Senin, 10 Agustus 2015

PERKEMBANGAN FIQIH PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN 11- 40 H





A.                PENDAHULUAN

Pada masa rasulullah masih hidup, yang bertindak sebagai pemecah perkara dan pelerai pertikaian dalam masyarakat adalah beliau sendiri. Beliau sebagai maraji’ pertama untuk meminta fatwa dan keputusan. Keputusan beliau itu didasarkan atas  wahyu atau sunnah, termasuk musyawarah dengan para sahabat. Sehingga pada masa nabi, setiap persoalan dapat dengan mudah dikembalikan kepada rasulullah.

Dengan wafatnya nabi muhammad, berhentilah wahyu yang turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari yang beliau terima dari malaikat jibril baik sewaktu beliau masih berada di makkah maupun setelah hijrah ke madinah. Demikian juga halnya dengan sunnah, berakhir dengan meninggalnya rasulullah itu. Kedudukan rasulullah sebagai utusan Alloh tidak mungkin diganti, tapi tugas beliau sebagai pemimpin kaum muslimin dan kepala negara harus dilanjutkan oleh orang lain. Maka semua permasalahan yang timbul setelah meninggalya rasulullah dijadikan dalam satu pembahasan, yaitu fiqih. Fiqih merupakan kumpulan hukum-hukum syar’i yang sifatnya perbuatan dzohir[1] dan didasari oleh dalil-dalil yang terperinci.

B.        PEMBAHASAN

1. Awal Mula Munculnya Fiqih.

Alloh menurunkan wahyu  kepada rasulullah saat beliau berumur 40 tahun, wahyu turun selama  22 tahun 2 blan 22 hari, selama itu pula semua permasalahan yang timbul tuntas oleh Al-Qur’an dan penjelasan langsung dari rasulullah. Rasulullah sebagai rujukan pertama pada setiap permasalahan yang tidak  dijelaskan secara jelas didalam Al-Quran, maka masa inilah yang disebut ‘asyru tasyri’[2] yang dimulai sejak diutusnya rasulullah hingga meninggalnya beliau pada tahun 11H[3].

Setelah meninggalnya rasulullah semua permasalahan baru yang muncul dan tidak disebutkan secara jelas dalam Al-Qur’an menjadi perselisihan para sahabat, mulai dari masalah ibadah, mu’amalah, kenegaraan, dan lain sebagainya tidak semua dapat diselesaikan pada saat itu, bahkan ada beberapa permasalahan yang hingga saat ini belum tuntas. Saat itulah mulai timbul fiqih. Maka fiqh dimulai setelah meninggalnya rasulullah dan dipegang oleh khulafa’ur rasyidin. Khulafa’ur rasyidin adalah istilah yang biasanya digunakan untuk menyebutkan empat orang pimpinan tinggi umat islam yang berturut-turut menggantikan kedudukan rasulullah sebagai kepala Negara, yaitu: Abu Bakar (11-13H), Umar bin Khotob (13-23H), Utsman bin Affan (23-35H), dan Ali bin Abi Thalib (35-40H).

Kemajuan peradaban dunia ternyata juga sangat mempengarui perkembangan fiqih, semakin banyak permasalahan baru muncul yang ketika rasulullah masih hidup tidak ditemukan. Selain itu, dalil dari hadits itu sendiri memiliki riwayat dengan kwalitas yang berbeda-beda, hingga sering kali menimbulkan kontradiksi[4] terhadap hukum-hukum yang dihasilkan, maka membutukan selektivitas[5] dan juga banyak dalil-dalil yang diperdebatkan. Maka fiqih akan selalu mengalami perubahan pada setiap periode.

2. Masa Pemerintahan Khulafaur Rasyidin

Rasulullah meninggal pada tahun 571H pada umur 63 tahun dikarenakan sakit. Pada saat itu para sahabat banyak yang tidak percaya akan meninggalnya rasulullah, terutama Umar bin Khatab, beliau sangat menentang berita itu, namun Abu Bakar menenangkan para sahabat dengan membacakan ayat Alloh yang artinya:

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul, apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”[6]Maka para sahabat mulai menerima peristiwa meninggalnya rasulullah.

Setelah meninggalnya rasulullah kaum muslimin bersepakat untuk memilih pemimpin baru mereka, namun mengenai hal ini mereka saling berselisih. Kaum Anshar yang meresa lebih mulia karena mereka telah menolong rasulullah beserta kaum muslimin yang hijrah ke Madinah, maka mereka mereka menginginkan pemimpin kaum muslimin Saad bin Ubadah yaitu dari kaum Anshar itu sendiri. Kaum Muhajirin yang juga merasa lebih berhak akan kepemimpinan kaum muslimin, karena rasulullah yang juga berasal dari golongan mereka, maka mereka mengajukan Abu Bakar sebagai pemimpin kaum muslimin. Abu Bakar kemudian menengahi kaum muslimin dengan mengatakan Ditangan kamilah kepemimpinan kaum muslimin, sedangakan kalian adalah yang membantu kami”.[7] Maka kaum muslimin mulai lapang menerima keputusan tersebut. Umar bin Khatab segera membaiat Abu Bakar sebagai pengganti rasulullah dalam memimpin kaum muslimin, karena beliau juga merupakan sahabat yang paling disayangi oleh rasulullah dan beliau pula yang rasulullah utus untuk menggantikan iman saat rasulullah sakit, kemudian diikuti kaum Ansahr, dan seluruh kaum muslimin yang ada di Madinah, maka telah disepakati bahwa pemimpin umat islam digantikan oleh Abu Bakar sebagai khalifah pertama.

Pada masa pemerintahan Abu Bakar persebaran islam semakin luas, banyak terjadi penakhlukan di beberapa negara seperti Syam dan Iraq. Abu Bakar menjabat sebagai pemimpin kaum muslimin selama 2 tahun lebih 100 hari, beliau meninggal pada 8 Jumadil Akhir 13H[8]. Setelah meninggalnya Abu Bakar, kepemimpinan kaum muslimin berpindah pada Umar bin Khotob, yaitu sebagai khalifah kedua setelah Abu Bakar.

Pada masa pemerintahan Umar bin Khotob keadaan kaum muslimin semakin membaik, persebaran daerah kekuasaan islam yang semakin meluas hingga Iraq, Syam, Mesir, Jazirah Arab, Armenia, Azarbeijan, Khuzastan, dan masih banyak lagi[9]. Begitu pula dalam masalah administrasi kenegaraan yang sudah berjalan dengan baik, banyaknya harta rampasan perang, terbentuknya baitul mall, dan lain sebagainya sehingga kaum muslimin merasakan kejayaan.

Ditengah keadaan kaum muslimin yang sedang membaik Alloh mengambil Umar bin Khotob disaat beliau sholat melalui tokoh munafiq yang bernama Abu Lu’luah. Adapun masa pemerintahan Umar bin Khotob adalah 20 tahun, 6 bulan, 5 hari, saat umur beliau 63 tahun.[10]

Setelah Umar bin Khotob meninggal Utsman bin Affan sebagai pengganti pemimpin kaum muslimin, yaitu sebagai khalifah ketiga. Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan daerah kekuasaan islam sudah sangat luas dan urusan kenegaraan yang juga sudah sangat rapi, karena hanya meneruskan kepemerintahan sebelumnya, yaitu pada masa Umar bin Khotob

Utsman bin Affan terkenal lemah lembut, maka sebelum Umar bin Khotob meninggal, beliau berpesan mengenai urusan kepemerintahan negara untuk tidak langsung dirubah, harus menunggu selama kepemerintahan Utsman bin Affan berjalan selama 6 tahun. Utsman bin Affan memerintah kaum muslimin selama 12 tahun, meninggal pada hari Jum’at tanggal 18 Dzulhijah 35H.[11] Dan Ali bin Abi Thalib yang ditunjuk sebagai khalifah keempat setelah Utsman bin Affan dan pusat pemerintahan berpindah di Kufah. Ali bin Abi Thalib menjabat sebagai khalifah selama 5 tahun, dan meninggal ketika umur beliau 63 tahun. Lalu kepemimpinan kaum muslimin diserahkan kepada Muawiyah.

3. Permasalahan yang Muncul pada Masa Khulafaur Rasyidin.

Pada saat kaum muslimin dipimpin oleh khulafaur rasyidin banyak muncul permasalahan baru yang belum pernah terjadi semasa rasulullah masih hidup, dan permasalahn tersebut tidak terdapat dalam Al-Qur’an ataupun as sunnah, sehingga para sahabat saling berselisih dalam menenukan suatu hukum.

Pada masa khalifah Abu Bakar banyak permasalahan baru yang timbul, dan belum pernah terjadi pada saat rasulullah masih hidup, diantaranya:

1.      Gerakan nabi palsu.

Setelah meninggalnya rasulullah banyak orang yang mengaku sebagai nabi, diantaranya: Al Aswad Al Insi dari Yaman, Musailamah Al Kadzab dari bani Hanifah, Tholhah dari bani Asad, dan Sajah dari bani Tamim. Abu Bakar beserta kaum muslimin berusaha memerangi para nabi palsu.

2.      Penolakan dalam membayar zakat.

Setelah meninggalnya rasulullah bagian kaum muslimin mulai enggan membayar zakat, karena mereka beranggapan bahwa zakat hanya ditunaikan saat rasulullah masih hidup. Abu Bakar hendak memberantas mereka, namun Umar bin Khotob menolaknya karena mereka masih termasuk kaum muslimin yang juga mengucapkan syahadat dan melaksanakan semua rukun islam kecali zakat. Namun Abu Bakar menolak, bahwasanya semua orang yang memisahkan antara sholat dan zakat maka harus diperangi, lalu Abu Bakar mengutus Khalid bin Walid untuk memberantas mereka.

Pada masa pemerintahan Umar bin Khatab kaum muslimin mengalami kejayaan, daerah kekuasaan islam yang semakin meluas, namun permasalahan baru tetap muncul dikarenakan semakin luasnya daerah kekuasaan islam maka semakin banyak pula permasalahan kepemimpinan ataupun permasalahan dalam pengaturan tentara, diantara masalahnya:

1.      Koordinasi pengiriman pasukan, karena semakin meluasnya daerah kekuasaan islam.

2.      Pengaturan pasukan perang yang semakin banyak.

3.      Aturan hukum dinegara yang baru ditahlukkan.

4.      Belum tersebarnya para sahabat, karena kebanyakan dari mereka masih bermukim di Madinah.

Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan muncul permasalahan baru, bahwasanya beliau bersikap nepotisme[12] dalam masalah pengangkatan pengurus negara, yaitu dari bani Umayyah, dan muncul banyak fitnah-fitnah pada masa ini. Dari peristiwa terbunuhnya Utsaman bin Affan ini banyak menimbulkan fitnah serta perpecahan kaum muslimin menjadi syi’ah, khawarij, dan jama’ah.

Pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib mulai timbul perselisihan antara kaum muslimin sendiri, diantaranya perang Jamal antara pahak Ali bin Abi Thalib dan ibunda Aisyah, serta perang Siffin antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah. Setelah selesai masa kekhalifahan kaum muslimin menunjuk  Muawiyah sebagai pemimpin kaum muslimin, namun dari pemerintahan ini kaum muslimin terpecah menjadi tiga golongan:

1.      Jumhurul muslimin, yaitu yang menerima akan keperintahan Muawiyah.

2.      Syi’ah, yaitu masih berwali pada Ali bin Abi Thalib, dan tidak menerima kepemerintahan Muawiyah.

3.      Khawarij, yaitu berada diantara keduanya, tidak fanatik[13].

4. Pengambilan Sumber Hukum Fiqih pada Masa Khulafaur Rasyidin           

Semua permasalahan yang muncul pada masa rasulullah dapat terselesaikan, apabila permasalahan tersebut disebutkan di dalam Al-Qur’an maka berhukum dengan Al-Qur’an, namun apabila permasalahan tersebut tidak disebutkan secara jelas dalam Al-Qur’an, maka rasulullah yang berijtihad[14] [15]  dalam masalah tersebut. Alloh telah mengizinkan rasulullah untuk berijtihad, maka rasulullah berijtihad dan para sahabat menyaksikan akan hal itu, dan Alloh juga menjelaskan bahwasanya di dalam Al-Qur’an terdapat beberapa hukum yang memang masih samar, karena itu merupakan ladang untuk berijtihad dengan cara qiyas[16]dengan hukum lain yang serupa. Karena ijtihad adalah ciri khusus syari’at islam[17], namun setelah rasulullah meninggal permasalahan baru yang muncul dan tidak terdapat dalam Al-Qur’an ataupun sunnah rasulullah maka para sahabat saling berselisih pendapat.

Di dalam hadits rasulullah kepada Muadz saat Muadz diutus ke Yaman sebagai mentri, rasulullah bertanya “dengan apa kamu akan memutuskan suatu perkara?” Muadz menjawab “dengan kitab Alloh”, lalu rasulullah bertanya lagi “apabila tidak kamu dapati di dalamnya?” Muadz menjawab “maka dengan sunnah rasulullah”, rasulullah bertanya lagi “apabila tidak kamu dapati lagi?” Muadz menjawab “dengan pendapatku”, dan rasulullah pun berkata “Maha Suci Alloh, yang Alloh dan rasulNya mengizinkan apa-apa yang Alloh dan rasulNya ridhoi[18], hadits ini menunjukkan bahwasanya rasulullah telah memberi izin kepada para sahabat untuk berijtihad dalam memutuskan suatu perkara yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan assunah.

Abu Bakar dalam menentukan suatu permasalahan meruju’ pada Al-Qur’an, bila tidak ditemukan maka meruju’ pada sunah rasulullah, apabila tidak didapati juga, maka beliau mengumpulakan parapbembesar kaum muslimin yang mampu berijtihad untuk membahas suatu masalah tersebut, lalu jika mereka semua telah menyepakati akan suatu permasalahan tersebut, maka akum muslimin megamalkan permasalahan tersebut sesuai dengan yang telah disepakati bersama.

Maka pada masa sahabat dalam menyelesikan masalah mereka menggunakan:

1.      Al-Qur’an.

2.      Sunnah nabawiyah.

3.      Ijma, yaitu dengan mengumpulakan sahabat untuk bersepakat dalam suatu permasalahan, dan mereka lalu berhukum menggunakan itu.

4.      Ijtihad.

Maka metode tersebut yang diterapkan para sahabat dalam menentukan suatu permasalahan, namun perselisihan pendapat masih tetap terjadi karena setiap individu pasti memiliki jalan berpikir yang berbeda.

5. Permasalahan yang Disepakati Para Sahabat.

Dari sumber hukum yang digunakan, para sahabat memutuskan semua permasalah yang muncul dengan Al-Qur’an, bila tidak disebtukan dalam Al-Qur’an maka mereka bersandar dengan assunah, dila tidak didapati juga para sahabat berkumpul untuk mengambil keputusan dari masalah tersebut, dan mereka juga berijtihad. Dari permasalahan baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan assunah, para sahabat berkumpul untuk memutuskan maslah tersebut, namun tidak semua masalah dapat disepakati dengan pendapat yang sama, karena setiap individu sahabat pasti memiliki pendapat yang berbeda mengenai masalah tersebut. Berikut beberapa permalahan baru yang disepakati para sahabat, dan juga yang masih diperselisihkan:

1. Para sahabat bersepakat didalam menunjuk Abu Bakar sebagai pemimpin kaum muslimin setelah rasulullah meninggal, yang sebelumnya sempat terjadi perselisihan antara para sahabat dari kaum Muhajirin dan Anshar.

2. Para sahabat bersepakat dalam  memerangi kaum muslimin yang mulai enggan mengeluarkan zakat, setelah diberi peringatan.

3. Para sahabat bersepakat untuk menolak saat Fatimah binti rasulullah meminta warisan harta dari rasulullah, karena harta rasulullah akan diberikan pada kaum muslimin.

4. Atas usulan Umar bin Khatab para sahabat bersepakat mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf, karena ketika rasulullah meninggal Al-Qur’an masih belum terkumpul dalam satu mushaf, hanya pada hafalan para sahabat. Ketika para sahabat banyak yang mulai gugur dimedan perang, maka ditakutkan Al-Qur’an akan hilang, maka Al-Qur’an dibukukan menjadi satu mushaf.

6. Permasalahan yang Diperselisihkan Para Sahabat.

1. Para sahabat masih berselisih dalam menentukan hukuman bagi orang yang minum khamr, karena rasulullah belum pernah menghukum orang yang minum khamr, sedangkan Abu Bakar hanya memukul dengan sandal atau baju sebagai hukumanya.

2. Para sahabat saling berselisih dalam menentukan hukun riba fadhl[19], sebagian sahabat memperbolehkan atas pendapat Ibnu Abbas, dan diikuti sahabat yang lain seperti: Usamah bin Zaid, Zaid bin Arqam, dan Ibnul Zubair.

3. Para sahabat saling berselisih dalam menentukan sholat tarawih, apakah harus berjama’ah dimasjid atau dirumah saja, karena ada sebagian sahabat melakukan sholat tarawih di masjid, sedangakan rasulullah tidak pernah sholat tarawih berjama’ah di masjid.

4. Pada masa rasulullah talak tiga kali dalam satu waktu maka maish dihukumi satu kali talak. pada masa Umar bin Khatab kata talak banyak diremehkan, senigga terjadi perselisihan, apakah talak tiga kali dalam satu waktu masih dihukumi talak satu atau talak tiga.


7. Sebab-Sebab Timbulnya Perselisihan.

            Permasalahan baru yang muncul pada masa sahabat menyebabkan benyak terjadinya perbedaan pendapat diantara mereka. Jika permasalahan tersebut merupakan masalah pokok agama islam, ataupun masalah tauhid mereka telah bersepakat, dan tidak ada perbedaan pendapat diantara mereka, namun untuk permasalahan baru yang berhubungan dengan ibadah dzahir para sahabat berbeda-beda dalam berijtihad. Adapun penyebab perbedaan pendapat yang terjadi diantara mereka antara lain:

1.      Dalam memahami nash yang Al-Qur’an.

Di dalam Al-Qur’an tidak semua dalilnya merupakan dalil yang Qath’i[20], ada beberpa ayat yang mengandung makna ihtimal,[21]  hingga menimbulkan perbedaan dalam memahami ayat tersebut. Seperti dalam memahami ayat: [22]وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ secara bahasa kata “qur’un” mengandung arti lebih dari satu, yaitu mengandung arti haid dan suci, yang mengatakan “qur’un” memiliki arti haid, maka mereka berpendapat bahwa masa iddah seorang perempuan adalah tiga kali haid, sedangkan yang mengatakan “qur’un” berarti suci, maka mereka berpendapat bahwa masa iddah seorang wanita jika sudah mengalami tiga kali suci.[23] Para sahabat berbeda pendapat dalam memaknai arti kata tersebut, dan juga perbedaan pendapat mengenai apakah kata tersebut dipakai secara makna haqiqi[24] atau majaz.[25]

2.      Dalam memahami dan penjagaan hadits.

Para sahabat memiliki tingkatan yang berbeda dalam memahami sebuah hadits, dan berbeda juga berbeda dalam tingkat hafalan mereka, karena perkembangan sunnah rasulullah yang tidak tertulis, sehingga mengandalkan kemampuan mengingat akan peristiwa, atau mendengar hadits tersebut saat diucapkan. Perbedaan pendapat juga timbul karena perbedaan para sahabat dalam metode pengambilan hadits sebagai hujjah, karena dilihat dari sisi hadits ahad[26] atupun mutawatir.[27]

3.      Dalam mengemukakan pendapat.

Para sahabat memiliki pendapat yang berbeda dalam mengemukakan pendapat, seperti perbedaan pendapat Abu Bakar dan Umar bin Khatab dalam masalah memberi sesuatu, Abu bakar tidak membedakan antara orang islam, semua dianggap sama dalam masalah ini, namun Umar bin Khatab berpendapat bahwa dalam memberi sesuatu dilihat mana yang lebih dulu masuk islam, dan mana yang lebih banyak membela islam.[28]

4.      Perubahan masa.

Perbedaan masa juga sangat mempengaruhi perbedaan dalam memahami nash ataupun berpendapat, karena tidak semua permasalahan timbul pada masa selanjutnya, begitu juga tidak semua permasalahan saat ini timbul pada masa yang akan datang.

Dari beberapa sebab diatas maka para sahabat berbeda pendapat dalam memahami suatu permasalahan. Namun perbedaan pendapat yang timbul pada masa ini tidak meluas seperti yang terjadi saat ini, dikarenakan para sahabat yang masih berkumpul di Madinah, sehingga mereka saling menasenati antara satu dan yang lain, hadits nabi yang tersebar tidak terlalu banyak, dan para sahabat yang tidak diperkenankan untuk banyak berijtihad, karena mereka masih menguatkan Al-Qur’an dan assunah.

8. Ciri Khusus Perkembangan Fiqih pada Masa Khulafaur Rasyidin.

Pada masa khulafaur rasyidin fiqh mulai berkembang, dan pada masa ini perkembangan fiqih memiliki ciri khusus, antara lain:

1.      Pada masa ini Al-Qur’an telah terkumpul dan dibukukan menjadi satu mushaf, sehingga perselisihan tentang pengambilan sumber hukum syari’at islam sangat sedikit, karena mereka masih mengutamakan Al-Qur’an.

2.      Hadits tidak diriwayatkan pada masa ini, kecuali apabila kebutuhan untuk meriwayatkanya. Periwayatan hadits belum banyak tersebar, kecuali pada akhir masa ini, saat para sahabat mulai tersebar dinegara-negara yang sudah ditahklukkan islam, dan pada masa ini hadits rasulullah masih sanagat murni, belum tercampur dengan dusta, karena hanya berpindah dari para sahabat rasulullah yang terpercaya.

3.      Merupakan awal mula munculnya ijma’, mengijma’kan masalah yang banyak namun hanya terdiri dari sedikit sahabat, karena masih sangat memungkinkan para sahabat untuk berkumpul bila mendapati masalah baru, dan masa itu masih dekat dengan masa rasulullah.

4.      Permasalahan fiqih pada masa itu sesuai dengan kejadian yang terjadi pasa itu juga, dan belum perjadi banyak perselisihan, karena masa itu yidak berbeda jauh dengan masa rasulullah.

5.      Hukum-hukum yang ditetapkan pada saat itu tidak dibukukan, mereka hanya menjaganya dihati. Maka sampainya hukum-hukum tersebut pada masa setelahnya melalui jalan periwayatan.[29]

9. Para Fuqaha’ yang Terkenal pada Masa Khulafaur Rasyidin.

            Diantara para fuqaha’ yang terkenal pada masa ini dibagi menjadi tiga bagian menurut pemahaman fiqihnya, antara lain:

I.         Umar bin Khatab

Ali bin Abi Thalib

Abdullah bin Mas’ud

Aisyah

Zaid bin Tsabit

Abdullah bin Abbas

Abdullah bin Umar

II.        Abu Bakar

Ummu Salamah

            Utsman bin Affan

            Abu Sa’id Al Khudriy

            Abu Musa Al ‘Asy’ari

            Jabir bin Abdullah

            Muadz bn Jabal

            Abdullah bin Amru bin Ash

            Abdullah bin Jubair

III.      Abu Darda’

                        Abu Ubaidah bin Jarrah

            Nu’man bin Basyir

            Ubay bin Kaab

            Abu Tholhah

            Abu Dzar

            Shofiyah bintu Huyay

            Hafsoh bintu Umar

Ummu Habibah[30]

C.        PENUTUP

            Dari pemaparan diatas penulis berharap pembaca dapat memahami sekilas tentang perkembangan fiqih pasa masa khulafaur rasyidin, sehingga dapat menambah wawasan tentang perkembangan fiqih pada masa itu. Dan tidak ada yang penulis inginkan dari tulisan ini melainkan ridho Alloh. Wallahu ‘alam bish shawab.



D.        REFRENSI

Abal Khail, Sulaiman bin Abdullah, al mdkhol ila ilmil fiqh (Riyadh, cetakan ke 1, 2006).


Adz-Dhzahabi, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman, siyaru a’laamin nubala (Qahirah: Daarul hadits, 2006), jilid 2.


Al-Jazari, Izzuddin bin Al Atsir Abi Hasan Ali bin Muhammad, asadul ghobah fi ma’rifatis shohabah (Beirut: Daarul kutubil ilmiyah, cetakan ke-3, 2008),  jilid 4.


Al-Jazari, Izzuddin bin Al Atsir Abi Hasan Ali bin Muhammad, al kamil fi tarikh (Beirut: Darul kutubil ilmiyah, cetakan ke-4, 2006), jilid 3.


Al-Qathan, Mana’, at tasyri’ wal fiqh fil islam (Beirut: Muassatur risalah, cetekan ke-2, 1982).


Asy Syalbi, Muhammad Mushota, al madkhol fil fiqh islami (Beirut: Daarul jami’iyah, cetakan ke-10, 1985).


Az-Zuhaili Wahbah, al wajiz fi ushulil fiqh (Damaskus: Daarul fikr, cetakan ke-1, 1999).


Khaldun, Abdurrahman bin Muhammad, muqaddimah ibnu khaldun (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, cetakan ke-3, 2001).


Wasil, Nasir Farid Muhammad Wasil, al madkhol al wasith (Mesir: Maktabah taufiqiyah).


























           




















[1] Yang biasa dilakukan sehari-hari.

[2] Masa dimana Alloh mulai menurunkan wahyu kepada rasulullah hingga beliau meninggal.

[3]Sulaiman bin Abdullah Abal Khail, al mdkhol ila ilmil fiqh (Riyadh, cetakan ke-1, 2006), hal:113.

[4] Perselisihan antara dua hal yang sangat berlawanan.

[5] Ibnu Khaldun, muqaddimah ibnu khaldun (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, cetakan ke-3, 2001), hal:823.

[6] Q.S Ali-Imran:144

[7] Mana’ Qathan, at tasyri’ wal fiqh fil islam (Beirut: Muassatur risalah, cetekan ke-2, 1982), hal:124.

[8] Imam Adz Dhzahabi, siyaru a’laamin nubala (Qahirah: Daarul hadits, 2006), jilid-2, hal:363.

[9] Muhammad Al-Jazari, asadul ghobah fi ma’rifatis shohabah (Beirut: Daarul kutubil ilmiyah, cetakan ke-3, 2008),  jilid 4, hal:159.

[10] Muhammad Al-Jazari, asadul ghobah fi ma’rifatis shohabah (Beirut: Daarul kutubil ilmiyah, cetakan ke-3, 2008),  jilid 4, hal:166.

[11]Muhammad bin Al Atsir Al Jazari, al kamil fi tarikh (Beirut: Darul kutubil ilmiyah, cetakan ke-4, 2006), jilid 3, hal:68.

[12] Lebih mementingkan dari golonganya sendiri.

[13] Mana’ Qathan, at tasyri’ wal fiqh fil islam (Beirut: Muassatur risalah, cetekan ke-2, 1982), hal:126.

14 Kemampuan menyimpulkan hukum-hukum syar’i dengan menggunakan dalil-dalil yang terperinci dalam masalah syariah.

15 Wahbah Az-zuhaili, al wajiz fi ushulil fiqh (Damaskus: Daarul fikr, cetakan ke-1, 1999), hal:231.

16 Menyamakan suatu hukum atau perkara yang tidak ada nashnya dengan hukum atau perkara lain yang ada nashnya, kerena permasalahan yang serupa.

17Muhammad Mushota Syalbi, al madkhol fil fiqh islami (Beirut: Daarul jami’iyah, cetakan ke-10, 1985), hal:102.







18Muhammad Mushota Syalbi, al madkhol fil fiqh islami (Beirut: Daarul jami’iyah, cetakan ke-10, 1985), hal:101.


[19] Menukar barang dengan barang lain, dan dilebihkan diantara salah satu dari keduanya.

[20] Hanya mengandung satu makna.

[21] Yang memiliki lebih dari satu makna.

[22] Q.S Al-Baqarah: 228

[23]Muhammad Mushota Syalbi, al madkhol fil fiqh islami (Beirut: Daarul jami’iyah, cetakan ke-10, 1985), hal:114.

[24] Makna yang sebenarnya.

[25] Makna kiasan.

[26] Hadits yang jalur periwayatanya hanya satu.

[27] Hadits yang jalur periwayatanya oleh banyak jalur, minimal sepuluh jalur.

[28] Nasir Farid Muhammad Wasil, al madkhol al wasith (Mesir: Maktabah taufiqiyah) hal:86.

[29] Nasir Farid Muhammad Wasil, al madkhol al wasith (Mesir: Maktabah taufiqiyah), hal:84-85.


[30]Sulaiman bin Abdullah Abal Khail, al mdkhol ila ilmil fiqh (Riyadh, cetakan ke 1, 2006), hal:114.



Tidak ada komentar: