleh para sahabat dan para thabi’in tentang pemahaman terhadap Al-Qur’an.

2.      Agar menetahui cara dan gaya yang digunakan oleh para mufasir[15] dalam menafsirkan Al-Qur’an dengan disertai penjelasan tentang tokoh-tokoh mufasir yang ternama serta kelebihan-kelebihannya.

3.      Agar mengetahui persyaratan-persyaratan dalam menafsirkan Al-Qur’an.

4.      Mengetahui ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan dalam menafsirkan Al-Qur’an.

5.      Dapat mengetahui makna, serta hukumdan hikmah yang terkandung dalam Al-Qur’an.

6.      Dapat mengetahui hakikat Al-Qur’an yang sesunggunya[16].


4.        Manfaat Mempelajari Ushul Fafsir

Manfaat dari mempelajari ushul tafsir adalah untuk memberi kemampuan pada umat untuk mengeluarkan hukum yang ada dalam Al-Qur’an beserta hikmahnya, juga dapat mengetahui tingkatan hujjah maupun dail yang digunakan, serta mengetahui apakah dalil tersebut secara benar dengan penelitian yang cermat.





5.        Bidang Ushul Tafsir

Secara umum Fadh Ar-Rumi menyebutkan bahwa pembahasan ilmu tafsir meliputi kaidah, pokok, syarat, adab, dan metode tafsir, dan Musa’id bin Sulaiman bin Nashir Ath- Thoyari menyebutkan rincian tema-tema ushul tafsir yang menurutnya paling penting dalam bidang ini, antara lain:

1.      Hukum dan pembagian tafsir.

2.      Metode tafsir.

3.      Tafsir bir ra’yi[17] dan tafsir bil ma’tsu[18]r.

4.      Pokok-pokok tentang tafsir.

5.      Cara para orang terdahulu dalam tafsir.

6.      Sebab-sebab perselisihan dalam tafsir.

7.      Macam-macam perselisihan dalam tafsir.

8.      Ijma[19] dan tafsir.

9.      Taujih perkataan para salaf.

10.  Taujih Qira’at.

11.  Gaya bahasa dalam tafsir.

12.  Kuliyah Al-Qur’an.

13.  Qaidah umum dalam tafsir.

14.  Qaidah rajih dalam tafsir.

6.        Keutamaan Ilmu Ushul Tafsir

Sesungguhnya hal yang paling berhak diperhatikan adalah ilmu yang diridhoi Alloh, ilmu yang dapat mengantarkan pemiliknya paa jalan yang benar, dan tanpa kebimbangan didalamnya, yaitu ilmu yang mempelajari tentang Al-Qur’an, kalamullah yang sangat mulia. Setiap pembacanya akan mendapat pahala yang berlipat. Maka tidak dibenarkan apabila menafsirkan sesuai dengan hawa nafsu, ataupun lisan manusia yang tidak bertanggung jawab. Maka dengan kemuliaan Al-Qur’an inilah yang dapat menebar keutamaan kepada siapapun yang bersandar padanya, dan berjuan sesuai dengan tuntunanya. Maka sudah sangat jelas bagi siaapun yang mempelajari ilmu tentang kalamullah, dan mampu berjalan lurus sesuai dengannya dia akan mendapat kemuliaan ilmu, dari yang telah dia pelajari dari kalamullah tersebut.




PEMBAHASAN


1.        Perkembangan Ilmu Ushul Tafsir

Seiring berjalanya waktu ushul tafsir juga semakin berkembang. Ketika pada masa sahabat tidak banyak lafadz musykil yang mereka dapati, karena Al-Qur’an turun dengan bahasa mereka yaitu bahasa arab. Setelah bergantinya periode pada masa thabi’in perkembangan ushul tafsir juga semakin pesat karena banyaknya orang-orang asing yang mulai masuk islam, dan mereka belum menguasai bahasa arab, sehinnga membtuhkan tafsir ayat yang semakin banyak, dan seterusnya  beriringsemakin meluasnya agama islam.

Maka denga adanya perbedaan keadaan dalam memahami usahul tafsir, maka perkembangan tafsir juga berpengaruh, maka perkembanganya akan dibedakan menurut periodenya.

a.       Tafsir pada Masa Rasulullah

Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa asal rasulullah, yaitu bahasa arab. Maka rasulullah pun menjelaskan langsung tentang ayat-ayat yang masih musykil untuk dipahami. Seperti contoh dalam hadits yang diriwayatkan Muslim bin Uqbah bin ‘Amir Al-Juhani berkata: “Saya mendengar rasulullah berkhutbah diatas mimbar membaca firman Alloh: siapkan kekuatan segenap kemampun untuk menghadapi musuhmu, kemudian beliau bersabda: Ketahuilah bahwa kekuatan itu ada pada memanah”[20].

b.      Tafsir pada Masa Sahabat

Sahabat adalah generasi terbaik dan yang diridhoi, yang bertemu langsung dengan rasulullah, dan menyaksikan semua kejadian yang melatarbelakangi turunnya ayat dalam Al-Qur’an. Mereka mempunya pengetahuan yang luas, dan sangat dalam, termasuk dalam penguasaan bahasa.

Pada masa ini penafsiran Al-Qur’an ada tiga macam cara, antara lain:

1.      Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Cara penafsiranya yaitu apabila ada ayat yang masih mujmal, ayat yang masih umum, atau lafadz yang masih umum.

2.      Tafsir Al-Qur’an dengan sunnah rasul. Cara penafsiranya antara lain: menafsirkan lafadz yang umum lalu dikhususkan, makna yang masih umum lalu dijelaskan, dan juga menjelaskan ayat-ayat yang masih musykil namun tidak dijelaskan dalam ayat yang lain, ataupun sebagai penguat ayat.

3.      Tafsir Al-Qur’an dengan kemampuan mereka dalam berijtihad[21]. Maka sahabat yang bisa menafsirkan ayat juga haus memiliki syarat, antara lain:

1.      Menguasai ilmu bahasa arab.

2.      Mengetahui adat orang arab.

3.      Mengetahui kondisi yahudi dan nasrani disekatar arab.

4.      Mampu memahami Al-Qur’an dan mampu bernalar.

5.      Tafsir Al-Qur’an dengan cerita israiliyat[22].

Contoh mufasir pada masa ini adalah Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, dan Abu Musa Al-Asy’ari. Dan yang paling banyak menafsirkan adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Abbas[23].

c.       Tafsir pada Masa Thabi’in

Tabi’in merupakan generasa setelah sahabat. Mereka merupakan murid para sahabat yang bertemu langsung dengan para sahabat nabi, dan mengambil ilmu Al-Qur’an dan assunah dari mereka. Pada masa ini persebaran islam semakin meluas, banyak para ajam[24] yang masuk islam, sedangkan kemampun bahasa mereka masih rendah, maka pada masa ini ayat yang harus ditafsirkan semakin banyak, karena belum menguaai bahasa arab. Metode penafsiran pada masa ini adalah:

1.      Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Sebagaimana metode penafsiran yang dilakukan pada masa sahabat.

2.      Tafsir Al-Qur’an dengan Sunnah. Sebagaiman metode penafsiran yang dilakukan pada masa sahabat.

3.      Tafsir Al-Qur’an dengan perkataan para sahabat. Jika tidak mendapatkan tafsir sebuah ayat dalam ayat lain maupun dalam suunah, maka para thabi’in mengambil perkataan ahabat sebagai penafsiran, seperti Mujahid yang belajar kepada Ibnu Abbas.

4.      Pemahaman dan ijtihad. Jika para thabi’in tidak menemukan tefsirnya dalam Al-Qur’an, sunnah, maupun dalam perkataan para sahabat, maka pata thabi’in yang sudah memenuhi syarai berijtihad dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Diantara mufasir pada masa ini adalah Mujahid, Said bin Zubair, Atho’ bin Abi Ribah, Ikrimah, Zaid bin Aslam, Abul Aliyah, Muhammad bin Kaab, Masruq, Qatadah, Hasan Bashri, Murrah Al-Hamdani, dan Dhohak[25].

d.      Masa Pembukun Tafsir

Denagan munculnya berbagai macam tafsir, maka para mufasir berinisiatif untuk membukukan tafsir, supaya tidak hilang dan juga tercampur denha ilmu yang lain. Ada empat periode dalam pembukuan tafsir:

1.      Periode pertama, mereka mengumpulkan tafsir sebagaimana dalam penyusunan hadits, yang didalamnya terdapat tafsir dari rasulullah, sahabat, dan thabi’in.

2.      Periode kedua, penyusunan tafsir sudah disesuiakan dengan ayat dalam Al-Qur’an. Didalamnya hanya terdapat tafsir bil ma’tsur yang sedikit perhatian terhadap kisah israiliyat, serta penyusunan tafsirnya sudah disandarkan pada orang yang meriwayatkanya.

3.      Periode ketiga, banyak para mufasir yang meringkas sanad dalam periwayatan tafsir, mulai tescampurnya antara periwayatan yang sahih[26] dan dhaif [27]serta mulai munculnua tafsir bir ra’yi.

4.      Periode keempat, pada masa ini mulai munculnya madzhab sehingga sebagian mufasir membukukan tafsir yang sesuai dengan madzhabnya.


2.        Jumlah Ayat yang Ditafsirkan oleh Rasulullah.

Para mufasir berselisih dalam menentukan apakah rasulullah menjelaskan semua ayat dalam Al-Qur’an atau hnya sebagiannya saja. Ada dua pendapat dalam hal ini:

1.      Rasulullah mentafsirkan semua ayat dalam Al-Qur’an. Karena para sahabat tidak akan menambah pelajaran tafsir mereka sebelum rasulullah menjelaskan setiap sepuluh ayat dalam Al-Qur’an kemudian para sahabat mengamalkanya, maka sebagian mufasir berpendapat bahwasanya rasulullah menafsirkan semua ayat dalam Al-Qur’an.

2.      Rasulullah tidak mentafsirkan semua ayat dalam Al-Qur’an, seperti ayat yang sudah tidah perlu untuk dijelaskan lagi, contoh dalam ayat [28]حرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ sudah dapat untuk langsung difahami sehingga rasulllah tidak perlu untu kenjelaskan tafsir ayat tersebut, begitu juga rasulullat tidak menjelaskan ayat yang berhubungan dengan hal ghaib, ataupun masalah kiamat, karena hanya Alloh yang menetahui ilmu tentang hal itu.

Namun pendapat yang paling rajih mengatakan bahwasanya rasulullah tidak menafsirkan semua ayat didalam Al-Qur’an, karena tidak semua rasulullah mengetahui tafsirnya seperti mengenai dzat Alloh, maupun hal ghaib lainnya.


3.        Metode dalam Mentafsirkan Al-Qur’an.

Mentafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an

       Ayat-ayat yang global di satu tempat disajikan secara jelas di bagian yang lain. Misalnya  حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ ditafsirkan dengan ayat أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ الأَنْعَامِ إِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ pada ayat [29]

وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُواْ بِالأَزْلاَمِ[30]

Artinya:Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, terpukul, jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas kecuali yang kalian sempat menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu)yang disembelih untuk berhala, dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah.                                                                                                                                      

Mentafsirkan Al-Qur’an denga assunah.                                                                               

Para sahabat merasa sulit untuk melakukan apa yang dikemukakan dalam ayat di atas. Mereka bertanya: ”Siapakah diantara kami yang tidak berbuat dzalim kepada dirinya sendiri?” Nabi SAW menjawab: ”Maksud dari ayat diatas tidaklah seperti yang kalian duga, apakah kalian tidak ingat (mendengar) apa yang dikatakan oleh seorang hamba yang shalih (Luqman hakim) اِنّ الشِركَ لَظُلمٌ عَظِيمٌ[31] yang dimaksud disini adalah syirik.

Mentafsirkan ayat dengan ijtihad.

Kalau kedua sumber penafsiran di atas disepakati diterima oleh semua sahabat, tidak demikian dengan ijtihad. Para sahabat berselisih akan diterimanya tafsir dengan pedoman ijtihad ini. Sebagian dari mereka hanya berpedoman pada riwayat saja.Akan tetapi, sebagian dari mereka selain menggunakan riwayat, juga menggunakan ijtihad.

KESIMPULAN

Penulis berharap dari sedikit ulasan seputar ushul tafsir pembaca dapat mengambil manfaat serta dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang seputar ilmu tafsir dan ushulnya. Demikian juga semoga tulisan ini bisa bisa bermanfaat untuk diri penulis sendiri, karena tidak lain yang penulis hapar hanyalah Ridho Alloh. Wallahu’alam bisa shawwab

DAFTAR PUSTAKA

1.      Al-Qur’anul Karim.

2.      Adz-Dzahabi, Muhammad Husain Adz-Dzahabi, at tafsir wal mufassirun (Qahirah: Maktabah wahabiyah, juz 1, cetakan ke-1, 2000).


3.      Al-Ak, Syaikh Khalid Abdurrahman, ushul tafsir wa qawaiduhu (Beirut: Daarun nafais, cetakan ke-1, 1986).


4.      Ar-Rozy, Fahrudin Muhammad bin Amru bin Al-Husain, al ma’alim fi ilmi ushul fiqh (Qahira: Muassasatul ihram linnasyri wa tauzi’, 1994).


5.      Ath- Thoyari, Musa’id bin Sulaiman bin Nashir, al muharor fi ulumil qur’an (Ma’had Imam Syatibi, cetakan ke-2, 2008).

6.      Az-Zarkasy, al bahrul muhith fiushul fiqh (Ghardaqh: Daarus sofwah, juz 1, cetakan ke-2, 1992).

7.      Syaikh Ibrahim Haqi, Muhammad Shofa, ulumul qur’an min hilali muqadimatit tafaasir (Beirut: Muassasatur risalah, jilid 1, cetakan pertama, 2004).


[1] Az-zarkasy, al bahrul muhith fiushul fiqh (Ghardaqh: Daarus sofwah, juz 1, cetakan ke-2, 1992) hal:15.

[2] Fahrudin Muhammad bin Amru bin Al-Husain Ar-Rozy, al ma’alim fi ilmi ushul fiqh (Qahira: Muassasatul ihram linnasyri wa tauzi’, 1994), hal:9.

[3] QS. Al-Furqon: 33

[4] Muhammad Husain Adz-Dzahabi, at tafsir wal mufassirun (Qahirah: Maktabah wahabiyah, juz 1, cetakan ke-1, 2000) hal: 12.

[5] Muhammad Husain Adz-Dzahabi, at tafsir wal mufassirun (Qahirah: Maktabah wahabiyah, juz 1, cetakan ke-1, 2000) hal: 12

6 Muhkam: ayat yang sudah jelas berisi tentang hukum. Mutasyabih: ayat yang memilikimakna lain yang serupa.

7Nasikh: ayat yang menghapus hukum pada ayat yang lain. Mansukh: ayat yang sudah terhapus hukumnya dengan ayat yang lain.

8Mutlaq: ayat yang penjelasanya masih umum dan belum terikat. Muqayyad: ayat yang sudah terikat dengan penjelasan secara jelas.

9Mujmal: ayat yang masih sangat umum untuk difahami. Mufassir: ayat yang menjelaskan ayat yang lain.

10Muhammad Husain Adz-Dzahabi, at tafsir wal mufassirun (Qahirah: Maktabah wahabiyah, juz 1, cetakan ke-1, 2000) hal: 13.

11Muhammad Husain Adz-Dzahabi, at tafsir wal mufassirun (Qahirah: Maktabah wahabiyah, juz 1, cetakan ke-1, 2000) hal: 13.

12Ilmu tentang mempelajari Al-Qur’an.










[13] Muhammad Shofa Syaikh Ibrahim Haqi, ulumul qur’an min hilali muqadimatit tafaasir (Beirut: Muassasatur risalah, jilid 1, cetakan pertama, 2004), hal: 53-54.

[14] Musa’id bin Sulaiman bin Nashir Ath- Thoyari, al muharor fi ulumil qur’an (Ma’had Imam Syatibi, cetakan ke-2, 2008), hal:53.

[15] Ahli tafsir

[16] Syaikh Khalid Abdurrahman Al-Ak, ushul tafsir wa qawaiduhu (Beirut: Daarun nafais, cetakan ke-1, 1986), hal:31.

[17] Penafsiran ayat dengan nalar.

[18] Penafsiran ayat dengan ayat, sunnah, ataupun dengan perkataan sahabat

[19] Kesepakatan ulama mufasir terhadap sebuah tafsir.

[20] H.R Abu Dawud, no: 2516

[21] Mengungkapkan pendapat.

[22] Cerita yang terjadi sebelum rasulullah diutus.

[23]Az-zarkasy, al bahrul muhith fiushul fiqh (Ghardaqh: Daarus sofwah, juz 1, cetakan ke-2, 1992) hal:17.

24Non Arab


[25] Az-zarkasy, al bahrul muhith fiushul fiqh (Ghardaqh: Daarus sofwah, juz 1, cetakan ke-2, 1992) hal:19-23.

26 Kuat

27 Lemah.

28 Q.S An-Nisa’:23



[29] Q.S Al-Maidah: 1

[30] Q.S Al-Maidah: 3

[31] Q.S Al-Luqman:13.

Tidak ada komentar: