PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an
adalah sumber utama bagi umat islam, namun kemampuan setiap orang berbeda dalam
memahami makna Al-Qur’an it sendiri. Ada sebagian orang yang memahami Al-Qur’an
sesuai dengan konteks kalimat tersebut, ada pula yang memahami Al-Qur’an dengan
memahami dan menyimpulkan ayat dengan nalar mereka sendiri. Dari berbagai
perbedaan pemahaman inilah maka Al-Qur’an mendapat terhatian khusus bagi umat
islam itu sendiri. Sehingga muncullah ilmu seputar Al-Qur’an salah satunya ilmu
tafsir. Ilmu ushul tefsir sangat penting sebagai permulaan dalam memahami
Al-Qur’an, karena didalamnya terdapat penjelasan tentang pokok dan landasan
sehingga memudahkan untuk memahaminya. Selain itu juga dapat menjadi sandaran
dalam memahami tefsirnya.
2.
Definisi Ushul Tafsir
Secara
bahasa ushuul memiliki banyak makna, diantaranya ushuul merupakan
bentuk jamak dari ahslun yang artinya dasar dari sesuatu, dan darinya
terbentu sesuatu yang lain, atau unsurnya, seperti anak terbentuk dari unsur
orang tua, ataupun pohon yang memiliki unsur batang.
Sedangkan
secara istilah ushul memiliki empat makna, yaitu:
1. Yang kuat
2.
Sesuatu
yang terisi olehnya
3. Qaidah yang bersambung
Sedangkan tafsir secara bahasa memiliki arti menjelaskan dan
menerangkan yang diambil dari kata fasara. Dalam lisanul arab dinyatakan
kata al-fasr berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan kata at-tafsir
menyingkap maksud suatu lafadz yang musykil. Dalam Al-Qur’an dinyatakan وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا
جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيراً (tidaklah
mereka datang kepadamu sesuatu yang ganjil, melainkan kami datangkan kepadamu
sesuatu yang benar).
Sedangkan tafsir secara istilah juga memiliki
banak makna, menurut beberapa ulama’ bukan merupakan ilmu yang dibebani
terhadap sesorang, karena tafsir tidak memiliki qaidah tertentu seperti yang
lain, namun tafsir itu dicukupkan dalam kemampuan penjelasan mengenai kalamullah,
ataupun penjelasan ayat, dan memahaminya. Dan menurut ulama’ yang lain tafsir
mencakup sebagian masalah, dan juga mencakup qaidah-qaidah umum yang bisa
berkembang, maka dibutuhkan dalam ilmu lain dalam tafsir seperti ilmu bahasa
yang mencakup Nahwu, Sorof, dan juga ilmu Qira’at.
Ada ulama lain berpendapat tafsir adalah ilmu yang
mempelajari tentang turunnya ayat, perihalnya, kisah-kisah didalamya,
sebab-sebab turunya ayat, penertiban surat yang turun di Makkah ataupun
Madinah, muhkam mutasyabih, nasikh
mansukh, khusus
umum, mutlaq muqayyad, mujmal
mufassir, halal
haram, perintah larangan, janji maupun ancaman dan lain sebagainya yang
terkandung dalan sebuah ayat dalam Al-Qur’an.
Sedangkan menurut Az-Zarkasy tafsir adalah ilmu untuk
memahami katabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, menjelaskan
makna-maknanya, serta meneluarkan hukum dan hikmahnya.
Maka dapat difahami bahwasanya ushul tafsir
merupakan ilmu yang mempelajari pokok, atupun unsur dalam memahani penjelasan
dalam Al-Qur’an. Para ulama berselisih pendapat antara perbedaan ushul
tafsir dan ulumul qur’an, sebagian mufasir mengatakan adapun ushul
tafsir merupakan istilah lain dari ulumul qur’an, jadi sebagian pengamat
Al-Qur’an ada yang menggunakan kata ulumul qur’an maupun ushul tafsir,
karena pada dasarnya ushul tafsir maupun ulumul qur’an memiliki
tujuan yang sama yaitu membahas tentang penjelasan yang terdapat didalam
Al-Qur’an.
Namun ulama lain berpendapat bahwasanya ushul tafsir dengan ulumul
qur’an berbeda karena tafsir merupakan salah satu bagian dari ulumul
qur’an, dan ushul tafsir merupakan bagian dari tafsir, maka ushul
tafsir lebih khusus dari pada tafsir, dan didalam ushul tafsir
sering kali membahas tentang sebuah qaidah yang terdiri dari beberapa contoh
diatasnya, dan dengan ushul tafsir seseorang akan dapat lebih mudah
dalam memahami tafsir. Maka
sebagian mufasir ada yang menyamakan antara ushul tafsir dan ulumul
qur’an, dan ada pula yang lebih mengkhususkan.
3.
Tujuan Mempelajari Ushul Fafsir
Adapun tujuan dalam mempelajari ilmu ushul tafsir antara lain:
1.
Agar dapat memahami kalam Alloh
sesuai dengan keterangan yang diambil oleh para sahabat dan para thabi’in
tentang pemahaman terhadap Al-Qur’an.
2.
Agar menetahui cara dan gaya yang digunakan oleh para mufasir dalam
menafsirkan Al-Qur’an dengan disertai penjelasan tentang tokoh-tokoh mufasir
yang ternama serta kelebihan-kelebihannya.
3.
Agar mengetahui persyaratan-persyaratan dalam menafsirkan
Al-Qur’an.
4.
Mengetahui ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan dalam menafsirkan
Al-Qur’an.
5.
Dapat mengetahui makna, serta hukumdan hikmah yang terkandung
dalam Al-Qur’an.
6.
Dapat mengetahui hakikat Al-Qur’an yang sesunggunya.
4.
Manfaat Mempelajari Ushul Fafsir
Manfaat dari mempelajari ushul tafsir adalah untuk memberi
kemampuan pada umat untuk mengeluarkan hukum yang ada dalam Al-Qur’an beserta
hikmahnya, juga dapat mengetahui tingkatan hujjah maupun dail yang digunakan,
serta mengetahui apakah dalil tersebut secara benar dengan penelitian yang
cermat.
5.
Bidang Ushul Tafsir
Secara umum Fadh Ar-Rumi menyebutkan bahwa pembahasan ilmu tafsir
meliputi kaidah, pokok, syarat, adab, dan metode tafsir, dan Musa’id bin Sulaiman bin Nashir Ath- Thoyari menyebutkan rincian
tema-tema ushul tafsir yang menurutnya paling penting dalam bidang ini, antara
lain:
1.
Hukum
dan pembagian tafsir.
2.
Metode
tafsir.
3.
Tafsir
bir ra’yi dan tafsir bil ma’tsur.
4.
Pokok-pokok
tentang tafsir.
5.
Cara
para orang terdahulu dalam tafsir.
6.
Sebab-sebab
perselisihan dalam tafsir.
7.
Macam-macam
perselisihan dalam tafsir.
9.
Taujih
perkataan para salaf.
10.
Taujih
Qira’at.
11.
Gaya
bahasa dalam tafsir.
12.
Kuliyah
Al-Qur’an.
13.
Qaidah umum dalam tafsir.
14.
Qaidah rajih dalam tafsir.
6.
Keutamaan Ilmu Ushul Tafsir
Sesungguhnya hal yang paling berhak diperhatikan adalah
ilmu yang diridhoi Alloh, ilmu yang dapat mengantarkan pemiliknya paa jalan
yang benar, dan tanpa kebimbangan didalamnya, yaitu ilmu yang mempelajari
tentang Al-Qur’an, kalamullah yang sangat mulia. Setiap pembacanya akan
mendapat pahala yang berlipat. Maka tidak dibenarkan apabila menafsirkan sesuai
dengan hawa nafsu, ataupun lisan manusia yang tidak bertanggung jawab. Maka
dengan kemuliaan Al-Qur’an inilah yang dapat menebar keutamaan kepada siapapun
yang bersandar padanya, dan berjuan sesuai dengan tuntunanya. Maka sudah sangat
jelas bagi siaapun yang mempelajari ilmu tentang kalamullah, dan mampu berjalan
lurus sesuai dengannya dia akan mendapat kemuliaan ilmu, dari yang telah dia
pelajari dari kalamullah tersebut.
PEMBAHASAN
1.
Perkembangan Ilmu Ushul Tafsir
Seiring berjalanya waktu ushul tafsir juga semakin berkembang.
Ketika pada masa sahabat tidak banyak lafadz musykil yang mereka dapati, karena
Al-Qur’an turun dengan bahasa mereka yaitu bahasa arab. Setelah bergantinya
periode pada masa thabi’in perkembangan ushul tafsir juga semakin pesat karena
banyaknya orang-orang asing yang mulai masuk islam, dan mereka belum menguasai
bahasa arab, sehinnga membtuhkan tafsir ayat yang semakin banyak, dan
seterusnya beriringsemakin meluasnya
agama islam.
Maka denga adanya perbedaan keadaan dalam memahami usahul tafsir,
maka perkembangan tafsir juga berpengaruh, maka perkembanganya akan dibedakan
menurut periodenya.
a.
Tafsir pada Masa Rasulullah
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa asal rasulullah, yaitu bahasa
arab. Maka rasulullah pun menjelaskan langsung tentang ayat-ayat yang masih
musykil untuk dipahami. Seperti contoh dalam hadits yang diriwayatkan Muslim
bin Uqbah bin ‘Amir Al-Juhani berkata: “Saya mendengar rasulullah berkhutbah
diatas mimbar membaca firman Alloh: siapkan kekuatan segenap kemampun untuk
menghadapi musuhmu, kemudian beliau bersabda: Ketahuilah bahwa kekuatan itu ada
pada memanah”.
b.
Tafsir pada Masa Sahabat
Sahabat adalah generasi terbaik dan yang diridhoi, yang bertemu
langsung dengan rasulullah, dan menyaksikan semua kejadian yang
melatarbelakangi turunnya ayat dalam Al-Qur’an. Mereka mempunya pengetahuan
yang luas, dan sangat dalam, termasuk dalam penguasaan bahasa.
Pada masa ini penafsiran Al-Qur’an ada tiga macam cara, antara
lain:
1.
Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Cara penafsiranya yaitu apabila
ada ayat yang masih mujmal, ayat yang masih umum, atau lafadz yang masih umum.
2.
Tafsir Al-Qur’an dengan sunnah rasul. Cara penafsiranya antara
lain: menafsirkan lafadz yang umum lalu dikhususkan, makna yang masih umum lalu
dijelaskan, dan juga menjelaskan ayat-ayat yang masih musykil namun tidak
dijelaskan dalam ayat yang lain, ataupun sebagai penguat ayat.
3.
Tafsir Al-Qur’an dengan kemampuan mereka dalam berijtihad. Maka
sahabat yang bisa menafsirkan ayat juga haus memiliki syarat, antara lain:
1.
Menguasai ilmu bahasa arab.
2.
Mengetahui adat orang arab.
3.
Mengetahui kondisi yahudi dan nasrani disekatar arab.
4.
Mampu memahami Al-Qur’an dan mampu bernalar.
5.
Tafsir Al-Qur’an dengan cerita israiliyat.
Contoh mufasir pada masa ini adalah Abu Bakar, Umar bin Khatab,
Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid
bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, dan Abu Musa Al-Asy’ari. Dan yang paling
banyak menafsirkan adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin
Ka’ab, Abdullah bin Abbas.
c.
Tafsir pada Masa Thabi’in
Tabi’in merupakan generasa setelah sahabat. Mereka merupakan murid
para sahabat yang bertemu langsung dengan para sahabat nabi, dan mengambil ilmu
Al-Qur’an dan assunah dari mereka. Pada masa ini persebaran islam semakin meluas,
banyak para ajam yang masuk
islam, sedangkan kemampun bahasa mereka masih rendah, maka pada masa ini ayat
yang harus ditafsirkan semakin banyak, karena belum menguaai bahasa arab.
Metode penafsiran pada masa ini adalah:
1.
Tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Sebagaimana metode penafsiran
yang dilakukan pada masa sahabat.
2.
Tafsir Al-Qur’an dengan Sunnah. Sebagaiman metode penafsiran yang
dilakukan pada masa sahabat.
3.
Tafsir Al-Qur’an dengan perkataan para sahabat. Jika tidak
mendapatkan tafsir sebuah ayat dalam ayat lain maupun dalam suunah, maka para
thabi’in mengambil perkataan ahabat sebagai penafsiran, seperti Mujahid yang
belajar kepada Ibnu Abbas.
4.
Pemahaman dan ijtihad. Jika para thabi’in tidak menemukan
tefsirnya dalam Al-Qur’an, sunnah, maupun dalam perkataan para sahabat, maka
pata thabi’in yang sudah memenuhi syarai berijtihad dalam menafsirkan
Al-Qur’an.
Diantara mufasir pada masa ini adalah Mujahid, Said bin Zubair,
Atho’ bin Abi Ribah, Ikrimah, Zaid bin Aslam, Abul Aliyah, Muhammad bin Kaab,
Masruq, Qatadah, Hasan Bashri, Murrah Al-Hamdani, dan Dhohak.
d.
Masa Pembukun Tafsir
Denagan
munculnya berbagai macam tafsir, maka para mufasir berinisiatif untuk
membukukan tafsir, supaya tidak hilang dan juga tercampur denha ilmu yang lain.
Ada empat periode dalam pembukuan tafsir:
1.
Periode pertama, mereka mengumpulkan tafsir sebagaimana dalam
penyusunan hadits, yang didalamnya terdapat tafsir dari rasulullah, sahabat,
dan thabi’in.
2.
Periode kedua, penyusunan tafsir sudah disesuiakan dengan ayat
dalam Al-Qur’an. Didalamnya hanya terdapat tafsir bil ma’tsur yang sedikit
perhatian terhadap kisah israiliyat, serta penyusunan tafsirnya sudah
disandarkan pada orang yang meriwayatkanya.
3.
Periode ketiga, banyak para mufasir yang meringkas sanad dalam
periwayatan tafsir, mulai tescampurnya antara periwayatan yang sahih dan dhaif
serta
mulai munculnua tafsir bir ra’yi.
4.
Periode keempat, pada masa ini mulai munculnya madzhab sehingga
sebagian mufasir membukukan tafsir yang sesuai dengan madzhabnya.
2.
Jumlah Ayat yang Ditafsirkan oleh Rasulullah.
Para mufasir berselisih dalam menentukan apakah rasulullah
menjelaskan semua ayat dalam Al-Qur’an atau hnya sebagiannya saja. Ada dua
pendapat dalam hal ini:
1.
Rasulullah mentafsirkan semua ayat dalam Al-Qur’an. Karena para
sahabat tidak akan menambah pelajaran tafsir mereka sebelum rasulullah
menjelaskan setiap sepuluh ayat dalam Al-Qur’an kemudian para sahabat
mengamalkanya, maka sebagian mufasir berpendapat bahwasanya rasulullah
menafsirkan semua ayat dalam Al-Qur’an.
2.
Rasulullah tidak mentafsirkan semua ayat dalam Al-Qur’an, seperti
ayat yang sudah tidah perlu untuk dijelaskan lagi, contoh dalam ayat حرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ sudah dapat untuk langsung difahami sehingga rasulllah tidak
perlu untu kenjelaskan tafsir ayat tersebut, begitu juga rasulullat tidak
menjelaskan ayat yang berhubungan dengan hal ghaib, ataupun masalah kiamat,
karena hanya Alloh yang menetahui ilmu tentang hal itu.
Namun pendapat yang paling rajih mengatakan bahwasanya rasulullah
tidak menafsirkan semua ayat didalam Al-Qur’an, karena tidak semua rasulullah
mengetahui tafsirnya seperti mengenai dzat Alloh, maupun hal ghaib lainnya.
3.
Metode dalam Mentafsirkan Al-Qur’an.
Mentafsirkan
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Ayat-ayat yang global di satu tempat
disajikan secara jelas di bagian yang lain. Misalnya حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ
الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ ditafsirkan
dengan ayat أُحِلَّتْ لَكُم بَهِيمَةُ
الأَنْعَامِ إِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ pada ayat
وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ
اللّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ
وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى
النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُواْ بِالأَزْلاَمِ
Artinya:Diharamkan
bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas
nama selain Allah, yang tercekik, terpukul, jatuh, yang ditanduk, dan yang
diterkam binatang buas kecuali yang kalian sempat menyembelihnya, dan
(diharamkan bagimu)yang disembelih untuk berhala, dan (diharamkan juga)
mengundi nasib dengan anak panah.
Mentafsirkan Al-Qur’an denga assunah.
Para
sahabat merasa sulit untuk melakukan apa yang dikemukakan dalam ayat di atas.
Mereka bertanya: ”Siapakah diantara kami yang tidak berbuat dzalim kepada
dirinya sendiri?” Nabi SAW menjawab: ”Maksud dari ayat diatas tidaklah seperti
yang kalian duga, apakah kalian tidak ingat (mendengar) apa yang dikatakan oleh
seorang hamba yang shalih (Luqman hakim) اِنّ الشِركَ
لَظُلمٌ عَظِيمٌ yang dimaksud disini adalah syirik.
Mentafsirkan
ayat dengan ijtihad.
Kalau
kedua sumber penafsiran di atas disepakati diterima oleh semua sahabat, tidak
demikian dengan ijtihad. Para sahabat berselisih akan diterimanya tafsir dengan
pedoman ijtihad ini. Sebagian dari mereka hanya berpedoman pada riwayat
saja.Akan tetapi, sebagian dari mereka selain menggunakan riwayat, juga
menggunakan ijtihad.
KESIMPULAN
Penulis
berharap dari sedikit ulasan seputar ushul tafsir pembaca dapat mengambil
manfaat serta dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang seputar ilmu tafsir
dan ushulnya. Demikian juga semoga tulisan ini bisa bisa bermanfaat untuk diri
penulis sendiri, karena tidak lain yang penulis hapar hanyalah Ridho Alloh.
Wallahu’alam bisa shawwab
DAFTAR PUSTAKA
1.
Al-Qur’anul
Karim.
2.
Adz-Dzahabi,
Muhammad Husain Adz-Dzahabi, at tafsir wal mufassirun (Qahirah: Maktabah
wahabiyah, juz 1, cetakan ke-1, 2000).
3.
Al-Ak,
Syaikh Khalid Abdurrahman, ushul tafsir wa qawaiduhu (Beirut: Daarun nafais,
cetakan ke-1, 1986).
4.
Ar-Rozy,
Fahrudin Muhammad bin Amru bin Al-Husain, al ma’alim fi ilmi ushul fiqh
(Qahira: Muassasatul ihram linnasyri wa tauzi’, 1994).
5.
Ath-
Thoyari, Musa’id bin Sulaiman bin Nashir, al muharor fi ulumil qur’an
(Ma’had Imam Syatibi, cetakan ke-2, 2008).
6.
Az-Zarkasy,
al bahrul muhith fiushul fiqh (Ghardaqh: Daarus sofwah, juz 1, cetakan
ke-2, 1992).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar